I'm Sorry

.

.

Jungkook berlari. Mengabaikan dinginnya malam yang menusuk kulitnya. Sesuatu yang berada dalam pikirannya; seseorang yang sangat teramat berharga di hidupnya lebih penting dari udara dingin sialan itu. Dalam hati Jungkook memanjatkan doa, mengucap serapah pada siapapun yang berani menyakiti kesayangannya. Tersirat rasa bersalah di hatinya. Harusnya dia tidak bekerja sampai malam begini, jadi dia bisa menjaga Taehyung.

Masih terbayang bagaimana suara isak tangis Taehyung dari seberang telepon tadi. Jungkook panik. Dia langsung meminta izin untuk pulang lebih dulu, syukur saja atasannya mengizinkan. Jadi Jungkook langsung berlari, tanpa ingat mengenakan jaketnya terlebih dahulu.

Sesampai di apartemen mereka berdua—Jungkook dan Taehyung, tentu saja—, Jungkook langsung membuka pintu apartemen. Seperti yang diduganya, pasti Taehyung lupa mengunci pintu lagi. Jungkook berteriak kesetanan. Dadanya sesak luar biasa. Ia takut jika sesuatu terjadi pada kesayangannya.

"Taehyung! Kim Taehyung!"

"J-Jungkook.. Hiks—"

"Tae hyung!"

Jungkook berlari ke asal suara. Dadanya semakin sesak. Ia mendengar isakan, pasti isakan Taehyung. Jungkook mematung. Ia melihat Taehyung. Meringkuk di ujung ruangan. Taehyung memeluk lututnya, menyembunyikan wajah bak pangerannya di sela kedua lutut yang tertekuk. Isakan kecil Taehyung menggema di telinga Jungkook, Ia bahkan melihat getaran halus pada bahu Taehyung. Astaga, pangeran kecilnya menangis lagi..

"Sayang.." Jungkook berjongkok di hadapan Taehyung. Jemarinya menyentuh pundak Taehyung yang bergetar.

Taehyung mendongak. Ia menatap Jungkook dengan mata sembabnya. Sedetik kemudian, tangannya sudah beralih fungsi untuk memeluk Jungkook erat-erat.

"Apa yang terjadi, hm?" Jungkook bertanya dengan lirih seraya mengusap punggung Taehyung.

"I-Ibu.. Ayah.. Aku melihat mereka.. Mereka tersenyum.. M-Mengatakan kalau mereka mencintaiku.. T-Tapi tak lama.. Mereka.. Mereka.." Taehyung terisak hebat, tak kuasa melanjutkan ceritanya.

Menghilang, digantikan oleh sosok kejam yang sering sekali memukulimu.. Wajahnya sama, karena mereka orang tuamu juga, iya kan Tae hyung? Lanjut Jungkook dalam hati. Ia hafal sekali.

"Jungkook, aku takut.." Taehyung masih terisak.

"Tak apa, hyung.. Aku di sini.." Jungkook mengecup kening Taehyung berkali-kali, mencoba menenangkan.

Namun bukannya mereda, tangis Taehyung semakin menjadi-jadi.

Jungkook mengerti. Jungkook tau semuanya. Tau tentang latar belakang Taehyung, masa lalu kelamnya. Taehyung mengalami trauma, trauma yang berat sekali. Jungkook masih ingat semuanya meskipun kejadiannya terjadi satu setengah tahun yang lalu. Jungkook masih ingat suara pekikan Taehyung, teriakan kesakitan, dan teriakan frustasinya. Jungkook masih ingat bagaimana cara kedua sosok yang harusnya mencintai Taehyung sepenuh hati itu malah menyiksa anaknya sendiri. Menendang, menampar, memukul, menginjak, bahkan sang ayah tak segan-segan menghantamkan kepala Taehyung ke dinding.

Dulu, Jungkook hanya seorang tetangga Taehyung. Rumah mereka bersebelahan, jadi Jungkook dapat mendengar semuanya. Jungkook selalu datang saat Ia tidak lagi mendengar teriakan-teriakan Taehyung. Tanpa permisi Ia masuk ke rumah Taehyung. Menggendong Taehyung ke kamarnya, lalu mengobati luka-lukanya. Kedua orang Taehyung masa bodoh saja. Mereka tidak peduli. Mau Taehyung mati atau bagaimana, mereka tidak peduli.

Suatu hari saat Taehyung selesai disiksa, setelah Jungkook mengobati luka-lukanya, Ia menangis. Ia menahan tangan Jungkook, enggan ditinggalkan sendirian. Katanya, dia takut. Takut dikalau Jungkook pergi, orang tuanya berulah lagi. Jungkook menurut saja, lantaran Ia kasihan dan takut Taehyung semakin terluka lagi. Jadi hari itu berakhir dengan Jungkook yang tidur di sebelah Taehyung, memeluk tubuh ringkihnya dengan erat.

Satu minggu setelahnya, Jungkook sudah tidak tahan lagi. Setelah mengobati luka-luka Taehyung seperti biasa, Ia membisikkan beberapa kalimat yang membuat Taehyung membeku di tempatnya.

"Hyung, aku mencintaimu. Ayo kita pergi dari sini. Aku sudah membeli apartemen untuk kita, hyung. Ayo pergi. Kau tidak boleh disini, kau harus bahagia. Bahagia bersamaku."

Awalnya, Taehyung menolak. Taehyung bilang, Ia masih mencintai ayah dan ibunya. Jungkook ingin marah saat itu. Mananya yang harus dicintai? Apa gunanya mencintai sosok yang selalu menyiksamu tiap hari? Tapi Jungkook menahannya. Ia mengerti, Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang pemuda yang tiba-tiba datang di kehidupan Taehyung. Ia tidak memiliki hak untuk mengatur hidup Taehyung. Namun satu kalimat yang Taehyung ucapkan setelahnya, berhasil membuat hati Jungkook menghangat.

"Tapi Kook, aku juga mencintaimu.."

Sejak saat itu, mereka berdua menjadi sepasang kekasih. Jungkook masih berlaku seperti biasa; selalu datang saat teriakan Taehyung berhenti terdengar, lalu membawa Taehyung ke kamar untuk segera mengobati lukanya. Tapi Taehyung yang berbeda. Taehyung menjadi lebih takut untuk ditinggal pulang oleh Jungkook. Hampir setiap malam Jungkook menginap di rumah Taehyung. Jungkook tidak keberatan, sama sekali tidak. Ia malah senang. Dengan begini Ia bisa menjaga Taehyung lebih lama.

"Jungkook, setiap malam ayah datang ke sini jika tidak ada dirimu.."

Pada suatu malam, Taehyung bercerita pada Jungkook. Berbisik, katanya takut didengar ayah atau ibunya di luar. Jungkook masih bisa mendengar suara Taehyung dengan jelas, tentu saja, dia berada tepat di sebelah Taehyung saat ini. Jungkook mendengarkan cerita Taehyung tanpa bicara sedikitpun. Padahal, hatinya sakit saat mendengar cerita Taehyung.

"Ayah memukuliku lagi.. Kata ayah, harusnya aku dibiarkan mati saja.." Taehyung terisak pelan.

"Kata ayah, harusnya kau tidak perlu datang dan mengobatiku.. Harusnya aku dibiarkan saja, karena aku ini anak brengsek.. Pembawa sial.." Jungkook mengeratkan pelukannya. Dadanya terasa sangat sesak.

"Lalu aku tertidur dengan kondisi mengenaskan.. Kau, kau pernah bertanya kan kenapa memarku bertambah saat di sekolah? Dan aku bilang itu hanya perasaanmu dan kau percaya saja? A-Aku bohong.. Ini alasan yang sebenarnya.. M-Maaf aku berbohong.. hiks–"

"Tidak apa, hyung.." Jungkook berbisik seraya mengecup pipi basah Taehyung dengan sayang. "Berhenti menangis.. Nanti hyung tidak tampan lagi.."

"Jungkook.." Taehyung merengek di sela isakannya. Ia meremas baju Jungkook. "T-Tolong aku.. Aku tidak tahan lagi, kumohon.."

Jungkook meringis pelan, dadanya terasa perih. "Kau ingin apa, hyung..?"

"Pergi bersamamu.."

Dan saat itu juga, malam itu juga, Jungkook membawa Taehyung pergi dari rumahnya sendiri. Tidak ada persiapan apapun. Jungkook tidak ingin mengulur waktu lagi. Malam itu juga mereka pergi menuju apartemen yang sudah dibeli Jungkook dengan jerih payahnya sendiri.

Dari saat itu hingga sekarang, Jungkook selalu berusaha memenuhi kebutuhan keduanya. Jungkook masih bersekolah, dan Taehyung tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Alasannya sederhana, mereka tidak memiliki biaya yang cukup. Yang bekerja hanya Jungkook, Taehyung tidak. Taehyung sudah merengek pada Jungkook, dia ingin bekerja juga. Tapi Jungkook selalu melarang. Jungkook bilang Taehyung tidak boleh keluar rumah, Jungkook takut jika Taehyung akan celaka atau bagaimana.

Jadi, semuanya ditanggung oleh Jungkook. Uang untuk membayar sekolahnya, uang untuk kebutuhan hidup mereka berdua, untuk memenuhi keinginan keduanya, semuanya ditanggung Jungkook. Jungkook rela bekerja hingga pagi hari dikala dirinya harus berangkat sekolah saat pagi juga. Jungkook rela melakukan apapun demi melihat Taehyung tersenyum.

Pertama kali Taehyung berteriak frustasi di pojok ruangan adalah disaat Jungkook tengah memasak makan malam. Awalnya Taehyung mengeluh pusing, jadi dia tinggal di kamar. Tak taunya, Ia tiba-tiba berteriak sambil meremas rambutnya, menangis. Jungkook yang panik hanya dapat menenangkan Taehyung sampai anak itu tertidur dipelukannya. Besoknya, Jungkook memanggil Kim Namjoon—dokter psikolog yang dikenalnya—untuk datang ke apartemen.

Namjoon bilang, Taehyung memiliki trauma. Trauma masa lalu, pada ayah dan ibunya. Jadi, sebenarnya dua hari sebelum kejadian itu terjadi, Taehyung bertemu ayahnya. Ia yang bosan di apartemen sendirian memutuskan keluar sendiri, melanggar janjinya dengan Jungkook. Tak tahu menahu, ternyata Ia bertemu sosok yang tengah dihindarinya; ayahnya. Sang ayah berkata jika Ia merindukan Taehyung, Ia ingin Taehyung kembali. Tapi Taehyung enggan, Ia langsung berbalik dan berlari meninggalkan sang ayah.

Sejak saat itu, Taehyung mengalami hal-hal aneh. Ia mengaku pada Namjoon dikalau Ia sering melihat ayahnya datang ke apartemen, memeluknya sambil memohon padanya untuk kembali ke rumah. Lalu besoknya Ia bertemu ibunya, namun yang ini berbeda. Ibunya menyiksanya, mengatainya dengan kata-kata kotor, bahkan hampir membunuhnya. Kata Namjoon, itu tidak nyata—awalnya Taehyung tidak mengetahuinya, Taehyung pikir itu semua nyata—, itu hanya halusinasi Taehyung.

Jungkook yang baru mengetahui hal itu merasa sakit sekali. Satu sisi, Ia kesal, Ia kecewa pada Taehyung yang sudah membohonginya, tidak berterus terang padanya. Namun di sisi lain, Jungkook takut terjadi sesuatu pada Taehyung. Ditambah hal seperti ini selalu terjadi saat tengah malam, saat Taehyung tidak bisa tertidur, dan sialnya saat Jungkook bekerja. Jungkook jadi semakin takut. Namjoon menyarankan agar Jungkook mengurangi waktu kerjanya, tapi tidak bisa. Kebutuhan mereka berdua semakin lama semakin banyak. Jika Jungkook tidak bekerja keras, pasti susah jadinya.

Jungkook mencoba untuk terbiasa. Ia sudah terbiasa berlari di malam hari menuju apartemen. Jungkook beruntung karena mendapat tempat kerja paruh waktu yang dekat dengan apartemennya. Tapi tetap saja, rasanya berat sekali. Ia masih merasa takut saat bekerja. Jadi Ia meminta Taehyung untuk tertidur lebih awal. Dan saat Taehyung terbangun atau benar-benar tidak bisa tertidur, Taehyung diwajibkan untuk menelepon Jungkook kapanpun itu.

Seperti saat ini. Kejadian yang sama terulang untuk yang kesekian kalinya. Awalnya Namjoon menyarankan obat penenang, namun Taehyung menolak. Katanya itu membuat kepalanya pening sekali. Ia hanya butuh pelukan Jungkook, dan Ia akan tenang. Hal itu benar. Taehyung tidak berbohong. Saat Ia memeluk Jungkook, semuanya menghilang. Halusinasinya, bayang-bayang buruknya tentang ayah dan ibunya. Semuanya menghilang dan Ia tertidur nyenyak sekali sampai pagi. Dan saat ini mereka sedang di atas kasur, dengan posisi Taehyung yang memeluk Jungkook erat-erat.

"Hyung.." Jungkook berbisik lirih. Jungkook tau jika Taehyung sudah tertidur, Jungkook tau jika Taehyung tidak akan mendengar suaranya.

"Kumohon, kembalilah seperti dulu.. Taehyung yang ceria, yang selalu tersenyum dan tertawa untukku.. Kumohon, hyung.."

"Tapi hyung, sungguh, aku berjanji akan datang. Kapanpun kau perlu, kapanpun kau ingin. Aku akan datang untuk memelukmu, menenangkanmu.. Jadi kau jangan takut, ya?"

"Maaf karena aku masih belum bisa menjadi yang terbaik untukmu.."

"Aku mencintaimu.. Mimpi indah, Tae hyung sayang.." Lalu Jungkook terpejam, memulai petualangannya di alam mimpi.


Pagi hari, Taehyung terbangun. Ia mendapati Jungkook masih berada di sampingnya dengan mata terpejam, wajah damai khas orang tertidur. Jungkook terlihat begitu sempurna, kapanpun dan di manapun, Taehyung mengakuinya. Baginya, Jungkook adalah ukiran tersempurna yang dibuat oleh Tuhan. Tanpa cacat setitikpun, terlalu sempurna. Suaranya yang begitu lembut, menenangkan, semua sifat dan sikapnya yang begitu baik bak malaikat. Bibir tipisnya, mata indahnya, hidung runcingnya— Astaga, kenapa Taehyung terlalu memuja Jungkook begini?

"Mulai terpesona padaku, ya?"

Taehyung terperanjat. Wajahnya memanas saat menyadari kegiatan 'mari mengamati wajah Jungkook'nya tadi diketahui oleh si pemilik wajah. Oke, ini memalukan. Rasanya Taehyung ingin bersembunyi inti bumi saat ini juga.

Jungkook tertawa lepas. Wajah hyungnya yang satu ini manis sekali, Jungkook jadi gemas untuk menggigit kedua pipinya yang sudah semerah tomat.

"A-Aku tidak memperhatikanmu, kok.." Taehyung menunduk, menghindari tatapan Jungkook yang terlihat menggodanya, menyuruhnya untuk mengakui kegiatannya tadi.

"Siapa yang bilang kau memperhatikanku, hyung?"

"Eh?" Blam. Mati sudah Kim Taehyung. Tertangkap basah dengan begitu memalukannya. Wajahnya semakin memanas, ya Tuhan.

"Oke oke, cukup." Jungkook tertawa lagi sampai perutnya terasa sakit. Melihat Taehyung yang malu saat pagi-pagi begini adalah suatu hiburan bagi Jungkook.

"Cukup cukup apanya, kau masih tertawa begitu.. Ish." Taehyung memukul lengan Jungkook. Pukulannya tidak main-main, bung.

"Aww" Jungkook masih tertawa. Oh, rupanya pukulan Taehyung tadi tidak berpengaruh apapun untuknya.

"Menyebalkaan!" Taehyung mencubit perut Jungkook, lalu beranjak dari kasurnya. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan bibir mengerucut, sesekali Ia menggumamkan umpatan yang masih dapat Jungkook dengar.

Selang beberapa waktu, tawa Jungkook akhirnya mereda. Diusapnya setitik air mata yang menggenang di ujung mata lantaran terlalu banyak tertawa. Ia ikut beranjak, mengikuti langkah Taehyung menuju kamar mandi. Ia tidak terkejut saat melihat sosok Taehyung yang tengah berendam di dalam bathup berisi air, tanpa busana. Baju Taehyung sudah berserakan di depan pintu tadi.

"Hai hyung."

Taehyung mengalihkan pandangannya. Ia masih merajuk, Ia masih kesal.

"Hyung, kalau masih begitu, Kook akan berjalan lebih dekat. Mau?"

Taehyung menggigit lidahnya. Menyadari kondisinya yang sudah polos begini, Ia jadi khawatir. Jungkook memang sering melihatnya tanpa busana begini, saat mereka mandi berdua. Jangan berpikiran kotor, bung. Jungkook terlalu polos—lebih tepatnya, sibuk—untuk melakukan this and that bersama Taehyung. Tapi Taehyung sedang malu begini, astaga, bisa-bisa tingkat malunya meningkat drastis.

"Hyung?"

"Oke oke oke!" Taehyung memekik. Ia menatap Jungkook dengan mata menyalang, antara emosi dan.. malu-malu? "Mau apa, sih?" Dia bertanya dengan bibir mengerucut.

"Tidak ada." Jungkook menjawab dengan cengiran polosnya sebelum melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar mandi.

Taehyung melongo. "Dasar kurang kerjaan!" Teriaknya yang disusul oleh suara tawa Jungkook yang lagi-lagi terdengar.


Masih di hari yang sama, tempat yang sama, namun waktu yang berbeda. Saat ini Taehyung tengah memasak sarapan untuknya dan Jungkook. Hari ini Jungkook tidak sekolah, katanya sih untuk menemani Taehyung. Alasan yang konyol memang. Tapi Taehyung senang mendengarnya. Ia merindukan Jungkook. Sebulan ini Jungkook bekerja terlalu keras; sekolah di pagi hari, kerja shift siang di salah satu café dekat sekolahnya, lalu shift malam di mini market 24 jam dekat apartemen mereka. Rasanya Taehyung ingin menangis. Kenapa Jungkook bekerja sebegitu keras hanya untuk menghidupinya?

"Hyung, masakanmu."

"Oh?" Taehyung tersadar dari lamunannya. Ia meringis saat melihat masakannya yang hampir saja gosong jika Jungkook tidak menegurnya.

"Kau kenapa, hyung?" Jungkook melingkarkan tangannya di pinggang Taehyung.

"Tidak apa.." Tidak terganggu sama sekali, Taehyung tetap melanjutkan kegiatan memasaknya.

"Memikirkanku, ya?" Tanyanya seraya mengecup permukaan leher Taehyung.

Taehyung tertawa singkat, merasa geli. "Percaya diri sekali, sih?"

"Kenyataan, kan?"

Taehyung terdiam sebentar. Setelah menata masakannya di piring—dengan Jungkook yang masih memeluknya dari belakang—, Ia menjawab lirih sekali, "ya,"


Tak terasa sehari sudah berlalu. Momen-momen kebersamaan mereka—Jungkook dan Taehyung—harus berakhir di pagi hari ini. Jungkook akan sekolah, lalu Ia bekerja. Paling tidak dia akan pulang untuk makan siang. Jungkook bilang, Ia lebih suka masakan Taehyung ketimbang masakan restoran di luar sana.

"Hyung,"

Taehyung menoleh ke arah Jungkook. Bola matanya tidak berbinar seperti kemarin, kali ini terlihat hampa sekali.

"Jangan sedih begitu.."

"Aku tidak sedih,"

"Hyung, aku mencintaimu.."

Tak kuasa lagi menahan tangisannya, Taehyung memeluk Jungkook erat-erat. Ia menangis di sana. "Aku lebih mencintaimu, aku sangat mencintaimu, aku mencintaimu…" Gumamnya parau di sela isak tangisnya.

"Hyung, hey.. Ada apa? Kenapa hyung menangis? Hyung?"

"Hyungie, berhenti menangis.. Hey, astaga hyung.."

Tak lama, tangisan Taehyung mereda. Ia tersenyum pada Jungkook, manis sekali, tapi Jungkook yakin jika Taehyung tidak pernah tersenyum seperti ini sebelumnya. Ia mengecup bibir tipis Jungkook sekilas sebelum menyuruh Jungkook untuk berangkat ke sekolah.

Jungkook menghela nafas pelan. Ia mencoba berpikir positif. Mungkin saja hyungnya ini masih enggan untuk berpisah dengannya hari ini karena dia merindukan Jungkook. "Hyung, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, oke? Jangan tidur larut. Kalau ada apa-apa, telepon aku, mengerti?"

Taehyung hanya mengangguk singkat.

"Aku mencintaimu." Jungkook mengecup singkat permukaan bibir Taehyung, lalu Ia menghilang di balik pintu yang tertutup.


Malam hari, Jungkook memekik kesal. Ia merutuki kebodohannya, merutuki ketidak sadarannya saat smartphonenya terjatuh di jalan. Ini masih jam kerjanya, mana mungkin Jungkook izin keluar untuk mencari smartphonenya. Yang dapat dilakukannya kali ini hanyalah bersikap tenang, berpikir positif dan tetap bekerja sampai jam tiga subuh nanti.

Namun bagaimana pun Ia berusaha untuk begitu, astaga, tetap saja dia tidak bisa. Salah satu karyawan tetap di sini yang melihatnya seperti itu menanyakan keadaannya. Mau tidak mau Jungkook berterus terang. Dan untungnya karyawan yang satu ini baik sekali. Katanya Jungkook boleh pulang lebih dulu, dan dirinya akan berkata pada atasan jika Jungkook izin karena sakit.

"Terima kasih, Hoseok hyung!" Jungkook berseru sambil berlari keluar membawa tas dan jaketnya.

Malam ini dingin sekali. Jika Jungkook tidak memakai jaketnya, pasti dia akan mati kedinginan di tengah perjalanan.

Jam menunjukkan pukul dua belas tepat. Daerah di sini sepi. Kalau sudah jam malam, jarang sekali ada mobil atau motor yang lewat, berlalu-lalang seperti di pusat kota sana. Rumornya sih, di sini banyak terjadi tindak kriminal begitu, jadi tidak ada yang berani keluar di malam hari. Yah, kecuali Jungkook. Jungkook tidak peduli dengan hal macam itu. Awalnya dia memang takut, tapi lama kelamaan terbiasa juga. Taehyung awalnya melarang. Katanya Ia takut terjadi apa-apa pada Jungkooknya. Tapi Jungkook berkata jika dia akan baik-baik saja, jadi Taehyung menurut.

Ah, omong-omong soal Taehyung, Jungkook jadi terpikir soalnya lagi. Apa Taehyung baik-baik saja? Apa Taehyung sudah tidur? Apa Taehyung—

"Hhh, hhh– J-Jungkook! Jungkookie!"

Jungkook terdiam di tempatnya. Ia melebarkan matanya untuk melihat lebih jelas, siapa yang berdiri kurang lebih lima meter dari posisinya sekarang. Kalau suaranya, jelas itu suara Taehyung. Tapi kenapa? Kenapa Taehyung berlari di tengah malam begini? Kenapa Taehyung belum tidur? Kenapa—

"JUNGKOOK, AWAS DI BELAKANGMU!"

"Ha?"

Terlambat.

Sebuah balok kayu sudah menghantam kepala Jungkook hingga berdarah. Jungkook tumbang, tubuhnya terhuyung lalu jatuh ke aspal. Samar-samar, Ia melihat Taehyung berlari mendekatinya, Ia mendengar Taehyung meneriaki namanya yang disusul oleh bentakan dari seorang pria, entah siapa itu.

"Jungkookie, Jungkook!"

Jungkook yakin, Taehyung sedang terisak sekarang.

"Kau lihat hasil dari perbuatanmu, anak nakal? CEPAT PULANG ATAU KUBUNUH ANAK SIALAN INI!"

"A-Ayah.."

Ah, itu ayah Taehyung. Jungkook menggigil. Kepalanya pening sekali. Matanya terasa berat, tapi dia tidak ingin menutup matanya.

"K-Kookie…" Taehyung terduduk di sampingnya, mengusap darah yang mengalir di pelipisnya. "A-Ayo ke—"

"Pulang, Kim Taehyung!"

"Tidak apa, hyung." Jungkook berbisik lirih. Sekuat tenaga, Ia mengangkat tangannya, mengusap air mata yang mengalir di pipi Taehyung. "Tak apa.." Tangan kirinya menggenggam telapak Taehyung erat-erat.

"M-Maaf.." Cicit Taehyung lemah.

"Kau tidak salah.. P-Pulanglah.. Lawan jika mereka menghajarmu lagi.. Aku, aku berjanji akan datang dan menjemputmu lagi.."

"Tapi—"

"KIM TAEHYUNG!"

Jungkook mencium telapak tangan Taehyung, lama sekali. Lalu Ia berkata, "Kau akan baik-baik saja.. Aku akan menjemputmu, aku janji.."

"J-Jung.." Taehyung memeluk Jungkook. Memeluk tubuh Jungkook erat sekali sampai rasanya Jungkook tidak bisa bernafas.

"Ayah, ayah tidak! Tunggu!" Tapi sang ayah menariknya. Menyeretnya. Membawanya menjauh dari jangkauan Jungkook. Taehyung kalah kuat, Ia masih lemah. Ia lemah tanpa Jungkook, sungguh.

"Aku mencintaimu, hyung.."

"J-JUNGKOOK!"


Terhitung satu minggu sejak Ia berpisah dengan Jungkook, Taehyung tak lagi merasakan kasih sayang di hidupnya. Selama hampir dua tahun hidup bersama Jungkook, hidup Taehyung selalu dipenuhi kasih sayang dan perhatian penuh. Namun sejak sang ayah menyeretnya ke sini, ke rumah terkutuk yang Ia hindari, hidup Taehyung rasanya kosong sekali. Tidak ada kasih sayang, perhatian. Yang ada hanya pukulan, cambukan, tamparan, hantaman, cacian, makian, dan masih banyak lagi.

Setiap hari, Taehyung selalu berdoa agar Jungkook datang. Agar Jungkook segera membawanya pergi lagi. Agar Ia tidak dipukuli lagi. Kalau perlu, nanti Ia akan meminta Jungkook membawanya jauh-jauh agar sang ayah tak menemukannya lagi.

Tapi sampai sekarang, Jungkook tidak datang. Taehyung tidak marah, tidak sama sekali. Kala itu Jungkook berjanji padanya. Taehyung yakin, Jungkook pasti akan menepati janjinya. Karena Jungkook selalu menepati setiap janjinya.

Taehyung hanya perlu menunggu. Menunggu sampai Jungkook ke sini untuk menjemputnya. Taehyung yakin, Taehyung percaya jika Jungkook akan datang.

Bahkan jika Jungkook tidak datang sampai terhitung satu tahun penuh atau mungkin lebih, Taehyung akan tetap menunggu. Karena Taehyung percaya, Taehyung percaya pada Jungkook. Taehyung percaya Jungkook akan datang. Taehyung percaya.

Karena Taehyung lebih mempercayai Jungkook dibanding dengan berita murahan di televisi atau di surat kabar itu.


Satu minggu yang lalu, malam hari, tempat yang sama di mana Jungkook melihat Taehyung memberontak ditangan ayahnya

Jungkook meringis pelan. Darah di keningnya masih belum berhenti mengalir. Tidak ada siapapun di sini, Ia tidak bisa berteriak meminta tolong atau sejenisnya. Jungkook memaksakan diri untuk berdiri, berjalan menuju apartemennya. Sesekali Ia terjatuh, namun beberapa detik kemudian Ia berdiri lagi.

Kepalanya pusing sekali. Jungkook bahkan tidak sadar jika Ia berjalan di tengah jalan raya yang untungnya sepi. Ia terus berjalan, terjatuh, lalu berjalan lagi. Terus seperti itu sampai Jungkook mendengar suara klakson mobil dari kejauhan. Dipikirnya itu hanya halusinasi. Tak lama kemudian Ia melihat cahaya yang mendekat.

Jungkook melebarkan matanya.

Ia ingin berlari, atau berguling ke tepi jalan.

Tapi terlambat, lagi-lagi terlambat.

Tubuhnya terlempar tak jauh dari tempatnya berpijak. Kepalanya berdarah, lagi-lagi berdarah. Bahkan kali ini tubuhnya ikut bersimbah darah. Nafasnya tersendat.

Jungkook berharap sekali, pengemudi mobil tadi berbaik hati untuk membawanya ke rumah sakit. Tapi, astaga, bodoh sekali Jungkook berpikir seperti itu. Di zaman seperti ini, mana ada yang ingin mempertanggung jawabkan kesalahannya. Takut dipenjara, takut dituntut. Ah, Jungkook jadi ingin tertawa.

Nafasnya tersendat. Jungkook memejamkan matanya. Ia tidak kuat lagi.

Tapi..

Bukannya Ia sudah berjanji pada Taehyung? Bagaimana?

Jungkook bingung.

Ia ingin berjuang lagi, tapi tubuhnya menolak. Tubuhnya terlalu lemah, tidak seperti hatinya yang terus memberontak untuk berjuang.

"Hyung, maaf.." Jungkook melirih disela nafasnya yang tinggal setitik.

Bibirnya, wajahnya memucat. Tubuhnya yang menggigil mulai melemas.

Dikeadaan seperti ini, Jungkook masih sempat memikirkan satu hal konyol. Bagaimana nanti para wartawan bodoh itu memuatnya di dalam berita? Surat kabar? Majalah? 'Seorang pemuda mati mengenaskan di pinggir jalan'? atau apa?

Tapi satu hal lagi..

Bagaimana jika Taehyung melihat beritanya?

"Aku mencintaimu, hyung.. Maafkan aku.."

Jungkook memejamkan matanya. Menghembuskan nafasnya. Setitik air mata menetes dari pelupuk matanya. Lalu Ia tertidur, lelap sekali.

Fin

Special gift for ma bestie cllmearay wahaha xD
Aku gak tau ini apa, sumpah gak tau:" Ini luar biasa gaje, aku tau asdfghjkl
Ga ada angst sama sekali duh aku phpin kamu lagi nih/?:'
Tapi inilah yang bisa kuberikan untukmu D': I hope u like it

Last, for everyone, RnR please?