Disclaimer :
Warning : OOC, Gaje, OC. (untuk mempermudah deskripsi pembaca anggaplah para OC tersebut sebagai reflika mini orang tuanya) typo banyak ditemukan diberbagai tempat.
Don't Like Just Don't Read
Tersenyumlah Untuk Kami!
Bola mata Lavendernya terus menatap mahluk mungil yang kini terlelap di pangkuannya. Senyumnya merekah tanpa kekuatan. Begitu lemah tetapi menyimpan kelegaan yang amat sangat.
Sekarang ia adalah seorang ibu.
"Anda sudah siuman, Nona Uzumaki Hinata?" mata lavender itu kini beralih pada sosok wanita berambut pirang di hadapannya. Hinata mengembangkan senyumannya lalu mengangguk lemah.
"Iya, Tsunade –Sama."
Tanpa aba-aba Tsunade yang dikenal sebagai dokter memegang tangan kiri Hinata. Memeriksa denyut nadi dan tekanan darah sang pasien.
"Normal." Sang Dokter tersenyum puas. Mata cokelat madunya menerawang ke sudut-sudut yang serba putih itu.
"Dari kemarin saya lihat belum ada yang menjenguk anda. Keluarga mungkin? Atau suami anda? Sudah diberi tahu?" mata coklat itu mencari-cari mata pasiennya. Namun tidak ia temukan karena sang pasien lebih memilih untuk menunduk dalam diam.
"Belum," suara lembut Hinata jelas bukan suara bahagia. Tsunade merapikan alat-alatnya,
"Sebaiknya anda segera memberi tahu suami anda Nona Uzumaki," Tsunade menatap Hinata yang masih menunduk lalu tersenyum.
"Baiklah! Sampai nanti Nona Uzumaki. Jaga kesehatan anda."
Hinata tersenyum pahit setelah Dokter Tsunade pergi.
FLASHBACK
Hinata's POV
Pagi sekali Naruto sudah panik. Aku tanya, tapi dia tak mau menjawab dan tetap sibuk dengan kegiatannya memasukan baju ke tas kecil.
"Naruto-kun, Aku mohon ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya ku yang kini merasa begitu cemas dengan tingkah langka suamiku.
"Sakura…" katanya memulai
Aku mendekat kearahnya. Ia masih sibuk memasukan bajunya k etas tadi.
"Dia mau melahirkan. " lanjutnya sambil berhenti dari aktifitasnya dan memandang lirih kepadaku. Aku tersenyum senang dan lalu-
"Aku harus menemaninya. Kau tahukan Sasuke sudah meninggal. Dan ia menitipkan mereka kepadaku. Aku yang bertanggung jawab atas Sakura dan anaknya kelak. " katanya.
Akupun ikut merapikan bajunya. aku merasa kasihan pada Sakura. Bagaimanapun dia adalah sahabatku. Dan Sasuke meninggal saat Sakura hamil muda. Jika dipikir-pikir aku berkali-kali lebih beruntung dibandingkan Sakura.
Aku juga sama paniknya dengan Naruto. Bahkan saking paniknya , aku sampai melupakan rasa sakit yang menjalar di sekitar perutku. Mungkin aku juga h
akan melahirkan. Tapi aku tidak tega membiarkan suami ku kalang kabut begitu.
"Naruto-kun, tunggu sebentar, ya, Aku mau mengambilkanmu minum dulu." kataku sambil berlari kea rah dapur. Tapi sekembalinya aku dari dapur, aku hanya bisa melihat punggung suamiku yang telah jauh. Aku hanya bisa tersenyum sakit. Tapi senyumku pudar saat kurasakan sakit yang luar biasa menyerang perutku. Aku terduduk , meremas bajuku , serbet meja makan sampai semua terjatuh menimpaku.
"Ah…a-aku su-sungguh tidak kuat" gunamku
Aku berdiri. Berusaha berjalan menuju sebuah telepon. Sebersit dat pikiran kebenakku, untuk menelpon ayah, Neji-Nii atau siapapun yang ada di rumah. Tapi… saat itu pula aku ingat, aku ingat bahwa aku sudah bukan merupakan bagian dari klan Hyuuga lagi. Aku terbuang karena telah berani menentang. Aku telah di usir.
'Oh Kami-Sama…aku harus minta bantuan pada siapa? Kiba? Manamungkin aku minta bantuan pada orang yang telah aku '
Shino? Aku tahu dia pasti akan membantuku, tapi seminggu yang lalu, ia menerima tugas dari Naruto-Kun.'
"Ah! perutku, ya tuhan! Sakit sekali…" ringisku lalu aku teringat sesuatu
"Nomor telepon Tsunade sama. Aku rasa aku masih menyimpannya." aku pun mengambil buku telepon yang ada di dekat di telepon. Aku cari dan terus mencari diantara rasa sakit ku yang sangat sakit. Akhirnya aku menemukan nomor Tsunade-Sama. Akupun menelponnya. Setelah selesai aku tak sadarkan diri
Oooo8oooO
Kata perawat bernama Ino, aku melahirkan anaku melalui operasi sesar, karena saat dibawa kesini aku tidak sadarkan diri.
Kudengar perawat itu mengatakan.
"Waaaah! aneh sekali ya? Anak anda ko lebih mirip dengan Ayah anak pasien sebelah. Bermata biru, berambut kuning. Kalau saya tidak salah, namanya Uzumaki Naruto. Anaknya manis sekali. Berambut pink dan bermata hijau. Namanya Haruno Megumi."
Aku tersentak. Siapa namanya tadi? Uzumaki Naruto? Apa yang perawat tadi maksud adalah suamiku?
Oh tuhan sakit sekali batin ini dan setelah itu aku tak sadarkan diri lagi. Masih sempat terdengar perawat tadi menyebut namaku
"Nona Hinata!"
END FLASHBACK. END HINATA'S POV
Matanya kembali pada sosok mungil bayi perempuannya.
Sampai terdengar derap langkah yang tersusun rapi di balik pintu sana.
Naruto muncul dengan senyum lemah dan permintaan maaf menyertai ciuman singkat di kening Hinata.
"Gomen," katanya.
"Tidak apa-apa Naruto-Kun. Err... lihat! anak kita perempuan. " Hinata tersenyum, dan berharap melihat senyum bahagia juga dari suaminya
"Ya. aku tahu dari Tsunade-Sama. " katanya lemah. Naruto duduk di tepi ranjang.
Hinata kembali tersenyum.
"Mau menggendongnya , Naruto-Kun? "
"Oh maaf, Hinata. Tidak untuk sekarang. Aku belu mandi dan lagi, banyak proposal yang harus ku periksa" Naruto menunduk lalu melihat mahluk yang kini tertidur nyyenyak di pangkuan Hinata.
"Aku harus pulang sekarang. Tidak apa-apa ya, di tinggal sebentar? " Naruto bangkit.
"Ta-tapi..." cegah Hinata
"Maaf Hinata," Naruto berbalik.
"Tapi aku belum menamai anak kita, Naruto" gunam Hinata sangat pelan. Naruto berbalik kembali.
"Apa?" Naruto mengkerutkan dahinya. Dan Hinata menunduk.
"Aaku belum memberi anak kita nama, Naruto."
"Kalau begitu, kau saja yang memberikannya nama. Aku yakin pilihan namamu akan lebih baik dari pada aku. "Naruto berjalan dan menghilang di pintu berwarna putih itu. Sebelumnya Naruto sempat melihat nanar sang isteri yang menunduk.
"Hyuuga Ayama." Bisik Hinata sambil meneteskan air mata.
Oooo8ooO
Setelah pulang dari rumah sakit, hampir setiap hari Naruto tidak ada di rumah. Padahal Hinata masih dalam keadaan lemah . dan lagi, dirumahnya yang sangat besar, tidak ada seorangpun yang menjaganya. Hinata sendirian. anaknya yang selalu terlelap.
Naruto pulang seminggu sekali. Kalau pulangpun, tidak pernah ia tinggal di rumah lebih dari 2 jam.
Setiap hari Hinata selalu menangis, menahan pedih yang memang sudah menjadi temannya sejak dulu. Hinata tidak pernah mengeluh, ia selalu menyuguhi Naruto senyum manis bagaimanapun kondisinya. Dan selama ia mampu, Hinata selalu berusaha menjadi isteri yang baik dengan menunggu suaminya pulang. Meskipun pada akhirnya ia akan tidur di luar karena Naruto tidak pulang.
Begitu seterusnya sampai Aya , anak nya berusia 5 Tahun.
5 tahun kemudian…
Desember, musim dingin. Kamar Aya.
Lampu redup berwarna Hijau menyala kecil.
Di sisi ranjang, Hinata terjaga membolak-balikan konpres. Mencoba menurunkan panas. Aya kini terbaring sakit. Lingkar hitam di area mata Hinata kini nampak begitu jelas. Penyebabnya karena sudah sejak semalaman Hinata menjaga Aya, anaknya. Sedangkan Naruto, sudah 2 hari ia belum pulang dari tugasnya di Suna. Entah itu benar atau bohong.
"Okaa-San," tangan mungil Aya menyentuh pipi Hinata yang kini tersenyum manis pada Aya.
"Okaa- San, ko belum bobo cii? " Tanya Aya dengan nada suara khas anak kecil.
"Nungguin Aya, ya? "
Hinata tersenyum lebih lebar.
"Okaa kan pengen Aya cepat sembuh. Jadi sebaiknya Aya yang harus bobo."
Aya mengangguk lemah. Tapi kemudian wajahnya berubah murung.
"Kaa," panggilnya pelan.
"Hn?"
"Kenapa cii, ayah selalu cemberut kalo ketemu Aya? " Tanya Aya dengan polosnya. Rasa pedih menyelusup ke hati Hinata.
"Ayah seneng ko, kalau ketemu Aya. Cuma, ayah kecapean. Jadi, ayah lupa ngasih senyum buat Aya." Kata Hinats sambil menahan benduangan air matanya.
"Tapi, kenapa kalo ketemu sama anaknya tante Sakura, ayah selalu tersenyum. Malahan ngasih permen banyaaaak banget SamaMegumi." Bulir air mata meluncur dari mata kebiruannya.
"Eh, ko Aya nangis sih?" jemari lentik Hinata mengusap air mata Aya.
"Aya pengen permen, ya?"
"Aya gak mau permen, kaa. Aya pengen ayah tersenyum. Apa ayah gak sayang ma Ays?"
"Jangan bilang begitu, ayah sayang Aya ko. Cuma ayah gak sempet nunjukin rasa sayangnya."
" Tapi ko ayah gak nemenin Aya siih. Aya kan lagi sakiit"
Kini Hinata tidak beralasan lagi. Ia hanya mengusap airmatanya yang tidak berhenti mengalir. Aya yang belum mengerti, menatap kaa nya yang masih menangis.
Kini, tangan kecil aya lah yang mengusap air mata Hinata.
"Kaa-san ko nangis? Aya nakal yaa? Aya janji deh gak bakalan nangis lagi. Asal okaa-San juga janji gak bakalan nangis lagi."
Tak ingin melihat kesedihan anaknya, Hinata mengangguk.
Tu be kontinyu…..
Ini fic saya yang pertama… mohon maaf bila gaje. Tolong review nya yaaa….
