Disclaimer : Dreamworks ; William Joyce

Story : Arn

Perpisahan

.

.

.

.

"Tooth!"

Aku menoleh ke belakang. Merasa ada seseorang yang memanggil namaku.

"Toothiana!"

Aku tak bisa menemukan asal suara tersebut. Tapi aku tahu asal suara tersebut sudah tak jauh lagi dari tempat aku berada.

Kulihat sesosok bayangan. Yang berjalan keluar dari kegelapan. Dengan gerakan nyaris anggun di mataku.

Pitch Black

The Nightmare King

Berjalan dengan pelan mendekatiku. Kulihat tatapannya. Tatapan yang nyaris kosong. Seakan tak memiliki harapan lagi.

"Hai, Tooth."sapanya kepadaku dengan intonasi berbeda dari biasanya.

Aku hanya bisa memalingkan wajahku. Aku tak kuat melihat wajahnya. Wajahnya yang nyaris kosong. Aku masih diam. Tetap memalingkan wajahku. Diam. Membiarkannya membatu di hadapanku.

Aku merasa ada yang melingkarkan tangan di sekitar tubuhku.

Hangat.

Itu yang pertama kali kurasakan. Pitch memelukku. Memberikan kehangatan kepada ku. aku hanya bisa pasrah. Dan membiarkannya memelukku.

"Maafkan aku-" ucap Pitch dengan intonasi terlembut miliknya.

Ia meregangkan rangkulannya. Aku menatap matanya yang kosong. Dan senyuman tanpa harapan miliknya.

Aku hanya bisa diam.

Menatap Pitch.

Musuh terbesar keluargaku.

Tapi aku tak bisa melepaskan wajah putus asanya dari benakku. Aku tak berdaya melihat senyuman tanpa harapan miliknya.

Aku merangkul lehernya mendekatkan wajah ku dengannya. Mempertemukan bibir kami. Membiarkan diriku dikuasai nafsu yang mengebu. Cukup lama kami berciuman. Sampai pada akhirnya ia melepaskan ciuman kami dan memberiku pelukan yang lebih erat. Membenamkan wajahnya di pundakku.

"Tooth, maafkan aku. Ini sebuah perpisahan."desahnya.

Aku mengeratkan rangkulanku.

Aku tak tahan.

Setes air mata jatuh mengalir di pipiku.

Aku tak ingin perpisahan. Aku ingin bersamanya.

"Tapi Pitch aku-"

"Aku tahu, maafkan aku."

Tangisanku pecah. Air mataku mengalir deras melewati pipi ku. ku eratkan lagi pelukannya. Menangisi perpisahan kami. Ia menciumku lagi. Lebih bergairah dari sebelumnya. Menciumku hingga pada akhirnya kami kekurangan oksigen. Dan melepas bibir kami.

Ia menatapku.

Dengan tatapan yang tak berubah sejak tadi.

Ia tersenyum.

Senyuman itu ada harapan. Bukan senyuman lebar dengan seringai licik yang biasanya ia lontarkan.

Senyuman ini ada harapan.

Walau hanya sedikit.

Tapi pada akhirnya ia bisa tersenyum.

"Terima kasih..."

Hatiku terasa hangat mendengarnya. Walau masih bercampur dengan kesedihan mendalam. Ia mengecup keningku. Dan melepas rangkulannya. Dan melepas genggaman tangan kami. Berjalan meninggalkanku sendiri. Hilang dalam kegelapan. Air mataku mengalir lebih deras dari pada sebelumnya. Tapi hening. Aku tak terisak seperti tadi. Hanya saja air mataku mengalir dengan deras.

Perpisahan ternyata lebih menyakitkan dari pada yang kukira.

.

.

.

.