'Ini sih namanya misi bunuh diri.'
Nggak ada yang maksa kok, aku masih bisa mundur sekarang. Sebelum semuanya terlambat.
Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipisku.
Yang membedakan antara jenius dan gila adalah kesuksesan.
Wish me luck.
Disclaimer : Naruto belongs to Sakura, eh maksudnya Masashi Kishimoto
Warning : AU, OOC, klise, high school setting, cuma buat hepi-hepi
proceed at your own risk
.
.
.
Mischief Managed
.:: wait, what was the plan again? ::.
.
.
.
I have nothing against Karin Uzumaki. Suwer deh. Aku lihat dia pertama kali di lapangan upacara, pada saat masa orientasi siswa, waktu itu mataku langsung tertuju pada rambutnya yang merah mencolok, dan aku bertanya-tanya apa warna rambutnya sering membawa masalah seperti warna rambutku. Kacamata dengan frame hitam kotak selalu bertengger di hidungnya, dia sering membenahkannya kalau gugup. Kenapa aku bisa hafal? Well, pertama, karena dia sering sekali melakukannya, jadi agak susah untuk tidak memperhatikannya. Kedua, aku sekelas dengannya selama tiga tahun.
Kebetulan yang lucu sekali, bukan? Meski begitu, kita nggak pernah benar-benar akrab. Emang sih, kita beberapa kali ditempatkan pada kelompok kerja yang sama (dia orang yang enak buat diajak kerja sama, terutama karena dia orangnya serius, dan efisien kalau kerja), tapi gimana ya? Kita berada di lingkaran sosial yang berbeda. Karin lebih suka bergaul sama cowok-cowok aneh itu, sementara aku... well, aku cukup populer. Emang sih, tingkatannya beda sama Ino yang kayaknya emang udah dari sononya ditakdirkan untuk jadi cewek populer. (Pirang, mata biru, ekstra-sosial, dan selalu gonta-ganti gebetan.) Aku ini kutu buku, orang mengenalku bukan karena aku punya tas Chanel keluaran terbaru (gila apa, ibuku itu pelit banget kalau menyangkut uang jajan), tapi karena namaku sering disebut waktu upacara untuk penyerahan penghargaan.
Itulah alasannya aku nggak pernah bisa benar-benar membencinya. She's an outcast, cuma rakyat jelata, bukan ancaman.
Sampai hari ini.
Oke, bukannya aku sama sekali nggak curiga, maksudku, mereka memang sering makan bareng di kantin, bareng cowok-cowok aneh itu, tapi sejauh yang kutahu mereka cuma sebatas teman satu klub. Dan Sasuke, meskipun undeniably good looking, lebih suka bergaul sama anak-anak aneh, mungkin salah satu usahanya buat mengusir fangirls-nya yang edan, tapi tunggu dulu, bukannya Karin salah satu fangirl edan itu? Aku tahu dia sering genit ke Sasuke, tapi respon yang dikasih Sasuke selalu negatif.
Jadi ini apa namanya kalau bukan pelet?!
Aku berdiri kaku, mataku tertuju pada selembar pamflet yang ditempel di mading, bibirku membentuk bulat sempurna, dan meskipun keramaian terus berusaha menggeserku dari posisiku, kakiku tetap tertancap di tanah tempat aku berdiri.
Kubaca lagi, lagi, dan lagi, berulang-ulang kali. Bukan typo, bukan misspelling, memang namanya. Pertanyaannya adalah, bagaimana?
Aku mendengus, gusar, kerumunan di belakangku makin gaduh, dan aku memutuskan untuk mencari jalan keluar, setengah mendorong orang-orang di kanan-kiriku.
Aku melangkah cepat menuju ruang kelasku, setengah berharap semua penghuni kelas pergi ke kantin, (atau mading, yang ini sepertinya lebih masuk akal mengingat setengah isi sekolah sepertinya sedang membentuk kerumunan di depan sana) sehingga aku bisa mendapatkan ketenangan.
Well, mungkin hari ini bukan hari keberuntunganku.
Kelas gaduh, berisik sekali. Seorang cowok berambut biru keunguan dengan kulit pucat berdiri di atas meja, dia salah satu dari cowok aneh yang sering kulihat bersama Karin.
"Siapa Prom King kita selanjutnya?" Suigetsu berteriak dengan semangat, mengacungkan kepalan tangannya di udara.
"Sasuke!"
"I can't hear you!" Serius? Bagiku mereka sudah berteriak cukup kencang.
"Sasuke!"
Apaan dah, macam kampanye pemilihan presiden aja. Kayaknya dulu waktu musim pemilihan ketua OSIS aja nggak seheboh ini.
Aku membatalkan niatku untuk masuk ke ruangan kelas, dan ingat kalau ada tempat yang selalu sepi di area sekolah ini: perpustakaan. Bukan cuma suasananya, tapi memang jarang banget orang yang minat buat singgah ke perpus. Serius deh. Meskipun sekolahku dinilai sebagai salah satu sekolah favorit di kotaku, minat membawa anak-anak di sini rendah sekali.
Perpustakaan ada di lantai dua, letaknya lumayan terpencil, agak jauh juga dari ruangan kelasku. Aku melangkah dengan cepat, berusaha menghindari kontak mata dengan orang-orang yang berpapasan denganku, aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun sekarang.
Tapi yang satu ini kayaknya nggak bisa dihindari.
"Sakura!"
Aku menoleh, mendapati seorang gadis berambut pirang melambai ke arahku, ponytail-nya berayun saat dia berlari-lari kecil ke arah tempat dimana aku berdiri. Aku menghela nafas. Here we go...
"Kau sudah lihat pamfletnya?"
Emang kayaknya nggak bisa ya menghindari topik yang satu ini.
Aku menghela nafas panjang, mengangguk.
"Gila kan? Apa-apaan sih maksudnya? Mereka bercanda kan? I mean, this is Sasuke we're talking about! Dia nggak mungkin... dia benci diperhatikan. Ini sih namanya dia minta lebih banyak fangirls, padahal kamu tahu sendiri gimana reaksi dia kalau ketemu kita, kayak ketemu pasien Ebola!"
Aku setuju sepenuhnya, dan aku cukup yakin pertanyaan-pertanyaan itu juga menghantui setiap cewek yang pernah atau lagi ngefans sama Sasuke. "Entahlah, mungkin memang dia diam-diam suka diperhatikan." Amarah yang tadinya menguasai diriku kini berubah menjadi sikap tawakal. Mau gimana lagi coba?
"Oh, omong kosong!" Ino mengawasi keadaan di sekitar kami, lalu tiba-tiba menyeretku. Aku berusaha memprotes, tapi Ino tak menghiraukanku.
Kami sampai di depan toilet perempuan, Ino membuka pintunya. Aku memutar bola mataku malas, mau ngomong aja kok rempong banget, tapi aku diam, mengikuti langkahnya, masuk ke dalam toilet. Sampai di dalam, Ino tidak langsung buka suara, melainkan menunduk dan mengintip satu per satu bilik toilet, memastikan semuanya kosong.
Situasi aman. Saatnya bergosip.
"Ada yang salah." Ino memulai. "Sasuke kerasukan setan."
"Menurutku dia kena pelet."
"Bisa jadi." Ino mulai terlihat gusar. "Aku masih nggak terima! Maksudku, Karin? Seriously? Bertahun-tahun perjuangan, hasilnya cuma nihil, lalu tiba-tiba Sasuke mencalonkan jadi Prom King sama cewek itu! Nggak perlu munafik deh, kamu sendiri pasti juga mikir kayak gitu kan? Apa sih istimewanya dia? Kukira selama ini Sasuke nyari cewek yang kalem, yang nggak suka fangirling ke dia, tapi Karin kan sama aja! Sasuke udah nggak waras!"
"Mungkin Karin pinter cari dukun." Atau mungkin Sasuke lagi mabok. "Bentar deh, kenapa sih kamu emosi banget? Kamu kan udah punya pacar, masih aja ngurusin Sasuke."
"Iya sih, tapi aku nggak ikhlas kalau begini ceritanya!" Ino kelihatan berapi-api banget. Ini bocah.
"People make mistakes, Sasuke bukan pengecualian. Kita doakan aja dia cepet khilaf." Di bibir sih ngomong kayak gini, tapi dalam hati aku dongkol juga.
"Kalau aja aku bisa ikut, aku bakal mastiin cewek itu nggak dapet mahkotanya."
Aku menaikkan kedua alisku. "Kamu nggak jadi ikut?"
Ino berdecak kesal. "Gimana caranya? Aku tahu sejak awal kalau pacaran sama bocah itu bakal bikin reputasiku turun. Dia menolak mentah-mentah tawaranku, katanya terlalu merepotkan, nggak penting. Lagipula, aku nggak yakin juga dia bakal dapet vote yang banyak."
"Putusin aja," kataku, tersenyum jahil.
"Dia itu bikin frustasi, tahu nggak!" Tekanan darahnya naik lagi. Ino menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya, suaranya jauh lebih pelan ketika dia berkata, "Tapi gimana ya, nggak mau juga kalau sampai putus."
"Playgirl kita takluk, saudara-saudara."
"Shut up."
"Gimana tadi? Udah ketemu kan? Kangennya udah tersalurkan?"
Pipi Ino sontak langsung bersemu. "Apaan sih, aku cuma mau ngembaliin jaket kok!"
Aku terkekeh geli. Well, setidaknya ngobrol (ngegosip, lebih tepatnya) dengan Ino bisa sedikit menghiburku. Setelah dia sudah mengeluarkan semua uneg-unegnya, kami kembali ke kelas.
Ketika aku sampai di ambang pintu kelas, aku lega sekali saat mendapati Suigetsu duduk manis di bangkunya, tidak lagi berorasi dengan semangat dan menimbulkan kerusuhan seperti tadi. Jadwal selanjutnya adalah Matematika, dan seperti biasa Kakashi-sensei datang terlambat. Anak-anak berceloteh riang di bangku masing-masing. Aku berjalan menuju bangkuku, memperhatikan selembar kertas tergeletak di atas mejaku.
Aku mengambil kertas itu, sebuah kertas kecil berwarna biru tua, seukuran kartu nama, dengan huruf-huruf cetak yang cantik. Aku membacanya dengan seksama.
'SnK
Vote for Sasuke & Karin!'
That's it. Cukup sudah.
Time to show them who's the boss.
Aku menginginkan mahkota itu.
Orang melihatku dan mereka melihat gadis kutu buku, polos, nggak tertarik sama hal-hal dunia, apalagi masalah superfisial seperti prom. Kalau kita bicara stereotype, aku ini cewek nerdy, dengan sedikit sifat pemberontak, menolak untuk menuruti norma-norma yang dianut remaja pada umumnya. Aku nggak peduli akan status sosial, maka dari itu aku termasuk salah satu orang yang mengutuk prom, menganggap prom cuma acara konyol yang buang waktu saja.
Well, memang benar.
Tapi ada satu hal yang harus ditegaskan di sini, aku ini bukan tipikal gadis kutu buku, aku tahu caranya bersosialisasi, aku nggak pakai kacamata super tebal, dan aku nggak mencibir cewek-cewek cantik di sekitarku sambil diam-diam berharap kalau aku punya wajah secantik mereka. Aku tahu aku ini good looking. Aku bukan narcissist tapi aku tahu yang aku hadapi ketika berdiri di depan cermin.
Dan meskipun aku menganggap prom itu konyol, aku tetap menginginkan mahkota itu.
Sebenarnya ini nggak ada hubungannya dengan menginginkan pengakuan teman-temanku bahwa aku adalah gadis tercantik di sekolah ini. Aku menginginkannya karena mahkota itu adalah suatu bentuk penghargaan dari sebuah kompetisi.
Aku suka kompetisi, aku haus akan piala, penghargaan, kemenangan. Ambisius, kalau aku menginginkan sesuatu, aku harus mendapatkannya. Dan aku menginginkan mahkota itu sejak aku melihatnya dalam lemari piala di ruangan kepala sekolah, bersama dengan piala-pialaku. Aku tak yakin kenapa mahkota itu berada di sana, Prom Queen selalu membawa pulang mahkotanya, yang berarti aku tak perlu repot-repot membuat duplikatnya seperti aku membuat duplikat piala-pialaku. Sekolah selalu mengklaim piala yang kumenangkan dari setiap perlombaan, dan aku tak pernah bisa menerima alasannya. (Memang benar, aku mewakili sekolah ini, tapi tetap saja piala itu kudapatkan karena jerih payahku.)
Anyway.
Nggak ada syarat khusus untuk jadi Prom Queen, nggak ada bilang kalau kamu harus cantik, populer, atau kaya, kamu menang ketika kamu mendapatkan vote terbanyak. Meski begitu, harus diakui kalau ketiga faktor tersebut sangat berpengaruh.
Aku nggak cukup populer untuk mendapatkan banyak massa, nggak punya cukup banyak kenalan yang bisa aku minta untuk menyumbangkan suaranya. Aku juga bukan keturunan Uchiha atau Hyuuga yang berlimpah harta, ini artinya aku nggak bisa mengandalkan duit (meskipun kayaknya faktor inilah yang paling menunjang di antara faktor lainnya). Aku cantik, untungnya. Beauty equals power, orang berpenampilan menarik hidupnya selalu dimudahkan.
Tapi cantik aja nggak cukup.
Yang kubutuhkan, adalah skandal.
Rencana awalku gagal ketika Sasuke memutuskan untuk berkoalisi dengan Karin.
Sasuke adalah target sempurna. Dia cakep, tajir, populer... kalau saja aku berhasil membujuknya untuk bekerjasama denganku, semuanya pasti akan berjalan mulus. Sayangnya Karin sudah berada satu langkah di depanku.
Aku masih nggak habis pikir, apa sih yang dilihat Sasuke dari cewek itu? Mungkin emang bener, cinta nggak kenal logika. Cupid emang makhluk terkutuk. Sia-sia saja aku mempercantik diri, berusaha bersikap kalem di depan Sasuke, dan pakai push-up bra setiap hari. Karin keluar sebagai juara, bikin cewek-cewek di seluruh penjuru sekolah nangis darah.
Tapi aku bukan salah satu dari mereka.
Nggak ada gunanya berlarut-larut dalam tragedi. Ini bukan salah siapa-siapa melainkan Sasuke sendiri. Aku akan memenangkan mahkota itu, dan cowok brengsek itu akan menyesal sudah mengacuhkanku waktu aku bilang "I love you" saat kita kelas dua SMP.
Aku memutar otak. Aku butuh skandal yang jauh lebih menghebohkan, orang-orang harus punya bahan baru untuk dibicarakan supaya mereka bisa lupa masalah SasuKarin. Tapi apanya yang scandalous dari seorang Sakura Haruno? Aku gadis baik-baik, dan termasuk siswa berprestasi (bisa dibilang siswa paling berprestasi), nggak ada yang ingin mendengar cerita membosankan seorang siswa teladan.
Tiba-tiba aku jadi teringat dengan kalimat Ino.
Pacaran dengan Shikamaru menurunkan reputasinya. Siapa yang kau gandeng saat ini sangat mempengaruhi posisimu di hierarki sosial sekolah. Kalau reputasi Ino jeblok gara-gara dia pacaran sama Shikamaru, aku bisa memanfaatkan cowok populer untuk mendongkrak popularitasku. Tapi siapa lagi selain Sasuke?
Saat itulah aku sadar bahwa aku salah menilai permasalahan ini.
Kunci utama dari skandal Sasuke-Karin bukan Sasuke, tapi Karin. Karin adalah definisi sempurna dari bad girl. Dan bad girl yang satu itu berhasil menaklukkan pangeran pujaan gadis-gadis. Itulah alasannya sekolah seperti dilanda kiamat kecil, semua orang shock.
The element of surprise.
Jadi, kalau kita pakai logika sederhana, aku harus cari bad boy.
Pertanyaannya adalah, siapa? Siapa berandalan di sekolah kita? Siapa siswa paling bandel, paling dikecam, dihindari, paling berbahaya? Siapa cowok yang kadar 'bad'-nya setara, atau malah lebih dari, Karin Uzumaki?
Uzumaki.
That's it.
"Hah?"
Aku menghela nafas. "Aku udah ngomong panjang lebar, dan responmu cuma 'hah'? Dengerin dong makanya!"
Suaraku bergema di ruangan kelas yang kosong. Aku langsung membekap mulutku. Meskipun sekarang sudah lewat jam pelajaran, masih ada beberapa murid yang belum pulang karena disibukkan dengan kegiatan klub. Aku berjalan ke arah pintu, menengok ke kanan kiri dan lega ketika koridor di depan ruangan kelasku kosong melompong. Aku menutup pintu, berbalik dan berjalan menuju Naruto Uzumaki yang duduk di atas meja guru.
"Aku masih nggak ngerti... kenapa aku? Dan siapa tadi namamu? Hakumo?"
Aku berusaha memaklumi keterbatasan memori otaknya. "Haruno. Sakura Haruno."
"Ah ya, Hanuro. Maaf saja, Hanuro-san, tapi aku nggak bisa menerima tawaran kerja samamu. Kita baru aja kenal, dan aku nggak bisa langsung mempercayaimu begitu saja."
What?! "Kita udah satu sekolah selama tiga tahun, bloon!" Emang sih, kita nggak sekelas, dan aku juga lebih sering menyendiri di perpustakaan saat jam istirahat, tapi tetap saja. "Dan bisa-bisanya kamu sok waspada kayak gitu, yang ada aku yang harusnya waspada! Seisi sekolah tahu tentang reputasimu!"
"Setidaknya dengan begitu seisi sekolah jadi tahu namaku." Cowok itu memandangku, mencibir. "Situ kayaknya kurang populer. Yah, mungkin karena ukuranmu jauh di bawah rata-rata dibandingkan cewek pada umumnya."
Oke, cukup sudah.
"APA KAU BILANG?!"
Well, aku tidak ingin menceritakan bagian yang satu ini secara detail. Yang jelas setelah ini aku yakin anak tak tahu diuntung itu bakal lebih hati-hati kalau ngomong sama aku.
Aku melemaskan buku-buku jariku. Bocah itu mengeluh sambil mengelus-elus pipinya yang bonyok. Salah dia sendiri sih. "Langsung ke intinya aja, deal or no deal?"
Meskipun lemes dan tak berdaya, cowok itu masih mampu mengeluarkan suara. "Kenapa aku?"
Aku menghela nafas panjang. Haruskah? "Karena kamu Naruto Uzumaki."
"Lalu?"
"Berandalan, preman, siswa bermasalah yang bikin puyeng para guru. Dan aku siswa teladan."
"Terus?"
"Kalau kita pacaran, kayak melawan hukum alam."
Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Oke... jadi... kamu ke sini buat nembak aku, gitu?"
Facepalm. "Baka! Kita nggak beneran pacaran, pura-pura doang!" Ngarep banget nih anak. "Anak-anak bakal heboh, gosip menyebar, kita manfaatkan popularitas sesaat itu untuk memenangkan mahkota Prom King dan Prom Queen."
"Oh... kamu pengen nyaingin Sasuke sama Karin?"
"Nah itu ngerti."
Naruto mengelus-elus dagunya, berlagak lagi mikir. "Nggak."
Hah? "Apa?"
"Sasuke itu bro, Karin sepupuku, rasanya nggak etis kalau aku ikutan. Lagipula, kalau Sasuke kalah, Karin akan menghancurkan hidupku." Naruto bergidik.
Aku mengerutkan kening. "Jadi kamu optimis bisa menang dari Sasuke?"
Dia terkekeh, wajahnya itu lo, enak banget kayaknya kalau ditimpuk. "Jelas. Makanya, aku nggak tega sama dia."
Memang makhluk antik dia ini.
"Sayangnya, Naruto, aku rasa kamu nggak punya pilihan. Begini..." Aku maju satu langkah. "Kalau kamu tidak bersedia membantuku..." Aku maju selangkah lagi, Naruto mundur dari posisi duduknya, menatapku dengan gugup. "Bukan Karin yang akan menghancurkan hidupmu, tapi aku sendiri."
Dia menelan ludah.
"Keputusan tetap berada di tanganmu, Naruto."
"Ini sih namanya pemerasan!" teriaknya frustasi. Aku menyeringai puas, ternyata emang gampang. "Oke oke oke, aku bersedia! Tapi untungnya buatku apa?"
Aku tahu pertanyaan ini pasti muncul, dan aku udah punya jawabannya.
"Yang jelas, kalau kita berhasil, mahkota Prom King. Tapi aku tahu kamu nggak butuh yang kayak begituan, jadi aku serahkan padamu, kamu minta apa aja."
Naruto menaikkan kedua alisnya. "Serius?"
"Selama masih masuk akal."
Naruto mikir. Aku menunggu dengan sabar. Tiba-tiba dia memandangku, dan aku langsung punya perasaan nggak enak ketika matanya menulusuri tubuhku, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Don't you dare." Aku memamerkan kepalan tanganku.
"Apaan sih? Aku kan belum ngomong apa-apa."
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan."
"Kencan."
Aku melongo, nggak salah denger nih? "Hah?"
"Kencan. Di tempat ramen favoritku."
Aku menyipitkan mata, skeptis.
"Jangan berpikiran negatif dulu, cuma makan aja."
Aku masih nggak ngerti maunya ini anak. Bisa aja dia merencanakan sesuatu, wajahnya aja kriminal gitu. Apa batalin aja ya? Lalu aku memikirkan Karin mengenakan mahkota berkilauan, menggandeng Sasuke dengan manja, tertawa penuh kemenangan.
"Oke, setuju." Aku menggeram frustasi. "Tapi hanya kalau kita menang."
"Gampang." Naruto tersenyum lebar, menjulurkan tangannya. "Simbol kerja sama."
Aku menunduk, memandang tangan Naruto yang terulur ke arahku. Menjabat tangannya berarti menandatangani kontrak.
Yang membedakan antara jenius dan gila adalah kesuksesan.
Wish me luck.
-to be continued-
a/n:
Ini apaan ya, hahaha.
Monggo di-review kalau berkenan.
