Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.
.
A/N: Fic ini aku tulis untuk para Inocent yang sangat baik hati telah mendukungku untuk terus menulis dan mengingatkan diriku kalau masih utang updatean. Lmlsn, Sasuino351, Ino-chan, cloesalsabilaah dan yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan. Maaf belum bisa mengupdate fic yang lainnya. Sabar ya kawan-kawan.
Terinspirasi dari fic nya Gin dan Amaya "Anomali" jadi ingin ikut menulis cerita tentang soulmate
Happy reading!
.
.
Dream of you
.
.
Ino mendengarnya lagi, Suara lirih yang memanggil-manggil namanya dari balik kegelapan. Suara seorang pria yang menggemakan kerinduan. Suara yang ia rasa familier tapi terlupakan. Suara itu membuat perutnya terpilin dan hatinya sakit lalu dia melihatnya, sepasang tangan berlumuran darah dan kepala tertunduk dengan penyesalan. Ino ingin tahu siapa, siapa yang memanggilnya? Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pundak pria yang bersimpuh dalam derita.
Ino tersentak, Matanya terbuka dan pipinya basah dengan air mata. Mimpi itu lagi. Dia memimpikan hal yang sama sejak ulang tahunnya yang ke delapan belas. Setiap kali ia memimpikan pria itu dia akan merasakan rasa sakit di hatinya dan juga kerinduan yang tak bisa ia jelaskan. Ia tak pernah melihat wajah pria dalam mimpinya. Ino hanya tahu pria itu tampak pucat bagaikan hantu. Pria yang sepertinya tenggelam dalam penantian. Tapi mengapa memanggilnya?
Ino memilih untuk bangun meski matahari masih belum terbit, Mimpi itu terlalu nyata. Rasa kehilangan dan kesepian pria itu memancar dan mencekiknya, Membuatnya merasakan hal yang sama. Dia ingin tahu apa arti mimpi-mimpinya. Apa yang alam bawah sadarnya ingin sampaikan padanya?. Ino bertanya pada teman dan sahabatnya apa mereka pernah mengalami hal yang sama, Tapi tak seorang pun pernah mengalami mimpi yang repetitif seperti dirinya.
Ino beranjak dari ranjang, mencuci wajahnya, Ia membuka lemari dan mencari pakaian olah raga. Ia mengenakan sepatu dan jaketnya dan mulai berlari mengitari areal kompleks apartemen yang mewah. Hidup Ino Yamanka terlihat sempurna. Ia putri seorang konglomerat dengan wajah cantik dan tubuh Indah. Sifatnya yang periang dan ramah membuatnya memiliki banyak teman tetapi dia tak memilik seorang kekasih. Ino punya banyak pilihan dan dia juga sempat pacaran beberapa kali dalam hidupnya tetapi semua pria yang ia kencani terasa salah.
Wanita itu merasa ada sesuatu yang hilang. Satu kepingan puzzle untuk membuat semuanya komplit. Tapi ia tak tahu apa yang ia perlukan. Dia hanya mengerti jauh dalam dirinya ada rasa rindu pada seorang yang ia tidak tahu, seseorang yang ia nantikan dan membuatnya benar-benar jatuh cinta.
Peluh telah membasahi keningnya membuat beberapa helai poninya menempel di kulit. Ino berhenti berlari untuk menatap langit yang mulai berubah warna. Mentari menyeruak di ufuk timur dengan membawa sinar dan kehangatan. Ia memilih duduk di bangku taman beristirahat dan menikmati keindahan pagi. Sayup-sayup terdengar kicauan burung yang membuat Ino menutup mata dan menenggelamkan diri dalam imajinasinya. Ino berkhayal di suatu tempat dan waktu yang lain ia adalah seorang putri bangsawan yang telah menemukan pangerannya.
Mungkin dia adalah wanita yang terlalu romantis karena masih mengharapkan kisah cinta seperti dongeng-dongeng terjadi padanya, tapi kini ia tak punya banyak waktu untuk bermimpi lagi. Bila ia tak menemukan pria impiannya hingga akhir tahun ini maka ayahnya akan memilih suami untuknya. Wanita itu mengembuskan nafas panjang. Ayahnya barangkali benar. Ia sudah terlalu tua untuk mempercayai keberadaan belahan jiwa tapi ia masih berharap mungkin suatu hari ia akan menemukannya.
.
.
Sai menyesap kopi hitamnya. Pikirannya terganggu oleh mimpi yang terasa begitu riil. Mungkin kah dia merindukan sentuhan wanita? Kesibukannya belakangan ini membuatnya tak punya waktu untuk mengurusi lawan jenis. Dia bukan pria yang punya perasaan atau mampu jatuh cinta meskipun begitu ia tetap seorang pria yang tak ingin mengingkari kebutuhan biologisnya. Hatinya telah membeku dari kenyataan hidup yang keras di jalanan. Ia tak akan sampai di posisinya saat ini tanpa menjadi egois. Sai hanya butuh dirinya dan dia tak suka orang lain bergantung padanya. Dia baik-baik saja sendirian.
Sai mengepak kameranya untuk pemotretan di paris. Ironis sekali ia memutuskan untuk membuat foto-foto romantis di kota itu sementara dia sendiri tak mengenal cinta. Ia hanya mengerti objek dan keindahannya tapi ia tak memahami emosi. Ia mengasosiasikan emosi sebagai hal yang destruktif karena itu ia memilih untuk mengabaikannya. Emosi menjadi kejatuhan banyak orang dan dia tak ingin jatuh setelah memanjat dengan susah payah.
Setelah semua peralatan selesai dikemasi. Dia kembali memikirkan mimpinya. Seharusnya ia tak perlu ambil pusing, mimpi hannyalah khayalan yang muncul saat ia sedang tertidur dan tak berarti apa-apa. Tetapi masalahnya semalam bukan pertama kalinya ia melihat sosok wanita berambut pirang itu dalam mimpinya. Ia tak pernah mengingat wajahnya dengan detail tapi Sai selalu melihat wanita pirang itu tertawa dan tersenyum. Dia wanita yang memancarkan kehangatan. Wanita yang membawa musim semi. Aneh, mengapa ia memimpikan wanita langsing berambut pirang yang jelas -jelas bukan tipenya. Ia lebih suka wanita berambut gelap dengan tubuh sintal dan senyum yang menggairahkan.
.
.
"Ino mengapa wajahmu lesu begitu? Bukankah kau baru saja menerima kontrak dari rumah mode Givency."
Suara sopran Sakura membuat Ino mengangkat wajahnya dari sepiring salad yang dia aduk-aduk dari tadi. Ia tak ingin makan. Kebetulan juga ia harus mempersiapkan diri untuk pergelaran busana di Paris artinya ia harus menurunkan berat badannya dua atau tiga kilo lagi dalam satu minggu. Dia menyukai modeling meski harus menyiksa dirinya dengan diet ketat, olah raga dan perawatan kulit.
"Yah, Ini pertama kalinya aku akan menginjakkan kakiku sebagai model di Paris. Pencapaian besar dalam karierku sebagai model. Tapi bukan itu yang menganggukku. Kau ingat aku bercerita padamu tentang mimpiku?"
Wanita berambut merah muda itu mengangguk, "Mimpi tentang seorang pria yang tak kau kenal?"
"Benar, Sekarang aku memimpikannya hampir setiap hari dan aku akan terbangun dengan rasa sedih yang tak bisa aku jelaskan. Apa kau pikir aku punya masalah?"
"Entahlah Ino, Biasanya seseorang mengalami mimpi buruk berulang-ulang karena faktor trauma atau ada hal yang mereka tidak mau akui dan menyebabkan stres."
"Tapi aku tidak bermimpi buruk dan aku melihat mimpi yang sama sudah hampir delapan tahun."
"Hm...Apa kau memendam emosi negatif Ino?"
" Aku rasa tidak, semua baik-baik saja. Aku merasa bahagia. Apa kau pikir aku perlu menemui psikiater?" Tanya Ino pada sahabatnya.
"Aku merekomendasikan Dokter Shizune padamu. Mungkin dia bisa menemukan isu yang bahkan kau sendiri tak sadari."
"Ya, Aku akan membuat janji sepulangnya dari Paris. Sakura aku mendengar rumor kau akan menikah dengan Sasuke. Benarkah?"
Wanita berambut merah muda itu tersenyum lebar. "Itu bukan rumor Ino, Aku mengajakmu makan siang karena aku ingin memintamu untuk menjadi bride's maid-ku dan membantu mengurus pernikahanku."
"Akan menjadi kehormatan bagiku. Kau sudah seperti saudara. Ah, Aku jadi iri padamu. Aku bahkan tidak menemukan cinta." Keluh wanita berambut pirang platinum itu.
"Ayolah Ino, Kalau kau mau kau bisa mendapatkan pacar. Bahkan kakak Sasuke yang dingin dan pendiam itu pun menaruh hati padamu."
Mata Ino terbelalak, "Itachi?, tak mungkin. Dia membenciku. Baginya aku hanya seorang wanita pirang yang dangkal, suka mencari perhatian dengan karier memamerkan tubuh. Andai saja kau mendengar komentar-komentar dingin dan sarkastis pria itu padaku."
"Aku rasa pria itu hanya ingin mendapatkan perhatianmu. Sasuke memberitahuku kakaknya tak pernah punya kemampuan dalam menghadapi wanita."
Ino menggelengkan kepala. "Aku rasa kau dan Sasuke delusional. Kalian hanya berniat mencomblangkan kami. Lagi pula aku tak merasakan getaran apa pun pada pria itu. Tidak mungkin Itachi adalah belahan jiwaku."
"Oh God, Kau masih berpikiran tentang soulmate? Ino, kau bukan lagi anak kecil."
"Apa kau dan Sasuke bukan soulmate?"
"Soulmate itu cuman ada dalam dongeng dan fiksi. Kalau memang Sasuke itu belahan jiwaku harusnya dia langsung mengenali dan jatuh cinta padaku tapi kenyataannya Ino. Aku memenangkan cinta Sasuke dengan perjuangan, pengorbanan hingga jatuh bangun mengejarnya bertahun-tahun."
"Tapi Sakura, Aku percaya manusia itu diciptakan berpasang-pasangan dan aku yakin di suatu tempat seseorang dilahirkan hanya untukku."
"Bagaimana kau akan menemukannya?, Di dunia kita tidak ada yang namanya soulmark. Aku rasa kau terlalu banyak membaca dongeng dan fiksi."
"Entalah, Aku pikir takdir akan membawaku ke sana dan aku akan mengenalinya. I will just know."
"You're hopelessly romantic, Pig. Apa kau tak salah menuduhku dan Sasuke delusional?"
"Kau menghinaku forehead, Aku pasti akan menemukan soulmate-ku."
"Cari saja terus, Kau akan berakhir menjadi perawan tua." Sakura tergelak.
Ino memasang muka masam karena Sakura menertawainya. "Aku tahu itu konyol, Aku tak punya banyak waktu untuk menemukannya. Ayahku sudah bertitah bila aku tak memilih seorang pria pun untuk menjadi suami tahun ini. Dia akan memilih sendiri untukku."
"Mengapa kau tak menolak saja?"
"Ayah serius, Bila aku membangkang ia tak akan mengakuiku lagi sebagai putrinya dan kau tahu apa artinya? Aku hanya akan hidup dari penghasilanku sebagai model saja. Itu mengerikan. Aku bahkan tak akan sanggup membayar sewa kondo dan mempertahankan gaya hidupku. Lagi pula Sakura siapa aku tanpa embel-embel nama Yamanaka. I am just going to be another vain, airhead blonde barbie."
"Ternyata kau bisa insecure juga ya."
"Tentu saja. Aku tak selalu merasa di atas. Meski aku berusaha terlihat begitu."
.
.
Paris.
Sai memutuskan untuk berkeliling kota melihat-lihat objek wisata sambil mencari inspirasi. Sungguh mudah mendapatkan candid couple di kota ini. Di mana-mana ia menemukan turis yang tengah berbulan madu atau pasangan kekasih yang dimabuk asmara. Dia telah mengunjungi menara Eiffel pagi dan malam hari untuk mendapatkan foto yang sempurna dan hari ini dia memutuskan untuk mengunjungi Pere Lachaise. Pemakaman terkenal di paris.
Begitu melangkahkan kakinya di depan pintu masuk pemakan ia sudah merasakan aura mistis. Di lahan seluas empat puluh empat hektar ini terbaring lebih dari satu juta orang mati dan tempat ini juga menjadi peristirahatan banyak pesohor seperti Chopin dan Jim Morrison.
Sai mulai memotret. Pemakaman mungkin tempat yang cocok untuknya. Begitu sunyi dan damai. Tentu ia tak akan menemukan sesuatu yang romantis di antara batu nisan yang berjejer dengan rapi. Tapi ia mengagumi desain beberapa makam dan patung-patung yang menghiasinya. This place is majestic and mystical.
Ino meletakan setangkai Lili di makam Maria Callas. Penyanyi opera favoritnya. Ia berharap ia akan menjadi bintang fashion show yang akan diadakan besok. Paris bukan kota baru baginya. Ia telah kemari berkali-kali untuk liburan dan shopping, tapi ia tak pernah kemari. Ia tak menyukai pemakan. Menakutkan dan sepi, tetapi hari ini karena merasa bosan ia mengubah pendiriannya. Melihat deretan nisan di sekelilingnya Ino bertanya apakah orang-orang yang mati juga merasa kesepian? The dead will never tell her anyway.
Wanita pirang itu melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak di antara makam-makan dan batu nisan. Ia menyadari dirinya semakin jauh dari keramaian para turis. Seharusnya ia pulang karena sebentar lagi matahari terbenam tapi sesuatu memanggilnya. Ino bergidik, bulu kuduknya merinding. Ia penasaran dan membiarkan insting membimbingnya. Dua buah patung yang berdiri di makam yang bersisian menarik perhatian Ino. Ia berjalan mendekat. Patung seorang pria dan wanita dari abad ke delapan belas sepertinya. Kedua figur itu saling berhadapan dan mengulurkan tangan tapi tangan mereka tak pernah bersatu. Ino seketika merasa sedih. Ia berjongkok untuk membaca apa yang tertulis di sana. Ia tak bisa lagi membaca nama mereka. Pahatan di atas batu marmer itu telah rusak oleh waktu. Desember 1802 keduanya meninggal di bulan yang sama. Lalu ia melanjutkan membaca lagi.
'Aku mencintaimu di kehidupanku yang lalu dan aku akan menemukanmu lagi di kehidupan yang lain. Kau belahan jiwaku'
Ino kembali berdiri dan menatap patung-patung itu. Mereka pasti kekasih pikirnya dalam hati dan ia jadi penasaran tentang kisah mereka. Apa mereka bahagia? Tapi ditilik dari posisi patung ini sepertinya mereka tidak pernah bersatu.
Langkah Sai terhenti. Ia melihat sosok wanita berdiri di depan makam sepasang kekasih. Pria itu langsung menjepretkan kameranya. Wanita itu berambut pirang seperti wanita dalam mimpinya. Rok sun dress berwarna putih yang ia kenakan melambai tertiup angin dan bias lembut cahaya matahari sore membuat sosoknya berpendar dikelilingi halo berwarna keemasan. Sai terus memotret apa ia sedang melihat malaikat atau hantu. Pria itu terpanggil untuk mendekat hanya untuk memastikan apa yang ia lihat nyata atau ilusi semata.
Ino terkejut mendengar suara langkah, ia menolehkan wajahnya hanya untuk bertemu sesosok pria berambut hitam dan berkulit pucat. Mata mereka bertemu dan Ino merasa telah mengenal pria ini sebelumnya.
"Maaf, Aku tadi memotretmu." Ucap pria itu.
"Tidak apa-apa." Jawab Ino santai.
"Apa yang kau lakukan di depan makam ini?" Tanya Sai heran melihat wanita itu berdiri dan tampak mengagumi patung seukuran tubuh yang berdiri di atas makam itu.
"Aku hanya sedang membayangkan kisah cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu meski tak bisa bersatu."
Sai hanya tersenyum kecil. "Sepertinya kau wanita yang suka hal-hal berbau romantis."
"Memang dan temanku berkata aku delusional." Ino balas tersenyum pada pria asing itu.
Sai terenyak, Ia merasa mengenali senyuman itu. Senyum sehangat musim semi, "Kau tahu, Aku merasa pernah mengenalmu."
"Aneh, Karena aku juga merasa familier denganmu, tuan."
Sai berjongkok dan membaca kalimat yang terpahat di makam itu.
'Aku mencintaimu di kehidupanku yang lalu dan aku akan menemukanmu lagi di kehidupan yang lain. Kau belahan jiwaku'
Lalu ia menatap wanita dengan mata kebiruan itu lagi.
"Apa kau percaya seseorang ditakdirkan hanya untukmu?" Ino iseng bertanya pada lelaki yang tak ia kenal.
Sai berdiri dan mengangkat bahunya. "Entahlah."
"Aku percaya." Ucap Ino tegas karena dia mengenali mata gelap yang tak berdasar yang syarat kesepian itu.
