Disclaimer: I own nothing but the story
.
.
.
Up and Down Like A Rollercoaster
Chanbaek pairing
WARN: Sho-ai, BL, Yaoi
Sorry for typo(s)
.
.
.
Chanyeol menggeliat pelan, merasa pegal dalam posisi tidurnya. Matanya terasa sangat berat untuk membuka. Jadi ia hanya meregangkan tubuhnya, meluruskan punggungnya yang membungkuk dan kaki tangannya yang menekuk. Selimut jatuh ke paha dan gemerisik kertas terdengar setelahnya.
Mata bulatnya terbuka seketika.
"Oh, sial."
Tumpukan kertas hasil coretan karya berhari-hari tersenggol ujung jari kakinya. Ia melirik komputer yang menampilkan angka-angka bersinar hijau terang bergerak turun di layar lebar, sebuah matrix—screen savernya. Mouse disenggol sambil lalu. Ia bangkit dari kursi kerjanya untuk memungut lembaran berharga di sekeliling kakinya. Ketika berjongkok, otot-otot tubuhnya berteriak, meraung karena pegal usai tidur dengan posisi meringkuk bagai bola di ruang sempit kursi kerja. Jangan tanyakan bagaimana caranya tubuh setinggi seratus delapan puluh lima bisa dilipat sedemikian rupa.
Kepalanya pening, mata mengerjap untuk melihat jelas objek pungutannya—berusaha agar kertas tak tertukar dengan tisu. Chanyeol mencoba mengingat kapan ia jatuh tertidur semalam. Oh atau mungkin pagi. Karena jam satu ia masih terjaga, menjamah komputernya.
TING TONG
Tangannya berhenti meraih kertas, kepalanya menoleh pada pintu ruang kerjanya yang membuka. Melihat ke luar sana, ke sumber suara bel apartemennya. Gerutuan tak bisa ditahan. Beberapa lembar di tangan ditaruh asal, beralih menyabet selimut yang sudah kusut.
TING TONG
Ia membawa diri sendiri untuk bersembunyi di bawah meja kerja—konyol memang. Padahal di depan pintu apartemennya sekarang bukanlah seorang rentenir penagih hutang atau penguntit ekstrim. Dia memang orang terkenal, tapi nama aslinya nyaris tidak diketahui banyak orang selain teman, keluarga, dan beberapa rekan kerja.
Selain itu, jika namanya dikenal publik—bisa-bisa semakin phobia. Yah, seorang Park Chanyeol memilih tinggal terisolasi di apartemennya sambil mengetik naskah cerita ditemani kopi dan beberapa botol soda. Hanya itu.
Ia benci keramaian. Ia benci kebisingan. Ia benci segala hal yang berkaitan dengan interaksi sosial bersama orang-orang.
TING TONG
Chanyeol memejamkan mata, melingkupi dirinya dengan selimut susah payah. Well, bergerak dengan ruang sesempit itu tidaklah mudah. Selain itu, dia benci saat seperti ini.
"Park Chanyeol! Jangan pura-pura mati dan bukakan pintu ini sekarang!"
Bukan. Ini tidak seperti yang kalian bayangkan.
Tamu di luar sana bukan orang yang suka cari ribut. Bukan pula tetangga bersifat menyebalkan. Dia hanya menjalankan pekerjaannya dengan baik dan benar. Mengawasi seorang penulis yang memiliki sisa waktu satu minggu lagi untuk segera menyerahkan naskah cerita untuk buku keempatnya.
"Park Chanyeol! Aku bisa mendobrak pintu ini dengan satu dua jurus hapkido!"
Chanyeol berjengit.
Tidak, pintunya tidak boleh rusak. Ia tidak mau repot-repot menelpon resepsionis di bawah sana untuk membiarkan tukang membetulkan pintunya. Tidak. Ia tidak rela apartemennya dimasuki orang lain. Lalu bangkit dengan cepat—
DUK
"Aduh!"
—dan terjatuh duduk sambil mengusap-usap kepala yang terantuk meja cukup kencang. Bodohnya. Kenapa ia lupa sedang bersembunyi di bawah sana. Ia mendorong kursi empuk beroda dengan kasar, melempar selimut serampangan, langkahnya dipercepat menuju pintu utama.
"Siap-siap, ya! Tiga! Dua! Sa—"
Klik
Kunci pintu terbuka otomatis ketika kartu digesek. Chanyeol menyembulkan kepala, rambut hitamnya berantakan.
"Selamat pagi, Chanyeol."
Lelaki pendek itu tersenyum ramah—seolah melupakan tindakan anarkis yang hampir dilakukannya pada properti orang lain. Penampilannya masih menyegarkan seperti hari-hari kemarin. Dan itu menyilaukan mata redup Chanyeol.
"Pagi, Baekhyun." Chanyeol membalas sapaan editor barunya dengan ogah-ogahan.
...
"Kenapa kau tidak pernah membersihkan ruanganmu, sih?"
Chanyeol yang sedang merapikan meja kerja melirik Baekhyun. Lelaki pendek itu berdiri di ambang pintu, posenya berkacak pinggang bagai seorang Ibu yang mengomel anaknya pulang malam.
Chanyeol memungut satu kertas, "Ini bukan tumpukan sampah, Byun Baekhyun." Tangannya menyodorkan tulisan-tulisan pada sang editor, "Ini harta karun."
Baekhyun menggeleng, kakinya dibawa masuk melewati pintu. "Aku tidak bilang itu sampah. Maksudku, memangnya kau bisa bekerja dengan nyaman disituasi kacau balau begini?" pandangannya diedarkan ke seluruh sudut ruangan.
Ia sudah tahu bagaimana kehidupan seorang penulis—sudah pasti tempat menuangkan idenya akan sangat berantakan. Lebih tepatnya daerah meja kerja saja yang berantakan. Entah penuh kertas-kertas atau sisa snack berserakan. Tapi ia tidak pernah menduga kalau seorang Park Chanyeol lebih dari itu. Selain kertas dan bungkus makanan, ada sebuah gitar bersandar pada rak buku, tatanan rak buku itu juga tidak terorganisir, belum lagi baju-baju pria itu juga teronggok di beberapa sudut.
Baekhyun jadi bingung. Ini ruang kerja atau kamar pribadi?
Ruangannya sungguh bencana.
Chanyeol mengedikkan bahu. "Kalau disingkirkan semua, nanti aku kesulitan mencari secuil ide yang pernah tertoreh. Siapa tahu aku tidak sengaja membuangnya bersama tisu dan bungkus makanan."
Baekhyun berdecak pelan, menganggap pria itu benar-benar pemalas. Ia membungkuk, memungut pakaian—yang hampir seluruhnya adalah baju atasan saja. Ini menjadi rutinitas barunya tiga hari ke belakang. Membersihkan bagai asisten rumah tangga selagi pemilik apartemen duduk di kursi dan melanjutkan ketikannya.
Baekhyun hanya editor pengganti yang akan mendampingi proses pembuatan naskah cerita Chanyeol. Ini memang terlambat, lagipula tadinya bukan dirinya yang bertanggung jawab.
Waktu itu, Baekhyun baru kembali dari pekerjaan di Jepang, lalu seniornya, Zhang Yixing bilang kalau dia punya seorang penulis yang harus diawasi. Terlebih lagi karena begitu banyak penulis yang meminta karyanya diterbitkan, beberapa rekannya jadi kesulitan mengatur semuanya. Jadilah Baekhyun menerima tugas sebagai relawan.
Ia menyempatkan diri untuk melihat data tentang penulis yang dimaksud Yixing di kantor. Ia tertawa sampai sakit perut karena namanya Park Chanyeol. Tadinya berpikir kalau itu adalah Park Chanyeol yang lain, bukan orang yang pernah dikenalnya. Lagipula nama itu pasaran, ya kan?
Tapi prediksinya salah karena pria yang dimaksud benar-benar Park Chanyeol. Bukan cuma Baekhyun yang terkejut mengetahui fakta itu, Chanyeol juga tak kalah kaget saat melihatnya. Tiga hari yang lalu, Baekhyun mendatangi apartemen penulis yang akan diawasinya. Masih sama seperti keadaan tadi pagi, ia harus menekan bel berkali-kali baru pintunya dibukakan.
"Selamat pagi, Loey Pheonix. Aku—eh, Chanyeol?"
Suaranya terhenti di sana, senyum meluntur. Chanyeol sendiri mematung memegangi kenop pintu. Pandangan Baekhyun menurun pada pemilik rumah. Ia menahan tawa lalu berkata;
"Emmm, Chanyeol, kupikir kau mau pakai celana dulu."
Mendelik kaget, Chanyeol menunduk. Dasar sial, kenapa ia bisa lupa kalau kakinya cuma terbalut bokser sejak semalam. Beralasan pada dirinya sendiri karena terlalu sibuk dengan komputer hingga tak mampu meninggalkan kursi barang sedetik. Padahal memakai celana tidak sesulit itu. Wajahnya merah padam seketika.
"Maaf! Tolong tunggu di sini sebentar!"
Lalu pintu dibanting tertutup. Biadab sopan santun, memang. Alih-alih marah, Baekhyun terkikik geli dengan reaksi pria itu. Ia bisa menebak kalau Chanyeol tidak mengantisipasi kedatangan orang lain karena memang biasanya Yixing yang datang.
"Kenapa kau tertawa aneh seperti itu?"
Baekhyun menoleh ke sumber suara. Oh ia tertangkap basah. Ia berdiri tegak, lengan mendekap baju-baju milik pelontar pertanyaan, senyuman manis diberikan, "Mengumpulkan bajumu begini membuatku teringat pemandangan boksermu—"
"Jangan dibahas lagi!"
Tawanya pecah kemudian. Baekhyun berjalan keluar bermaksud mencari keranjang pakaian sekaligus menghentikan rasa geli di perutnya yang tidak akan habis kalau melihat sumbernya. Chanyeol berdecak pelan, menyesal sudah bertanya.
Ketika Baekhyun menghilang di balik pintu yang ditutup, Chanyeol melempar punggungnya untuk bersandar. Kepalanya mendongak, merasakan tekanan di setiap inchi tubuhnya. Kakinya pegal, matanya berat, perutnya baru saja berbunyi keroncongan, tangannya lelah mengetik, otaknya lelah berpikir dan terakhir—hatinya lelah memasang dinding.
Terkadang, seorang penulis juga bisa melankolis pada hidupnya sendiri, kalian tahu.
Chanyeol sendiri merasa sangat berantakan sejak kedatangan Baekhyun. Ia tidak pernah mengira bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Lebih tepatnya sepuluh tahun. Bayangkan, sepuluh tahun tidak bertemu tahu-tahu harus jadi rekan kerja selama sepuluh hari. Ini maksudnya kutukan angka sepuluh apa bagaimana. Bukannya ia membenci lelaki mungil itu, mereka bukan musuh bebuyutan. Masalahnya adalah—
"Hei, Park! Kulkasmu sudah kosong lagi?!"
Chanyeol memutar mata lalu balas berteriak, "Memangnya aku tidak butuh makan?! Dan kenapa kau suka sekali membuka kulkas orang lain?!"
Ada keluhan jelas yang didengarnya, mungkin editornya itu tengah menyumpah-nyumpah. "Aku juga butuh makan!"
Oh Ya Tuhan. Siapapun tolong, Chanyeol sudah tidak kuat. Baru tiga hari dan hubungan mereka tidak ada harmonisnya. Bukan maksudnya menyamakan dengan rumah tangga, tapi editor dan penulis itu perlu berkomunikasi sering sekaligus kenal luar dalam. Itu termasuk kontrak supaya pekerjaan mereka bisa lancar.
Tapi mencampuri kehidupan pribadi tidak masuk hitungan. Makanya Byun Baekhyun dianggap sudah melanggar perjanjian.
"Ini bukan rumahmu!" balas Chanyeol dengan sengit. Ia bukannya marah, hanya kurang suka perabotan pribadinya dipegang-pegang. Sudah dibilang dia itu benci segala hal yang berkaitan dengan interaksi sosial bersama orang-orang. Miliknya sudah jadi hak paten yang tidak boleh ternodai sidik jari orang lain.
Baekhyun muncul lagi di ambang pintu. "Kalau begitu cepat selesaikan naskahmu supaya aku tidak perlu datang ke sini lagi dan mengais makanan darimu karena terlalu banyak waktu yang kau buang sia-sia untuk melamun!"
Editor barunya suka sekali bicara menohok. Apalagi dalam satu kalimat dan satu tarikan napas. Diam-diam Chanyeol kagum dengan kuota pernapasan Baekhyun yang sanggup menampung dua puluh kata lebih. Omong-omong ia merasa sudah dipukul telak. Ini memang salahnya yang tak kunjung mendapat inspirasi untuk melanjutkan alur cerita buatannya.
Sekali lagi, ia tidak membenci lelaki mungil itu, mereka bukan musuh bebuyutan. Karena masalahnya adalah—
"Hei, ayo temani aku belanja sebentar keluar."
Chanyeol hendak memprotes, tapi Baekhyun sudah hapal alasan-alasan kuno pria itu tidak mau berada di tempat umum. Jadi ia menambahkan dengan cepat, "Temani aku atau kau keluar sendiri untuk membeli isi kulkasmu." ancamnya dengan tatapan tajam tak menerima bantahan.
Sebenarnya yang membuat naskah Chanyeol tidak selesai-selesai itu sifat malas miliknya atau permintaan Byun Baekhyun sendiri, sih?
Ia mengangguk. "Kalau begitu beri aku waktu untuk bersiap-siap." pintanya selagi berjalan menuju kamar mandi. Ingin membasuh muka dan menyikat gigi. Meskipun benci harus keluar dari tempat isolasi yang disebut apartemennya—Baekhyun menyebutnya goa kekinian—ia tidak mau berpenampilan seperti gembel jalanan.
Baekhyun mendudukan diri di sofa, posisinya sudah seperti menikmati keempukan sofa milik sendiri—biadab sopan santun juga rupanya. "Oke, hanya sepuluh menit. Jangan mengunci dirimu sendiri di sana karena tekanan mental. Bertemu orang lain tidak membuat duniamu kiamat."
Chanyeol mengiyakan dengan malas lalu membanting pintu kamar mandi. Ia berhenti di depan wastafel, melihat wajahnya di pantulan cermin. Kantung matanya terlihat jelas. Mulai menerka-nerka apa memang yang membuatnya begadang itu tenggat waktu naskah yang sudah dekat atau keberadaan Baekhyun di sekitarnya hingga otaknya dipenuhi wajah cantik itu sampai insomnia.
Ah. Mari kita lanjutkan narasi yang terpotong sedari tadi. Karena masalah utamanya adalah—
"Waktumu tinggal tujuh menit, Chanyeol!"
"Satu menit saja belum lewat!" Chanyeol berteriak pada pintu. Tawa Baekhyun terdengar setelahnya.
—Byun Baekhyun itu masa lalunya, cinta pertamanya, dan… mantan terindahnya.
Bagus. Sekarang Chanyeol tidak yakin ia sanggup bertahan seminggu lagi.
.
.
.
.
Tebece or del—?
a/n: SELAMAT HARI KEMERDEKAAN INDONESIA YANG KE TUJUHPULUHTIGA!
ini kayaknya bakal jadi short story kalo tbc. Mungkin sekitar 3-4 chapter. Kenapa judulnya begitu? karena—AYO JADIKAN ICONIC LINE CHANYEOL KE TRENDING DUNIA PER-FF-AN (?) kan ada chogiwa, I just wanna make you love me, I'm untouchable man, yo nice skirt, dan ini—up and down like a rollercoaster. abaikan aja hehe. Hayo tebak iconic line yang diatas itu dari lagu mana aja (malah kuis)
btw kalo banyak yang review minta lanjut, pas idul adha saya post chapter 2 (padahal belum ngetik sama sekali, ini ujian bung) omong-omong hari senin saya ada tes toeic, doain semoga lulus hehe (cium dari jauh untuk yang mendukung)
Terima kasih sudah membaca~!
