Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T

Genre : Family, Hurt/comfort, Slice of Life, Romance

Pairing : Naruto & Hinata

Warning : Typo(s), Banyak kesalahan, Penuh kekurangan, Kamu bisa memilih untuk 'kembali' dari pada harus terjerumus pada lubang bernama kisah ini.

Liekichi-Chan

Proudly Presents

つないだ手

"Bolt, Himawari~ ayo cepat turun. Kalian harus segera bergegas pergi kesekolah."

Jika saja semuanya bisa diputar kembali, mungkin serpihan halus penyebab rasa sakit itu bisa dihilangkan tanpa bekas.

Tapi ini, jangankan untuk mengembalikannya, bahkan untuk menghentikan sesaat saja tidak akan ada yang mampu.

"Iya, ayah. Kami sedang siap-siap."

"Ayah, Hima sedang menyusun roster. Tolong tunggu sebentar."

Waktu terasa sangat berharga ketika ia telah berlalu.

Jika belum, maka lebih banyak orang yang akan tidak peduli padanya.

"Baiklah. Ayah beri waktu lima menit lagi. Kalau belum selesai juga, akan ayah beri hukuman karena kalian tidak disiplin. Kenapa tidak menyusun roster mata pelajarannya tadi malam saja?"

"Habisnya ayah sih, bercerita sangat panjang. Kami sampai kelupaan mempersiapkan keperluan untuk hari ini."

Tangan kokohnya menepuk dahi miliknya pelan. Ternyata benar, dia adalah penyebab keterlambatan pagi ini.

"Hahah ayah jangan marah ya. Tapi Hima senang karena kita bercerita banyak malam tadi."

"Aku juga, yah~"

Dan ketika kalimat itu kembali melantun, hanya senyuman kecil yang bisa dipertunjukkan.

-Chapter 1-

Ciiiiittt

"Ayah, pelan-pelan menyetirnya. Hima takut."

"Hohoho dasar Hima cengeng. Ini keren, tau. Ayah kita kan pembalab. Ayo yah, dengan kekuatan penuh lagi."

Tiiittt

Tiiittt

Keringat di dahinya mengucur deras. Suasana pagi yang harusnya dijalani dengan tenang, kini justru harus pria itu jalani dengan tergesa. Ah, belakangan ini segala sesuatunya memang terasa sangat tergesa baginya.

Tidak seperti kemarin-kemarin.

"Hima, tolong maafkan ayah. Tapi ayah harus ngebut begini supaya kalian tidak terlambat kesekolah." Sesekali biru lautnya memandang cemas pada pahatan mungil bersurai indigo yang tengah duduk dibangku belakang. Dia tahu putrinya ketakutan, tapi dia tetap harus berpacu dengan waktu.

"Iya, tapi Hima takut yah." Permata sebening samudera itu mulai berkilauan bak ditimpa cahaya matahari. Begitu cemerlang.

"Hima, ayolah jangan cengeng begitu. Peluk saja tas sekolahnya erat-erat. Pejamkan matamu ya. Kita akan buat pertunjukan keren hari ini." Bolt – sosok yang paling bersemangat. Sifat yang diturunkan secara genetis dari sang ayah.

"I-iya. Baiklah, kak."

"Nah, begitu lebih baik. Kakak tidak pernah mengajarimu menjadi adik yang cengeng."

Naruto memandang penuh debaran pada malaikat-malaikat kecilnya. Jika sesuatu terjadi karena perbuatan bodohnya, dia tak akan pernah mengampuni dirinya sendiri.

"Hima, Bolt, ayah minta maaf, tapi kita harus cepat. Kalian pegangan yang erat ya." Kaki miliknya mulai mengambil aba-aba kembali untuk memijak pedal gas lebih dalam. Seiring dengan decitan yang terdengar nyaring, mobil milik keluarga Uzumaki tersebut kembali melaju memecah angin.

"Yuhuuu~"

*つないだ手*

"Selamat pagi, pak."

"Pagi."

"Selamat pagi, pak."

"Ya, selamat pagi."

"Pagi."

Naruto mengeratkan dasinya yang sempat mengendur karena cengkraman Himawari saat disekolah tadi. Putri kecilnya itu memang sangat dekat dengannya. Sebelum mendapat pelukan atau bahkan gendongan, dia belum mau masuk kedalam kelasnya. Berbanding terbalik dengan Bolt yang lebih memilih tak acuh tiap kali sang ayah mencoba untuk memeluknya. Dua kepribadian yang membuat Naruto mengerutkan dahi. Namun begitu, anak-anaknya adalah salah satu hal yang bisa mengembalikan semangat disaat pekerjaan melilit pikirannya.

Senyumannya mengembang dengan cerah ketika satu persatu karyawan yang berada dalam naungan perusahaan yang ia emban mulai menyapanya dengan ramah. Siapa yang tidak mengenal sosoknya, direktur muda dan tampan yang selalu punya pesona untuk mencuri hati siapapun. Selain karena sifat wibawanya, ia juga dikenal karena sisi bijaksana dan mudah bergaul dengan siapapun. Yah, bukan tipikal yang memberi batas perisai antara pemimpin dan bawahan.

"Wah, pak direktur memang yang terbaik. Datang selalu tepat waktu. Luar biasa sekali ya." Tepuk tangan penuh penekanan lelaki itu dapati ketika akan memasuki ruangannya. Naruto kenal dengan suara itu. Suara yang menyebalkan memang, tapi juga suara yang selalu bisa menjadi sahabatnya.

"Kheh, kau ini memang selalu menjengkelkan ya. Dasar tungau!" Pintu terbuka dengan lebar, kaki jangkung sang direktur melangkah dengan mantap memasuki ruangan keramatnya.

"Hey, berani sekali memberikan sebutan tungau untukku. Aku ini tangan kananmu yang paling hebat dan selalu memberikan taktik penuh kecerdikan."

"Hahah Shikamaru masih jauh lebih cerdik dari padamu, baka Arashi! Kalau bukan karena dia ingin melanjutkan bisnis keluarganya di luar negeri, aku tidak akan menggantikan posisinya denganmu seperti sekarang ini." Secangkir teh hangat yang sudah tersedia diatas mejanya, ia teguk dengan santai. Naruto menarik nafas dalam lalu mulai kembali menatap lawan bicaranya.

"Baiklah, aku mengakuinya. Dia memang luar biasa. Oh ya, aku sudah mengerjakan backup laporan dari berbagai sektor. Sudah kubuat serinci mungkin, jadi kau yang super sibuk ini bisa dengan mudah mengerti."

"Sialan kau. Kau pikir aku selamban itu?" Naruto membuka laporan tersebut dengan seringai yang terlihat seolah-olah merendahkan sosok dihadapannya. Tapi Arasahi memang selalu bisa diandalkan.

"Hahaha sudahlah, tidak usah berpose seperti itu. Aku tahu pekerjaanku pasti sangat luar biasa."

"Baiklah, kalau begitu pertahankan kinerjamu."

Seperti teringat akan sesuatu, Naruto mulai duduk pada kursi miliknya. Pria itu membuka laptopnya dengan agak tergesa. Ada perubahan pada mimik wajahnya. Arashi memperhatikan wajah atasan sekaligus teman lamanya tersebut dengan seksama. Ya, ada kelelahan yang sangat luar biasa disana.

Agak lama mereka terdiam di dalam ruangan yang tertata rapi tersebut. Namun begitu, Arashi bisa merasakan aura beban dari diri Naruto.

"Kau yang mengurus segala keperluan mereka?"

"Ya, begitulah." Naruto mengerti arah pembicaraannya. Dia menjawab lemah dan apa adanya.

"Termasuk membuatkan sarapan, menyiapkan bento, membacakan buku cerita dan-"

"Iya. Aku yang melakukannya." Helaan nafas sang direktur terdengar sangat jelas. Namun begitu, dia masih bisa memberikan senyuman khas miliknya. Pria itu hanya tidak ingin kalau Arashi sampai harus mengabsen seluruh pekerjaan tambahan yang harus dirinya lakukan lagi saat di rumah.

"Apa tidak sebaiknya kau mencari pengasuh saja untuk anak-anakmu?" Terdengar hati-hati, Arashi mencoba untuk mencari solusi untuk temannya.

"Ah, tidak-tidak. Aku tidak mau mencari pengasuh untuk mereka. Aku masih sanggup untuk melakukannya."

"Tapi banyak hal yang bisa terlantar kalau kau tidak bisa menghandle segalanya dengan baik. Bukan hanya pekerjaan, tapi juga anak-anakmu."

"Aku bisa! Lagipula, begitu menyenangkan bisa bersama dengan mereka. Aku mampu dan kutegaskan kalau aku mampu."

"Hey, ayolah. Kau tidak kasihan dengan mereka? Kau menitipkan keduanya ditempat penitipan sambil menunggu kepulanganmu bekerja? Kau yakin kalau mereka bisa tumbuh baik dengan cara seperti itu, hah? Buka matamu! Kau seperti merenggut kebebasan anak-anakmu sendiri!"

Naruto memijat dahinya pelan. Dia tahu ini salahnya. Hanya saja, dia bisa berbuat apalagi? Untuk saat ini, mungkin keputusan yang dirinya ambil adalah yang terbaik.

"Untuk sementara waktu aku akan tetap seperti ini. Saat malam datang, aku akan berikan fokus perhatianku untuk mereka, tidak untuk yang lain. Aku akan menemani mereka tumbuh."

"Akan lebih baik dan sempurna jika kalian yang menemani mereka untuk tumbuh, baka!"

*つないだ手*

"Kak, ayah lama sekali ya. Anak-anak yang lain sudah mulai pulang, tapi kita masih menunggu begini." Himawari mencoba untuk berkomunikasi dengan sang kakak yang sejak tadi asyik membaca komik disudut ruangan tempat mereka dititipkan.

Tangan mungil bak malaikat milik Himawari masih tetap bergerak-gerak lemah bersamaan dengan pensil warna dalam genggamannya. Tatapannya terlihat sangat sayu, walau begitu dia masih menunggu respon sang kakak untuk memecah kesunyian yang sejak tadi tercipta.

Hujannya nakal – itu yang gadis kecil itu pikirkan. Karena hujan, ayahnya jadi terhambat untuk menjemput mereka. Dan karena hujan pula, ayahnya jadi sangat kesusahan untuk melindungi mereka.

"Sudahlah Hima, tunggu saja. Sebentar lagi ayah pasti datang. Sudah kakak bilang jangan jadi anak cengengkan?" Bolt mulai melirik dengan agak sadis pada adiknya. Itu justru membuat Hima semakin merengek dan ingin menangis. Bibir mungilnya mengerucut semakin jelas.

"Sejak tadi kakak selalu bilang cengeng-cengeng terus sama Hima."

"Kalau tidak ingin dibilang cengeng, makanya jangan mengeluh terus. Tunggu saja sampai ayah datang. Mungkin sebentar lagi. Atau tidak, sudah mengerjakan pekerjaan rumahmu untuk besok?" Pandangannya pada komik mulai mengendur dan beralih untuk menatap sang adik yang masih mewarnai gambar yang dibuatnya dengan lemah.

"Sudah selesai sejak tadi. Kakak sendiri?" Pensil warna miliknya ia susun dengan rapi di dalam kotak pensil panda miliknya. Gadis kecil itu mulai lelah dan mengantuk.

"Hahaha tentu saja belum selesai."

"Uh, dasar! Akan Hima adukan pada ayah."

"Hima, jangan menjadi adik yang menyebalkan ya."

"Biar saja."

"Kalau begitu, tidak akan kakak pinjamkan komik baru!"

"Hima akan minta dibelikan oleh ayah."

"Yeee~ coba saja! Tidak akan diizinkan."

"Curang, pasti boleh kok."

"Kalau begitu coba saja. Paling ayah hanya akan membelikan boneka, buku mewarnai, atau apalah yang sejenis itu. Ahhh, tidak keren sama sekali."

Himawari kembali menguap dan kali ini meletakkan pipinya diatas meja tempat ia mewarnai sebelumnya. Matanya sudah memerah saking tidak tahan menahan rasa kantuknya. Ucapan sang kakak yang panjang lebar lebih terdengar seperti dengungan lebah ditelinganya.

"Kalau ayah datang, tolong bangunkan Hima ya kak."

*つないだ手*

Kalau bukan karena hujan lebat yang tengah turun malam ini, mungkin Naruto akan ngebut lagi seperti tadi pagi. Hujan yang turun benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Selain menyebabkan jalanan licin, juga menyebabkan jarak pandangnya semakin mengecil.

Jam tangan yang bertengger kokoh di pergelangan tangannya, sejak tadi menjadi objek perhatian penuhnya. Mulutnya berkomat-kamit dengan cepat lantaran takut terjadi sesuatu dengan anak-anaknya. Meeting besar yang diadakan di kantor membuatnya harus merelakan waktu yang seharusnya dirinya berikan untuk Bolt dan Himawari, menjadi terbagi untuk pekerjaan.

Dan sejujurnya, sejak tadi handphonenya juga sudah berbunyi terus menerus. Naruto yakini bahwa itu adalah panggilan dari pemilik tempat dimana Bolt dan Hima dititipkan.

Pria tersebut membunyikan klakson keras sebanyak dua kali sebagai pertanda bahwa dirinya sudah berada ditempat tersebut. Sudah pukul sembilan malam, jadi wajar saja kalau sang pemilik menggerutu tidak jelas. Kalau bukan karena kontrak dan perjanjian yang sudah mereka bicarakan sebelumnya, mungkin dia sudah meninggalkan Bolt dan Himawari. Tapi, apa iya sang pemilik sanggup melakukannya?

Naruto membiarkan mobilnya tetap pada keadaan hidup. Tak lupa mengambil dua buah payung, dirinya lantas bergegas secepat mungkin untuk menemui kedua anaknya.

Senyumannya terlihat kikuk saat melihat wanita paruh baya – namun tetap terlihat cantik – yang kini tengah melipat tangan didepan dadanya. Pandangannya penuh sarat akan aura siap mencekik.

"Ah, maafkan aku Tsunade-san. Tadi itu, ada meeting besar di kantor. Maaf tidak memberitahumu lebih dulu."

"Dasar lalai! Yasudah, cepat lihat keadaan anak-anakmu."

"Baiklah. Terima kasih dan maaf sudah merepotkan." Naruto membiarkan payungnya tetap pada keadaan terbuka. Suara hujan yang keras membuatnya harus berbicara lebih lantang agar terdengar.

Pria itu masuk kedalam ruangan tempat Bolt dan Himawari berada. Seketika bahunya melemah saat melihat keduanya tengah tertidur dengan posisi yang begitu menyedihkan di atas sebuah meja berbentuk bulat.

"Aku sudah menyuruh Bolt agar membaringkan Himawari di atas futon yang kusediakan. Tapi gadis kecilmu itu bersikeras tidak mau dan lebih memilih untuk tidur dengan posisi seperti itu. Alih-alih menyuruh Hima, ternyata si nakal jabrik ini juga keras kepala dan ingin tidur dengan posisi sama seperti yang Himawari lakukan." Tsunade menjelaskan sambil menatap sendu pada dua kakak beradik tersebut.

"Tidak apa, sekali lagi terima kasih karena sudah melihat keadaan mereka. Maaf merepotkan."

"Ya. Apa kau akan membangunkan mereka berdua?"

"Tidak, mungkin aku hanya akan membangunkan Bolt saja. Aku akan menggendong Himawari sampai kedalam mobil."

"Kasihan, kelihatannya mereka sangat kelelahan."

Naruto memandang serba salah. Memang benar keduanya terlihat sangat lelah. Tapi kalau dia harus menggendong keduanya, mungkin agak susah ditambah dengan payung yang harus ia pegang nantinya. Tidak mungkin merepotkan Tsunade-san lagi untuk hal ini.

Belum sempat mencegah, Naruto lebih dulu mengguncang pelan bahu putra pertamanya sambil sesekali mengacak surai pirang Bolt dengan sayang. Mendengar perintah tersebut, secepat mungkin ia bangun dan lantas menatap ayahnya. Bolt mungkin tipikal anak yang agak nakal, tapi dia tidak susah diatur.

"Bolt, bangunlah sebentar. Ayah sudah datang. Ayo berjalan ke mobil, sementara ayah akan menggendong Hima kesana. Ayah sudah sediakan payung diluar." Pria itu sedikit memberikan tepukan sayang dikedua belah pipi putranya agar ia sadar sepenuhnya. Mendengar hal tersebut, Bolt hanya mengganggukkan kepalanya dengan patuh.

Pekerjaannya masih belum selesai. Dia masih harus menggendong si putri kecil. Pria itu mengarahkan lengannya sepelan mungki, lalu mulai merengkuh tubuh Himawari selembut yang ia bisa agar tidak membangunkan putri kecilnya. Dengan cekatan ia mengarahkan lengan kecil tersebut agar memeluk bahunya dengan sempurna sehingga Himawari bisa mendapat posisi tidur dipelukannya dengan nyaman.

Naruto memberikan senyuman kecil dan sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya sekali lagi sebagai permintaan maaf dan terima kasih. Mereka lantas bergegas untuk menuju mobil yang sudah menunggu didepan sejak tadi.

*つないだ手*

Jalanan mulai sepi, tapi hujan masih belum reda. Naruto masih harus berkonsentrasi untuk menyetir dan sampai kerumah dalam keadaan baik-baik saja. Bolt yang duduk tepat disampingnya hanya diam saja dan tidak melanjutkan tidurnya yang tadi. Sementara Himawari, gadis kecil itu tertidur dengan pulas dibangku belakang.

"Hey, kenapa diam saja Bolt?" Naruto mencoba memberikan senyuman cerah kepada putranya, walau ia tahu bahwa senyumannya kali ini penuh dengan kebohongan.

"Kenapa ayah tidak mengizinkan kami pulang saja setelah selesai sekolah? Kami bosan disana." Kalimat tersebut menusuk telak hati sang ayah. Bukan karena ia tak mau, hanya saja takut terjadi sesuatu diperjalanan pulang mereka. Masih terlalu cepat untu melepaskan keduanya begitu saja.

"Tidak Bolt, terlalu berbahaya." Pandangannya menatap lurus pada jalanan yang basah.

"Aku bisa menjaga Hima, yah. Habisnya, ayah jugakan terlalu sibuk bekerja. Kalau kami harus menghabiskan waktu disana terus, rasanya sangat tidak nyaman." Bolt menyuarakan isi hatinya. Naruto hanya mampu memegang setir mobilnya erat-erat. Dia juga kacau.

"Ayah sudah terlalu bekerja keras untuk kami. Aku hanya takut ayah kelelahan." Suaranya mengecil, tapi Naruto masih bisa untuk mendengarnya. Masih seminggu memang, tapi semuanya terasa sangat kacau. Dan sepertinya, Bolt menjadi dewasa sebelum waktunya.

"Ah, apa kalian suka bento yang ayah siapkan tadi?" Sosok tersebut justru mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ayah lupa kalau Hima tidak suka seledri ya? Ayah meletakkan begitu banyak seledri di telur gulung miliknya."

Naruto menepuk dahinya dengan penuh penyesalan. Dia lupa kalau putri cantiknya tidak suka dengan seledri.

"Tapi Hima tetap memakan bento buatan ayah. Ya, walau dia nyaris menangis keras tiap kali mengunyah makanannya." Ada ribuan bunga mekar menghangati rongga dadanya ketika anak-anaknya tumbuh menjadi sosok yang selalu menghargai orang lain. Dia senang karena wanita itu adalah Hinata. Sosok yang paling bijak dalam mendidik anak-anaknya. Naruto begitu bahagia mengetahui kenyataan tersebut.

"Kalian benar-benar anak yang baik. Maafkan ayah ya, karena terlalu sibuk."

Suasana kembali hening. Hanya suara guyuran hujan dan suara angin yang terdengar. Namun begitu, masih ada begitu banyak hal yang mengganjal hati putra sulungnya, Bolt. Ada begitu banyak pertanyaan ingin ia berikan. Hanya saja, ia takut akan menyakiti hati ayahnya.

"Yah, aku akan mengikuti turnamen sepak bola minggu depan-"

Ada jeda pada kalimatnya. Namun demikan, Naruto tetap mendengarkan dengan seksama.

"Semuanya mungkin akan ditemani oleh orang tua masing-masing karena ini adalah turnamen awal." Biru laut yang sama seperti milik sang ayah menatap keluar jendela. Ada genangan yang mulai menyinggahi permata miliknya.

"Kalau sempat, ayah akan datang. Tapi ayah akan berusaha sebisa mungkin untuk datang."

"Aku rindu Ibu, yah."

"Aku ingin Ibu yang datang."

.

.

.

.

TBC

Yo minna-san, saya kembali. Kebetulan lagi dapat jatah libur 10 hari, lumayan buat ngerileksin hati, tubuh dan pikiran *apaancoba

Saya datang dengan fic abal bin gaje bin super acak awut dan blabla segala kekurangan, gomen. Gak tau ini fic inspirasinya dari mana, yang jelas ngalir gitu aja. Aneh, soalnya semakin dirancang semakin hilang semua gitu aja ide-idenya.

Oh ya, sebelumnya mau ngucapin selamat buat kita semua NHL karena akhirnya OTP kita menjadi kenyataan :") senengnya tuh disini *tunjukmata *tunjukjantung *tunjukakunyangisinyaNaruHinasemua :p gak sia-sia penantian dan doa kita selama ini. Sekali lagi selamat ya buat kita ya

Semoga saja saya masih tetap diberikan kekuatan untuk melanjutkan fic ini. Ahahaha semoga, semoga dilanjut deh. Semoga aja.

Oke, itu aja pembukaan kali ini.

Salam kenal buat yang baru kenal ya... hehehe

-Lichan-