Matahari hampir di atas kepala. Angin musim panas bertiup menyibakkan rambut hitam Anak Laki-laki Yang Bertahan Hidup, Sang Terpilih, atau apapun mereka menyebutnya sekarang. Harry Potter berjalan menuruni lereng bukit, yang di atasnya berdiri kokoh kasil tercinta, Hogwarts, separo runtuh oleh perang akhir, dimana semuanya berkorban demi menciptakan dunia yang lebih baik bagi semuaqnya, terutama orang tercinta.
Harry memandang bekas-bekas pertempuran di sekitar halaman Hogwarts. Ada bel dari menara jam dan bakiak sebesar perahu agak jauh di depan pintu masuk ke Aula Depan. Dan, tanpa disadarinya, ia sudah tiba di tepi Hutan Terlarang.
Entah apa yang menariknya ke sana. Namun dengan mantap, dia melakukan napak tilas saat dia berjalan menuju jantung hutan, menuju Voldemort, menuju kematiannya. Tapi semua terjadi tak terduga. Harry berhasil selamat akibat ulah Voldemort sendiri. Voldemort mengira mengambil darah Harry akan membantunya bangkit. Memang benar. Tapi hal itu juga membantunya, membantu Harry. Ia terus berjalan. Jaring laba-laba superbesar, sisa dari tempat tinggal keturunan Aragog. Sebelum tiba di sana, kakinya menyandung sesuatu. Sebuah batu hitam.
Harry memungut batu itu. Orangtuanya dan Lupin dan Sirius. Mereka yang menemaninya, menjadi Patronus baginya, ia takkan pernah melupakannya. Timbul keinginan kuat dalam diri Harry untuk memanggil mereka untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya ia akan melemparnya ke danau, agar tak ada yang menemukannya lagi. Ia memejamkan mata dan memutar batu itu 3 kali dalam tangannya. Ia membuka mata dengan bersemangat. Namun ia tecengang.
Orangtuanya, Sirius, dan Lupin ada di sana. Namun ada 1 orang lagi. Orang yang sangat ingin ditemuinya,untuk mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf padanya.
Snape.
Semua orang yang mencintainya berdiri di sana. Di wajah masing-masing ada senyum penuh kasih yang sama. Senyum yang lebih ampuh daripada air mata Phoenix untuk menyembuhkan luka hatinya. Semua diam. Namun Snape-lah yang pertama kali memecah keheningan.
"Aku sudah bilang aku bukan pengecut, Potter. Terima kasih untuk tetap hidup," suara Snape sungguh berbeda dari yang diingatnya. Suara itu persis sama dengan pada saat Snape mengungkapkan bahwa ia menyayangi Harry selama ini.
"Maaf saya meragukan anda, Profesor," kata Harry, pelan sekali. "Anda adalah guru paling hebat yang dimiliki Hogwarts. Saya yakin Profesor Dumbledore setuju dengan saya." Dan mereka kembali terdiam. Hanyut dalam haru.
"Severus," suara lembut ibunya mengejutkan Harry. "Terima kasih untuk selama ini."
"Lily. . ." Snape menghadap Lily, yang telah hanyut dalam air mata sedih dan bahagia yang bercampur aduk dengan rasa cinta.
"Hebat, Snivellus!" kata James. Disusul oleh anggukan setuju dari Sirius dan Lupin.
"Kami tak bisa lebih lama," kata Lupin. "Kami akan terus. Jaga dirimu baik-baik. Dan jaga dia."
Harry tersentak. Ginny sudah sekitar 5 meter darinya. Berlari dengan wajah bingung.
"Harry!" katanya ketika sudah bergabung dengan mereka. "Mereka. . ."
"Mum, Dad. Kenalkan. Ini calon istriku, Ginny," Harry mengatakan sesuatu yang membuat Ginny terbelalak.
Lily tersenyum makin lebar. Ia berkata pada Ginny, "Jaga anakku baik-baik. Atau kau harus menerima kemarahanku kelak."
Harry tertawa. Ginny tampak salah tingkah. Wajahnya semerah rambutnya.
"Hati-hati kalau begitu," James berbisik pada Ginny dan Harry. "Dia menyeramkan."
Dan mereka menghilang. Harry masih berdiri di sana. Menatap tempat kepergian mereka.
"Yuk," katanya, setelah puas memandangnya. Ia menggandeng Ginny menuju kastil. Hanya berhenti di tepi danau untuk melempar Batu Kebangkitan.
Hope it's decent. Thanks for reading and don't forget to review!
Karel Kinanda Nabila Aulia (Kiki)
