Naruto is property of Masashi Kishimoto.
I do not take any profit.
Genre : Drama – Hurt/Comfort
setting : Alternate Universe
Note : Dedicated for SasuSaku Fanday, February 20th 2014.
.
The Fiancee
.
chapter #1
.
By : Lucifionne
.
.
Prok! Prok! Prok! Prok! Prok!
Suara tepuk tangan terdengar meriah memenuhi sebuah aula megah dan besar di tengah kota Konoha. Sebuah aula pertemuan elit yang malam ini disewa oleh dua keluarga cukup terpandang di kota metropolitan ini; Keluarga Uchiha dan Keluarga Haruno. Gedung besar bercat putih tersebut disulap jadi begitu mewah dan menakjubkan. Dekorasi serba silver dengan kain-kain tirai berkilau seolah dilapisi kristal antik, ditambah meja-meja dengan berbagai jenis makanan mahal di atasnya, serta alunan musik akustik yang menambah tinggi nilai acara malam ini. Entah telah berapa banyak Yen yang mereka kucurkan demi meriahnya acara yang diselenggarakan tepat di tanggal satu Februari ini. Tapi hal itu sudah pasti bukanlah masalah bagi dua keluarga terpandang tersebut, malam ini adalah malam yang spesial untuk mereka, acara yang bisa dikatakan 'besar' dan bersejarah.
Malam dimana mereka menyatukan hubungan pertemanan yang telah ada menjadi lebih 'dalam'—lebih terikat melalui putra dan putri mereka. Pesta besar-besaran yang dilaksanakan malam ini adalah pesta pertunangan dari Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura, putra kedua dari keluarga Uchiha dengan putri tunggal keluarga Haruno.
"Nah, Sasuke," ucap wanita paruh baya berambut biru tua, "kau bisa menyematkan cincinnya di jari manis Sakura." Suara wanita tersebut terdengar mengiang di tiap sudut gedung, ditambah lagi efek microphone yang membuat volume suaranya menjadi sangat besar.
Sasuke sempat terdiam beberapa detik, namun pada akhirnya lelaki berwajah tampan tersebut pun menggerakkan tangannya, mengambil cincin berlian mahal yang masih tersimpan di dalam kotak merah, kemudian meraih pelan tangan gadis muda di hadapannya. Sasuke melakukannya dengan cepat—ia ingin agar semua ini segera berakhir. Tak sampai sepuluh detik cincin pertunangannya telah tersemat indah di jari manis Sakura. Begitu pas berada di sana.
Suara tepuk tangan kembali terdengar sesaat setelah Sasuke melakukan apa yang telah diperintahkan untuknya.
"Kali ini giliran Sakura," wanita tadi kembali bersuara, "giliranmu yang memasangkan cincin ke jari Sasuke."
Gadis muda bernama Sakura tesebut tampak mengangguk gugup. Perlahan ia mengambil satu cincin yang tertinggal di dalam kotak, setelah menarik napas panjang ia pun menyentuh tangan kiri Sasuke, tangan yang lebih besar dari tangannya dan terasa begitu hangat. Sakura tertegun sebentar, tanpa sadar ia mulai menikmati sensasi nyaman tersebut.
"Sakura?"
"Eh?" Sakura panik. "Maaf, aku begitu gugup saat ini." Para tamu yang datang sontak terkikik geli mendengar kalimat lugu yang diucapkan pewaris mutlak kekayaan Haruno tersebut.
"Ahh, santai saja, sayang," ucap wanita berambut biru tua tadi, "aku mengerti perasaanmu. Ayo lakukan perlahan."
Sakura mengangguk pelan, "Iya. Terimakasih, Mikoto-san," ucapnya sambil tersenyum. Mata emerald-nya lalu melirik ke arah orang tuanya. Tampak Tuan dan Nyonya Haruno menyemangati anaknya dengan senyuman hangat. Sakura pun mengangguk pasti, perlahan ia mulai menyematkan cincin tersebut ke jari Sasuke.
"Ayo berikan tepuk tangan lagi untuk pasangan muda kita ini!"
Prok! Prok! Prok! Prok! Prok! Prok!
Seisi gedung kembali gaduh oleh suara tepuk tangan yang kali ini terdengar lebih meriah dan panjang dari sebelumnya.
"Sasuke anakku," wanita paruh baya yang juga menjadi pembawa acara malam ini menyikut pelan lengan anaknya yang kini telah sah menjadi tunangan Haruno Sakura, "sana cium bibir tunanganmu," goda Nyonya Uchiha.
Sasuke tersentak, "Aku tidak akan melakukannya," tolak Sasuke. Ekspresi wajahnya begitu dingin karena memendam gumpalan emosi dan rasa malu di tubuhnya.
"Mikoto-san, kurasa anak kita masih terlalu muda untuk melakukan hal itu di depan banyak orang," ucap Nyonya Haruno.
"Ah, ya ya ya, kau benar juga, Mebuki-san," ucap Mikoto Uchiha sambil tertawa pelan. "Baiklah diganti saja. Bagaimana kalau cium kening? Kurasa tidak akan apa-apa," usulnya. "Bukan begitu, Sakura?"
Sakura mengerjapkan matanya bingung, "Ah! Iya kurasa kalau hanya cium kening aku tidak akan malu melakukannya di depan umum," ucapnya segera sambil tersenyum canggung. Gadis muda berusia tujuh belas tahun ini lalu menempelkan dua tangannya di dada Sasuke, "Kau akan melakukannya 'kan, tunanganku?"
Mata hitam milik Sasuke membalas tatapan Sakura yang terlihat begitu menekannya. Indah dan tak terelakkan. Sasuke mendesah pelan sebelum berkata, "Baiklah jika ini yang kalian inginkan." Keturunan terakhir Uchiha ini pun menunduk dan mendaratkan bibirnya tepat di dahi Sakura.
Suasana kembali ramai, para tamu yang hadir tampak begitu merestui hubungan di antara dua anak yang baru beranjak dewasa ini. Sasuke dan Sakura, mereka terlihat begitu serasi di depan sana. Siapa pun pasti bermimpi agar bisa bertukar posisi menjadi salah satu dari mereka. Lahir di keluarga terpandang dengan masa depan yang bisa dipastikan terang berderang. Kelak akan hidup bahagia dengan pasangan yang juga berasal dari kaum kelas atas.
Akan tetapi...,
Benarkah segalanya memang sesempurna itu?
Apakah Sasuke dan Sakura bahagia?
.
.
.
.
.
.
"Nghh," suara lenguhan lemah meluncur dari bibir Uchiha Sasuke. Lelaki yang baru genap berusia tujuh belas di bulan juli tahun lalu ini lalu menggeliat malas di atas kasur king-sized-nya. Rasa kantuk di matanya masih belum sepenuhnya pergi. Kalau saja hari ini bukan hari senin, mungkin ia akan memilih tidur lagi dan menenggelamkan tubuhnya lebih lama di bawah selimut bersama bantal dan guling empuknya. Sasuke mengerjapkan matanya berulang kali, makin lama pandangannya makin jelas, ia pun menoleh pada jam berbentuk kotak kecil biru tua di atas meja, "Sudah jam enam kurang lima belas," ucapnya. Tapi ia belum berniat bangun, malah memijit-mijit pelan keningnya. "Tch, aku masih mengantuk," keluhnya seraya menekan-nekan dahinya dengan jari tangan kirinya.
Wajar saja jika Sasuke masih begitu ngantuk, di hari-hari biasanya saja saat ia tidur pukul sepuluh malam maka pagi harinya ia juga akan susah bangun. Apalagi pagi ini, bisa dikatakan pagi ini begitu berat untuk Sasuke karena semalam ia baru bisa tidur di jam dua belas—tepat di tengah malam, saat acara melelahkan itu sudah selesai dan tamu satu per satu sudah pulang. Di saat itu pulalah perannya telah berakhir, bersama supir pribadinya ia pun meninggalkan gedung megah itu dan pulang ke rumah keluarga Uchiha-nya yang juga tak kalah megah. Meninggalkan kedua orang tuanya dan keluarga tunangannya dengan salam berpamitan seadanya.
Tunangan.
Sasuke tersentak pelan, peristiwa yang baru saja diadakan tadi malam kembali berputar di kepalanya. Gambaran saat ibunya memandu pesta tersebut tanpa canggung sedikitpun, saat para tamu bertepuk tangan dengan nyaringnya, saat ia menyematkan cincin sakral tersebut di jari manis Sakura, saat gadis berambut merah jambu tersebut memerintahnya hanya dengan tatapan mata.
Dan saat bibirnya menyentuh dahi gadis manis tersebut, begitu harum dan hangat—Sasuke masih mengingat jelas semuanya.
"Huh, menyebalkan," keluh Sasuke sambil mengacak rambut biru tuanya. Namun lelaki tersebut mendadak berhenti saat menyadari ada sesuatu yang mengganjal di jarinya. Sebuah cincin berwarna perak telah terpasang di jari manis kirinya. Cincin pertunangannya dengan Sakura.
Sasuke memperhatikan cincin itu serius, lalu beberapa saat kemudian ia melepasnya, menanggalkan cincin tersebut dari jarinya, "Aku tidak butuh benda ini." Ia lalu menggenggam benda bulat tersebut dan mencari keberadaan keranjang sampah di sudut kamarnya. Saat keranjang plastik tersebut berhasil ditemukan, Sasuke telah bersiap untuk melemparkan cincin pertunangannya ke dalam sana, namun pintu kamarnya mendadak terbuka—kejadian rutin yang terjadi hampir tiap pagi kembali terulang; ibunya, Uchiha Mikoto, akan datang untuk membangunkannya agar segera bersiap ke sekolah.
Sasuke segera menurunkan kembali tangannya yang masih menggenggam cincin tadi, bisa jadi masalah besar jika sang ibu mengetahui niat nakalnya barusan. "Ibu tidak mengetuk pintu," protes Sasuke seraya menyembunyikan tangannya di balik selimut.
"Ah maaf, ibu tidak sengaja," ujar Mikoto membela diri. Wanita yang tetap terlihat muda meski telah berusia 43 tahun tersebut lalu memberikan senyum pada anaknya yang tampan ini, "ibu pikir kau belum bangun. Semalam kau jadi harus tidur lebih larut dari biasanya—"
"Itu salah kalian karena telah menjodohkanku seenaknya," potong Sasuke.
"Eh? Hihihi," Mikoto malah terkikik geli, "tenang saja Sasuke, di pesta pernikahanmu nanti kau akan mendapat cuti. Kau nanti tidak perlu khawatir harus bangun pagi karena harus buru-buru sekolah," ucap Nyonya Uchiha tersebut dengan entengnya, di seberang sana si anak tengah menatapnya dengan tatapan tak suka. "Baiklah, lebih baik kau segera mandi jika tidak ingin telat sampai ke sekolah. Ibu tunggu di meja makan, kita sarapan bersama." Selesai menyelesaikan kalimatnya, wanita berambut panjang tersebut lalu pergi meninggalkan Sasuke sendiri di kamarnya.
"Tch, dia kini menjadi lebih menyeramkan daripada nenek sihir." Sasuke lalu mengeluarkan tangan kanannya yang sejak tadi sengaja ia sembunyikan, kembali menatap cincin 'pengikat' keluarga Uchiha dan Haruno. "Mengapa harus aku? Mengapa aku yang mereka korbankan?" setelah mendesah pelan, Sasuke lalu beranjak bangun dari kasurnya, kemudian berjalan menuju lemari pakaiannya; mencari laci kecil di bagian tengah perkakas kayu tersebut. "Untuk saat ini, kau kutaruh di sini saja," ucapnya pada cincin tersebut sesaat setelah meletakkannya di dalam laci lemari.
.
.
Tap.
Tap.
Tap.
Sasuke melangkah lemah menuruni tangga beton rumahnya yang menjadi penghubung antara lantai dasar dan lantai satu. Meski telah mandi dan membasahi kepalanya agar bisa segar, namun rasanya masih saja belum maksimal. Kekurangan jam tidur benar-benar menyusahkan Sasuke pagi ini. Lelaki ini lalu berjalan menuju ruang makan, hendak turut serta dalam kegiatan sarapan pagi yang biasa dilakukan di keluarganya—meski jarang sekali semua anggota keluarganya berkumpul lengkap. Kadang keluarga Uchiha hanya menikmati sarapan pagi mereka dengan tiga orang saja; ibu, anak pertama, dan anak kedua. Jarang sekali sosok kepala rumah tangga mereka ikut hadir dalam kebersamaan tersebut. Kadang pula anak tertua di keluarga Uchiha yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas swasta tidak ikut sarapan bersama. Inilah yang membuat Sasuke sejujurnya malas bangun pagi, tidak ada yang spesial selain duduk kaku di atas kursi dan menikmati roti isi atau semangkuk sup hangat yang disajikan pembantu rumah tangganya. Sementara itu sang ibu di seberang mejanya hanya fokus melihat tabloid terkini atau sibuk mengusap-usap gadget layar sentuh berukuran 6 inci di tangannya.
Sasuke telah memasuki kawasan ruang makan, aroma kopi hangat dan roti gandum bakar terasa begitu menggoda hidungnya. Pagi ini ternyata semuanya berkumpul lengkap, Sasuke bisa melihat ayahnya berada di sisi paling ujung meja seakan memimpin sebuah rapat penting. Di sisi meja yang lain ada ibunya tengah mengaduk kopi hangat di cangkir, lalu di sebelahnya ada putra sulung keluarga ini, Uchiha Itachi, lelaki berusia 21 tahun itu sedang mengunyah rotinya. Belum lama Sasuke memperhatikannya, sang kakak telah mengangkat wajahnya dan memberikan adik satu-satunya ini senyuman hangat.
"Selamat pagi, adikku," sapa Itachi.
Sasuke hanya mengangguk pelan. Ia melangkah mendekati meja tersebut.
—tunggu sebentar.
Ada perempuan berambut merah muda yang juga berbaur bersama ketiga anggota keluarga. Sasuke mendengus malas, meski saat ini perempuan tersebut dalam posisi memunggunginya, ia sudah tahu siapa sosok tersebut.
"Pagi ini Sakura sarapan bersama kita," ucap Mikoto yang sepertinya menyadari keterkejutan putranya. "Mulai hari ini dia juga akan bersekolah di sekolah yang sama denganmu," lanjut Mikoto.
Sakura menoleh ke belakang untuk melihat sosok lelaki yang telah menjadi tunangannya sejak tadi malam. "Selamat pagi, Sasuke," ucapnya ramah, "kau tidur nyenyak semalam?" tanya Sakura basa-basi.
Sasuke tak menjawab apapun. Ia malah membeku di tempatnya berdiri saat ini. Tangannya mengepal erat di balik saku celananya. Baginya hal ini sungguh keterlaluan. Apa pertunangan semalam belum cukup memuaskan untuk keluarganya?
"Apa yang kaulakukan di sana?" sang kepala rumah tangga mulai angkat suara, Sasuke bergidik mendengar sang ayah seolah menegurnya. "Cepat duduk dan makan sarapanmu."
Sasuke menghela napasnya kemudian duduk di samping Sakura.
"Aku harap bisa menemukan teman di sekolah baruku hari ini," ucap Sakura penuh harap.
"Tentu saja, sayang, siapapun pasti ingin berteman denganmu," ujar Mikoto sesaat setelah menghirup kopinya, "mana mungkin tidak ada yang mau berteman dengan anak baik sepertimu. Apalagi kau adalah pewaris tunggal dari keluarga Haruno, keluarga terpandang yang memiliki banyak cabang bisnis di negara lain. Rugi sekali bagi mereka yang tidak bisa berteman denganmu."
KRAK.
Semua pandangan seketika tertuju pada Uchiha Sasuke.
"Sasuke, apa yang kaulalukan?!" tanya Mikoto panik saat melihat gelas beling retak di genggaman tangan Sasuke.
"Aku sudah kenyang. Aku akan berangkat sekarang," ucapnya dingin dan segera pergi tanpa memedulikan seruan ibunya.
"Hei, kau belum memakan apa pun!"
"Kalau begitu aku juga berangkat," ujar Sakura yang bersiap menyusul Sasuke. "Aku bawa roti ini, aku akan memberikannya pada Sasuke." sambungnya buru-buru. "Aku pergi dulu, Fugaku-san, Mikoto-san, Itachi-san." Sakura lalu membungkuk hormat dan setelah itu menyusul Sasuke yang tak lagi nampak di ruang makan.
.
.
.
Suasana di dalam mobil begitu dingin. Sasuke dan Sakura yang duduk di jok penumpang saling tak bertegur satu sama lain. Sasuke sibuk menatap pemandangan jalan memalui jendela di samping kirinya. Sementara itu, Sakura tengah kebingungan menentukan cara yang pas untuk memberikan rotinya kepada Sasuke. Gadis Haruno ini melirik Sasuke dengan ekor matanya, lelaki itu masih saja menatap ke luar. Sakura menghela napasnya lelah.
"Rotimu," ucapnya sambil mengarahkan tangan kirinya yang berisi roti ke mulut Sasuke. Sasuke langsung menoleh tanpa berniat menerima roti berisi selai nanas tersebut. "Kau belum makan apapun, nanti kau bisa sakit."
"Aku tidak membutuhkannya," tolaknya. Bungsu Uchiha ini kembali memandangi keadaan di luar, membuang tatapannya dari wajah Sakura.
"Kalau kau sampai sakit, keluargamu akan mencemaskanmu. Kau ingin itu terjadi?"
Sasuke enggan merespon.
"Hei," panggil Sakura, gadis ini kembali mengarahkan roti tersebut ke bibir Sasuke—masih berusaha membuat tunangannya ini menyantap sarapan paginya. "Makan rotinya~."
"Aku bilang aku tidak butuh!" bentak Sasuke kasar, membuat Sakura terkejut—bahkan supir yang tengah mengendari mobil mewah ini juga ikut terkejut mendengar suara tinggi Sasuke. "Buang saja roti itu."
Mata emerald Sakura terbelalak lebar, degupan jantungnya masih sangat cepat karena kaget bukan main. "Buang?" Sakura mengulangi kata yang diucapkan Sasuke barusan. "Baiklah jika itu yang kau mau." Sakura meremas kuat dua roti yang ada di tangan kanan dan kirinya. Melumatkannya hingga kue tersebut berbentuk seperti adonan mentah, menjatuhkannya di lantai mobil, kemudian menggunakan kakinya yang terbungkus sepatu ber-merk untuk menginjak-injak roti tersebut. "Lihat? Sudah tidak bisa dimakan lagi. Kau senang?" tanya Sakura pada Sasuke.
"Hhh," Sasuke melepaskan satu napas lelah. "Kau tidak harus menghancurkan sarapanmu juga. Cukup roti yang tadi kau berikan untukku."
"Aku kelepasan," kilah Sakura sambil memgeluarkan beberapa lembar tisu dari tasnya. "Lagipula aku tidak suka selai nanas, tidak cocok di lidahku."
"Terserah," ucap Sasuke malas.
Suasana hening kembali menemani mereka di perjalanan menuju sekolah. Sekolah tujuan mereka berjarak sekitar sepuluh menit perjalanan lagi. Sudah dekat, namun bagi Sasuke terasa begitu jauh karena saat ini ada perempuan 'asing' yang ikut menemaninya menempuh perjalanan ini.
"Ini bukan rencanaku." Sasuke mendengar ucapan Sakura di sampingnya. "Orang tuamu yang menyarankanku untuk pindah ke sekolahmu. Lalu ayah dan ibuku menyetujuinya, aku tidak bisa menolak jika keluargaku sudah bilang begitu." Sasuke hanya diam mendengarkan tunangannya tersebut. "Seperti pertunangan ini, ibuku begitu senang saat tahu anaknya ini dilamar oleh lelaki dari keluarga Uchiha." Sakura terlihat tertunduk lesu. "Apalagi ayahku, dia begitu bahagia karena anak dari sahabat lamanya berniat baik untuk menjaga putrinya. Mereka sangat menginginkan adanya hubungan ini di antara kita." Sakura mengusap pelan cincin pertunangan yang melingkar di jari manisnya. "Padahal aku tahu kalau kau sangat membenci semuanya, tentu saja kau tidak menginginkan pertunangan bodoh ini. Begitu juga denganku." Sakura menelan saliva-nya berat, "aku juga tidak menginginkan hubungan yang sangat dipaksakan ini."
"Tapi kau menerimanya," sahut Sasuke. "Jika sejak awal kau sudah menolak, semua kebohongan ini tak akan berlanjut jauh."
"Bagaimana mungkin aku bisa menolak!" bentak Sakura sambil menatap Sasuke tajam. "Ini keinginan kedua orang tuaku! Mereka begitu bahagia! Mereka terlihat bergitu bersyukur dengan semua ini! Bagaimana mungkin aku menghancurkan hati mereka? Itu sama saja merusak rasa bahagia yang tengah mereka rasakan!" Sakura menggigit bibirnya pelan, "apa kaupikir aku setega itu? Apa kaupikir aku sejahat itu sampai-sampai bisa melawan orang tuaku sendiri?!"
Laju mobil telah berhenti, mereka telah sampai di depan gerbang sekolah mereka.
"Jadi kau memilih mengorbankan kebahagianmu demi keinginan ayah dan ibumu?" tanya Sasuke sambil menatap emerald Sakura tajam.
"Tentu saja!" jawab Sakura spontan.
Sasuke menggeleng pelan, ia lalu membuka pintu mobil dan beranjak keluar. "Hidupmu benar-benar menyedihkan, Haruno Sakura."
Blamm!
Pintu mobil kembali tertutup. Sasuke segera melangkah pergi meninggalkan tunangannya yang masih berada di dalam mobil. Sayang sekali Uchiha tampan ini tak sempat melihat setetes air mata yang jatuh di pipi Sakura.
Bahagia.
Bukankah dengan melihat orang yang disayang bahagia akan menciptakan kebahagiaan lain di dalam diri sendiri?
.
.
Sasuke melangkah memasuki ruang kelasnya. Ruang kelas sebelas A yang terletak di tingkat kedua dari bangunan sekolah ini. Bangkunya berada tepat di samping jendela, dari sana ia bisa melihat jelas wilayah depan sekolahnya. Tampak gerbang besi besar yang masih terbuka dan siswa-siswi yang berjalan ramai memasuki kawasan sekolah. Sasuke mengedarkan pandangannya lebih luas, tak sampai semenit ia pun telah menemukannya; sesosok siswi perempuan dengan surai berwarna pink mencolok tengah berjalan pelan sambil membawa tas di punggungnya.
"—ke, Sasuke!"
Sasuke tersentak saat mendengar suara perempuan memanggil namanya. Ia segera menoleh ke arah suara itu datang, "Shion?"
Perempuan bernama Shion itu hanya menggelengkan kepalanya, "Masih pagi kau sudah melamun saja. Kau lihat apa di luar?" tanya Shion seraya ikut memandangi ke arah luar jendela.
"Bukan apa-apa," jawab Sasuke singkat. Lelaki ini lalu mengeluarkan alat-alat tulisnya, bersiap untuk menjalani jam pelajaran yang akan segera dimulai.
"Hmmm, sepertinya kau dalam keadaan yang tidak baik," tebak Shion sambil mengamati baik-baik wajah dingin Uchiha tersebut. "Kau kenapa?"
Sasuke menggeleng lemah, "Aku tidak apa-apa. Hanya kurang tidur saja." Ia memijit-mijit pelan dahinya yang terasa mengenyut.
"Ohh, pesta pertunanganmu semalam begitu melelahkanmu?"
Sasuke kembali diingatkan lagi soal pesta pertunangan tadi malam, padahal ia tak ingin membahas hal tersebut dengan siapapun. "Jangan bahas itu." Sasuke memilih membuka-buka bukunya, lalu berhenti pada halaman yang sudah diberi tanda.
"Maaf, maaf, aku kan hanya bertanya," ujar Shion sambil mengerucutkan bibirnya. "EH!" seru Shion panik, "tanganmu kenapa?" perempuan berambut pirang ini segera meraih tangan kanan Sasuke yang tampak memar dan sedikit mengeluarkan darah. "Mengapa tanganmu sampai seperti ini?" tanya Shion cemas.
Sasuke sendiri terkejut melihat tangannya yang terluka itu, sejak tadi ia memang menyadari rasa nyeri di sana, namun ia tak menyangka jika keadaan tangannya lumayan buruk begini. Ternyata efek meremukkan gelas tadi pagi lumayan besar juga. "Terbentur pintu."
"Ah kau ini, dasar ceroboh," ejek Shion dengan nada bercanda. Gadis ini lalu mengambil sapu tangan berwarna hijau muda dari sakunya, "pakai ini dulu ya," ujarnya seraya membelitkan kain segi empat tersebut di tangan Sasuke. "Tunanganmu bisa sedih kalau melihatmu begini."
"Tch, sudah kubilang jangan bahas tentang itu."
"Hihihi, iya maaf, kau ini sensitif sekali!" Shion hanya terkikik geli melihat Sasuke yang sulit mengatur emosinya. "Nah, selesai!" Shion telah selesai menutupi luka di tangan Sasuke dengan sapu tangannya. "Setelah ini lebih baik kau ke UKS untuk memberinya obat. Mau kutemani?"
"Tidak usah, aku bisa sendiri." Bungsu Uchiha ini mencoba menggerakkan jemari tangannya, rasanya sudah agak mendingan dibanding yang tadi. "Terimakasih," ucapnya pada Shion.
"Bukan masalah! Aku akan selalu ada untuk membantumu."
Sasuke hanya meresponnya dengan anggukan pelan.
Sasuke mendadak merasakan hal aneh, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan pintu kelasnya melalui sudut matanya, ia pun menoleh. Namun di saat yang bersamaan bayangan tersebut langsung lenyap menghilang—tapi Sasuke masih menangkap jelas warna merah muda yang tadi ia yakini berada di sana. "Aku keluar sebentar," ucapnya pada Shion. Ia pun beranjak dari bangkunya dan berjalan cepat keluar dari kelas.
"Hei," panggil Sasuke pada sesosok siswi berambut merah muda sebahu yang terus berjalan. "Kaudengar aku, kan?"
Sosok yang dipanggil tersebut masih terus melangkah tanpa memedulikan Sasuke.
"Hei, Sakura!" seru Sasuke—kali ini dengan suara yang lebih lantang. Dan caranya yang ini berhasil membuat gadis tersebut berhenti dan berbalik.
"Ada apa?" tanya Sakura dengan wajah kesal.
Sasuke melangkah mendekati Sakura. "Kau marah?"
Dahi lebar Sakura mengerut, "Marah? Mengapa aku harus marah?"
"Kaulihat semuanya, kan?" Sasuke mengangkat tangan kanannya. "Ini." Ia menunjukkan tangan yang terbalut kain berwana hijau tersebut ke hadapan Sakura.
"Eh? Hahaha!" Sakura tertawa hambar, "jadi kaupikir aku ini marah karena melihat kekasihmu mengobati lukamu?"
"Kurasa begitu karena kau langsung pergi saat aku menoleh," ucap Sasuke tenang. "Begitu kekanakan. Lagipula Shion bukan kekasihku."
"Kaubilang aku kekanakan?" Sakura melipat kedua tangannya di dada. "Yang kekanakan itu bukan aku, tapi dirimu." Sakura menghunuskan telunjuknya tepat di depan dada Sasuke. "Kau, satu-satunya orang bodoh yang mau menghancurkan gelas kaca dengan tangan telanjang. Bo-doh."
Tangan Sasuke mengepal erat, pertanda emosinya mulai naik karena berhadapan dengan perempuan cerewet satu ini. "Kau juga kekanakan. Kau tidak mau masuk ke kelas hanya karena melihatku dengan perempuan lain," ucap Sasuke tak mau kalah.
Sakura mengerjapkan kelopak matanya; menatap Sasuke keheranan, darimana tunangannya ini bisa mendapat kesimpulan yang terdengar menggelikan tersebut? "Maksudmu aku cemburu?"
Sasuke hanya mengangkat bahunya malas.
"Hahahahahaha!" Sakura tertawa begitu lepas dengan suara yang cukup nyaring. "Ternyata kau lucu juga, Sasuke! Hahahahaha!" putri tunggal keluarga Haruno ini kemudian mencoba menahan tawanya agar segera berhenti sebelum perutnya tambah sakit. "Dengar ya, aku tidak mau masuk ke kelasmu bukan karena aku cemburu melihatmu dengan perempuan lain. Tapi karena kelas itu memang bukan kelasku."
DOR!
"Eh?"
"Kita tidak sekelas. Aku berada di kelas E—di ujung sana," ucap Sakura seraya melirik kelas paling ujung di tingkat dua sekolah ini. "Tenang saja, aku tidak akan membuntutimu di sini. Lagipula aku juga tak tahan berdekatan denganmu terus," ucapnya dengan nada menusuk. "Sampai jumpa." Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini giliran Sakura yang meninggalkan sang tunangan membeku tak bergerak di tempat.
.
.
.
.
Jam telah menunjukkan pukul satu lewat dua puluh menit. Haruno Sakura telah duduk di dalam mobil, menunggu tunangannya yang sudah telat lebih dari sepuluh menit. Sakura hanya bisa memainkan ponsel layar sentuhnya malas, beberapa menit lalu ia sempat membuka situs berisi gosip terkini para selebritis, tapi hanya sebentar ia sudah merasakan bosan. Ibu jarinya lalu menuju pada icon berbentuk pigura; folder galeri yang berisikan banyak foto dan video koleksinya. Gadis bermata hijau muda ini segera membukanya dan langsung disambut oleh deretan foto-foto terbaru yang diambil tadi malam—foto di pesta pertunangannya. Sakura melihatnya satu per satu, sesekali ia juga memperbesar beberapa foto yang diambil terlalu jauh, atau foto wajahnya dengan ekspresi yang berantakan.
Deg.
Ada foto dimana ia berdiri berdampingan dengan sang tunangan, Uchiha Sasuke.
Mereka berdiri sangat dekat, Sakura yang mengenakan gaun berwarna pink tua dengan rambut dicepol ke belakang, bersandar nyaman di dada Sasuke—lelaki itu terlihat begitu tampan dan jantan dengan jas hitam polos di tubuh sempurnanya. Sakura tersenyum begitu bahagia di foto itu, sementara Sasuke hanya menatap datar pada kamera seraya melingkarkan tangannya erat di pinggang Sakura.
"Acting kami lumayan juga," ujar Sakura seraya memperbesar foto tersebut di area wajah dirinya dan Sasuke. Yang dikatakan gadis ini memang benar, keduanya tampak begitu alami di foto tersebut, meski Sasuke terlihat kaku tapi semuanya terasa begitu wajar. Senyum manis yang menghias wajah Sakura menandakan gadis ini begitu menikmati moment indah tersebut, sedangkan Sasuke terlihat seolah gugup karena ia harus ber-pose semesra itu di depan banyak orang. Keduanya tak terlihat seperti dua manusia asing yang melakukan hal menyenangkan tersebut dengan terpaksa. Mereka terlihat seakan begitu menginginkan semuanya.
Padahal segala yang mereka lakukan hanyalah bohong belaka. Sakura terkikik pelan, "sayang kalau foto ini cuma jadi sampah yang memenuhi memori ponselku," ujarnya pelan. Ia pun kembali menggerakkan jempolnya lincah.
Set Picture As: Wallpaper
"Tidak buruk juga." Sakura kini memandangi layar home ponselnya yang sudah berganti menjadi gambar dirinya dan Sasuke. "Setidaknya aku akan selalu diingatkan bahwa aku sudah jadi milik seseorang."
"Sakura-sama," panggil supir pribadi Sasuke yang duduk di kursi depan.
"Hmm? Ada apa?"
"Sasuke-sama menyuruh kita untuk pulang duluan."
Genggaman tangan Sakura pada ponselnya mendadak mengerat. "Apa dia juga bilang akan pergi ke mana?"
"Tidak." Lelaki yang masih tampak bugar meski telah berusia empat puluh tahun itu menggeleng pelan.
"Tch," Sakura mendecih, "ya sudah kita duluan saja," ucap gadis Haruno ini seraya menyandarkan punggungnya di bantalan kursi mobil.
.
.
"Kau yakin akan pulang naik bis bersamaku?" tanya Shion kurang yakin pada teman lelakinya satu ini. Lelaki bernama Uchiha Sasuke yang biasanya selalu pergi dan pulang sekolah dijemput dengan mobil mewah lengkap dengan supir pribadi.
"Aku sudah menyuruh supirku pulang duluan."
"Tapi haltenya cukup jauh, kita harus jalan kaki dulu," ujar Shion khawatir, ia takut kalau Sasuke tak terbiasa berjalan jauh di bawah terik matahari ditambah dengan polusi kendaraan yang berlalu lalang. "Apa tidak apa-apa?"
"Jadi kau meremehkanku, hn?" Sasuke menautkan alisnya saat menatap wajah cemas Shion. "Aku memang kaya, tapi aku tidak selemah itu."
Shion mendengus malas. "Huuh, dasar Uchiha!"
Keduanya segera berjalan bersama melewati gerbang besi besar, satu-satunya akses yang bisa dilalui untuk keluar-masuk area sekolah ini. Sasuke diam-diam mengerlingkan matanya ke setiap sisi jalan, mencoba mencari keberadaan sedan hitam mengkilap yang biasa dinaikinya tiap hari. Namun Sasuke tak menemukannya dimana pun. Sepertinya apa yang ia perintahkan pada sang supir telah dijalankan sesuai apa yang ia inginkan.
'Baguslah,' ucapnya dalam hati. Ia segera menyamai langkah kaki Shion yang telah berjarak dua meter di depannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, bahkan hawa panas yang menerpa tak Sasuke permasalahkan, anak bungsu dari dua bersaudara ini sudah tak sabar menikmati sensasi naik bis kota seperti manusia pada umumnya. Menikmati sisi lain dunia yang berbanding terbalik dengan garis takdirnya.
.
.
.
chapter 1 : END
To be continued.
Holaaaaa~
Udah lama ga nulis buat sasusaku. Semoga feelnya masih ada ya. Hehehe
Makasih udah mau mampir dan baca fic ini sampe selesai.
Gimana? Punya komentar atau pertanyaan? Bagaimana kesanmu buat fic ini?
Silakan sampaikan di kotak review kalo berkenan yah :3
Btw fic ini diusahakan bakal tamat di tanggal 20 Februari 2014, pas SasuSaku Fanday. Yang suka SasuSaku ayo ikutan berkarya juga. Gacuma ff aja, fanart, essay dll juga bisa. #promosi wakakaka
Cuplikan buat ch depan :
"Aku Sakura. Tunangan dari lelaki yang sedang bersamamu."
"Sasuke, apa kau menyukai Sakura?"
"Sakura, sampaikan ucapan terimakasihku pada ibumu."
Okelah akhir kata aku pamit dulu.
Salam cinta, Lucifionne :*
