Sekali-kali diketuknya jemari lentik pada meja kayu, sesuai irama yang masuk ke dalam telinganya, tangan berbalut parka berwarna krem menelekan pada pegangan kursi, sedang tangan kiri memegang bagian novel yang menggulung pada satu sisinya, dan sisi lainnya terbuka menyajikan deretan huruf.

Pemuda itu duduk sendiri di bangku metal dengan sandaran melengkung di sebuah café teras di pinggir jalan.

Kacamata minus membingkai mata lebar berwarna lazuardi. Punggung kecilnya nyaman pada sandaran kursi, sementara kedua telinganya tertutup headphone mahal berwarna hitam. Sungguh pemandangan yang indah. Tak ketinggalan kaki ramping dibalut jeans hitam dengan sneaker merek terkenal berwarna biru tua dengan tiga strip sejajar biru muda, bersilang santai.

EVADE

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Story by Mel

.

Warning: Typos, AU, sho ai, it's only fictitious

Please enjoy

.

.

Espresso macchiato, campuran ekstrak biji kopi pilihan dicampur dengan susu vanilla berbuih pada permukaan likuid berwarna coklat muda menguarkan harum, asap masih mengepul dari cangkir putih yang baru dicicipinya sedikit, manis, gurih, dan hangat. Dua buah croissant berwarna kecoklatan bertabur putih gula tepung, diletakkan pada piring porselen putih dengan pinggiran berwarna keemasan, garpu perak terlihat berkilat memantulkan sinar matahari yang malu-malu memancar, cahayanya sedikit terhalang sepasang menara kelabu sebuah katedral tua – Lund Chatedral.

Dia tidak sedang menunggu seseorang. Hanya menghabiskan waktu sebelum kuliahnya dimulai. Terkadang matanya tidak fokus, melarikan pandangannya dari halaman buku, memandang jalanan yang tersusun dari batu-batu andesit berbentuk persegi dengan motif lengkung tak putus sepanjang mata memandang. Gambaran di depannya seperti jalanan di sudut-sudut kota di Eropa dengan sistem pemerintahan monarki masa lalu, tidak, bahkan sampai sekarang negara itu masih dipimpin Carl Gustaf, yang mulia Raja Swedia.

Sesekali kepulan karbon dioksida keluar dari mulutnya, bulan Januari di kota Lund memang sangat dingin, sebuah kotak berwarna hitam dengan deretan led oranye disudut jalan menunjukan suhu minus enam.

Kota ini terlihat sangat asri, sebuah potret nyata kota jaman kerajaan tempo dulu. Mungkin hanya bangunannya saja yang tua, sebenarnya tidak ada satupun yang tertinggal dalam budaya dan gaya hidup masyarakatnya, di sini terdapat sebuah universitas dengan banyak kastil-kastil menjadi ruang belajar.

Pohon-pohon meranggas, menyisakan satu dua lembar daun berwarna coklat pada ranting kerontang, sekumpulan burung gagak terbang melintasi taman di depan café tersebut.

Selalu, setiap hari Rabu pagi, lelaki muda itu akan duduk pada kursi yang sama di café pinggir jalan. Hanya untuk menghabiskan waktu. Tidak jarang pria dan wanita muda dengan ras kaukasoid nordik hadir di meja lain di café itu, meneguk cairan hangat untuk sedikit mengusir dingin, diantara mereka tak segan menghisap sigaret putih. Status mereka sama, sebagai mahasiswa.

Dan sudah beberapa kali hari Rabu, sepasang mata rubi dengan setianya memandangi dari balik jendela sebuah kedai kebab di seberangnya. Hanya memandang lelaki bermata lazuardi dengan rambut senada, terkadang melambai tertiup angin.

"Tetsuya, kemana pun kau lari aku akan tetap selalu menemukanmu!" gumamnya setiap kali memandang tubuh mungil yang berjarak beberapa meter di seberang sana. Tidak sedetikpun iris rubi itu beralih, walau hanya untuk menerima secangkir kopi hitam yang dipesannya. Ia mengucapkan "tack så mycket." sebagai ungkapan terimakasih pada pelayan berwajah timur tengah tanpa menoleh.

Sekali-kali atau bahkan sudah berkali-kali handphone keluaran terbarunya merekam gambar pemuda yang tengah membaca tersebut. Sudah ratusan foto tersimpan dalam memory smartphone-nya.

Sebenarnya Kuroko Tetsuya – nama pemuda itu, tidak lari dari satu apa pun, ia hanya ingin menyelesaikan studinya di suatu tempat di Eropa, walaupun ayah dan ibunya keberatan anak tunggal mereka harus tinggal jauh. Ia juga berusaha memenuhi janjinya pada seseorang.

Ibunya sempat menangis saat Tetsuya mengemukakan keinginannya belajar di negeri itu, di salah satu negara Skandinavia.

"Aku ingin belajar mandiri, kaa-san." katanya saat ibunya mengajukan keberatan.

"Disini juga banyak perguruan tinggi yang bagus, nak." suara bundanya lembut, sedangkan sang ayah hanya diam, seolah tenggelam dalam bacaan di depannya. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Lunds Universitet berada di bagian selatan negara Swedia, sebuah kota kecil yang lebih dekat ke negara Denmark, berada di sebelah selatan, terpisah selat Øresund.

Perguruan tinggi ini ditemukan Kuroko Tetsuya secara tidak sengaja di internet, ketika sedang mencari sebuah fakultas yang menjadi minatnya. Gambar-gambar indah kampus itu mempesonanya, membuatnya berkhayal, 'andaikan aku bisa kuliah disana'.

Berbagai foto sudut kota Lund yang diambil secara artistik terpampang di layar laptopnya, juga foto-foto bangunan perguruan tinggi serta sebuah gedung perpustakaan serupa kastil yang dijalari tanaman merambat, sangat menarik perhatiannya. Universitas ini merupakan salah satu yang tertua di negara itu.

.

- Past -

"Tetsu-kuuuun, setelah lulus kau akan kuliah dimana?" sebuah suara yang tak asing terdengar dari balik punggung kecilnya, dan segera sebuah pelukan dengan tekstur kenyal mendarat di belakang tubuhnya. Hangat. Tapi membuatnya tidak bisa bernapas.

"Se sesak Momoi-san." ujarnya sambil menahan nafas.

"Aku juga mau peluk Kurokocchi ssu." suara lainnya terdengar merajuk, dibuat-buat.

Kuroko hanya menggulirkan bola matanya ke arah lain. Selalu seperti ini.

"Ne, Tetsu apa kau akan ke universitas yang klub basketnya bagus, hm?" suara berat muncul dari sebelah kanan bangkunya. Kepala biru muda itu hanya menggeleng, surainya melambai ke kiri ke kanan. Lelaki legam itu baru hanya mendengus.

"Apa kau akan mencari cahaya baru, huh?" satu suara lagi menyusul, berat, tersirat nada curiga.

"Tidak, Kagami-kun." jawabnya pada sosok tinggi besar dengan rambut bergradasi merah tua hitam.

"Satsuki, lepaskan Tetsu!" Aomine Daiki – yang berkulit legam manis – menarik lengan ramping yang terus saja menempel pada tubuh ringkih Kuroko.

"Aku sepertinya akan kuliah di luar," kata Kuroko lirih, matanya menerawang memandang langit biru di balik jendela bening di pamping bangkunya.

Awan putih bergumpal seperti bulu-bulu putih domba di serial shaun the sheeps mengambang berhamburan di sehamparan langit. Telunjuknya bergerak seolah menggambarkan sesuatu, dalam khayalannya ia sedang memberi empat kaki pada tiap gumpalan putih itu.

"Heee..." kompak keempatnya bersuara.

"Memangnya Tetsu-kun mau kuliah di mana? Di luar Tokyo? di Osaka? Kyoto?" mata sewarna sakura Momoi Satsuki mengerjap, bertanya dengan tidak sabar.

"Tidak…Kurokocchi tidak boleh kuliah jauh-jauh ssu yo..." suara cempreng Kise Ryouta turut menyumbang gaduh, sementara dua mahluk bersosok tinggi lainnya menautkan alis.

'Kau mau pergi kemana, Tetsuya?' batin seorang pemuda, tubuh tegapnya bersandar pada tembok di belakang mereka. Dia tidak bergabung dengan sekelompok siswa di depannya, hanya memerhatikan dari belakang.

"Akashi-kun…" sebuah suara lembut sukses masuk ke telinga yang tersembul diantara rambut merahnya.

"Ada apa?" suaranya datar, tanpa ekspresi.

"Akashi-kun tadi pagi janji 'kan mau makan bareng denganku." tangan mungilnya memperlihatkan kotak bekal berwarna coklat terbungkus kain seputih susu bermotif daun momiji yang tersebar. Wajah manisnya tersenyum bersemu kemerahan, Akashi hanya melihatnya melalui sudut mata, bibirnya membentuk garis.

"Baiklah." datar dan dingin, laki-laki berambut merah itu berjalan keluar kelas lebih dulu, dibelakangnya mengekor seorang remaja berambut coklat hangat. Ia masih sempat melihat lelaki di depannya melirik sekumpulan siswa yang sedari tadi mengerubungi Kuroko.

"Enak 'kan masakanku, Akashi-kun?" yang ditanya hanya mengangguk, ia sangat tahu etika maka ia harus menghargai sesuatu yang orang lain berikan walaupun sebensrnya ia sama sekali tidak berselera.

'Tetsuya, kau mau pergi jauh kemana?' dikepalanya berputar-putar suara halus yang selalu mampu menyita semua atensinya.

"Tsk…" tanpa sengaja desisan keluar dari sudut bibirnya, membuat pemuda disampingnya menoleh. Sorot mata sewarna surainya itu menyiratkan tanya.

"Ada apa Ak…"

"Tidak ada apa-apa." potongnya, tanpa menghabiskan bento khusus dimasakkan untuknya, pemuda itu meletakan sumpit di atas kotak makan, lalu bangkit.

"Terimakasih untuk bentonya, aku mau ke toilet, nanti kau ke kelas sendiri!" suara datarnya penuh perintah yang tak terbantah.

"Ha ha'i, Akashi-kun." Pemuda bersurai coklat itu hanya memandang kotak bento yang nyaris tak berkurang isinya, 'ada apa denganmu, Akashi kun, padahal ini bento pertama untukmu.' batinnya. Memang sejak semula sifat Akashi tidak berubah, selalu dingin dan datar. Dia sangat tahu itu dan sudah menerima Akashi apa adanya. Cukup baginya pemuda tampan itu ada di dekatnya.

Langkahnya panjang-panjang mengayun, koridor yang ramai dilalui dengan cepat. Mata rubi menangkap sekelebatan warna biru muda berbelok ke arah perpustakaan. Menapaki tangga yang bersinggungan dengan dinding aula, membentuk sudut 35 derajat ke arah kiri, dan sampailah di koridor luar ruangan penuh buku itu.

Pintu dikuak, si biru muda tengah menelusuri deretan buku-buku, telunjuknya mengindeks setiap pustaka yang berjajar, label buku perpustakaan bertuliskan angka dan huruf itu merupakan identitas dan penunjuk kelas juga lokasi di raknya.

Akashi sembarang mengambil buku dan segera duduk di kursi berjok warna magenta, sikunya bertelekan pada meja baca, buku dibuka tetapi matanya tak lepas dari sosok manis yang masih bergerak menelusur di depan rak buku terbuat dari metal berwarna abu-abu dengan aksen kuning terang.

Sebuah novel monogatari dengan gambar seorang shogun menggenggam pedang dibawanya ke meja baca terdekat, persis di depan Akashi. Rambut birunya sedikit terayun ketika kepala mungil itu mengangguk memberi salam kearah Akashi yang duduk di depannya, menatapnya lekat. Kursi berderit ditarik sebelum diduduki.

Seolah tenggelam dalam dunianya sendiri, Kuroko khusyuk membaca, mata lebarnya bergerak searah tulisan dari atas ke bawah. Iris lazuardi terkadang melebar, terkadang juga memicing walaupun dalam bingkai wajah datar, menggambarkan keseriusannya dalam menyelami kisah yang terhimpun dalam buku di depannya.

Remaja itu tidak memperdulikan iris rubi yang berkali-kali menatapnya. Isi buku lebih menarik daripada sepasang kelereng beriris runcing di depannya.

'Tetsuya, apakah sesulit itu untuk sekedar menotisku?' batin Akashi.

Tanpa Akashi sadari sepasang iris mengintipnya dari celah pintu.

'Apakah sosok seorang Kuroko Tetsuya begitu mempesonamu, Akashi kun? Apa yang kau lihat darinya?' ya, sosoknya dengan pemuda biru muda itu hampir sama, hanya warna rambut dan irisnya saja berbeda, sangat mencolok, coklat dan biru muda. Sudah sepuluh menit pemuda itu mengintip Akashi, yang tak berkedip menatap Kuroko tengah asyik sendiri, mengabaikan sosok tampan di depannya.

Bel berbunyi tanda istirahat selesai. Kuroko bangkit, matanya tak lepas dari teks yang tercetak pada lembaran kertas, ia berjalan mendekati konter sirkulasi.

"Apakah aku boleh meminjam buku ini, Junko-san? Tapi aku sudah meminjam empat buku." Kuroko setengah memohon kepada sorang pustakawan yang bertugas di bagian layanan sirkulasi.

"Kau bisa menggunakan kartuku, Tetsuya!" sontak kepala biru muda itu menoleh, sebuah kartu disodorkan, tepat di depan hidungnya, refleks kepalanya bergerak sedikit ke belakang, gelengan kepala biru itu menolak kebaikan yang ditawarkan. Si empunya kartu merapatkan bibir, penolakan menggores hati.

Kembali menatap sang pustakawan di balik konter peminjaman. "Aah, baiklah, kali ini aku ijinkan, catat namamu pada buku peminjaman itu, aku tidak bisa meng-input pinjamanmu di sistem perpustakaan karena pinjamanmu sudah maksimal." Kuroko mengangguk lalu menuliskan nama, kelas, serta judul buku yang dipinjamnya, sementara Akashi berdiri disampingnya, matanya memperhatikan barisan tulisan rapi itu.

"Akashi-kun mau meminjam buku?" kepala dengan wajah manis itu miring ke kiri, mata biru muda lebarnya seolah membuatnya tenggelam, pemandangan yang sangat indah. Akashi – kalau saja saat ini berubah menjadi seorang Kise Ryouta – pastilah sudah memeluknya, mendekapnya, dengan erat dan tidak akan melepaskannya lagi.

"Aah, iya." memutus tatapannya pada iris lazuardi, kartu dan buku diserahkan pada pustakawan yang ramah itu.

"Ayo Tetsuya, kita ke kelas!" diliriknya pemuda yang kembali asyik menelusuri barisan huruf kanji dibelakangnya, tangannya mengulur menarik tangan kiri mungil lembut sewarna susu.

"Akashi-kun?" tangan mungil itu ditarik hendak melepas pegangan pemuda itu, tetapi ia merasakan jemarinya malah semakin kuat digenggam.

"Aku hanya tidak mau kamu jatuh di tangga. Memalukan!" tangan yang lebih besar mempererat genggamannya, sementara kedua alis Tetsuya bertaut, perempatan merah imajiner tercetak pada pelipisnya.

"Lepaskan Akashi-kun, aku bisa berjalan sendiri. Ini lebih memalukan. Aku bukan anak kecil!" protesnya, berusaha melepaskan genggaman sang kapten basket. Perempatan imajiner bertambah satu di dahinya sebelah kiri.

"A Akashi-kun…" suara lembut bergetar terdengar dari ujung tangga, mendongakkan kepala ke arah dua orang yang sedang menuruni tangga. Wajah manisnya bersaput merah muda.

"Kau! ayo ke kelas sekarang!" perintahnya. Genggaman tangan tidak juga dilepas.

"Tolong lepaskan tanganku, Akashi-kun!" suara Kuroko menginterupsi. Dikepitnya buku yang sedang dibaca, lalu tangan kanannya meraih tangan pemuda yang berada diujung tangga untuk menggantikan tangannya, ditautkan dengan tangan Akashi, yang sontak menoleh dengan marah, matanya berkilat, melepaskan lengan pemuda itu, dan langkahnya menghentak meninggalkan keduanya, biru muda menghembuskan udara kasar dan yang coklat membatu.

"Ada apa dengan Akashi-kun?" Kuroko bingung, menatap pemuda didepannya, yang ditatap hanya menunduk dan menggelengkan kepala.

"Cepat kejar dia!" seru Kuroko, tetapi pemuda itu hanya diam.

"Tidak, sepertinya Akashi-kun marah padaku."

"Memangnya kau salah apa? Dia tidak boleh mengabaikanmu seperti ini."

'Andai kau tahu, Kuroko, betapa Akashi mengharapkanmu, bahkan mungkin sudah dari dulu,' batinnya.

"Aku akan bilang padanya, tidak boleh memperlakukanmu seperti tadi!" alis biru muda kembali bertaut. Geram.

"Tidak, jangan, kumohon jangan lakukan itu!" kedua tangannya mengepal di depan dada.

"Tapi bukankah dia itu kekasihmu?" alisnya sedikit bertaut.

"Sebenarnya aku bukan kekasihnya, tapi aku sangat meyukai dia, aku akan lakukan apapun untuknya." sendu pemuda itu menjawab, lengannya kini terkulai lemah disamping tubuh yang terlihat sangat ringkih.

"Tapi tetap saja dia tidak boleh memperlakukanmu begitu!" Kuroko keras kepala.

"Sudahlah Kuroko-kun, aku yang salah!" dan dia sangat menyukaimu, tolong mengertilah.

"Aku akan mundur, aku tidak akan melakukan hal-hal konyol lagi." isaknya tertahan.

Grrt, geligi Tetsuya saling menggesek karena kesal.

.

"Akashi-kun, tolong hargai Furihata-kun. Apa salahnya? dia sangat menyukaimu!" tangan sang kapten ditariknya.

"Bukan urusanmu, Tetsuya!" sengit Akashi menjawab, menghentakan cengkeraman tangan kurus Kuroko.

"Tapi, Akashi-kun…"

"Cukup, aku tidak mau dengar itu lagi, aku tidak menyukainya. Aku menyukaimu!" bentak Akashi di depan wajah putih yang kemudian memucat, walaupun berusaha tetap datar.

"Tidak bisa begitu, Akashi-kun, tolonglah, hatinya nanti akan hancur!" Kuroko tetap berkeras.

"Lalu apa kau tidak peduli dengan hatiku, Tetsuya?"

Kuroko sebal setengah mati, teringat wajah sendu pemuda bersurai almond. Bibirnya maju beberapa mili, kakinya menghentak.

"Akashi-kun payah!" pemuda mungil itu berbalik, ditinggalnya sang kapten dengan berlari menggunakan misdirection sebelum Akashi membuka mulutnya lagi.

"Tetsuya, aku tak akan pernah melepaskanmu, lihat saja!" gumam Akashi, sementara seseorang dibalik lemari loker tubuhnya merosot, kedua tangan menangkup bibir merahnya.

"Akashi-kun apa apaan?!" gerutu Kuroko. Langkahnya kian jauh, berbelok sampai akhirnya menabrak seseorang.

"Ittai ssu!" suara khas menjerit, otomatis tangannya mendekap rahang bawah. Dagu Kise Ryouta menabrak dahi keras Kuroko.

"Huweee…daguku patah…eeeh Kurokocchi kenapa lari-ssu?" surai pirangnya bergoyang.

"Iie, Kise-kun, aku harus segera ke kelas." wajahnya cemberut, walau masih dalam raut yang datar, keningnya berdenyut, nyeri.

"Tunggu Kurokocchi, kita harus ke gym, barusan Akashicchi memanggil semua anggota tim, ssu!"

"Aku tidak ikut, Kise-kun."

"Eeh nanti Kurokocchi dihukum Akashicchi, lho!" Kise serius memperingatkan.

Keras kepala, Kuroko menggeleng.

"Aku tidak ikut!" ucapnya kesal walaupun datar, menatap iris coklat madu, lalu sedikit menunduk dan berbalik menghilang di belokan. 'Ada apa dengan Kurokocchi, tidak biasanya seperti ini.' batin Kise.

Seluruh anggota tim sudah hadir mengelilingi sang kapten, manager cantik – Momoi Satsuki berdiri di sampingnya. Iris rubi mengabsen seluruh anggota tim. 'Dimana Tetsuya, tiba-tiba menghilang padahal aku belum selesai bicara.' gerutunya kesal, giginya berderit. Papan dada digenggam erat, rahangnya mengeras. Kekesalan tercetak jelas pada wajah tampan.

Pemuda bersurai almond hanya menunduk lesu, mengerti kondisi sang kapten. Sementara yang lain tak satupun berani bergerak, bahkan bernafas pun dilakukan dengan hati-hati. Mereka seolah dapat melihat aura hitam di sekeliling tubuh kapten yang sedang dalam mode badmood.

Akashi menjelaskan taktik yang akan digunakan saat pertandingan tandang yang dilaksanakan minggu depan. Semua yang hadir menyimak walau rasa intimidasi sangat kental. Semuanya memberi perhatian penuh, atau tidak sama sekali saking takutnya. Tak satu pun membantah kapten otoriter itu. Latihan berat harus dijalani kembali. Kemenangan adalah hal yang mutlak, ujar Akashi.

Di kelas yang telah kosong, Kuroko membereskan bukunya yang berserak di atas meja, satu persatu dimasukkan ke dalam tas. Keningnya masih berdenyut karena bertabrakan dengan rahang keras Kise, tangannya mengusap bidang datar itu, ia memikirkan hal yang tadi terjadi.

"Arrghhhh!" suara kesal meluncur dari bibirnya, kedua tangannya meremas surai biru kusut. Rasanya lelah sekali. Mata birunya menatap langit di luar sana, mulai memerah karena senja. Angin menerobos sepoi mengayunkan helaian biru muda, membelai kelopak berbulu mata tebal yang terasa semakin berat dan tanpa sadar matanya terpejam makin larut dalam kegelapan.

"Sekarang bubar, dan persiapkan diri kalian semua!" pungkas Akashi, menutup sesi pengarahan dan latihan sore itu.

'Kenapa kamu tidak hadir Tetsuya, kamu marah? Kamu sudah pulang?' kepalanya berdenyut. Ingatkan Akashi untuk menghukum Kuroko yang bolos latihan.

Akashi kembali ke kelas untuk mengambil jaketnya yang masih tersampir di punggung kursi belajar, tapi di bangku paling pojok, sosok yang ada dalam pikirannya tampak menelungkup di meja belajar.

Didekatinya, tampak kepala berambut biru itu menghadap kesebelah kanan dengan berbantalkan lengannya.

'Tetsuya, kamu tertidur disaat seperti ini?' ditatapnya wajah kesukaan itu, matanya tertutup, suara nafas halus terdengar, dan mulut mungilnya masih mengerucut. Walaupun datar ternyata wajahnya sedang cemberut. Dibelainya helaian biru itu dengan lembut, penuh perasaan.

'Tetsuya…' tatapan mata lembut dan senyum tulus terukir.

Bola mata dibalik kelopak itu bergerak-gerak pelan, pertanda yang empunya akan bangun. Akashi segera mengubah sikapnya, kembali dingin, walaupun bukan ini yang ia inginkan.

Kuroko mengangkat kepala, mata lebar itu mengerjap, menyesuaikan dengan sinar lampu yang masuk ke retinanya.

"Bangun Tetsuya, sudah hampir malam!" suara Akashi terdengar dingin.

"Akashi-kun duluan saja." suaranya parau menahan kantuk.

"Kamu nanti terkunci di kelas ini, ayo cepat pulang!" Tetsuya bangkit, tas putih bergaris biru itu ia selempangkan. Akashi menantinya di pintu kelas. Setelah meregang beberapa kali, memutar lehernya yang pegal ke kanan dan kiri, matanya terpejam sebelah sementara pipinya menggembung, membuat Akashi hanya bisa menahan nafas. Ia seperti melihat anak kucing manja menggeliat setelah bermalas-malasan. Kuroko Tetsuya keluar kelas. Beriringan dengan sang kapten.

"Aku antar kamu pulang!" bariton itu seakan menggema di area sekolah yang telah kosong.

"Tidak, terimakasih Akashi-kun, aku pulang sendiri saja, lagian belum begitu malam." tolaknya.

"Aku tidak menerima penolakan, Tets-" suara dingin dan tegas penuh penekanan terinterupsi.

"Kurokocchi…." Sebuah pelukan mendarat ditubuh mungil yang masih terkantuk-kantuk, sosok tegap di belakang Tetsuya diabaikan.

"Aku pikir kamu sudah pulang, ssu." pelukan erat dilepaskan, dan tangannya diulurkan, menyentuh dahi seputih susu itu.

"Nee Kurokocchi, masih sakitkah, lihat…lihat keningmu masih merah ssu." menyibak helaian biru di dahi, mata madunya intens menatap bidang datar di atas alis mata Tetsuya. Ingin sekali Akashi menendang jauh Kise, kalau bisa sampai Antartika sana, biar mati hypothermia sekalian. 'Kenapa mahluk kuning ini masih ada di sini?'

"Ryouta, kenapa masih ada di sekolah?" sosok tinggi itu berjengit, kemudian dipeluknya lagi tubuh mungil itu, yang kemudian meronta minta dilepaskan.

"Aku menunggunya untuk pulang bareng-ssu, a ayo Kurokocchi!" suaranya bergetar, takut dengan aura sang kapten yang mulai menguar tidak nyaman.

"Ha'i, Kise-kun, Akashi-kun kami pulang duluan." Tetsuya membungkukan badannya sedikit, lalu berbalik berjalan beriringan dengan Kise.

Gejolak amarah ditutupinya dengan mengepalkan tangan, matanya dipejamkan, sementara dada turun naik. Akashi naik darah. Adegan dorama picisan yang membuat matanya iritasi. Mata rubi-nya melirik ke sebelah kanan, ia tahu ada seseorang di sana, tapi ia terus melangkah ke arah mobilnya yang terparkir.

"Haah!" dengusan keras terdengar dari bibir yang melengkung ke bawah.

Kesal!

.

.

tbc

.

.


Note :

satu lagi cerita mainstream... maafkan Mel readers...

Terimakasih sudah meluangkan waktu membacanya

luv

Mel~

p.s

dearest readers,

saya 'n kizhuo coba buat collab fict di fandom ini judulnya unknown sdh chapter 3, kl tdk keberatan mampir ya...

arigatou ~bowing