HAY! Saia kembali lagi! *readres sweatdrop*

Ehem! Akhirnya, saia bisa membuat sekuel dari fic saia terdahulu WITHOUT WORD, WE ARE MEET. Makasih yang sudah voting agar saia membuat sekuelnya.

Untuk sekuelnya, saia angkat judul JOURNEY. *gak ada yang nanya*

Untuk fic yang sebelumnya, saia mau berterimakasih kepada:

SlythGirlz Phantomhive (yang ripiuw dari sms): makasih lho! Saia bales lagi dari sini. Hagzhagzhagz! :D

Bryella: Makasih ripiuwnya… maaf baru kebales di sini. Kemarin saia udah publish duluan yang chapter terbarunya, dan baru lihat ada ripiuw dari kamu. Hehe…

Arlein Uchiha Trancy: Wehehehehe… ngegantung ya? Saia bikin sekuelnya nih. Hehehe… makasih ripiuwnya. ^^

Deintsuu: Makasih ripiuwnya… ^^ saia bakal bikin sekuelnya, kok… ^^

Nate River is Still Alive: Makasih ripiuwnya! Baru pertama kali, ya? Hehehe… salam kenal juga lho… ^^

Sara Hikari: AYEY! Akhirnya selesai juga ni fic! Makasih ripiuwnya… ^^

Disclaimer: Kuroshitsuji © Yana Toboso

Rated: T

Genre: Friendship, Hurt/Comfort

Summary: 'Ini adalah sebuah perjalanan hidup yang amat panjang bagiku. Dan kita… akan terus bersama selamanya. Iya, kan?'

Warning: Untuk kali ini ada OC lho! XD *ditimpuk readers*

Oke! Cekidot!

.

.

JOURNEY

.

.

Chapter 1: Come Back

Pelabuhan Southampton terlihat ramai sekali. Langit mulai berubah menjadi biru keunguan. Alois, Ciel diikuti Sebastian menuruni tangga kapal secara perlahan. Alois dan Ciel nampak tak bisa berkata apa-apa. Apakah benar… tanah yang ia pijak ini adalah Inggris? Sesaat setelah kakinya memijak konblok pelabuhan, Ciel mendapati seorang wanita berambut merah keunguan berdiri di samping kereta kuda jauh dari kerumunan orang-orang yang saling bertemu dengan anggota keluarganya yang menjadi korban tragedi. Wanita itu berpakaian gaun berwarna cokelat yang cukup sederhana. Rambutnya ia gelung ke belakang. Ia tersenyum haru. Mata merah marunnya yang tertutup oleh kacamata membendung air mata yang tak dapat ia jatuhkan. Maylene memandang Tuan Muda dan kepala butler itu dengan tatapan haru.

"Tuan Muda…" lirihnya.

Ciel terbelalak sejenak melihat maid setianya itu berdiri di depannya. Maid merah itu menjemputnya tanpa diketahui olehnya. Dari mana dia tahu kalau Ciel selamat? Dari surat kabarkah? Atau dari mulut ke mulut?

"Maylene…" kata Ciel tak percaya.

"Saya…" kata Maylene menggantung. "saya senang anda selamat… Tuan Muda." Maid itu menitikan air mata pertamanya. Ciel tertegun melihatnya. Ciel perlahan memalingkan pandangannya. Ia tak kuat melihat maid itu menangis. Membuat hatinya teriris.

"Kita akan segera pulang?" tanya Sebastian pada Maylene.

"Iya, Sebastian." Maylene segera menghapus air matanya. Ia tersenyum dan segera mempersilahkan mereka masuk. Tapi sebelum itu, matanya menangkap sesosok pemuda yang belum pernah ia lihat.

"Em… Tuan Muda? Apakah… dia teman anda?" tanya Maylene sambil melihat ke arah pemuda berambut pirang di samping Ciel.

"Benar. Dia akan tinggal di rumahku untuk sementara."

Pemuda berambut pirang itu agak tercekat. Tapi kemudian, ia pun dapat menormalkan emosinya.

"Begitukah? Mari." Maylene mempersilahkan pemuda itu naik ke kereta. "silahkan masuk…" Maylene merekahkan senyumnya. Pemuda pirang itu, Alois Trancy, membalas senyum sang maid dengan canggung. Ia pun naik ke kereta setelah Ciel, lalu diikuti Sebastian.

Kereta berjalan seadanya. Bunyi benturan kaki kuda dengan permukaan tanah mengalun lembut di telinga. Ciel berpangku tangan di kusen jendela kereta. Di sampingnya Alois terduduk sambil melihat ke arah luar jendela di samping kanannya. Pemandangan di luar masih sepi karena ini masih pagi. Lampu-lampu jalanan masih menyala terang, walaupun langit menunjukkan perubahan warna menjadi kuning terang. Perlahan ia menoleh ke arah Ciel. Ia memperhatikan gerak-gerik Ciel yang sedari tadi terus pada posisinya. Ia mendekatkan tubuhnya untuk melihat wajah sahabatnya itu. Sesaat, ia pun tercekat sejenak, lalu tersenyum. Ciel tertidur dengan pulas.

"Tuan Muda tertidur rupanya." Tiba-tiba Sebastian berceletuk. Alois tersentak. Ia menoleh ke arah Sebastian yang sedang memandangi tuan mudanya itu sambil tersenyum lembut.

"Ya…" kata Alois. "dia nampak kelelahan."

"Bukankah anda juga… Tuan Alois?" tanya Sebastian beralih pandangan ke arah Alois.

Alois sedikit menunduk dan tersenyum malu. "Ya… kau tahu, kan? Seharian kemarin… aku hanya mencari Pamanku dan Claude. Tidak lebih." Katanya. "seakan aku lupa caranya untuk tidur saat itu."

Sebastian terdiam. Mata merahnya meredup memperhatikan pemuda di depannya.

"Kali ini beristirahatlah, Tuan. Anda pasti kelelahan." Katanya. "perjalanan juga masih jauh."

Alois hanya menatap Sebastian. Ia pun mendesah, lalu tersenyum tipis. "Mungkin kau benar." Alois pun menyandarkan pungungnya di sandaran kursi kereta yang empuk. Sesaat, ia menoleh ke arah Ciel yang sudah tertidur sambil menunduk. Tak lama kemudian, mata terpejam. Ia tertidur. Sebastian tersenyum heran sambil geleng-geleng. Begitu cepatnya mereka terbawa ke alam mimpi. Wajah mereka terlihat damai sekali. Terlihat rileks dengan suara dengkuran yang lembut.

Tiba-tiba, kereta berguncang karena menginjak bebatuan kasar. Ciel dan Alois ikut berguncang. Tapi mereka sama sekali tidak terbangtun. Akibatnya, posisi mereka berubah. Ciel yang tadinya berpangku tangan, kini malah tertidur di pundak Alois. Sedangkan Alois tertidur di atas kepala Ciel. Sebastian hanya tersenyum lembut melihatnya. Ia hanya bisa membatin,

'Sahabat yang lucu.'

.

.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, sampailah mereka di sebuah mansion beratap biru yang sangat luas dan megah. Matahari nampak mulai menampakkan dirinya. Membuat permukaan bumi menjadi terang dan hangat.

Sebastian menuntun Ciel yang nampak masih mengantuk itu turun dari kereta, diikuti Alois di belakangnya. Maylene yang sedari tadi mengemudikan kereta pun ikut turun. Di depan pintu utama, tiga orang perempuan, serta tiga orang lelaki telah menunggu.

"Ciel!"

"Tuan Muda!"

Seorang gadis berambut pirang bergelombang dan dua orang lelaki tiba-tiba menerjang Ciel sambil menangis. Dua lelaki itu memakai pakaian ala koki dan tukang kebun. Ciel tersentak.

"Elizabeth…? Finnian? Bard?"

"Aku senang…" rengek si gadis. "aku senang Ciel selamat…!" Elizabeth pun menangis tersedu-sedu. Ciel hanya bisa tersenyum lembut dan mengelus kepala gadis bernama Elizabeth itu. Elizabeth Middleford, sepupunya.

"Kami sangat khawatir akan Tuan Muda…!" disusul rengekan para lelaki itu.

"Saya bersyukur Tuan Muda selamat…" Finnian mengusap air matanya.

Tak lama kemudian, Elizabeth pun mereda. Ia pun melepaskan pelukannya. Bard dan Finnian pun juga. Mereka pun menjauh.

"Ciel…" lirih wanita serba merah menyala. Di sudut matanya, air mata membendung. Ciel tercekat mengetahuinya.

"Bibi An…"

Wanita yang dipanggil bibi An tersebut dengan segera menghambur ke arah Ciel. Ia memeluk Ciel sambil berjongkok menyamai tinggi pemuda berumur 14 tahun itu. ciel tertegun merasakan pelukan hangat dari sang bibi.

"Syukurlah…" lirih bibi An. "syukurlah kau juga selamat, nak…"

Ciel hanya terdiam. Matanya kabur karena dihalang oleh air mata. Tapi jangan! Jangan teteskan sekarang! Tak lama kemudian, bibi An melepaskan pelukannya sambil membelai rambut kelabu Ciel. Ciel hanya menunduk.

Beberapa saat setelah bibi An menyingkir, seorang wanita berambut cokelat tua bergelombang berjalan ke arahnya. Mata sapphire Ciel menatapnya lebar-lebar.

"Ciel… kau selamat…?" tanyanya lembut sambil menitikkan air mata.

"Kak Diana…?" panggil Ciel. Ya. Diana Trancy, sahabat dari ibu Ciel yang umurnya 10 tahun lebih muda dari ibu Ciel, sekaligus kepala cabang perusahaan Funtom milik Ciel di Paris. Diana sudah menganggap Ciel sebagai adiknya sendiri, juga sebaliknya.

Diana pun berjongkok dan memeluk Ciel dengan lembut. "Aku rindu padamu, Ciel…" katanya sambil mengelus rambut Ciel. Ciel hanya terdiam. Ia terharu dan dadanya terasa sesak. Ciel tiba-tiba mulai terisak. Ia menangis di pundak Diana. Sementara Diana hanya menitikkan air mata sambil tersenyum lembut.

"Kau benar-benar hebat, adikku…" Kata Diana sambil menenangkan Ciel. Ciel masih terisak. Ia rindu dipanggil dengan sebutan 'adik' oleh Diana. Setahun sudah mereka tidak bertemu dikarenakan pekerjaan Diana sebagai kepala cabang perusahaan sangatlah padat di Paris. Diana pun melirik ke arah Sebastian.

"Kau juga hebat… Sebastian." kata Diana.

Mendengar itu, Sebastian membungkuk. "Itulah pekerjaan saya sebagai butler keluarga Phantomhive, Nona." Diana tersenyum.

Tak sengaja, Diana menolehkan kepalanya ke arah kereta kuda. Ia mendapati pemuda berambut pirang dengan coat ungu sepaha berdiri di depan pintu kereta kuda. Pemuda itu nampak iri melihat sahabatnya dikelilingi orang yang hangat. Matanya memperlihatkan kepedihan. Diana mengedip-ngedipkan kedua mata cokelatnya. Mencoba memperjelas apa yang dia lihat. Sesekali ia juga menyipitkan kedua matanya. Sepertinya… ia mengenali sosok pemuda pirang itu.

Tak lama kemudian, ia pun mengingat sosok di depannya itu. Seketika itu matanya terbelalak perlahan. Tak salah lagi. Dia adalah…

"Alois…?" panggil Diana. "Kau… Alois Trancy? Benar, kan?" Diana pun mulai menegakkan kepalanya. Menndegar Diana menyebutkan nama Alois, Ciel pun melepaskan pelukan Diana dan menoleh ke belakang.

Mendengar namanya disebut, Alois yang sedari tadi terfokus pada orang-orang di depannya, kini hanya melihat ke arah Diana. Matanya yang tadi terlihat sendu, kini terbelalak. Mata turquoisnya mengenali sosok wanita di depannya dan terbelalak. Wanita itu…

"Kak… Diana…?" katanya. Mendengar Alois mengenali namanya, senyum Diana pun terkembang. Ia pun berpaling dari Ciel dan berjalan menuju Alois. Sementara Alois hanya terbelalak tidak percaya. Tubuhnya terasa kaku dan terpaku.

"Kau… Alois?" tanya Diana penuh rindu.

Bibir Alois bergetar. Napasnya putus-putus. Sedetik kemudian, air mata membendung di sudut-sudut matanya.

"Kak Diana…" Alois pun terisak seketika saat Diana memeluk erat tubuhnya. Kedua manusia itu pun menangis tersedu-sedu, saling mengeluarkan perasaan rindunya selama ini. Ciel dan yang lainnya hanya bisa terdiam melihatnya. Mereka tertegun. Diam-diam, di benak Ciel muncul sebuah pertanyaan.

'Apakah… Kak Diana mengenal Alois?'

.

.

"Jadi… kalian bersaudara?" tanya Elizabeth.

"Begitulah… Alois adalah adik angkatku." Jawab Diana sambil mengelus kepala Alois.

Setelah pertemuan kembali dengan Ciel sekaligus Alois, Diana dan yang lainnya berkumpul di ruang tengah sambil mencicipi makanan kecil buatan Sebastian dan teh camomile buatan Tanaka.

"Adik angkat? Kenapa Kakak tidak pernah cerita padaku?" Ciel sedikit protes.

"Maaf, Ciel sayang. Aku benar-benar lupa dan… yah… kau tahu sendiri. Aku sibuk, dan jarang sekali berkunjung kemari, kan?"

"Tapi… masalah ini… oh, Tuhan! Aku benar-benar tidak menyangka ada benang tipis yang menghubungkan kita semua."

"Aku juga tidak tahu kalau kau adalah anak dari sahabat Kak Diana." Alois menimpali.

Ciel terkekeh.

"Tapi tunggu. Kau bilang… adik angkat?" tiba-tiba bibi An berkata.

"Ya. Ayahku mengangkatnya menjadi anaknya… tujuh tahun yang lalu." Jawab Diana.

"Tujuh tahun yang lalu? Itu sudah lama sekali…" nada Elizabeth meninggi. "aah… kenapa Kakak tidak cerita padaku…" protes Elizabeth. Diana hanya tertawa renyah.

"Benar juga. Margamu adalah Trancy. Sama seperti marga Kak Diana. Kenapa aku tidak menyadarinya?" Ciel hanya bisa geleng-geleng sambil menepuk jidat.

Semuanya tertawa.

"Ah! Aku lupa bertanya." Ciel tiba-tiba teringat sesuatu. "Kak Diana… kapan tiba di Inggris?"

Diana menatap Ciel sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Sedetik kemudian, ia tersenyum. "Tiga hari yang lalu. Tepat saat kau masih dalam perjalanan pulang dari Amerika."

Ciel menatap Diana. "Benarkah?" Ciel tersenyum tipis, lalu menundukkan kepala.

"Sudah lama sekali, ya…" kata Diana. "kau sudah makin dewasa…" Diana tersenyum puas.

Makanan kecil sudah habis sebagian. Cangkir-cangkir porselin yang tadinya berisi teh yang harum, kini telah kandas. Sebastian dan Tanaka bergantian membereskan semua itu.

"Hei! Kau… teman Ciel saat berada di kapal?" Elizabeth mendekatkan posisi duduknya dengan Alois.

"Ah!" Alois sedikit tercekat. "i-iya… itu benar." Ia nampak sedikit malu-malu.

"Waah… menyenangkan sekali, ya, punya teman baru. Sepertinya… kau akrab sekali dengan Ciel." Elizabeth tersenyum. Alois nampak malu-malu. Wajar… karena orang yang mengajaknya bicara adalah seorang gadis. Cantik, lagi. *he?*

"M… siapa tadi namamu?" Elizabeth berusaha mengingat.

"A-Alois Trancy…"

"Aa! Benar. Alois… Trancy, kan?" Elizabeth terus menyimpulkan senyuam lebarnya yang manis. "kenalkan. Aku… Elizabeth Middleford. Sepupu Ciel… sekaligus tunangannya." Ia pun mengulurkan tangan.

Dengan agak canggung, Alois menerima uluran tangan halus tersebut. "Senang… berkenalan dengan…" belum sempat Alois menyelesaikan kalimatnya, ia keburu tercetik. "Eh? Tu-tunangan?"

Elizabeth hanya bisa terkekeh seadanya.

"Ta-tapi… kau dan Ciel, kan…"

"Memang… aku tahu umur kami masih belasan. Tapi… kami sudah dijodohkan dari kecil oleh orangtua kami. Mau bagaimana lagi…" Elizabeth mengedikkan bahunya sambil tersenyum. "tapi.. aku tak menyesal, kok. Sebab… Ciel itu baik. Walaupun terkadang terlihat cuek dan keras."

Alois hanya menatap gadis di depannya dengan membuka sedikit mulutnya. "Begitukah?" gumamnya. "kalau begitu… senang berkenalan dengan anda… Nona Elizabeth…"

Elizabeth tersenyum manis sekali. Hingga akhirnya ekspresi wajahnya berubah total dalam hitungan detik.

"Eh? Jangan panggil aku dengan sebutan formal begitu, dong… panggil saja aku Lizzie. Biar terdengar lebih akrab." Kata Elizabeth. "teman Ciel, kan… temanku juga. Jadi, panggil aku seperti halnya Ciel memanggilku." Lizzie berhehe-ria.

Alois yang tadinya canggung, kini mulai tersenyum dengan santai. Gadis di hadapannya ini membuat hatinya menjadi terasa hangat.

"Oh!" Elizabeth yang biasa disapa Lizzie itu menepukkan kedua tangannya. Ia nampak teringat sesuatu. "hei, Alois. Ceritakan bagaimana kau bertemu dengan Ciel…" mata hijau Lizzie berbinar-binar.

Alois nampak kelabakan menanggapi ekspresi Lizzie. "A… itu… aku bertemu dengannya… beberapa saat setelah aku naik ke kapal." Jelasnya.

"Benarkah? Sepertinya… menyenangkan sekali bisa menaiki Titanic yang sering disebut-sebut dengan 'Kapal Impian' itu…" Lizzie memajukan bibirnya dengan imut. Tapi, seketika itu raut wajahnya berubah menjadi sedih. "tapi… aku tak mengira bakal begini jadinya…"

Alois hanya bisa menatap Lizzie. Ia perlahan menunduk dan memalingkan kepalanya ke sudut ruangan. Hatinya terasa teriris mengingat kejadian itu. Ternyata memang benar. Seberapa kerasnya ia melupakan, tragedi itu terus saja mengakar di pikirannya. Membuat hatinya pedih.

.

.

Malam turun dengan cepatnya. Makan malam kali ini begitu hangat dan penuh tawa. Walaupun sering kali tersisipi hal-hal yang menyakitkan, tapi tak apa. Sebastian menyiapkan sup sebagai menu makan malam dan bebagai hidangan tambahan. Lizzie selalu memuji masakannya yang selalu menggugah selera itu. Tawa menggelegar di seluruh ruangan. Bibi An terkadang melontarkan candaan yang akan membuat siapa saja tergelak. Membuat suasana lebih semarak setelah terpuruk dari tragedi yang nyaris merenggut nyawa. Ciel hanya tersenyum geli, sedangkan yang lain tertawa. Di samping kursi Lizzie, Alois hanya memaksakan senyum mendengar lelucon Bibi An. Ia sama sekali tidak tertarik dengan lelucon manapun. Ia merasa seperti orang asing di meja makan yang mewah ini.

Alois hanya menatap genangan sup di mangkuknya sambil mengaduk-aduknya lemah. Semua orang tak menyadari raut wajah Alois. Hanya dan sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya. Sebastian Michaelis.

.

.

Selesai makan, semua orang nampak sibuk dengan kegiatan malamnya di kamar masing-masing. Diana dan bibi An sudah masuk ke kamar masing-masing tiga puluh menit yang lalu. Tak terasa malam makin larut. Alois yang sudah berbusana tidur terpaku di depan jendela ruang tengah. Kusennya yang terbuat dari besi terasa dingin di tangan. Mata biru mudanya menatap langit hitam yang ditaburi ribuan bintang dengan sendu. Kebiasaannya sebelum tidur selalu melihat bintang dengan senyuman masih mengakar dalam benaknya. Tapi, kini berbeda. Bintang-bintang nampak semarak di atas sana. Tapi, Alois sedang galau. Ia hanya mendesah melihat bintang-bintang berkelip-kelip, bermain mata. Alois iri pada mereka yang selalu bisa tersenyum, sementara dirinya tidak. Ia pun memejamkan mata sambil menundukkan kepala. Ia membuang napas perlahan-lahan.

"Anda belum tidur, Tuan Alois?" tiba-tiba, seseorang memanggil namanya. Dengan cepat Alois menoleh.

"Sebastian…?" orang yang ia sebut namanya itu hanya tersenyum.

"Hm… sedang memandangi bintang, Tuan?" Sebastian mendekat dan ikut menengokkan kepalanya ke atas langit.

"Ya… aku terbiasa memandangi bintang sebelum tidur." Katanya Alois. "kalau tidak… mungkin aku tidak akan bisa tidur." Alois terkekeh.

"Tapi kenapa… wajah anda sendu begitu?" tanya sebastian. "biasanya… orang yang sedang memandangi bintang nampak senang. Tapi anda tidak." Alois tercekat. Ia menatap butler bermata merah itu.

"Entahlah…" Alois memalingkan pandangan.

"Anda… mengkhawatirkan kerabat anda?"

Alois menoleh mendengar ucapan Sebastian. Wajahnya nampak sedih dan bingung. "Mungkin begitu." Jawabnya singkat. "setelah selamat dari tragedi itu… aku tidak bisa tenang. Aku…"

"Saya tahu, Tuan Alois. Mengetahui kerabat yang menjadi korban, yang keadaannya masih belum diketahui memang membuat kita bimbang. Tapi… cobalah berpikir positif." Kata Sebastian sambil menerawang ke luar jendela. Alois pun menengadah, mencoba menatap ekspresi wajah Sebastian yang lebih tinggi darinya.

"Saya tahu anda merasa iri pada Tuan Muda yang kerabatnya selamat dalam tragedi kemarin. Itu hal yang wajar." Kata Sebastian. "saya tahu anda ragu untuk berharap. Tapi… sekali lagi, Tuan Alois. Cobalah berpikir positif. Hanya Tuhanlah yang bisa menentukan." Sebastian menutup ceramahnya dengan senyuman ramahnya.

Alois tertegun mendengar kata-kata Sebastian. Sementara Sebastian mohon diri untuk kembali ke dapur. Butler hitam itu membungkuk dan menyimpulkan senyum ramahnya. Detik kemudian, ia berlalu. Alois menatap kosong punggung Sebastian yang mulai menjauh itu. sebastian mengingatkannya akan Claude. Walaupun dia dingin dan jarang sekali tersenyum, Alois tahu di balik semua itu, Claude mempunyai sisi ramah yang tak jauh beda dengan Sebastian. Mengingat itu, lagi-lagi hatinya merasa teriris. Alois segera menghadap ke jendela. Satu tangannya memegangi kusen jendela, dan satunya lagi meremat dadanya yang terasa nyeri. Perasaannya tidak menentu, antara takut, ragu dan sedih bercampur menjadi satu. Alois mencoba menetralisir perasaannya itu dengan menelan ludah dan memejamkan mata rapat-rapat.

'Ada apa… dengan perasaanku ini…?'

.

.

Ciel nampak sedang membereskan dokumen-dokumen pekerjaannya yang berserakan di kasurnya. Karena tidak bisa tidur, mau tidak mau ia melanjutkan pemeriksaannya pada dokumen-dokumen yang sedari dia pergi ke Amerika telah menumpuk di mejanya. Tubuhnya sudah dibalut busana tidur. Ia memang merasa lelah akibat tragedi kemarin lusa. Tapi entah kenapa, malam ini ia tidak bisa tidur. Ia pun mengambil posisi duduk di bibir tempat tidur dengan ukuran king size itu. Ia mendesah sambil memegangi jidatnya dengan kedua tangan, menyibakkan poninya ke atas. Mata sapphirenya menatap kosong lantai kamar yang terbuat dari marmer yang dingin itu. Kepalanya terasa berat akibat pekerjaan yang tidak sedikit itu.

Tiba-tiba, ia mendengar pintu kamarnya diketuk.

TOK, TOK, TOK!

Ciel tercekat dan menoleh ke arah pintu. Ia mendesah dan segera berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Ya?" katanya sambil membuka pintu. Setelah ia melihat sesorang di hadapannya, ia menaikkan sebelah alisnya. "Alois?"

Seseorang di hadapan Ciel yang ternyata dalah sahabatnya itu hanya cengengesan.

"Kau… belum tidur?" tanya Alois.

Ciel mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kau sendiri?"

Alois menatap Ciel. Ia pun menunduk di detik setelahnya.

"Aku… entah kenapa… aku tidak bisa tidur…" katanya sambil memainkan bagian bawah baju tidurnya. Ciel terhenyak mendengar perkataan Alois. Ia pun memalingkan pandangannya, menatap sebuah meja yang tak jauh darinya, yang di atasnya terdapat vas bunga yang lumayan besar. Kepalanya sedikit menunduk.

"Aku… juga tidak bisa tidur." Katanya singkat. Matanya datar memperhatikan vas bunga. Alois menatap Ciel dengan tatapan tertegun.

"Ciel?"

"Hm?" Ciel menoleh.

"Boleh… aku tidur bersamamu?" tawar Alois. Mendengar itu, Ciel tercekat.

"Ha?"

"A-aku tahu ini aneh. Tapi… aku… entah kenapa… malam ini aku merasa sepi dan… sedikit takut." Jelas Alois seraya menundukkan kepala saat melontarkan kata-kata terakhir. Ciel menatap Alois sejenak, dan tersenyum kecil.

"Begitukah?" tanyanya di ambang pintu. "baiklah kalau begitu. Masuklah…"

Mendengar izinnya diterima oleh pemilik kamar, Alois lansung sumringah. "Benarkah?"

Ciel mengangguk ikhlas. "Ayo masuk." Ciel mengisyaratkan dengan jari agar Alois ikut masuk bersamanya. "sudah lama juga… aku tidak tidur bersama orang lain." Ciel terkekeh. Alois hanya menundukkan kepala karena merasa sungkan. Ciel pun akhirnya membagi ranjangnya menjadi dua bagian. Sebelah kanan untuk Alois, dan sebelah kiri untuk dirinya sendiri. Walaupun begitu, Ciel tidak keberatan.

Malam makin larut, dan kedua pasang sahabat itu belum memberi tanda-tanda akan menutup matanya. Lilin sudah dipadamkan. Hanya cahaya remang-remamng dari celah jendela yang masuk ke kamar. Angin malam yang dingin berhembus dari celah-celah ventilasi yang mampu membuat bulu kuduk berdiri. Ciel dan Alois berbaring di atas ranjang dan menghadap ke langit-langit kamar yang kelihatan tinggi itu. Kedua mata mereka berkedip lemah.

"Ciel." Panggil Alois.

"Ya?" jawab Ciel tanpa memalingkan pandangan dari langit-langit kamar.

"Kau belum tidur?" tanya Alois. Ia melirikkan matanya.

"Belum." Jawab Ciel. Alois mendesah. Ia pun kembali menatap langit-langit kamar Ciel.

"Entah kenapa… aku tidak bisa tidur. Biasanya aku tidak seperti ini… Malam ini terasa mencekam bagiku." Kata Alois tiba-tiba. Ciel yang mendengar perkataan itu pun akhirnya memiringkan kepalanya.

"Aku… merasa tidak tenang." Alois memberi jeda. "aku tidak tahu… kenapa perasaanku jadi begini." Ciel terus mendnegarkan keluhan sahabatnya itu. Ia sangat menegrti perasaan sahabatnya yang sedang bimbang itu. Sambil menghela napas, ia pun memiringkan tubuhnya dan menggenggam tangan Alois.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Al." akhirnya Ciel angkat bicara. "aku yakin. Paman dan butlermu pasti selamat." Ucap Ciel yakin. Alois menoleh ke arah Ciel. Ciel tersenyum sambil meremat-remat tangan Alois. Sedikit memijat-mijatnya.

"Kau yakin?" tanya Alois setengah berbisik.

"Ya… aku yakin. Mereka pasti selamat. Jadi…" Ciel membenarkan posisi tidurnya. "Jadi… tenangkan dirimu. Sekarang tidur… dan saat kita bangun besok, perasaan kita akan menjadi segar."

Alois menatap nanar wajah Ciel yang terlihat hitam remang-remang. Tangan satunya ditumpukkan di atas tangan Ciel yang menggenggam tangannya. "Terimakasih. Akan kucoba tidur sekarang."

"Ya. Itu harus." Ciel tersenyum lebar. Ia pun beringsut, mendekatkan posisi tidurnya pada Alois. Begitu juga sebaliknya. Alois meletakkan kepalanya di atas kepala Ciel. Perlahan, senyumannya tersungging untuk pertama kalinya malam ini.

"Aku tidak menyangka… tidur bersama orang lain ternyata menyengakan juga, ya?" Alois meoleh ke arah Ciel. Kedua mata mereka bertemu. "apalagi itu denganmu." Alois tersenyum kecil. Ciel terbelalak mendengar pernyataan Alois barusan. Wajahnya memerah. Alois hanya terkikik.

"Kau tahu? Kaulah sahabat terbaik yang pernah kukenal seumur hidupku." Nada Alois melemah. Ciel menatap Alois. Ia tertegun. Ia teringat akan kata-kata ini. Saat ia masih berdiri di atas kapal Titanic yang kokoh itu…

"Persahabatan kita akan terus berjalan. Kita tidak akan pernah bisa dipisahkan oleh apapun. Kecuali dengan kematian. Ingat janji itu?" tanya Alois. Ciel menatap wajah Alois. Ia pun menghembuskan napas seraya tersenyum.

"Aku ingat. Kita akan terus bersama sampai mati." Kata Ciel.

"Kau benar. Kita tidak akan berpisah selamanya." Alois terkekeh. "sampai kita mati." Semuanya pun tertawa.

Sebastian tak sengaja melintas di depan pintu kamar Ciel. Ia sedang memeriksa keadaan rumah di malam hari. Begitu sampai di depan kamar Ciel, langkahnya terhenti. Telinganya menangkap sebuah suara bercakap-cakap dari dalam kamar Ciel. Karena penasaran, ia pun menempelkan telinganya ke daun pintu. Ia berusaha mengukti jalannya obrolan mlaam si tuan muda dengan sahabatnya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala dan menyimpulkan senyum kecil ketika mendengarnya.

"Mereka benar-benar polos. Syukurlah Tuan Muda kembali seperti biasanya setelah kemarin mendapatkan musibah." Gumam Sebastian. Ia pun segera beranjak dari pintu. Sedang orang-orang yang berada di dalam kamar sudah terlelap dan pergi ke alam mimpi.

'Semoga kalian mendapat mimpi yang indah…'

.

.

To be continued

A/N: Ehehem! Akhirnya apdet juga. Maafff banget kalo lelet. Saia banyak tugas dan sedang menjalani beberapa tes. Huuft…

Akhirnya juga saia bikin sekuelnya di tengah-tengah kesibukan saia. Semoga kalian semua suka. ^^ sekian saja note dari saia. Maaf kalo pendek. Saia juga bingung mau ngomong apa lagi. Gelap *PLAK!*

Akhir kata, bilahil taufik wal hidayah—

Readers: Woi! Ini bukan ceramah!

Yunoki: Oh! Maafkan saia sodara-sodara. Saia mengetik fic ini sambil mendengarkan ceramah di tv yang disetel sama ibu saia. Jadi kebawa, deh. ==d WAKAKAKAKAKA—hmmph! *dibekep readers*

AH! Saia baru ingat! Fic saia yang STILL saia stop dulu ya. Saia lagi banyak pikiran. Entah nanti saia lanjutkan atau tidak. Mohon maaf… DX

Akhir kata… saia mohon review dan komentarnya atas fic saia ini. Khamsa~ ^^

Yunoki Trancy ^^