Duhai Asano,
mengapa cintamu pedih bak Romeo yang hampir putus asa meraih Juliet nun jauh di sana?

Kau tahu 'kan kalau ada cinta yang takkan tersampaikan walau sekuat mungkin kau berusaha?

.

"Aku... sungguh berharap dapat terus melihatnya bahagia."

.

.

.

.


Hatsukoi
-another story-

assassination classroom (c) Matsui Yusei

Note:
Ini adalah cerita samping dari Hatsukoi. Hatsukoi bagian MaeIso akan dilanjutkan bila sempat, namun akan sekalian dimerge di chap lanjutan Hatsukoi yang lama, karena di sini pairnya sangat menyalahi 2 pair utama Hatsukoi :'). Dibuat untuk kepuasan diri sendiri.
Don't like please don't read.

.

.

.

Cause when you add some sugar to another person's cup,
the amount of sugar for your own sweetness is becoming lesser and lesser.
But still, you want to drink all that bitterness?

First love,
is when your heart says 'he/she's the one!'
without letting your senses to say anything.

Even for just one word.

.

.

.

.


oOo Think oOo


.

"Asano. Asano Gakushuu, lho. Tak kusangka otaknya yang sesempurna itu bisa ternoda perkara romansa a la remaja." Seo tergelak disela kata, menagih respon sang sahabat dengan tepuk ringan di punggung.

"Aneh ya, masalah sepele begitu. Ya nggak, Sakaki...bara?"

Benaknya tenggelam mencari pelita, kini pergi tinggalkan realita. Lamunan seolah menyetop kelima indera aktif miliknya, pemuda jangkung yang tampan nan rupawan, pujangga cinta Kunugigaoka.

Bahkan telinga tajam seorang Sakakibara tak menggubris lantun sopran indah yang sedari tadi harapkan atensinya. Pantofel hitam itu melangkah tegap walau tak berhaluan pasti, cuma kocar-kacir kesana kemari untuk menyetarai laju otak yang seakan tengah berlari.

Karena sungguh, sulit untuknya berdiam diri di saat seperti ini.

"Sakakibara! Kau mendengarku tidak, sih?!" dengus Seo jengkel, setelah belasan menit berlalu tanpa kemunculan dialog yang pasti. Baiklah, ia sungguh tidak masalah bila diabaikan ketika Sakakibara tengah berbincang (menggombali) gadis-gadis, namun bila diabaikan ketika playboy sialan itu sibuk sendiri dengan pikirannya?

"Ma-maaf, Seo. Jangan-jangan aku bengong ya?"

"Dari tadi, cepak!" semburnya tanpa ampun. Lihat dua bongkah tebal itu, dilanda satu set gempa dan tsunami dadakan. "Tidak biasanya. Bukan maksud ingin ikut campur, tapi... memangnya kau memikirkan apa?"

Jelas-jelas ingin ikut campur.

"Bukan hal besar sih, em... Seo, bagaimana cara kau meminta Tsuchiya untuk menjadi pacarmu?" Yang ditanya berbalik tanya—menyebalkan. Tak heran bila kini kedua alis Seo ikut ambil andil dalam mengomeli Sakakibara.

"Fuh, ngapain kau tanya hal sejelas itu? Tentu saja, Kaho yang memintaku lebih dulu. Ck, aku sama sekali tidak tahu kalau saat itu dia masih memacari bocah dari kelas terkutuk itu."

"Bukan hal buruk juga kok, berpacaran dengan anak kelas E!" sergah Sakakibara cepat.
"E-eh... Maksudku..."

Mendengar kalimat spontan dari kawannya, Seo mendengus kasar. "Iya iya, aku tahu kau masih kesemsem dengan cewek... Err, namanya, Kanzaki? Benar, 'kan."

"Well, honestly bukan tentangku, Seo... Tapi Asano. Dia dan Akabane, kau jelas-jelas mendengarnya sendiri waktu itu."

Sang pujangga bermuka masam. Suasana pelik terbelah dua antara ia dan kawannya—yang sekarang masih diliputi tanda tanya akan disimilaritas sikap Sakakibara kemarin dan kini. Eh? Apa aneh bila mendadak ia membahas, ia taruh atensi pada sang ketua, Asano?

"Yah, jujur saja, sampai sekarang masih membuatku terkejut. Tak kusangka, ia pada Akabane... Kau juga berpikir begitu 'kan, Sakakibara?"

"Mmhm."

Jikalau boleh diumpamakan, maka bagai sengatan listrik bervoltase tinggi.

Terutama untuknya.

.

.

.

.


oOo Hear oOo


.

"Kau melupakan pentingnya delikasi, barusan itu." Sakakibara menegur, masih dengan tangan terlipat di dada. Ia yang berdiri di luar, kini bayangannya perlahan nampak di ambang pintu. Baritonnya kian menegas seraya kedua alis ditukik begitu curam.

"Pikirkan perasaannya sedikit saja, bisakah?"

"Ucapanku sudah sangat lembut untuk ukuran 'menolak seorang laki-laki', kau tahu. Haah, standar keramahan hatimu memang terlalu tinggi, Ren." Balas Asano, tanpa sesentipun melirik pada lawan bicaranya.

"Menguping itu tidak etis, menurutku."

"Kalau saja berkas rapat OSIS kita tidak kau simpan sendiri. Ayolah, meminta tandatangan staf sekolah adalah tugas sekretaris. Berhentilah merebut jatah pekerjaanku, Asano." Tangkisan terdengar, mengiringi pemindahtanganan paksa sebuah map kelabu berlambang akademi Kunugigaoka. Kesulitan menyangkal pernyataan bawahannya, sang ketua menggembungkan pipi persiknya hingga setengah penuh.

"Bukan niatku untuk merebut..."

"Aku tahu." ujar Sakakibara, di tengah kesibukannya memilah berkas. "Siapa tadi? Kalau tidak salah, Isogai Yuuma—perwakilan dari kelas E? Salahmu sendiri bila rapat antarkelas kedepannya menjadi semakin canggung."

"...Ren sampai menyalahkanku."

Yang lebih mungil berbalik badan, membiarkan kelip surai jingganya berbaur dengan temaram langit senja. Ametis kembarnya berkilat terang, kontra dengan kawanan mega yang kian meredup—seolah memohon pengertian sang sekretaris. Asano tahu benar kelemahan Sakakibara, setelah keduanya bersahabat sekian lama.

"Aah, tuan pujangga cinta sampai menyalahkanku. Ya, kuakui aku memang bodoh masalah cinta, maaf-maaf saja kalau kelakuanku tak menyanggupi standarmu. Sudah ya, aku pulang duluan."

"...Cukup kumengerti betapa besarnya rasa cintamu pada Akabane, Asano-kun. Dan aku minta kau ralat sedikit kalimatmu—bukan niat ingin menyalahkan, tadi itu aku hanya mengingatkan barangkali kau lupa." Sakakibara mengedar senyum terakhir sebelum kapten kesayangannya berlalu dari pandangan.

"Hati-hati di jalan, sampai bertemu esok pagi."

.

Ya, aku cukup mengerti.
Sangat, sangat, sangat cukup.

Kini aku sangat, sangat mengerti sebagaimana dalamnya kasih yang kau tujukan pada Akabane, kau tak perlu repot menjelaskannya lagi kepadaku.

Sampai muak rasanya.

.

.

.

.


oOo Look oOo


.

"Lagi-lagi kau gelisah."

Sakakibara terkekeh pelan kala mendapati sang ketua OSIS tengah celingukan, memfokuskan mata baik-baik pada tiap sosok pengisi barisan paling kanan. Gerak-geriknya tidak diragukan lagi, tengah resah. Perasaannya pasti kalut.

Mungkin tidak aneh bila sehabis ini ia akan uring-uringan seharian selama mengerjakan berkas sekolah di ruang OSIS. Dan ya, hanya Sakakibara seorang yang rela bersusah payah menaikkan moodnya. Ah, pemuda jabrik itu sungguh berharap vending machine sekolah masih menstok susu stroberi pembangkit mood ketuanya.

"Bukannya Asano-kun sendiri yang bilang kalau dia bukan tipe yang mau capek-capek mengikuti kegiatan merepotkan semacam berkumpul di hall?" tambahnya seraya menaikturunkan bahu, geleng-geleng terhadap laku sang ketua yang menyalahi imej sempurna—tidak mendengarkan pengumuman sekolah.

"Siapa... yang tidak..."

"Akabane Karma-mu tersayang."

"R-Ren! Kau ini—" Spontan Asano memekik—warga kelas A nyaris saja terkena serangan jantung, jika saja ia tak segera menurunkan volume. Berbisik dengan suara yang terbilang senyap.

"...Bisa-bisanya kau santai, mengatakan itu tanpa beban."

"Maksudmu, seharusnya aku terbebani?" Lengkung manis melintang pada bibir tipisnya, seiring dengan rengkuhan lengan panjang sang pemilik pada remaja bergerai aprikot di hadapannya. Walau longgar memang, tapi Asano nampak cukup risih diperlakukan demikian. Yah, Sakakibara dapat memaklumi.

"...Mungkin kau benar, rasanya aku cukup terbebani ketika mengucap nama itu—terutama di dada sebelah kiri."

"Hm? Barusan kau bilang apa, Ren?"

"Bukan apa-apa! Sudahlah, ayo simak pidato ayahmu di depan. Kalau sampai ketahuan Asano Gakushuu tengah melamun sendiri, maka nama Five Virtuoso juga akan tercemar!"

Senyuman kian mengembang bak parasol kala Sakakibara menelengkan kepala seraya mengedipkan sebelah kelopak, cukup ampuh untuk elakkan kedua pembicara dari topik yang dirasa akan jadi canggung nantinya.

"Kalau kau mau, aku akan menemanimu pergi ke atas gunung untuk menemui Akabane sepulang sekolah nanti. Karena aku tidak bisa membiarkan Asano-kun yang pemalu dan tsundere pergi ke kelas E sendirian, 'kan?"

Lagi, Asano mengalihkan pandangan.

.

.

.

.


oOo Touch. oOo


.

Walau dengan predikatnya sebagai ketua OSIS, bukannya ia lantas menjadi pribadi yang kaku. Sakakibara saksinya. Buktinya satu: ia sudah bagaikan wadah bagi Asano untuk menuangkan imajinasi. Menjabarkan tiap detil fantasi liarnya. Walau Asano paham betul, takkan mungkin terealisasi sesering apapun ia limpahkan cerita.

Dia cukup ribut mengenai ini, dan itu manis—opini Ren sendiri. Biarlah orang mengejeknya buta. Sebab bukan cuma lima indera sebagai partisipan dalam penyimpulan perasaannya. Baginya pribadi, pemuda arogan berkepala jingga itu entitas berbahaya—pemicu diabetes stadium akhir.

(Ah, ia menghiperbola.)

Namun di lain sisi, kehadiran Asano juga pahit benarnya.

...

"Mengapa ketika kau mencintai seseorang, kau semakin bernafsu untuk menyentuhnya?" wajah tampannya mencium muka meja, persis seperti kali pertama ia ceritakan gundahnya. Sakakibara mendengus singkat, menelungkup dua belah pipi persik Asano ke hadapannya. Lagi-lagi, Asano Gakushuu tenggelam dalam mode nelangsa. Tidak baik.

"Jangan bicara sambil menempelkan wajah begitu. Sulit terdengar, kau tahu."

Aku ingin melihat senyumannya.

"Kalau hatimu sudah jatuh pada seseorang, maka kau merasa ingin saling berbagi, bukannya begitu? Menjalin kisah, menjalin rasa... Walau cuma cinta monyet sekalipun—yah, aku tidak tahu juga." Tangkupan dua telapaknya berpindah posisi, kini memaut erat tangan mungil dalam genggaman. Ia tak paham mengapa pemilik telapak sebeku ini mampu kobarkan api dalam hatinya.

Ketika rasa suka ini bergejolak,
Tinggi, tinggi nian bagai gulungan ombak...

"Bukankah merupakan suatu kebahagiaan... Saat kau dapat menyentuh sosok yang selama ini terus kau angankan?"

Asano...

Pendengar satu-satunya mengulas senyum kecil, kontra dengan mendung yang sedari lalu menyelimuti paras eloknya. "Benar juga... Aku juga berpikir seperti itu. Ternyata memang seharusnya begitu, ya? Ketika kau menaruh rasa pada seseorang."

"Bahkan, ya... Walau seberapa besarpun rasa sakit darinya untukmu, kau akan tetap merasa ingin melindunginya, Asano-kun. Ingin membahagiakannya, ingin terus memandang senyumannya, serta takkan meninggalkannya begitu saja. Itulah cinta."

Itulah cinta, Asano. Tak mengenal sakit, walau betapa perihnya.
Walau kau menangis.
Walau kau tak tahan ingin mengurungnya untukmu sendiri.

Tapi pada akhirnya, kau takkan rela berbuat tega. Kau takkan memaafkan dirimu sendiri apabila sampai menyakitinya.

Itulah cinta.

"Terima kasih karena selalu mendengarkan kegundahanku, Ren."

INIlah cinta, Asano.

.

.

.

.


oOo Taste oOo


.

"Aku menyukaimu, Akabane. Setelah segala hal yang kita lalui bersama, kini aku tak dapat mengelak jika memikirkanmu. Aku sadar bahwa aku ingin selalu ada di sampingmu. Bila mungkin, maukah kau sedikit saja mempertimbangkan diri untuk menjalin hubungan kasih denganku?"

Papan kayu lapuk itu seolah dapat runtuh kapan saja, menimpanya yang tengah bersandar memasang telinga. Rerumputan menari penuh arogansi, seolah menertawai dirinya dalam sepi. Ya, dalam sepi—pintar benar Asano, ia paham betul bahwa tak ada manusia yang mau berlama-lama di gunung sampai matahari tenggelam kecuali satu orang saja.

Akabane Karma.

...Kalau saja angin dapat sejenak tulikan telinganya, jauhkan dirinya dari silet imajiner penyayat hati.

"Menguping itu tidak etis, ya... Seharusnya aku menurut pada ucapannya. Aku benar-benar bodoh."

.

.


"Hmm, boleh saja." Jawaban itu meluncur ringan dari sela bibir seorang Karma. "Aku mau menjadi pacarmu, Asano. Well, saat ini anggap saja kita dalam masa percobaan dahulu."

Betapa kalimat dapat meninggalkan bekas mendalam—pikir kedua Virtuoso. Baik yang menyenangkan maupun tidak. Rasanya bagai mengecap pahit yang takkan hilang—

"Kau—serius?"

Mereka... serius?

"Hmm, aku bukannya sedang bercanda, sih. Bisa dibilang aku serius, begitu?"

Akabane bukannya sedang bercanda.

Ah, coba lihat wajah manisnya. Ekspresi yang nampak begitu bahagia—
tidak, dia memang benar-benar bahagia saat ini.
Senang, ya. Cintanya diterima langsung oleh orang yang ditaksirnya.


.

.

.


[ "Strata bukan masalah. Ayolah Asano-kun, kurasa kau akan mengerti perasaan sukaku pada Kanzaki jika kau dapat sedikit saja mengecap rasa cinta. Jika kau mau, aku akan membantumu untuk mencicip manisnya."]

Bolehkah aku meralat ucapanku sewaktu itu, Asano-kun?

Cinta bukan sesuatu yang terasa manis, rupanya.
Tidak—cinta kadang terlampau begitu manis hingga lidahmu berucap sebaliknya.
Seratus delapan puluh derajat darinya.

Cicipan pertama, nikmat 'kan buatmu mabuk kepayang.
Namun saat kau kehilangannya, kau tak tahu betapa berbanding terbaliknya.

Asano-kun, Asano Gakushuu tersayang. Kau, sang persona semanis gula

Mohon tetap di sini dengan manismu yang samar,
manismu yang lembut
manismu yang apa adanya

Kau yang tengah dipermainkan cinta, begitu manis
Kau yang tengah terjerat usilnya romansa, begitu manis

Namun ketika kau semakin manis, ketika kau semakin bahagia
Bagiku pahit adanya
Tak mencegahmu sejak awal, bodoh rasanya—diriku ini, tentu saja


.

"...Aku terlanjur berjanji akan membantunya. Seorang lelaki sejati akan memegang kata-katanya."

Limpahkan pahit padaku, tak apa. Gantinya, 'kan kuberimu manisnya gula.

"Tidak apa-apa, karena hal yang terpenting untukku... hanya untuk melihatnya bahagia."

.

.

.

.

.

.

.

.

Hatsukoi -another story-


A/N

berasa lagi ngehukum diri sendiri. maso abis. kesambet apa coba sampe ngelanjutin hatsukoi yang sudah terlupakan sejak lama. dan ya, ini kilat sekali bikinnya, cuma sehari jadi dikerjain di kelas lol... harus banget ya.

maaf ya, kiyoha lagi badmood banget, maaf kalau rasanya jadi nuangin emosi di fic :'( ga maksud nge offens siapa-siapa kok :'( (dan emang dari awal begini sih plotnya #YHA) semoga yang sempet nganu saya (zetsubou ni!) sadar sendiri yah, walaupun ga yakin bakal baca sih gegara tagnya :)))

Sekalian special happy birthday buat Rakshapurwa! Makasih udah banyak menghiburku selama ini, ILU! ditunggu lagi asupan RenAsanya! #WOI

Intinya makasih ya buat yang udah baca!

kiyoha