00:00

PROLOG

To : 33 years old Kyungsoo

From : 22 years old Kyungsoo

Hi, Soo

Semoga kau masih hidup sehingga bisa membaca surat ini agar bisa merasakan semua letupan emosi seperti yang sekarang aku rasakan ketika menuliskannya. Karena aku tidak bisa basa-basi, jadi aku langsung saja mengatakan bahwa hari ini, kau pasti ingat tanggalnya tanpa harus aku tuliskan, untuk kali pertama kau jatuh cinta.

Dan, kau yakin hal itu karena kau ahkirnya membuka semua kemungkinan untuk kehilangan, merasa sakit, menangis, dan konsekuensi menyedihkan lainnya dari jatuh cinta. Kau sadar hal itu dan memutuskan untuk mengambil semua resiko tersebut.

Rasanya lucu menuliskan kata cinta ketika kau baru saja bertemu dengan orang tersebut. Tapi, itu yang terjadi kepadamu hari ini.

Dia orang asing pertama yang mengatakan cinta kepadamu. Ia juga orang asing pertama yang bisa membuatmu nyaman hanya dalam satu kali bertemu. Dia mengabulkan keinginanmu untuk mencium bibirnya pada hari kedua. Dan, pada hari ketiga, kemarin, ketika ahkirnya kau tahu nama sebenarnya dari si pencium ulung itu, dengan otak kreatifnya, ia membuat ide untuk menghabiskan satu hari bersama dengan peran sebagai pacar masing-masing karena menurut dia, itu yang ibumu, ibu kita kira ketika melihat dirinya muncul di pintu apartemenmu.

Apa pun yang terjadi pada kalian selanjutnya, kau harus bersyukur bahwa itu terjadi. Seburuk apa pun hidupmu sekarang, entah itu karena dia atau bukan, kau harus ingat bahwa kemarin, dialah orang yang secara tidak langsung menunjukkan kepadamu bahwa organ imajiner bernama hati itu tak bisa kau paksa untuk menjadi mati rasa. Sekeras apa pun kau berusaha untuk membuatnya mati rasa, sekeras itulah ia membuktikan bahwa usaha itu menyakitkanmu. Membuatmu cocok dengan kata miserable.

He changed your life. God made him to change your life. Well, then, surat ini aku tulis untuk mengikatkan kalau sebenarnya istilah menutup pintu hati itu tidak terlalu tepat. Setidaknya, di hidup kita. Kita hanya pandai menyangkal, itu saja. Kau tidak sehebat itu sampai bisa membeli pintu dan meletakannnya di hatimu, lalu membuka tutup seenaknya. Ada satu kalimat yang pernah aku baca di sebuah artikel internet.

Aku tidak ingat seluruhnya, yang aku ingat hanya istilah ini : mencitailah dengan bijaksana.

Aku juga tidak tahu apa artinya, hanya menyukai istilah yang kedengaran keren itu. I'll do some research after this, I promise. Tapi, jika aku menafsirkannya dengan cara bodoh, pada usiaku yang 22 tahun ini, istilah itu bisa diterjemahkan sebagai " mencintai dengan seluruh hati dan menerima segala konsekuensinya dengan lapang dada".

It's so cliche, isn't it? Tapi, itu yang sedang berusaha aku lakukan sekarang. Dipesawat yang membawaku ribuan kilometer jauhnya ini, aku akan berpisah dengan seseorang yang kuanggap mencintaiku. It feels horrible, I must say. Aku tidak ingin meninggalkannya karena kami baru saja bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

Namun, inilah konsekuensi ketika aku berani untuk mengaku bahwa aku jatuh cinta kepadanya. You know how people say, falling in love feels amazing but terrifying at the same time. And I know why is it like that. Because you admit to having a lot to lose when you admit to love someone.

So, all you have to do now is be wise about it, right?

That's all, I think.

Well, good luck with your life and congratulation for your 33th anniversary. You're pretty old, Soo, just saying. And one more thing, if you're married and not with the one in this letter. Please tell that you love your partner. Because if you don't, you should get back to him, him as the one in this letter, of course. And tell him that you love him. And make sure he's not married or something because you will ruined it. Or you know that? Be the bitch!

You know, right now I believe that we're meant to be together, someday, soon.

Just do me a favor : give it a try!

Seoul, 2011

Do Kyungsoo

Pria itu memandangku sambil tersenyum. Tangannya melipat kertas yang sudah terlipat sangat usang itu, kemudian dengan ekspresi menggoda ia bertanya, "So, you love me huh?"

Aku hanya sanggup tersenyum melihatnya dan sangat bersyukur dengan responnya terhadap surat murahan yang kutulis sebelas tahun lalu itu. That's why I love this man. Walaupun aku tak sering mengatakannya secara langsung, tapi dia mengerti bahwa itu kulakukan agar mengucapkan kalimat itu tak menjadi kebiasaan yang kehilangan makna.

"You know, Soo, sometimes I'm still wondering if you love somebody else."

"Well, I do," kataku menggodanya. Setelah membina hubungan selama ini, walaupun ada kalanya kami putus kemudian bersama lagi. Aku tahu bahwa dia merupakan orang yang akan menemaniku hingga aku menghembuskan napas terahkir nanti. Setidaknya, aku mulai membangun niat untuk bekerja keras agar itu tercapai.

"See? I'm not your whole world for you, right?" Ia beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju ke dapur. Mataku terus memperhatikannya seraya bibirku mengucapkan, "You know it sounds so clingy when I said you are my whole life, right?"

"Yeah, but people use that words as way to express their love." Ia menenggak isi botol minumannya dengan cepat, kemudian kembali berjalan setelah mengambil sebotol air mineral untukku.

"I'm not gonna use it as a way to express my love for you."

"You know, sex is okay," katanya dengan ekspresi yang kelewat datar.

"What?"

Ia memandangku, kemudian menjelaskan maksud dari kalimatnya itu. "I think you're gonna say sex as a way to express your love for me."

"It's true but there's something else."

"I'm listening."

Aku tersenyum melihat ekspresinya yang sangat antusias. Dia tidak pernah sadar bahwa selama sembilan tahun bersama, aku sama sekali tidak pernah merasakan bosan pada ekspresi-ekspresi wajahnya. He's the cutest man I've ever seen in my whole life. Setiap kami baru saja selesai bertengkar, dan keadaan sudah dingin sudah dingin kembali,dia akan berkata, "I bored you, right?" Ia tidak tahu bahwa sebaliknya aku takut jika aku yang membuatnya bosan menjadi teman hidupku.

Jadi, berusaha untuk serius, aku menghapus senyumku dan menatapnya dengan tatapan paling tajam yang bisa kulakukan. "You are my favorite. You'll always be."

"A favorite?" ucapnya dengan nada sedikit tak percaya.

"Yeah, isn't it nice and romantic?" aku memutus tatapan tajamku dengan aktivitas membuka botol air mineral dan mulai meminumnya perlahan.

"Not so bad."

"Okay, so do you feel that way for me?" kataku menanyakan hal yang sama. I deserve to know if he's still in love with me or not. At least, to keep up this conversation, the answer is very important. I really love to talk with this man. He's smart. I know i get you bored if I mention what love about him.

"What?"

"As your favorite."

Aku pikir mode bercanda sinis kami masih aktif. Tapi, ketika dia mengubah ekspresi wajah sok bodoh dan sok tak pedulinya menjadi seperti ekspresi sekarang, lalu beranjak untuk mengambil sesuatu dari coat yang tergantung di dekat pintu, aku jadi lumayan gugup.

Kali terahkir dia menampakkan wajah seperti ini adalah ketika dia tak ingin lagi hubungan kami putus nyambung. Dia bilang bahwa apa pun masalahnya, kami harus hadapi. Tak ada kata putus lagi, apalagi tiga tahun belakangan ini kami sudah tinggal bersama.

"Okay, I know you don't like any suprises, but when I was in Tiffany looking for my sister's gift, I saw this beautiful ring." Ucapnya sambil berjalan ke arahku. Lalu, pria itu membuka kotak berisi sebuah cincin yang berhias berlian cukup besar. Perempuan manapun akan sulit menolak jika melihat ukuran berlian itu.

"Are you gonna purpose me?"

Dan untungnya walaupun otak materialistisku sekarang aktif, aku masih bisa menahan untuk tidak mengambil cincin itu, lalu memandang tanganku yang pasti makin cantik setelah dihias dengan batu mulia sebesar itu.

"I know you, Soo. There are so much to talk about before you say yes, right?" Ia menutup kembali kotak itu, meletakannya di meja, kemudian menggeser duduknya agar lebih dekat denganku. "So, let's talk do talk."

"What?"

"So i can put that ring on you."

Aku memang tak pernah menyiapkan diri untuk menikah dengan laki-laki yang sedang memandang dengan serius ini. Tapi, bukan berarti aku tak serius dengannya. Justru sebaliknya, aku malah beranggapan bahwa hubungan kami tak perlu diresmikan karena suudah berjalan dengan cukup baik. Apalagi setelah pertengkaran terahkir yang membuat masing-masing sadar bahwa kami memang sudah nyaman satu sama lain. Dan, itu bukan pertanda yang buruk untuk meneruskan sebuah hubungan.

Memang, aku pernah berkata bahwa aku terlalu suka dengan ide lamaran yang penuh dengan kejutan. Lamaran impianku adalah kami duduk berdua membicarakan konsekuensi yang akan terjadi setelah keputusan diambil. Sehungga ketika aku mengatakan "ya", kami tak lagi kaget efek samping setelahnya.

"Let's do the talk after that." Jawaban itu kuberikan dengan penuh senyuman. Aku tahu dia pasti terkejut dengan kalimatku. Tapi, kupikir kami sudah melewati tahun-tahun yang berat, dan kami juga sudah pernah membahas tentang kehidupan pada masa depan dengan beranak-pinak.

"You surprised me, Soo."

"You want a surprise. this is a surprise."

"So, do you thing is the right time to say, 'Do Kyungsoo, will you marry me?'" pria itu membuka kotak cincin, meraih tanganku, danmenyelipkan cincin tersebut dijemari manisku.

"I guessed so."

"Then you can keep the ring."

Mungkin ini memang waktu yang tepat bagi hubungan kamu. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Walaupun jujur, tetap saja masih ada ketakutan tentang komitmen seumur hidup ini pada diriku. Namun, aku tak mau hanya takut dan berdiam diri. At least I'm trying. Lagipula, aku mencintai laki-laki ini. Jadi, apa salahnya?

"Thanks. It's beautiful, indeed. You know me very well."

Aku tak mberhenti melihat jemariku yang kini dipercantik oleh cincin bertahtahkan berlian itu. Sudah pasti besok akan ada pekikan-pekikan iri dari teman-teman perempuanku. Dan tentunya, syukuran karena kami ahkirnya menikah juga.

"I'm gonna be your husband, Soo. i should know everything about you an be prepared for suprise like this."

"Thank you for understanding me."

"It's hard to do, but my pleasure."

Kemudian, kami bertatapan dan saling mengumbar senyum satu sama lain. "I love you, Soo. i know it sound clingy, but now, I want to be your clingy man." Dan, kalimat yang diutarakannya itu membuat senyumku makin lebar.

"I think I can accept that since you bought me this."

Ia tertawa kecil, kemudian melanjutkan kalimat-kalimat manisnya yang kususka itu, karena dia jarang mengatakan hal-hal seperti itu. "For now, you are the world for me. Whatever makes you happy, i'll do it right away." Karena jika itu diucapkan laki-laki lain, sudah pasti aku akan menyuguhkan senyum palsu sebagai tanda "terima kasih atas gombalannya."

"Even when I said you should leave me and get divorce?"

"Well, if it is the only chance I've got. I think I should let you go."

"Sweet," kataku dengan nada menggoda.

"No, that's the fact. This marriage thing is not the happy endings. As you said before, it's never ending hard work."

Itu kenapa aku bilang kami perlu menunda obrolan tentang kehidupan setelah pertunangan ini. Dia tahu apa yang sedang ia lakukan. Ia tahu bahwa setelah ini akan ada penjara bagi kamu. Seumur hidup, kami akan tinggal di dalamnya. Mau sedang senang, sedih, benci satu sama lain, kami harus bisa menanganinya.

"So, now, because you're wearing the million dollars ring, would you like to make sure that you want to work hard for this relationship?"

"Yes," jawabku tanpa perlu banyak berpikir lagi.

"Then kiss me," katanya singkat.

"What?"

"That's the proposal, Moron."

"But I haven't asked you if you want to work hard for this relationdhip."

"I bought that ring. I have to work like a dog after this."

"Fair enough."

Aku memajukan dudukku, menangkupkan tanganku di wajahnya, dan memandang mata indah itu sebelum mengatakan, "I love you, favorite man."

"I love you, Soo."

Dan, kami pun berciuman.