GOMEN NE, ARIGATOU
Summary : Mengatasnamakan cinta, persahabatan dipertaruhkan. Terlilitnya tiga insan ke dalam sebuah segitiga, menyeret seseorang yang bahkan tidak tahu apa-apa. Menciptakan sebuah kesalahan besar yang tidak berujung. Hingga ketika seorang anak lahir, siapakah yang patut dipersalahkan? Siapa yang wajib bertanggung jawab? Sang pengagung cinta atau sang korban cinta?
.
.
.
.
.
.
Cerita ini hanyalah karangan atau fiktif belaka, jika terjadi kesamaan cerita atau peristiwa, sesungguhnya itu merupakan ketidaksengajaan penulis.
.
Penulis menulis cerita ini sebagai hiburan semata, tidak untuk dicontoh atau sampai mengiginkan keuntungan material. Harap tidak menjiplak karangan ini, karena ide murni milik penulis.
.
.
.
Rate : T
Genre : Drama, Family, Romance, Hurt/Comfort, Friendship, Mystery
Pair : [Naruto U. Hinata H] Sasuke U, Haruno S
.
.
Naruto milik Masashi Kishimoto-sensei
.
.
.
#1
Di sebuah rumah sakit, para dokter dan perawat berlarian. Mendorong sebuah ranjang di mana seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun berlumuran darah. Tabung oksigen dipompa, tetapi sepertinya tidak banyak membantu pernapasannya yang mulai tidak beraturan. Seorang pria berjaket kulit hitam, dengan rambut pirang berantakan, menggenggam tangannya erat. Menyalurkan kekuatan dan berbisik untuk bertahan. Anak kecil itu tidak menjawab, ia hanya mampu menatap sosok tersebut dengan setetes air mata. Hingga ketiga tubuh kecilnya masuk ke dalam ruang operasi, sosok tegap yang merupakan sang ayah pun terdiam.
Dokter kalap. Pasalnya detak jantung sang anak kecil berhenti di tengah operasi. Alat kejut jantung pun sudah berusaha membantu mengembalikan detaknya. Hingga, ketika garis lurus berbunyi di layar, sang dokter menghela napas. Sementara sosok di luar ruangan terkulai lemas setelah menerima pemberitahuan waktu kematian sang putra semata wayang.
.
Tangis sedih menghiasi pemakaman. Sang anak kecil yang merupakan cucu tunggal keluarga Namikaze itu telah dikebumikan, berdampingan dengan sebuah makam bertuliskan Namikaze Shion.
Sedangkan di sisi nisan sang anak, pria tadi terus menangis. Terisak bahkan mengelus nisan sang putra. Tampak menyedihkan, pun mengenaskan. Tidak ada yang menyangka sosok pemberani nan periang itu akan kembali berduka. Padahal, baru lima tahun ia kehilangan sosok istri tercinta. Seakan kebahagiaan selalu direnggut lagi dan lagi dari ranah hidupnya.
Luput dari semua itu, langit pun ikut bersedih. Gumpalan awan mendung mulai berkumpul di atas sana, yang dalam hitungan detik sudah menurunkan bulir dinginnya. Mengguyur sosok yang masih berduka. Para pelayat pun mulai pergi, menyisakan beberapa orang saja. Keluarga Namikaze masih berdiam diri, dua sahabat sang pria pun senantiasa menemani. Tidak ingin putranya berlarut-larut dalam kesedihan, Kushina mengajak sang putra pergi. Tetapi, yang diajak seakan enggan beranjak. Ia terus menangis, meratap kasihan pada anaknya yang akan sendirian di sana.
Sementara jauh dari mereka, seseorang bersetelan jas dan pakaian hitam berdiri sambil memegang payung hijau tua. Huenya memandang datar mereka yang tengah berduka. Tidak selang lama kemudian, ia pergi.
.
.
.
.
.
.
Langkah hentakan kaki menggema di sepanjang koridor kantor kepolisian. Langkah kakinya tergesa, serta tangannya menggenggam erat sebuah map cokelat yang entah apa isinya. Sorot mata bak samuderanya mengkilat tajam, pun dengan rambut pirangnya yang kusam dan berantakan. Ia mempercepat langkah, semakin cepat dan cepat. Tepat di kantor kepala polisi, pintu didobrak. Bahkan ia tidak segan melempar map itu di depan meja sang kepala polisi.
"APA MAKSUDNYA INI?"
Ia bertanya dengan nada tinggi.
"Tidak bisakah kau mengetuk pintu, Letnan?"
Kepala polisi menjawab santai.
"Jelaskan apa ini!"
Ia semakin menuntut.
"Naruto," Panggil kepala polisi masih dengan sabar.
"Jawab aku, Ayah!"
Naruto mendesis, menahan marah.
"Duduklah! Kita bicara baik-baik."
Minato menuntun lengan Naruto, tetapi tepisan kasarlah yang ia dapat.
"Jelaskan padaku, sekarang!"
Minato menghela napas sejenak.
"Kau dipindahtugaskan."
"Maksudku, kenapa aku dipindahtugaskan? Apa aku melakukan kesalahan?"
Naruto memprotes, tidak terima.
"Kesalahan? Kurasa kau yang lebih tahu tentang itu."
Minato menyindir.
"Bertindak tanpa surat perintah, melakukan apa pun semaunya. Kau pikir, tidakkah kesalahanmu itu sudah terlalu banyak?"
Minato bertanya.
"Itu tidak akan terjadi kalau ayah mengizinkanku."
Naruto mengelak, sinis.
"Mengizinkanmu dan melihatmu terus seperti ini? Tidak."
Minato menegaskan.
"Aku, harus menangkapnya," Naruto mengiba.
"Kau tidak harus. Sudah ada tim lain yang menangani kasus ini."
Minato memaparkan.
"Baiklah kalau begitu. Lakukan apa yang ingin Ayah lakukan."
Naruto beranjak pergi, tetapi, perkataan sang ayah selanjutnya menahannya.
"Ini, permintaan Ibumu."
Sontak Natuto menoleh, menatap sang ayah yang tertunduk dengan pandangan mata sayu. Dan ia tahu apa maksudnya.
.
Naruto mematung di depan gerbang rumah orang tuanya. Sudah lama sejak terakhir kali ia berkunjung. Dengan mengeratkan resleting jaket hitamnya, pria tampan itu menekan bel. Tidak lama seorang pelayan pun membukakan pintu. Mempersilakan sang tuan muda untuk masuk.
Lagi. Naruto mematung. Kali ini, ia berada di depan kamar sang ibu. Di tangannya terdapat senampan bubur yang telah disiapkan oleh nenek Chiyo. Ia mengulurkan tangan dengan ragu, hendak memutar knop pintu, tetapi urung. Hingga sebuah suara menyapanya dari dalam. Memanggilnya, memintanya untuk masuk.
Naruto duduk di samping ranjang sang ibu. Hari ini sang ibu terlihat lebih pucat. Nenek Chiyo mengatakan, sang ibu kelelahan karena terlalu banyak beraktivitas hingga jatuh sakit. Namun, seingatnya sang ibu bukanlah tipikal orang yang akan dengan mudahnya jatuh sakit jika tidak ada penyebab intern yang mengganjal hati dan pikirannya.
"Ibu, bagaimana keadaanmu?"
Naruto bertanya.
"Tentu baik, memangnya kau tidak lihat?"
Kushina pura-pura ceria.
"Kenapa ibu seperti ini?"
"Apa maksudmu? Ibu kelelahan. Kau tahu, jadwal ibu sangat-sangat padat," jawab Kushina.
"Ibu," panggil Naruto sendu.
Satu menit lengang.
Kushina yang awalnya tersenyum lebar, perlahan-lahan menarik bibirnya menjadi segaris tipis. Ia menunduk, memilin selimutnya dengan ujung jari. Melihat itu, Naruto pun meletakkan kedua tangannya pada tangan sang ibu, kemudian menggenggamnya pelan.
"Ibu hanya khawatir. Semenjak kepergian Boru, kau sering tidak pulang."
"Aku baik-baik saja, Bu, jangan khawatir," ucap Naruto menenangkan.
"Bagimana ibu tidak khawatir, kalau putra ibu terlalu memforsir diri? Kau bahkan mengejar penjahat itu sendiran."
"Itu, aku ..."
"Berhentilah! Ibu mohon berhenti. Kepergian Shion dan Boru sudah cukup. Jadi, ibu mohon jangan tambah bebani ibu. Ibu tidak ingin kehilanganmu," pinta Kushina nanar.
"Tapi ..."
"Ibu mohon padamu."
Kushina membungkam Naruto. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus melakukannya, atau sang ibu benar-benar bisa melakukan hal nekat yang tidak pernah bisa ia bayangkan.
.
Di sebuah apartemen sederhana, Naruto tengah mengepak beberapa pakaian. Tidak banyak yang ia masukkan, hanya beberapa, pun termasuk peralatan mandi. Setelah kiranya beres, ia turun dengan sedikit tergesa menuju dapur. Memasukkan camilan dan koleksi ramennya, pun tidak lupa dengan alat pemanas.
Ponselnya berdering, ia mengangkatnya, menghimpitnya di antara pundak dan telinga.
"Halo?"
"Uhm. Seperti yang kau duga, aku ditendang."
Naruto berkata sembari kedua tangan memasukkan camilan-camilan favoritnya ke dalam tas.
"Hahaha. Aku? Apa aku terlihat frustrasi? Tidakkah ini menyenangkan? Aku bisa mengistirahatkan tubuh atletis dan otak brilianku. Kalau aku terus bekerja, kasihan para penjahat itu, mereka mau cari nafkah apa."
Guraunya garing.
Terdengar seseorang di ujung sana berteriak, membuat Naruto spontan menjauhkan benda hitam itu dari telinga. Ia tahu, orang itu pasti marah. Memilih menunggu beberapa detik, ia kembali bicara.
"Tidakkah suaramu serak terus-menerus berteriak seperti itu? Aku heran bagaimana seseorang temperamental sepertimu bisa menjadi seorang dokter."
"Tch! Iya-iya, kau tenang saja. Kenapa? Apa kau merindukanku? Atau kau mengkhawatirkanku?"
Naruto bertanya, setengah bergurau.
"Begitukah? Kurasa kau tidak perlu repot-repot mengkhawatirkanku. Kau tahu, kondisiku yang sekarang, memungkinkanku menaruh hati padamu lagi."
Tidak lama kemudian, telepon ditutup. Naruto tersenyum kecut menatap ponsel pintarnya. Lagi-lagi orang itu, pikirnya.
.
Di lain tempat, lebih tepatnya di sebuah desa di pegunungan Iwa Gakure, para petani tengah memanen kopi. Ada yang memetik, memanggul dan menaikkan ke dalam angkutan. Tahun ini cukup banyak biji kopi yang harus dipanen. Membuat sang pemilik perkebunan harus menambahkan beberapa pekerja ekstra untuk bekerja. Biasanya, pekerja berpusat pada ibu-ibu paruh baya, tetapi kali ini, di antara mereka terdapat seorang perempuan belia.
Perempuan itu bekerja dengan cukup cekatan. Tangan mungilnya memetik biji, memasukkan ke dalam keranjang yang ia gendong di punggung. Padahal jika ditilik baik-baik, kecepatannya tidak sesuai dengan tubuhnya yang tergolong kecil. Ibu-ibu yang melihat, dibuat tersenyum dengan pekerjaannya. Tidak heran banyak orang sangat menyukainya. Seperti ketika sudah memasuk jam makan siang, ia masih bergelayut dengan pekerjaannya.
"Hinata, istirahat dulu!"
Salah seorang pekerja berteriak.
"Sebentar lagi."
Ia menyelesaikan pekerjaannya. Dengan membawa keranjang besar yang terisi penuh, ia menepi. Bergabung dengan yang lain untuk menghitung berapa kilo petikannya sambil istirahat.
"Wuah, Hinata, kau rajin sekali."
Salah seorang pekerja memuji.
"Terimakasih."
Hinata tersenyum malu.
"Jangan memaksakan diri. Kau tahu kan, kalau kau adalah pekerja terbaik di sini? Bermalas-malas sedikit, Fugaku-san pasti tidak akan memarahimu."
"Tidak begitu, Ayame-san. Fugaku-san sudah terlalu baik pada keluargaku, jadi, aku tidak ingin mengecewakannya, hanya itu."
Hinata menjawab apa adanya.
"Baiklah."
Ayame mengalah. Kemudian, memasukkan sesuap nasi ke mulut dengan porsi besar.
"Kapwan kwau kwe kwotwa?"
Ayame bertanya dengan mulut penuh makanan.
"Mungkin besok."
"Swendiriyan?"
"Kau mau ikut?"
Ayame menelan makanannya dengan susah payah, kemudian meminum air putih dengan rakus sambil menjawab.
"Tidak tidak, udara kota itu tidak sehat."
Ayame mengelak.
"Baiklah. Mau menitip sesuatu?"
"Uhm. Bisa minta tolong belikan sarung tangan? Sarung tangan yang kau belikan satu tahun lalu, sudah rusak. Lihat ini, bahkan sudah berlubang."
Ayame menjulurkan sarung tanngan miliknya. Sudah kotor, berlubang pula.
Hinata mengangguk.
Tak lama kemudian, sang mandor memanggil nama Hinata. Perempuan itu maju untuk mengambil upah. Amethystnya berbinar, tatkala lima ratus yen berada di tangannya. Ia membungkuk beberapa kali, mengucap terimakasih hingga topi capingnya melorot. Sang mandor yang sudah hapal betul dengan kebiasaan Hinata, hanya manggut-manggut menyuruhnya segera pergi.
Sepanjang perjalanan pulang, Hinata tersenyum ria. Sesekali bibir mungilnya bersenandung melantunkan lagu kesukaannya. Mungkin, malam ini ia akan membuat makanan enak, pikirnya. Jadi, ia putuskan untuk mampir ke toko sebentar.
Sesampainya di toko daging, ia segera berteriak. Memanggil sang pemilik untuk membungkuskannya seperempat daging sapi. Danzo yang sedang tertidur, hampir terjungkal mendengar lengkingan suaranya. Dengan sedikit menggerutu, ia membungkuskan daging pesanan Hinata. Tentunya dengan sedikit memarahi, menasihatinya agar tidak berteriak di saat orang tidur. Yang dimarahi pun hanya tersenyum lebar tanpa dosa. Ia jadi mengerti kenapa Himawari suka mengganggunya.
"Katakan juga pada Hima untuk tidak berteriak. Telingaku bisa tuli mendengarnya."
Danzo menggerutu. Wajah keriputnya semakin tertekuk.
Sementara itu, di jalan raya, sepasang siswa siswi taman kanak-kanak tengah berjalan riang. Yang perempuan memiliki rambut indigo pendek, dan yang laki-laki memiliki rambut pirang pucat dikucir satu. Tangan mereka bertautan, bibir mereka melantunkan lagu twinkle-twinkle little star. Mereka berhenti di depan lampu merah, menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Sebenarnya, kalau langsung menyeberang tidak masalah, karena jalanan memang tidak pernah ramai. Tetapi, menurut pesan ibu Hima, melanggar lalu lintas itu tidak baik, bisa dipenjarakan dan mereka tidak mau dipenjarakan.
Keduanya kembali berjalan. Ketika sampai di persimpangan desa, sang anak laki-laki yang bernama Inojin itu memisahkan diri.
"Hima-chan, sampai bertemu besok."
Inojin berteriak.
"Sampai bertemu besok, Inojin-kun."
Himawari melambai ria.
"Sampaikan salamku pada Bibi Ino, Paman Sai dan Kakek Danzo, ya?"
"Uhm. Hati-hati di jalan."
.
"Aku pulang."
Himawari melepaskan sepatu, meletakkannya ke dalam rak. Baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah, bau sedap menyapa indera penciumnya. Dengan tergesa, ia menelusuri dari mana bau sedap itu berasal. Ketika ia menemukan sang ibu tengah membumbui daging, ia mendekat. Dipeluknya kaki sang ibu girang. Hinata berjengit, sadar kalau itu adalah putrinya, ia tersenyum. Meminta Himawari mencuci tangan dan berganti pakaian.
Setelah melaksanakan perintah sang ibu, Himawari kembali ke dapur, mengintip. Menimbang apakah ia akan masuk atau tidak. Karena ia tahu, ini bukan jam makan siang lagi, makan malam masih cukup lama. Bermain sebentar tidak ada salahnya, pikirnya. Dan ia pun pergi, tentu setelah berteriak meminta izin. Di dalam, Hinata menggelengkan kepala.
Himawari berjalan-jalan di jalanan desa. Langkah kecilnya sesekali berjingkat, mata saphirenya memandang sekeliling dengan pandangan takjub. Seakan ia memang tidak pernah melihatnya. Sepanjang jalan, setiap orang yang berpapasan dengannya, menyapa. Sedikit mencubit pipi gembilnya yang cukup menggemaskan. Harinya menjadi menyenangkan. Terlebih ketika ia diminta bergabung oleh bibi-bibi yang tengah mengikat sayuran untuk dijual ke pasar.
.
Di sebuah bar mewah di Distrik Konoha, alunan musik jaz mengalun merdu. Menggiring suaranya pada telinga para pengunjung. Dengan ditemani seteguk minuman beralkohol, orang-orang mulai terlena. Tempat tersebut memang cocok untuk menghilangkan penat. Seperti yang dilakukan salah satu detektif pirang ini. Sudah kesekian teguk ia minum, tetapi rasa penatnya bahkan tidak hilang dan ia tidak mabuk sedikit pun. Matanya benar-benar masih terbuka lebar. Berbeda dengan rekan di sampingnya yang mungkin sudah setengah sadar. Lihatlah, bahkan wajahnya sudah memerah. Naruto mendengus. Pasalnya, ia yang minta ditemani, bukan menemani.
"Teler, eh?"
Naruto mencibir.
"Tutup mulutmu!"
Shikamaru menjawab ketus.
"Kurasa belum."
Naruto menanggapi, santai.
"Tch. Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan? Kau memintaku minum dulu, tapi setelah banyak botol yang kita habiskan, kau bahkan tidak bicara."
Shikamaru menggerutu. Waktunya terbuang percuma.
"Aku dipindahtugaskan."
Naruto bercerita.
"Itu rahasia umum."
Shikamaru menanggapi seenaknya.
"Maksudnya, aku akan berangkat besok."
Naruto menjelaskan.
"Oh ..."
"TUNGGU! Katakan sekali lagi! Kau bilang apa?"
Mata Shikamau melebar.
"Aku bilang, aku menyetujui surat perintah itu."
Naruto menjawab datar.
Shikamaru menepuk pundak Naruto kasar, membuat sang empunya sedikit mendelik tak suka. Ayolah, ia tidak sedang bercanda saat ini, reaksi Shikamaru berlebihan.
"Katakan kalau kau sedang gila. Naruto yang kukenal tidak akan mau menerima perintah dengan baik-baik."
Shikamaru bergidik ngeri.
"Kau mengatakan aku bukan orang baik, begitu?"
Naruto tersinggung.
"Bukan. Aish! Kau ini! Maksudku, apa yang membuatmu menerima perintah itu?"
Shikamaru penasaran.
Naruto hanya tersenyum menanggapi. Terbukti dengan Shikamaru yang mendengus, menghela napas lelah. Ia tidak ingin ikut campur lagi, pikirnya. Selama satu tahun belakangan, ia sudah cukup diikuticampurkan. Jadi, kali ini ia akan memilih menelan kembali keingintahuannya.
Ya. Dan harusnya begitu, kalau tidak si pirang membuka kembali suaranya. Membuat rasa penasaran yang sudah tertidur dalam dirinya, bangkit. Oh, sahabatnya satu ini pandai sekali mengusiknya.
"Tadi dia menelepon," ungkap Naruto tiba-tiba.
"Lalu?"
"Dia mengkhawatirkanku."
"Dan kau mengharapkannya?"
Shikamaru tersenyum, mengejek.
"Tidak akan pernah, setelah apa yang dia perbuat padaku."
Naruto menjawab tegas.
"Kau masih membencinya?"
"Tidak. Aku tidak bisa membencinya seberapa kali pun aku mencoba. Hanya, tiba-tiba saja rasanya aneh. Semenjak kepergian Boru, dia lebih sering menelepon, meminta bertemu dan semacamnya."
Cerita Naruto.
"Dia juga sahabatmu, asal kau ingat. Tidak ada di dunia ini sahabat yang tidak mengkhawatirkan sahabatnya."
Shikamaru berujar bijak.
"Saranku, jangan terlalu dipikirkan. Maksudku, apa yang bergejolak di hatimu tentangnya. Kau sudah cukup tua untuk kuajarkan tentang cinta, kau tahu?"
Shikamaru menimpali lebih lanjut.
"Aku mencintai Shion," kata Naruto sendu.
"Dan katakan itu di kuburannya, bukan padaku."
Shikamaru menjawab sarkatis.
Lagi-lagi Naruto tersenyum, menuangkan kembali minuman, ia kembali meneguknya. Sepertinya sudah waktunya pulang. Perjalanan Konoha ke Iwa tidak dekat. Butuh waktu sekurang-kurangnya delapan jam, itu pun kalau lalu lintas lengang.
.
Di kediaman sederhana Hyuuga, Hinata menghidangkan beberapa hidangan yang terbuat dari daging sapi. Aromanya yang sedap menggelitik perut siapa pun yang ada. Tak terkecuali kedua Hyuuga lain yang duduk di meja sederhana itu. Mata sapphire Himawari berbinar, tangan mungilnya sudah tak sabar ingin segera mencomot makanan nikmat itu. Sementara sang kakek hanya diam di tempat, menunggu Hinata duduk untuk bisa memulai makan.
"Peraturan Hyuuga nomor empat, dahulukan yang lebih tua, aku ingat itu."
Himawari berkata, membalas tatapan sang ibu.
Ketiganya makan dengan Hiashi yang memimpin doa, dan mulai mengambil makanan, diikuti Hinata, terakhir Himawari. Gadis kecil itu begitu semangat tatkala melihat sepotong daging sapi sudah berada di atas sendoknya. Ia makan dengan lahap, bahkan tak segan untuk tambah. Perut kecilnya ternyata bermuatan cukup besar dibanding tubuhnya.
Kini, Hinata tengah membereskan peralatan makan dibantu putri kecilnya. Di mana ia yang mencuci, Himawari yang meletakkan kembali pada rak.
"Ibu akan pergi ke kota besok dan berangkat pagi-pagi. Bento Hima nanti ibu siapkan. Untuk makan siangnya, tinggal menghangatkan. Ingat, pulang sekolah langsung pulang. Kalau mau bermain, jangan terlalu jauh. Kalau pulang terlambat, minta paman Kiba atau Shino untuk mengantar," pesan Hinata.
"Uhm."
Hima mengangguk paham.
.
Besoknya, pagi-pagi buta Hinata sudah bangun. Setelah membuat sarapan, makan siang dan bento untuk Hima, ia bergegas. Perjalanan ke kota cukup lama. Beruntunglah, ia bisa naik bus pertama, mengingat bus kedua akan datang dua jam kemudian.
Sementara di apartemennya, Naruto tengah memasukkan koper ke bagasi. Telinga dan pundaknya lagi-lagi mengapit benda hitam yang sedari tadi mengeluarkan celotehan-celotehan nyaring. Sang ibu berpesan ini itu. Padahal ia sudah cukup dewasa untuk pergi seorang diri.
"Iya, Bu. Iya, aku berangkat dulu."
Naruto mengakhiri percakapan.
.
09:00 AM
Bandara Internasional Konoha. Seorang pria tengah mendorong koper hitam. Wajah tampan dan rambut ravennya yang menantang gravitasi membuatnya ditatap berpuluh-puluh pasang mata. Bahkan, petugas kebersihan tak luput dari rasa penasaran.
Ditatapnya wallpaper ponselnya yang menampilkan foto seorang gadis cantik berambut merah muda, tengah tersenyum. Ah, sudah lima tahun sejak terakhir kali ia bertemu dengannya. Kira-kira bagaimana reaksinya kalau bertemu dengannya? Mungkin ia akan menemuinya nanti, setelah bertemu sahabat pirangnya. Pasti pemuda itu sudah baik-baik saja sekarang, pikirnya.
BEEP BEEP
"Oh, Aniki. Aku sudah sampai."
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."
"Oh," jawabnya mengakhiri pembicaraan sambil menyetop taksi.
"Pak, kepolisian Konoha."
.
"Maaf?"
Sasuke mengernyit, tidak percaya.
"Aku bilang dia dipindahtugaskan. Pagi ini berangkat."
Shikamaru menjawab malas.
Tertegunlah Sasuke. Pasalnya, sahabat pirangnya bukanlah tipikal penurut hingga mau dipindahtugaskan begitu saja. Tetapi, ketika bertanya apa alasannya Shikamaru hanya mengedikkan bahu.
Di luar Kantor Kepolisian Konoha, Sasuke mengirim sebuah pesan.
From : Sasuke
To : Naruto
Kalau baca pesanku, segera telepon balik.
Sementara di perjalanan ke desa, Naruto memutar berita di televisi mobil, cukup keras. Jadi, ketika ponselnya memunculkan notifikasi pesan, ia mengabaikannya. Bersamaan dengan itu, bus yang ditumpangi Hinata berselisih jalan dengannya.
.
Matahari sudah meninggi. Lalu lintas cukup lengang dikarenakan jam sibuk sudah terlewat. Bus yang Hinata tumpangi berhenti di pemberhentian terakhir. Tidak perlu naik kendaraan lagi, Hinata pun jalan kaki menuju rumah sakit Konoha yang letaknya 500 meter dari tempatnya sekarang. Tidak lupa ia mengimpit tas jinjingnya, karena kota rawan akan kejahatan.
rumah sakit Konoha. Setelah bertanya pada resepsionis jadwal dokter Haruno, Hinata diizinkan menunggu di ruang tunggu. Ia duduk di salah satu deretan kursi. Tersenyum sejenak pada seseorang di samping kanan kirinya, kemudian beralih pada televisi yang kebetulan tengah memberitakan kesuksesan Uchiha Factory di kacah mancanegara. Wajah sang direktur pengembangan dan perencanaan terpampang jelas di layar 21" itu, tengah tersenyum samar, mengatakan sepatah dua patah kata. Seketika senyum di wajah Hinata memudar. Bahkan, kalimat sang direktur di televisi tidak bisa didengarnya. Hingga tanpa sadar, genggaman pada tas selempangnya mengencang.
Ruang dokter Haruno. Sang dokter menghela napas lelah. Pasalnya, sudah kesekian kali ia menanyakan hal serupa pada seseorang di depannya, tetapi, tidak ada satu pun kata terucap. Yang ada ekspresi orang itu malah semakin dingin, tidak terbaca. Sejak kali pertama bertemu dengannya, ini sudah kali kedua Sakura mendapatinya seperti itu. Padahal, tadi waktu masuk ke ruangannya, ia tidak seperti itu. Apakah waktu tunggu lima menit di ruangannya sanggup mengubahnya demikian? Sakura menggeleng pelan.
"Hinata? Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat."
Sakura bertanya entah yang berapa kali.
"Hinata?"
TOK ... TOK
Sakura mengetuk mejanya pelan, Hinata berjengit berlebihan. Namun itu membuktikan bahwasanya kini hati dan pikirannya sudah kembali.
"Eh? Kau mengatakan sesuatu?"
Hinata bertanya.
"Tidak. Aku hanya tanya untuk apa kau kemari?"
Sakura tersenyum.
"Etto, maafkan aku. Aku hanya ..."
Hinata terbata.
"Sudahlah. Sekarang katakan, untuk apa kau kemari? Apa kau ingin berlibur di sini? Dengan senang hati aku akan merekomendasikan tempat yang bagus untukmu."
Sakura berkata ceria.
"Tidak, bukan itu. Aku hanya ... ini."
Hinata mengeluarkan sebuah amplop cokelat.
"Hah? Jangan bilang kau ingin memberikannya padaku."
Sakura menebak, Hinata mengangguk.
"Hinata, dengar. Aku, tidak memaksamu membayar secepatnya, tidak. Aku tahu kebutuhanmu dan Himawari banyak. Aku tidak ingin membebanimu. Bukankah baru dua bulan lalu kau membayarnya?"
"Tapi, aku tidak enak. Aku merasa sudah terlalu lama mengulur waktu. Juga, kebutuhanku dan Hima tercukupi, tenang saja. Ini uang yang sengaja kutabung untuk membayar hutangku padamu."
Hinata berkata jujur.
"Baiklah kalau itu maumu."
Sakura mengalah.
"Oh ya, apa kau langsung ingin pulang?"
Sakura bertanya, wajahnya berbinar.
"Aku akan mampir sebentar untuk membeli titipan."
"Aku ikut. Jadwalku sudah selesai hari ini."
Sakura memutuskan sepihak. Hinata hanya bisa tersenyum.
Keduanya keluar dari rumah sakit. Memilih berjalan kaki daripada naik mobil, Sakura berdalih hemat bahan bakar, padahal ia hanya tidak ingin Hinata merasa minder di dekatnya. Memiliki teman sepertinya bisa dibilang cukup beruntung, karena kebanyakan dari perempuan seusianya akan lebih senang menghabiskan waktu pergi ke salon, atau shopping barang bermerek.
Hinata singgah di depan seorang pedagang kaki lima. Pedagang itu adalah seorang nenek yang berjualan sarung tangan, kaos kaki berbagai jenis dan ukuran. Sesuai pesanan Ayame, ia memilih sarung tangan yang lebih tebal. Berhubung harganya cukup terjangkau, akhirnya ia putuskan untuk membeli dua buah. Hitung-hitung berterima kasih karena selama ini ia sudah sering menyusahkannya.
Setelah membeli pesanan tersebut, Sakura menyeret Hinata ke tempat aksesoris. Awalnya sang teman menolak, karena menurutnya barang seperti itu tidak penting terutama bagi dirinya yang notebene adalah seorang petani. Tetapi, dengan bujukan dan rayuan mautnya, Sakura berhasil menyeret Hinata.
Sakura memilih-milih jepit dengan jari jemari lentiknya. Seolah memilih berlian di antara barang imitasi. Sudah lima menit berlalu, tetapi ia tidak menemukan satupun yang menurutnya cocok. Hinata menghela napas. Di matanya, semuanya bagus, juga mahal harganya, padahal hanya barang kaki lima. Ia tidak bisa membayangkan seberapa tingginya harga yang di dalam toko.
"Hinata, coba ini," kata Sakura tiba-tiba.
"Eh?"
"Wuah. Cantik. Kau cantik memakainya."
Sakura memuji, mengacungkan kedua jempol.
"Nenek, aku beli ini dan yang ini."
Sakura berkata, mengulurkan beberapa lembar uang pada sang nenek.
"Ini untukmu dan yang ini untuk Hima," kata Sakura setelah mendapat kembalian.
"Untukku? Tidak-tidak. Aku tidak bisa menerimanya."
Hinata menggoyangkan kedua tangannya, menolak.
"Kenapa tidak? Aku sengaja memilihnya lama, hanya untukmu. Ayolah Hinata, tidak bisakah kau menerima kebaikanku? Jarang-jarang kita bertemu, dan kini kau menolakku. Padahal seingatku aku tidak pernah menolak kehadiranmu di jam-jam sibukku."
Rengek Sakura.
"Sakura, kau sudah terlalu baik padaku. Aku takut tidak bisa membalasnya."
Hinata menjawab sendu.
"Kata siapa kau tidak bisa membalasnya? Suatu saat nanti, kutagih bayarannya. Tenang saja, bukan dalam bentuk uang kok."
Sakura mengedip ceria.
"Kau tidak bermaksud yang tidak-tidak kan?"
Mata Hinata menyipit.
"Eh? Mukaku terlihat begitukah?"
Sakura menangkupkan kedua tangan ke wajah, mengundang gelak tawa Hinata.
Perempuan manis itu menerimanya.
Setelah itu, mereka kembali menyusuri trotoar. Membeli beberapa camilan, juga minuman. Keduanya saling tersenyum, sesekali Hinata tertawa menanggapi celoteh berlebihan Sakura.
"Kau tahu, dia bilang kenapa aku bisa jadi dokter dengan temperamenku. Dia tidak tahu, kalau aku ini dihormati di rumah sakit."
Sakura mengaduk.
"Dia hanya bercanda," Hinata tertawa renyah.
"Aku yakin dia tidak bercanda, karena dia sering mengatakannya. Dia sengaja, sengaja, Hinata."
Sakura menggebu-gebu.
"Begitukah?"
"Kau ini. Tidak ada reaksi lainkah?"
"Haruskah aku tertawa?"
"Tidak, kau tidak harus."
Mereka kembali tertawa.
Tidak terasa, sudah dua jam mereka berjalan-jalan, kini jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Saatnya Hinata untuk pulang. Perempuan itu pamit dengan sekali lagi berterima kasih pada sang teman. Sakura yang tidak tega, akhirnya memutuskan memanggil taksi untuknya. Meski lagi-lagi menolak, dengan sikap keras kepala dan super ngototnya Hinata pun mengalah.
Keduanya kini berdiri berdampingan. Menunggu taksi pesanan datang sambil menikmati semilir angin musim panas. Jika dihitung, sudah satu tahun lebih Hinata mengenal Sakura. Dalam kurun waktu itu, ia jadi semakin dekat dengannya. Mereka berbagi cerita dengan batasan masing-masing. Seperti Sakura tahu Himawari lahir tanpa seorang ayah.
Hinata melamun, menilik balik ke belakang. Apa saja yang sudah dilaluinya hingga ia bisa berdiri di sini. Namun, lamunan itu tak berlangsung lama karena dering ponsel Sakura memecah keheningan.
"Halo."
"Aku? Kenapa? Kau bisa merindukanku juga?"
Sakura bertanya pada seseorang di ujung telepon, nadanya sinis.
"Tch, Aku sedang sibuk. Ada banyak jadwal hari ini."
Sakura berdalih.
"Berisik? Yang benar saja. Ada televisi juga di rumah sakit, kau tahu?"
"Restoran? Apa maksudmu?"
Sakura tiba-tiba bengong.
Sambungan telepon diputus. Sakura mengedip beberapa kali, ketika ia sadar, ia pun berteriak. Memaki sang penelepon yang Hinata tebak adalah kekasihnya. Hubungan Sakura dan kekasihnya memang kurang baik dikarenakan jarak. Sudah lima tahun katanya ia tidak dikunjungi. Menelepon atau mengirim email saja jarang. Bahkan temannya itu tidak menyebutkan namanya, atau memajang foto sang kekasih di ruangan atau ponselnya. Berlebihan.
"Kau tahu, Hinata, dia manusia teraneh yang pernah kutemui."
Sakura mengadu.
"Tapi, kau mencintainya kan?"
"Aku? Sedikit. Dia yang lebih mencintaiku."
Sakura menjawab penuh percaya diri.
Hinata tersenyum menanggapi. Ia tahu, dalam benak Sakura pasti ada rasa senang tersendiri yang sulit ia terjemahkan dalam kata-kata.
.
Di sebuah jalanan yang sepi, Naruto menepikan mobil. Matanya sibuk meneliti alamat yang tertera di surat perintah pemindahan tugasnya. Seharusnya sudah tiga jam lalu ia sampai, tetapi rasanya ia berputar-putar saja. Tidak ada kantor polisi terdekat di sini, pikirnya.
Ia pun memutuskan melajukan kembali mobilnya, tetapi baru beberapa meter melaju, tiba-tiba mobilnya berhenti. Naruto kalap, sapphirenya menatap monitor, barulah ia sadar kalau bensinnya habis. Dipukulnya dasbor mobil dengan keras hingga lampu mobilnya berkedip, klaksonnya berbunyi nyaring.
BRAKH
Suara gebrakan kembali terdengar, kali ini bukan karena pukulan. Melainkan daun pintu yang ia tutup dengan keras. Dihubunginya sang teman yang terdapat di daftar cepatnya.
"Shikamaru. Apa-apaan ini? Ini pasti salah alamat. Tidak ada kantor polisi terdekat. Jangankan kantor polisi, desa saja tidak ada!"
Naruto berteriak.
"Kau bercanda?"
TUT TUT
Sambungan terputus. Naruto melirik ponsel pintarnya, dadanya bergemuruh melihat tulisan "tidak ada layanan".
Ia menghela napas, ini yang kesekian kali. Sejak tadi ia menunggu bus atau kendaraan lewat, tetapi yang ada hanyalah losbak pengangkut ternak atau sayuran. Dilihat ke mana mereka berbelok, sepertinya masih cukup jauh. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Naruto mengangkut barang bawaannya, mau tidak mau, ia harus berjalan kaki.
Sepanjang jalan, ia mengamati sekitar. Hijau dan asri, khas pedesaan. Pepohonannya rindang, menghalangi mata untuk melihat hamparan sawah bertingkat di baliknya. Naruto menajamkan mata, jauh di sana ada pemukiman. Ia tersenyum kecut menyadarinya. Butuh sekurang-kurangnya satu jam lagi untuk bisa sampai dengan berjalan kaki.
Menyusuri jalan, ia merasa cukup familier dengan pemandangan sekitar. Yosuga, seingatnya keluarga Uchiha tinggal di daerah sini.
.
Akhirnya ia sampai di jalan masuk desa yang terdapat sebuah gapura. Jalannya cukup sempit jika dilalui dua mobil. Medannya pun tidak terlalu rata. Butuh setidaknya pengalaman untuk bisa melaluinya. Naruto mengernyit. Ia membaca lagi alamat di surat dan mencocokkannya dengan papan visual di sana, hasilnya cocok. Dilihatnya lagi jalan itu, dan di ujung sana samar-samar ia bisa membaca tulisan "Polsek Yosuga, Iwa".
"Permisi," Naruto membuka pintu polsek kecil tersebut.
"Apa kau bilang? Aku tidak mencuri!"
"Jelas-jelas aku menemukan bulu ayamku di rumahmu! Juga, ada daging ayam di pancimu!"
"Hei, Bung, aku membelinya. Beli! Aku punya uang, untuk apa mencuri ayammu?"
"Jelas-jelas kau ingin ayamku minggu lalu, karena ayamku gemuk-gemuk."
"Tuduhanmu tidak mendasar. Jangan mentang-mentang aku mengatakannya, lalu aku yang mencurinya."
"Kiba, Shino, tenanglah. Ini tidak akan selesai kalau kalian terus saling menuduh. Bisakah kalian ceritakan aku kronologisnya?" Pinta Sai sesabar mungkin.
"Dia mencuri ayamku!"
Kiba menuding Shino dengan jari telunjuk. Kukunya hitam kotor, terkena tanah.
"Aku tidak mencurinya!"
"Kau merebusnya!"
"Aku tidak merebusnya!"
"Kau mengkhianatiku!"
"Aku tidak mengkhianatimu!"
Terjadilah aksi jambak-jambakan antara kedua laki-laki itu. Kegaduhan tidak terelakkan lagi. Keduanya berguling kesana-kemari, Sai kalang kabut. Ia berusaha memisahkan mereka, tetapi, pipinya kena baku hantam. Kesal, akhirnya ia masuk ke dalam perkelahian itu.
"Apa-apaan ini?"
Naruto bergumam tidak percaya.
KRIETT
"Apa-apaan ini?"
Seorang anak kecil mengulangi perkataan Naruto.
"Inojin-kun, tunggu aku!"
Hima berteriak dari luar.
Himawari berlari menuju pintu tempat Inojin berdiri, tetapi naas, tepat beberapa meter dari pintu, ia tersandung hingga tubuhnya terjerembab menimpa Inojin. Sedangkan ayam yang sedari tadi berada didekapannya, loncat. Ayam jago itu mengepakkan sayapnya, terbang ke dalam kantor kepolisian.
BRUKH
KEOKK
KEOKK
"Hah?"
Naruto ternganga.
"Ittai, kau menindihku, Hima-chan."
Inojin mengeluh.
"Ah, maaf-maaf, aku tidak sengaja."
Himawari bangkit membantu Inojin berdiri, gadis kecil itu membersihkan celana pendek Inojin yang terkena debu, mengabaikan celana miliknya yang juga kotor.
Baru beberapa saat,
"Inojin-kun, ayamnya!"
Pekik Hima nyaring sambil menunjuk-nunjuk ayam yang mengepak-ngepakkan sayapnya ke sana-kemari.
Seketika Naruto menoleh, dilihatnya seorang anak kecil berambut indigo pendek. Anak itu berlari menuju ketiga pria yang tengah bergulat. Padahal, apa yang dituju si anak bukanlah itu, melainkan si ayam jago yang sudah bertengger manis di dekat meja, di mana ketiga orang itu bergulat.
Himawari mengendap-ngendap ingin menangkap si ayam jago, ia bahkan tidak memperhatikan kepalan tangan yang melayang padanya. Naruto bergerak cepat, ditariknya Himawari tepat sebelum kepalan tangan itu mengenainya.
HUP
Mata sapphire Himawari terbelalak. Ia cukup terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu. Belum sempat bibirnya mengeluarkan satu kata, suara keras pun menyentaknya.
"KALIAN SEMUA! BERHENTI!"
Naruto berteriak nyaring, seketika perkelahian itu terhenti.
"Kalian tidak tahu, kalau ulah kalian itu bisa membahayakan orang lain? Apa kalian tidak melihat ada anak kecil di sini?"
Naruto bertanya nyalang.
"Eh? Hima-chan?"
Kiba melongo.
"Paman Kiba?"
Himawari bengong.
Ketiga orang itu memisahkan diri. Terutama Sai, ia cukup salah tingkah mendapati anaknya menatapnya malas.
"Ehem, Hima, ada apa kau kemari?"
Sai bertanya kemudian.
"Aku menemukan ayam jago itu di belakang pekarangan paman Chouji, mengejar betina. Namun betinanya lari entah ke mana, jadi aku membawanya ke sini. Kupikir, ayamnya tidak tahu jalan pulang."
Himawari berujar polos.
"Dan Paman, bisa minta tolong lepaskan aku?"
Pinta Himawari pada Naruto.
"Uh, maaf."
Dan di sinilah perkara utamanya. Bukan Shino yang mencuri ayam Kiba, melainkan ayam Kibalah yang berlari mengejar betina hingga bulunya terjatuh di pekarangan Shino. Pria penyuka anjing itu diharuskan meminta maaf, menulis surat pernyataan menyesal karena menuduh yang tidak-tidak. Masalah selesai dengan jalan damai. Kedua pria itu undur diri dari Kantor Polisi, tentu dengan membungkuk berkali-kali pada Sai dan semua orang di sana.
Himawari ikut undur diri, anak itu membungkuk pada Sai juga Naruto. Naruto tersenyum dengan kesopanan anak itu, tetapi ketika sapphirenya bersirobok dengan sapphire Himawari, ia membeku.
Diamatinya Himawari hingga gadis kecil itu hilang di balik pintu bersama dengan anak berambut pirang. Kakinya beranjak, ingin mengejar anak itu, tetapi sebuah tangan menghentikannya. Naruto berpaling, menatap Sai dengan pandangan bingung dan bertanya.
.
Ushio Resto. Sebuah Restoran yang dinaungi Uchiha Factory, di mana pemiliknya adalah Uchiha Shisui. Malam ini, Sasuke mengenakan kemeja abu-abu bergaris dengan celana bahan hitam. Sengaja memesan meja di sudut agar tidak ada yang memperhatikan. Menyembunyikan wajahnya di balik buku menu sambil sesekali melirik ke arah pintu.
Sudah satu jam ia menunggu, tetapi yang ditunggu tak kunjung datang. Ia menunduk, mengetik sebuah pesan singkat pada sang kekasih tetapi belum sempat menekan tombol send, seseorang mengetuk mejanya, dua kali.
TOK ... TOK
"Lama menunggu, Tuan Uchiha?"
Sakura menyapa dingin.
Sasuke mendongak, sebuah senyum manis terkesan dingin menyapanya. Ia tahu betul sang kekasih tengah mengejeknya.
"Kau terlambat."
Sasuke berkata datar.
"Perempuan butuh waktu lama untuk merias diri."
Sakura berdalih.
"Kurasa dipoles seperti apa pun tidak akan ada yang berubah, bukan begitu?"
"Kau ini!"
Sakura hampir mencolok kedua mata hitam Sasuke.
"Inikah sikapmu setelah lama tidak bertemu?"
Sasuke bertanya.
"Bukan. Aku ingin sekali memukulmu dan menggunduli rambut ayammu itu."
Sakura geram, mengundang tawa renyah Sasuke.
"Kalau kau ingin punya tunangan botak, silakan," jawab Sasuke.
Wajah Sakura memerah.
"Kapan kau sampai? Kenapa tidak mengabariku? Juga, apa-apaan yang tadi? Kau bertanya aku di mana, padahal jelas-jelas kau mengunjungi rumah sakit."
"Aku hanya memastikan saja."
"Aku keluar dengan temanku."
Sakura memaparkan, ia tidak ingin Sasuke salah paham.
"Aku heran, siapa yang mau berteman dengan gadis temperamental sepertimu."
Sasuke mengejek.
Satu cubitan manis dihadiahkan Sakura di lengan.
Dan malam itu, pasangan kekasih itu hanyut dalam makan malam romantis. Berbagi rindu, kasih sayang, dan memperbaiki jarak yang mulai terkikis selama lima tahun ini, tanpa tahu badai yang akan menerpa mereka di kemudian hari. Yang jelas malam ini hanya ada tawa canda, serta mereka bahagia.
.
Malamnya, Hinata tiba di halte Yosuga pada pukul sembilan. Lebih cepat satu jam karena ia naik taksi. Untung ia selalu membawa senter di tas jinjingnya, jadi ketika malam seperti ini ia tidak perlu merasa takut.
Sai tengah berjalan menuju rumahnya. Sesekali melirik kesal pada atasan barunya yang mengekor di belakang. Padahal jelas-jelas ia sudah bilang tidak bisa menampungnya, tapi pria pirang itu sepertinya bebal, mengira dirinya berbohong. Hingga ketika ia berbalik di tikungan, suara bariton menghentikannya.
"Kau yakin tidak ada Hotel di sini?"
Naruto bertanya.
"Seingatku aku sudah mengatakannya berulang kali."
Sai menjawab.
"Kau tega meninggalkanku? Setidaknya berikan kunci kantor agar aku bisa tidur di sana."
Naruto berkata, nadanya menuntut.
"Dilarang tidur di kantor, itulah aturannya."
Sai menegaskan.
"Lalu, kau menyuruhku untuk tidur disini, begitu?"
Naruto tidak percaya.
"Bukankah sudah kusuruh kau pergi ke rumah tetua desa? Dari sini lurus terus, kau akan menemukan banyak rumah di sana. Cari rumah dengan tulisan Hyuuga."
Sai menjelaskan.
"Aku heran, bagaimana mungkin ada polisi dengan tingkat kepedulian di bawah rata-rata sepertimu."
Naruto mencibir.
"Baiklah, aku antar."
Sai menjawab cepat-cepat.
Akhirnya dengan sangat terpaksa Sai mengantar Naruto kerumah tetua desa. Sepanjang perjalanan dan semakin masuk ke dalam, Naruto merasa aneh. Meski gelap, samar-samar ia bisa mengingat bahwa tempat yang ia lewati ini tidak asing. Dulu ia pernah melaluinya bersama seseorang, seperti sekarang ini. Bahkan ia tidak sadar bahwa kini sudah berada di depan gerbang kediaman sederhana Hyuuga.
Sai mengajaknya masuk, tetapi entah kenapa langkah kakinya terasa berat. Sai harus bersusah payah menyeretnya. Ia tahu selera orang kota, senyumnya kecut.
"Permisi, Hiashi-san."
KRIETT
"Ada apa malam-malam begini? Ada yang bisa kubantu?"
Hiashi bertanya, membukakan pintu.
"Ano, ada seseorang yang dipindahtugaskan di Polsek Yosuga. Namikaze-san, perkenalkan dirimu."
"Salam kenal, nama saya Namikaze Naruto."
Naruto berojigi.
"Dia butuh tempat tinggal. Bisakah sementara waktu dia tinggal di sini? Istriku pasti akan sangat marah kalau aku membawa orang asing ke rumah."
Sai berujar sopan.
"Dia berubah?"
Naruto bertanya dalam hati.
"Baiklah, aku mengerti."
Hiashi mengiyakan.
Sai undur diri, dan saat itu juga Hiashi mempersilakan Naruto untuk masuk. Bahkan tetua Hyuuga itu membuatkan teh untuknya. Naruto duduk di meja pendek dengan canggung. Selama menunggu Hiashi, ia mengamati ruangan kecil itu. Tidak ada foto atau lukisan, yang ada hanyalah sebuah katana yang dipajang apik di dinding. Dan ini juga bukan pemandangan asing baginya. Seingatnya ia pernah melihatnya, tapi ia lupa kapan.
Aroma terapi lavender dari lilin yang dibakar di ujung sana, juga tidak asing. Ia pernah berkunjung ke sini.
Otaknya terus mengingat ke belakang. Tentang kapan ia berkunjung dan untuk apa, tetapi belum sempat ia mengulik ingatannya, sebuah suara nyaring lagi-lagi menyentaknya.
"Kakek, apa ibu belum pulang?"
Seorang anak perempuan berteriak nyaring, keluar dari ruangan sebelah.
"Eh? Paman yang tadi?"
Himawari terkejut.
Naruto sadar, ia menoleh ke asal suara. Lagi-lagi sapphire itu, ia membeku. Napasnya serasa direnggut begitu saja dari paru-paru. Sapphire bertemu sapphire, keduanya serupa dan sama. Tidak ada celah sedikit pun dari kedua mata itu. Mereka akan terus seperti itu kalau tidak ada suara Hiashi yang membuyarkan fokus Himawari.
"Ibumu belum pulang."
Hiashi meletakkan teh ke meja.
"Eh? Kenapa lama sekali?"
Himawari ikut duduk.
"Tenanglah, mungkin ia masih di jalan."
Sementara Naruto, pandangan matanya tak lepas dari Himawari. Sapphire Himawari itu adalah mata khas seorang Namikaze.
"Hima, perkenalkan dirimu."
Hiashi berkata.
"Uhm, namaku Hyuuga Himawari, salam kenal, Paman."
Himawari mengulurkan tangan, tersenyum riang.
TES
Setetes cairan lolos dari mata Naruto, cukup membuat Hiashi memandangnya bingung. Pasalnya ini kali pertama mereka bertemu dengan Naruto, tapi pandangan mata pria itu ke cucunya seperti seorang ayah yang sarat akan merindu. Hiashi mengernyit.
"Aku pulang."
"Ibu!"
Himawari memekik girang.
"Ibu?" gumam Naruto mengikuti arah Himawari pergi.
Gadis kecil itu beranjak membukakan pintu, menerjang seseorang yang ia panggil ibu.
Seseorang itu tersenyum manis. Rambut indigo panjangnya berkilau di bawah cahaya temaram. Senyum yang meneduhkan di bawah malam yang dingin. Naruto membeku melihatnya. Wajahnya menegang diikuti tubuhnya yang bergetar. Ia mengenal perempuan itu. Perempuan dengan rambut indigo berkulit putih itu, adalah Hyuuga. Hyuuga Hinata.
"Tidak mungkin."
.
.
.
.
.
.
To Be Continue
Hai, reader-reader setia Nao, apa kabar?
Ini adalah cerita kedua Nao di Naruto. Cukup mainstream, memang. Tetapi, ada beberapa polesan, jika kalian jeli. Biasanya, genre seperti ini penuh akan kemewahan sang tokoh pria yang bisa berbuat sesukanya. Maka, di sini Nao menyajikan semuanya dalam kesederhanaan. Berlatar belakang pedesaan.
Banyak sekali misteri di sini. Dan temukan secara perlahan.
Ini kali pertama Nao membuat cerita bergenre "Family", mohon bantuannya jika masih kurang kena. Perlahan-lahan akan diperbaiki.
Sekedar informasi, cerita ini tidak bisa update cepat. Karena "I'm Not The Doll Princess" belum tamat.
Terima kasih.
Best Regards
Nao Vermillion
