ULJIMA OPPA

By Ciezie

Adaptasi dari Film Korea berjudul "Don't Cry Mommy" dengan banyak perubahan.

Fiksi belaka, dibuat untuk memberi gambaran apa yang akan terjadi seandainya hal seperti ini terjadi. Baca dan serap dengan benar. Ambil yang baiknya, buang jauh yang buruknya.

JADI KALAU KAU YANG MASIH BERFIKIRAN DANGKAL

Atau KAU YANG MASIH DI BAWAH UMUR YANG TAK MAMPU MEMBEDAKAN MANA BENAR DAN SALAH

DIHARAP PERGI DARI FF ini

.

.

.

Akhirnya sampai di pintu gerbang. Aku menghela napas lega, ketika melirik jam tangan. Belum terlambat, yang berarti aku takkan membuatnya menunggu lama. Syukurlah pekerjaanku tak terlalu padat hari ini. Aku tersenyum ketika gerbang mulai dibuka, para siswa mulai keluar dari sana, ada yang bergerombol ada pula yang sendirian. Dan itu dia, adikku dengan tas gitar di punggungnya.

Dia masuk ke dalam mobil setelah menyimpan gitarnya di kursi belakang.

"Lelah?" aku bertanya sambil bersiap-siap menjalankan kembali mobil.

Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Ani.. dan aku punya teman baru, namanya Min."

"Jinja?"

Lalu dia sibuk bercerita tentang teman barunya itu. Melihat dia ceria seperti ini sudah cukup bagiku. Dia adalah harta berhargaku. Ayah dan Ibu kami meninggal berturut-turut karena sakit dan kecelakaan. Aku menyayanginya. Dia adalah harta terbesar dalam hidupku. Aku akan membahagiakannya semampuku.

"Emmmm oppa..."

Nada suara ini, aku tahu dia ingin meminta sesuatu.

"Nde.." jawabku masih dengan mata memandang ke arah depan.

"Bolehkah aku bermain bersama min? Dia menungguku di supermarket itu.." Hye menunjuk ke depan.

"Kalau oppa bilang tak boleh?" aku hanya ingin menggodanya tentu saja.

Dia langsung memalingkan wajah dengan bibir mengerucut.

Aku segera menjawil pipinya dan tertawa terbahak, "Oppa bercanda.. tentu saja boleh, asal selalu ingat apa yang oppa katakan ne?"

Senyumnya kembali terbit, ia memeluk sebelah tanganku yang tak memegang stir.

.

.

.

Aku asyik berbicara dengan Min, sampai tak sadar hampir akan menabrak seseorang di depanku. Untung Min menarik tanganku. Aku mendongak dan langsung terpana menatap seseorang yang sedang menatapku.

Tampan.

Cool.

Dia tidak tersenyum, tapi aku suka.

Dia memandangku dari atas ke bawah, lalu berlalu begitu saja. Aku bahkan masih terpana hingga dia berjalan menjauh.

"Kau menyukainya Hye..."

"Ani..." aku buru-buru membantah.

"Cihh bahkan wajahmu memerah dan kau masih berpura-pura menolak dasar..."

Aku hanya menunduk sambil diam-diam mencuri pandang ke arah dia pergi. Benar-benar seperti bayanganku tentang pria idaman. Cool dan dingin. Aku suka namja seperti itu seperti kisah-kisah dalam komik yang kubaca.

"Lihat kau bahkan terus melihat ke arah dia pergi..." Min menyikutku.

Aku tersenyum malu dan segera menarik Min menjauh dari sana.

.

.

.

Hari ini ada sedikit ujian di ekstrakulikuler yang aku ikuti. Di musik. Yang terbaik akan diikutsertakan pada acara tahunan sekolah. Tentu saja itu akan menjadi suatu kebanggan karena sekolah kami sangat bergengsi dan banyak tamu penting di sana.

Aku sebenarnya tak begitu takut. Aku percaya diri dengan kemampuanku, tapi begitu melihat di salah satu bangku ada dia, si namja cool itu. perasaanku campur aduk antara takut, gugup dan ingin memperlihatkan yang terbaik dariku.

Setelah menghela napas kuberanikan diri juga. Aku memutuskan untuk menampilkan semaksimal mungkin kebisaanku. Aku memejamkan mata untuk semakin menghayati permainan gitarku.

Dan ketika membuka mata..

Kudapati dia tersenyum kecil padaku.

Rasanya tiba-tiba saja duniaku menjadi berbunga-bunga.

.

.

.

Aku seperti biasa menunggui adikku keluar dari gerbang sekolahnya. Mataku sedikit menyipit ketika kudapati dia bersama seseorang. Seorang namja. Tapi begitu melihat namja itu membungkuk dengan sopan padaku, kekhawatirkanku sedikit lenyap. Ini sudah masanya kan Hye bersahabat juga dengan namja. Aku memberi namja itu senyum.

Namja itu meletakkan gitar Hye yang tadi dibawakannya di kursi belakang lalu kembali membungkuk setelah melambai pada Hye. Hye masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sangat berseri.

"Wah adik oppa sudah besar..."

Dia tak membalas hanya menunduk dengan wajah merah. Aku tersenyum dan mulai menjalankan mobilku. Lalu sesuatu menyapa penglihatanku membuat rasa tak enak tiba-tiba menjalari hatiku entah mengapa. Namja tadi terlihat sedang mengobrol dengan dua orang siswa lainnya. Salah satu di antara siswa itu sedang merokok.

Ah mungkin itu hanya perasaan protektifku saja. Aku berusaha menghilangkan perasaan gelisah aneh itu.

.

.

.

Kami semakin dekat. Meski dia tetap tak banyak bicara tapi aku bahagia. Berjalan bersamanya bagai mimpi yang jadi nyata. Aku merasa bagai tokoh utaman wanita dalam komik. Aku bahkan belajar membuat kue coklat untuk kuberikan padanya di hari valentine nanti. Untuk kali ini aku sudah mempersiapkan cake kecil yang akan kuberikan padanya.

"Kau serius menyukainya..."

"Aku tak tahu harus bagaimana lagi Minnie.. aku menyukainya sangat..."

Min tersenyum dan memeluk bahuku. "Aku ikut bahagia..."

Lalu ponselku berbunyi. Aku memekik bahagia begitu melihat namanya. "Dia memberiku pesan Minnie... dia memintaku menemuinya jam 7 malam nanti..."

Minnie mengerutkan keningnya. "Kenapa harus malam? Kakakmu akan menjemputmu siang nanti kan?"

Aku segera menangkupkan tanganku padanya, "Tolong aku, jebal... bilang kalau kita ada kerja kelompok.. aku janji setelah memberikan cake ini padanya.. kita langsung pulang... ne..."

Minnie terlihat enggan tapi aku terus membujuknya hingga akhirnya dia mengangguk.

Semua berjalan lancar, sambil menunggu jam 7 tiba aku dan Minnie membaca di perpustakaan. Sampai akhirnya alarm ponselku berbunyi pelan.

"Aku pergi dulu Minnie.. kau tunggu di sini, aku akan segera kembai..." ucapku semangat.

Minnie hanya mengangguk sambil menguap. "Jangan lama-lama..."

Aku segera berlari menuju atap. Sekolah sudah sepi, yang tinggal mungkin hanya beberapa staf dan keamanan. Aku membuka pintu atap. Haaaah tapi di sana sepi.

"Oppa,,," panggilku, siapa tahu dia sedang terduduk di suatu tempat dan tidak bisa melihatku.

Tapi tak ada sahutan juga. baru saja aku berbalik untuk kembali, dia datang dengan wajah coolnya yang mempesona. Aku bersorak dalam hari dan segera mendekat dengan kue di tanganku. Tapi senyumku memudar begitu kulihat dua orang lain di belakangnya.

Perasaanku mengatakan bahaya.

.

.

.

Perasaanku tak enak.

Ah perasaanku tak enak.

Aku bahkan tak bisa konsentrasi pada pekerjaanku. Kuurut keningku pelan. Apa aku terlalu lelah? Tapi hari ini pekerjaanku tak banyak. Aku hanya membereskan beberapa berkas sebelum aku pindah ke tempat baruku. Aku berencana akan membuka toko kue di tempat baru yang lebih strategis.

Kuputuskan untuk pulang setelah lama tak bisa juga hilang perasaan tak enakku. Rumah dalam keadaan sepi ketika aku masuk. Mungkin Hye sudah tidur. Aku membuka kulkas dan menarik sebotol air mineral.

Tiba-tiba suara dering telepon mengagetkanku membuat botol air mineral yang kupegang jatuh dan memuncratkan airnya.

Aku bergegas merain telepon dan mengangkatnya.

"Ne... Lee Hyukjae di sini... hah?"

Telepon itu kulempar begitu saja. Aku berlari ke luar rumah menuju mobilku. Jadi ini.. ini hasil dari firasatku.

Hye... dia...

.

.

.

"Dia mengalami kekerasan dari benda tumpul juga... maaf.. pelecehan seksual... "

Dokter itu terlihat ragu-ragu menjelaskan padaku. Sedang aku, rasanya bagai melayang. Pelecehan seksual? Adikku satu-satunya. Rasa marah, jengkel, menyesal semuanya menyerangku. Harusnya aku lebih kuat lagi menjaganya. Aku bodoh dan tak berguna.

"Polisi sedang menyelidiki kasusnya... tuan..."

Aku tak menjawab, aku segera melangkah ke dalam ruangan.

Itu dia Hye.. matanya terpejam erat. Wajahnya penuh bekas lebam dan goresan. Aku tak henti memaki diriku sendiri dalam hati. Aku tak berguna. Sangat tak berguna. Bagaimana mungkin ini sampai terjadi.

Kenapa? Kenapa ini terjadi padanya?

Dia terbangun. Aku segera mendekat dan memberinya senyuman yang biasa. Tapi dia hanya menatapku hampa, sebelum memelukku erat. Bahunya terguncang. Ia menangis, menangis tanpa suara.

Dan aku. Aku bahkan tak sadar pipiku basah, sampai angin membelai dan membuat pipiku terasa dingin.

.

.

.

Setelah berapa hari, ia bisa pulang ke rumah. Tapi semuanya tak sama lagi. Dia tak seceria dulu. Bahkan aku tak juga mendengar suaranya, selain tangisnya. Ketika diam-diam kulihat dia sedang menangis di mana pun dia berada. Aku tak tahu harus bagaimana aku hanya seorang kakak bodoh.

Panggilan dari kepolisian membuatku harus meninggalkannya.

Kebetulan polisi itu adalah kakaknya Min, aku cukup kenal dengannya dan berharap dia bisa menyelesaikan kasus ini seadil-adilnya, meski rasanya tetap tak adil karena Hye takkan kembali menjadi dia yang dulu, Setidaknya ini yang terbaik yang bisa kulakukan.

"Bagaimana Kyu?"

Kyuhyun terlihat muram dia menatapku penuh rasa bersalah. Pertanda buruk kurasa.

"Mereka di bawah umur, dan kesaksian mereka berbeda dengan kesaksian Hye, bukti-bukti juga lebih mengarah pada kesaksian mereka..."

Aku tersenyum sinis, tentu saja Hye takkan bisa seakurat mereka. Bagaimana mungkin dengan semua siksaan itu ia bisa mengingat semuanya dengan akurat. Dia pasti sangat ketakutan.

"Jadi maksudmu mereka akan bebas?"

Kyu menghela napasnya, "Bukan begitu, mereka mendapat hukuman luar."

Aku menggebrak meja keras. "Hukuman luar dengan kejahatan sekeji itu? Yang benar saja.."

"Hyukkie..." dia memegang pundakku tapi aku menepisnya.

Aku keluar dari ruangannya dengan marah. Lalu kudapati tiga orang siswa, mereka... ya aku yakin mereka pelakunya.. namja berengsek yang kukira baik itu adalah salah satunya. Aku berlari ke arah mereka dan memberi mereka pukulan sebisaku.

Sayang semua orang melerai kami. Aku tak peduli aku tetap mengamuk sebisaku. Bagaimana mungkin mereka masih bisa tertawa-tawa menyebalkan setelah melakukan hal keji pada adikku.

"Bawa mereka ke sel!" kudengar suara Kyuhyun setelah aku diseretnya menjauh.

"Kau hanya akan mempersulit dirimu sendiri Hyukkie... mereka bisa balik menuntut..."

"Aku tak peduli..." desisku.

"Hyukkie..."

Kurasakan pelukan dari Kyuhyun. Aku sungguh tak peduli. Aku bahkan akan membunuh mereka.

.

.

.

Hye tak terlihat di manapun ketika aku pulang. Sampai terdengar suara gemericik di kamar mandi. Aku segera ke sana. Mataku membulat melihat pemandangan di kamar mandi. Hye hampir beku, dia duduk di bathtube dengan air yang tak henti mengucur.

Aku segera memangkunya dari sana. Kuletakkan di tempat tidurnya. Kuganti bajunya setelah kukeringkan tubuhnya. Tak ada reaksi. Matanya terbuka dengan tatapan kosong.

"Aku kotor opaa..." terdengar desisannya.

Air mataku tak bisa kutahan untuk mengucur begitu saja. Tapi aku segera menghapusnya. Aku memberi Hye senyum.

"Tidak! Kau tetap Lee Hye Mi, kau adik oppa yang paling cantik takkan ada yang berubah." Aku memeluknya.

"Tapi..."

"Sshh... tidak kau tak kotor. Takkan pernah."

Bajingan-bajingan itu yang kotor, desisku dalam hati.

.

.

.

Bersama Kyu aku berusaha mencari jalan untuk mendapat keadilan. Tapi semuanya buntu. Orang tua ketiga anak itu malah memberiku uang untuk jalan damai. Satu-satunya jalan adalah kalau aku menemukan bukti. Tapi aku tak tahu dari mana aku bisa menemukan bukti itu.

Aku bahkan tak tega untuk bertanya apapun pada Hye. Dia sudah cukup menderita dengan berulang-ulang menceritakan kejadian itu pada polisi. Aku tak mau menambah bebannya. Aku yakin dia malah ingin melupakan semuanya.

Lalu aku harus bagaimana? Pikiranku benar-benar buntu.

.

.

.

Ponselku berbunyi. Aku tak ingin melihatnya. Tapi aku tak punya hal lain yang bisa kukerjakan. Aku membuka pesan. Dan semua perasaan malam itu kembali menyerangku. Takut, malu, terhina, ingin mati, semuanya. Badanku bergetaran tanpa bisa kukontrol.

"Datang ke alamat ini... atau... kami akan menyebarkan video ini di internet.."

Tanganku bergetar ketika menekan video itu.

Suaraku hilang ke tenggorokan ketika aku ingin berteriak. Ini.. ini video saat mereka berbuat keji padaku. Semuanya tergambar jelas. Aku melempar ponsel dan bersembunyi di sudut tempat tidur, berusaha menghalau semua bayangan buruk itu.

Tapi..

Aku gagal.

Oppa.. apa yang harus aku lakukan?

.

.

.

Wajahnya begitu sayu ketika pulang. Aku tahu.

Aku tahu dia mengusahakan banyak hal untuk mendapat keadilan. Ia bahkan melupakan toko barunya. Aku juga tahu betapa tabungannya menipis demi ini juga. dan aku juga tahu kalau semua ini sia-sia. Mereka takkan bisa dipenjara. Mereka bukan anak badung biasa. Mereka penjahat kelas kakap dengan kedok anak sekolahan.

Oppa apa yang harus kulakukan agar semua kembali semula?

Aku aku tak kuat lagi dengan siksaan batin ini.

.

.

.

Aku tersenyum melihat hari itu dia sudah berpakaian rapi.

"Kau mau kemana?"

"Aku bosan Oppa.. bolehkan aku pergi ke kursus gitarku?"

Aku mengerutkan keningku. "Baiklah oppa antar."

Dia menggeleng dengan senyum manis, "Ani.. jangan khawatir oppa.. aku baik-baik saja."

"Tapi.."

"Sudahlah oppa konsentrasi saja dengan pekerjaan oppa.."

Akhirnya aku mengangguk. Aku harus mendukungnya kan? Siapa tahu traumanya bisa sembuh.

.

.

.

Begitu berbalik dari wajahnya. Air mataku menitik.

Oppa aku takut.

Tapi aku tak punya pilihan lain Oppa, aku tak mau video itu tersebar. Aku tak mau orang-orang tahu. Aku tak mau oppa mendapat malu. Aku tak mau.

Kuikuti sesuai petunjuk yang diberikannya. Sebuah rumah di pinggiran kota. Dan orang itu.. orang itu sudah menungguku di depan. Dia menarik tanganku dengan tawa menjijikan di wajahnya. Dia mengabaikan permohonanku.

Aku menangis tanpa suara.

Oppa .. aku ingin mati.

Dia benar-benar bejat, oppa. Dia melakukannya lagi tanpa peduli tangisku. Dia bukan manusia, manusia takkan sekeji itu oppa.

Maaf Oppa setelah ini aku tak tahu bagaimana caraku melanjutkan hidupku. Aku tak mau menjadi budaknya selama sisa hidupku.

Maafkan aku oppa kalau aku memilih pergi setelah ini.

.

.

.

Perasaanku kembali tak enak dan tanpa menunggu lama aku segera pulang. Jangan sampai aku terlambat lagi. Seperti biasa kudengar suara dari kamar mandi. Dia pasti membenamkan dirinya lagi di bak mandi. Aku segera masuk ke sana.

Tapi..

Kenapa air yang melimpah itu berwarna merah?

Seperti melayang aku berlari padanya tak peduli aku akan terjatuh karena kamar mandi yang dipenuhi air.

Aku mengangkat tubuhnya dan segera keluar dari rumah. Membawanya ke mobil dan melarikannya ke rumah sakit.

Dia mencoba bunuh diri? Tapi kenapa? Bukankah dia sudah baik-baik saja?

.

.

.

Dia meninggal.

Yang benar saja?

Aku masuk ke ruangan dimana dia berbaring dengan berbagai peralatan medis di sekelilingnya. Matanya tertutup rapat. Wajahnya pucat dan tirus. Aku terduduk di lantai dengan tangan memegang pinggiran tempat tidurnya.

Kenapa?

Kenapa ini harus terjadi pada kami?

Apa salah kami?

.

.

.

Pemakamannya hanya dihadiri segelintir orang. Kami orang baru di sini. Tapi aku tak peduli. Aku masih tak percaya dia mati. Adikku satu-satunya. Cahaya hidupku. Lalu untuk apa aku hidup? Seusai acara duka, aku kembali ke rumah yang tampak ikut mati.

Aku mengamati setiap sudutnya, menghadirkan kembali semua memori tentangnya. Lalu mataku menangkap sebuah bungkusan di kursi. Aku mendekat dan membukanya.

Dan air mata itu kembali menderas tanpa bisa kutahan.

Sebuah cake dengan tulisan di tengahnya.

"Uljima oppa..."

Mianhae aku tak bisa Hye. Aku ingin menangis sekeras yang kubisa.

Setelah bisa mengendalikan diri, kubungkus kembali cake itu. Aku lalu masuk ke kamarnya. Duduk di meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku dan foto-foto kami berdua. Lalu ponselnya. Aku mengusap dan memeluk ponsel itu. kubuka pelan. Walpapernya foto kami berdua.

Tangisku semakin menderas. Aku merindukannya padahal baru sehari dia pergi.

Kubaca pesan-pesan yang ada di sana.

Lalu aku menemukan sebuah pesan dengan nomor tanpa nama. Aku membukanya.

Badanku bergetaran membacanya. Ini penjahat itu?

Ada Video juga, badanku semakin bergetaran.

KEJI. Aku tak bisa mengatakan lebih lagi.

Mereka benar-benar keji.

Baiklah kalau polisi tak mau menghukumnya biar aku yang menghukum mereka.

.

.

.

TBC