Hajimemashite~
I'm new here, so if there's something wrong in my story... so, don't be shy to give me a spicy comments.. '-')b

disclaimer
all of these vocaloid character is belong to Yamaha - CryptonFM, and more of them... except the story, it's mine~


|| Shisha ni Chokumen || Rizui ~ Soda-kun

"Are you ready for this apocalpyse?"

Chapter I : 「Is it a... Scream?"」


"Panas…" ucap Mikuo lemas sambil berusaha meluruskan tubuhnya di atas bangku. Peluh menetes perlahan dari dahinya dan berakhir membasahi seragam tipis musim panasnya.

Bangku kematian, itulah pikiran pertama yang terlintas disetiap benak siswa yang mengikuti 'Perbaikan Nilai Jam Tambahan' di musim 'setan' ini. Tapi apa boleh buat? Semua posisi duduk sudah teratur dalam buku catatan sensei tiap kelas yang diurutkan berdasarkan nilai mid-term sebelumnya.

Dan bingo. Hatsune Mikuo adalah salah satu dari 3 siswa paling menderita yang mendapatkan bangku yang berada tepat disamping jendela itu, menghadap lapangan, tersapa angin 'hangat' musim panas, dan diterjang oleh gelombang ultra-violet dalam skala besar selama enam jam tanpa henti.

Kalau begini, apa bedanya dengan kursi listrik yang digunakan dalam Art of Torture zaman dahulu?

Lalu, jika kita menarik garis X dengan Y di koordinat ini, maka kita akan mendapat …

Mikuo hanya melirik sesaat simbol-simbol aneh di papan tulis yang ditulis Gakupo-sensei -walau dia termasuk daftar black-list para siswa akibat wajahnya yang menyeramkan, tapi sebenarnya dia adalah guru yang ramah- namun hal itu malah membuat kadar oksigen yang masuk kepalanya berkurang drastis.

Matematika, pelajaran yang mengandung tulisan yang dianggapnya sebagai mantra yang sering ditulis oleh penyihir-penyihir barat di buku mereka atau yang mereka tuliskan di sekitar lingkaran sihir -atau apalah sebutanny- adalah pelajaran yang selalu berada di posisi terakhir dari daftar nilainya, dan itulah mengapa Mikuo mendapat undangan 'pesta barbeque' di kelasnya selama liburan musim panas berlangsung.

dan diakhir persamaan, kita akan mendapatkan hasil dengan nilai …

Berharap akan terjadi keajabaian terjadi di jam tambahan ini, dengan cepat otaknya menolak mentah-mentah apa yang disampaikan Gakupo-sensei ketika dia mencoba memperhatikan pelajaran tersebut. Alhasil, pening di kepalanya mencapai tingkat over-heat puncak dari sebelumnya.

Sambil ogah-ogahan, diraihnya ponsel kecil berwarna turquoise dari kolong mejanya, dan ironisnya, dia mendapati kombinasi angka yang belum menguntungkannya.

12.17

Tinggal satu setengah jam lagi?! Sigh…

Dia mengerang pelan lalu menutup mata sambil meletakkan kepalanya diatas meja, semua inderanya menajam secara otomotis, kecuali penglihatannya dan otaknya yang malah melakukan hal sebaliknya. Saatnya untuk bersantai mungkin, membiarkan angin hangat –panas- yang berhembus perlahan dari jendela terbuka disampingnya, dan membiarkan rambut tosca-nya terhempas angin.

Siing... .Siing.. Siing…

Terdengar bunyi serangga musim panas di batang pohon saling memadukan suara, aroma udara musim panas yang khas, panas matahari menyengat kulitnya, suara Gakupo-sensei yang kasar, gesekan kapur dengan papan kayu, suara siswa yang menguap karena ngantuk dan pelajaran yang menurutnya membosankan, penghapus yang jatuh ke lantai dan memantul kearah yang abstrak.

Suara yang sama seperti hari-hari sebelumnya, namun Mikuo tetap memejamkan matanya dan ingin merasakan sesuatu selain 'penglihatan' matanya.

Siing... Siing... Nguiing… Nguiing… Siing…

Barusan sirine? Polisi? Ambulan? Sepertinya tidak jauh dari sini…

Lalu sayup-sayup terdengar suara benda berat membentur sesuatu dengan keras, dan…

Spontan, Mikuo terduduk cepat. Dia melemparkan pandangannya ke seluruh ruang kelas, mencari suatu sumber suara.

Gakupo-sensei menulis sesuatu dengan kapurnya dan menggumam sesuatu. Gumiya, siswa yang duduk tepat disampingnya yang selalu memainkan pensilnya tanpa menulis apa-apa. Aoki, siswi yang sakit-sakitan yang duduk beberapa bangku darinya, memperhatikan dengan serius apa yang dituliskan sensei di papan tulis sambil mengetuk-ketukkan pensilnya ke meja.

Selain itu, tidak hal yang mencolok ataupun menarik perhatiannya.

Eh?

Mikuo yakin, dia baru saja mendengar sesuatu.

Seorang wanita… Menjerit...

Suara yang menyusul suara benturan benda keras sebelumnya.

Dialihkannya mata tosca-nya melewati lapangan, berusaha menjangkau keluar dari tembok putih sekolahnya, namun sayang, walaupun pandangannya dapat melewati tembok tersebut, masih terdapat pohon-pohon rindang tumbuh tinggi disamping tembok.

Dengan cepat, Mikuo tertawa kecil dan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Toh bisa saja terjadi tabrakan atau supir yang mengantuk lalu menabrakkan mobilnya kedalam mart ataupun seseorang yang mengenakan topeng ski di siang hari dan menabrak tiang listrik, lalu seorang wanita berteriak histeris ketakutan. Apa gunanya juga dia mengetahui hal seperti itu? Tahu ataupun tidak, juga tidak ada bedanya.

"Aaah… Bodohnya aku…" kritiknya terhadap diri sendiri, menyesali apa yang baru saja dia lakukan.

"Double cheese-burger…" janjinya terhadap diri sendiri sambil menutup mata dan meletakkan kepalanya di meja lagi, seolah dia telah melanggar sesuatu sehingga dia harus membayar dendanya. Kebiasaan konyol, dia tahu itu, dan dia menyukai itu. Suatu cara agar dia tidak mengulangi sesuatu yang orang lain biasa sebut 'kurang-kerjaan' lagi.

Lalu dia diam sejenak, membiarkan hawa panas yang berhembus melalui jendela mengeringkan kulitnya lagi, atau lebih tepatnya membakar, seperti asap panas dari ledakan gunung berapi tanpa koloid yang bergerak dengan cepat menuju tempat yang lebih rendah. Semakin lama, peluhnya muncul dari pori-pori tubuhnya, menetes dan terserap ke dalam seragam tipisnya.

Hanya ada dua hal yang dapat dilakukannya sekarang, dia tahu apa saja itu, dan dia tidak menyukainya untuk beberapa hal. Toh, ngengat musim panas akan terus menggigiti kulitnya dengan leluasa selama liburan musim panas kali ini, kecuali dia mendapat minimal nilai B+ di mata pelajaran Gakupo-sensei tersebut saat 'Pre-Test I" di akhir minggu.

Ya, ini baru minggu pertama dan beruntungnya Mikuo belum mengalami apa yang disebut 'syndrome' musim panas atau demam musim panas. Penyakit bodoh pikirnya, bagaimana mungkin kau dapat terkena demam saat suhu udara diatas empat puluh tujuh derajat?

Dengan mendengus berat, diraihnya pensil di sudut mejanya dan buku berwarna biru bertuliskan namanya di kolongnya, yang berarti dia memilih pilihan kedua. Pilihan pertama? Tidur di mejanya dan berharap Gakupo-sensei tak memasukkan bubuk kapur ke dalam mulutnya.

Mikuo akhirnya berusaha mensugesti dirinya seolah dia adalah penyihir yang sedang merapal mantra, dipandangnya soal-soal Gakupo-sensei di papan tulis sambil berharap agar dia bisa membaca mantra tersebut, dan bersamaan dengan itu, muncul lah coretan-coretan aneh di buku Mikuo.

Dan pada akhirnya dia tahu, dia gagal merapal mantra tersebut.


… Knock …

"Kau memang bodoh..." ujar Gumiya sambil melempar kotak obat-obatan kepada Mikuo, lalu beranjak menuju dapur, "Sampai kapan kau akan terus bodoh seperti ini?"

"Sampai hal yang disebut matematika itu hilang dari sejarah manusia." balas Mikuo sambil mencari obat batuk dan sesuatu yang berhubungan dengan pernafasan dari kotak obat, suaranya terdengar serak.

Terdengar suara kompor dinyalakan dari arah dapur.

"Pemikiran bodohmu semakin lama bertambah parah." ujar Gumiya yang teredam tembok antara ruang tengah dengan dapur, ia mengambil beberapa wortel dan lobak dari kulkas lalu mulai memotongnya, "Jika itu maumu, bayangkan dunia dengan segala hal berbentuk abstrak..."

Setelah beberapa saat, sambil mengepalkan tangan, Mikuo bergegas menuju dapur sambil membawa beberapa tablet berbau khas di tangannya.

"Aku tak ingin membayangkan hal yang susah untuk dibayangkan, Gumiya." ujarnya sambil menelan obat dan meminum air dari keran di wastafel, "Oh ya, disini kita punya jeruk nipis? Kapur ini menggigiti leherku."

Tanpa menghadapnya dan terus memotong, Gumiya menunjuk rak disamping pintu belakang.

"Hoho, kau memang berguna untuk hal seperti ini." puji Mikuo sambil menuangkan air panas dari termos kecil dan beranjak mengambil jeruk nipis di rak.

"Dan kau tidak berguna dalam hal apapun, kecuali olahraga..." balas Gumiya lalu menghela nafas, sambil meletakkan pisaunya di samping kompor dia membuka jendela disampingnya. "Cepatlah keluar, kau membuat kita terbakar dengan uapmu."

Sambil melempar jeruk nipis ke tempat sampah, dia membawa minuman yang telah bercampur zat asam tersebut keluar dapur, "Oke oke, chef. Kunanti masakanmu di ruang tengah."

Knock…

Lalu terdengar suara channel TV diganti dengan cepat dari ruang tengah, dengan diiringi tawa, Mikuo terbatuk-batuk sambil memukul dadanya. Mungkin beberapa kapur telah masuk ke paru-parunya sejak tadi siang.

Gumiya menghela nafas lagi, dan kembali melakukan kegiatan hariannya di dapur. Memasak untuk mereka berdua setiap hari.

Sekali lagi, setiap hari.

Ya, mulai dari Senin hingga Minggu dan kembali Senin hingga Minggu lagi.

"Huft, kapan paman akan pulang, huh? Merepotkan sekali." keluh Gumiya sambil memasukkan potongan wortel ke dalam panci. "Toh jarak institut dengan rumah hanya empat stasiun dari sini..."

Knock…

Keadaan sunyi untuk beberapa saat. Seperti halnya malam sebelumnya, terdengar suara air mendidih dari arah dapur, bunyi gas yang terbakar menjadi api, tawa dari arah TV dan ruang tengah, kipas angin yang berputar konstan di sudut ruang, bunyi jangkrik di rerumputan luar, dan bunyi lonceng kecil yang terhempas angin di atas pintu geser ruang tengah, dan juga ketukan ranting di dinding belakang.

Damai. Sungguh damai.

Bagaimana tidak? Langit malam ini begitu cerah, tanpa adanya awan kelam yang menutupi dewi malam yang bersinar di samping langit.

Segera, Mikuo mengetahui Gumiya muncul dari balik bilik pintu dapur dengan membawa nampan. Secara fisik, tak akan ada yang pernah mengira laki-laki yang dulunya seorang hikikomori tersebut dapat memasak. Namun, keadaan berkata lain, tak ada hal yang tak mungkin bukan?

Walaupun ada juga hal yang 'seharusnya' tak terjadi menjadi terjadi.

… Knock …

"Nah, inilah chef yang kita nanti-nanti." ujar Mikuo sambil berlagak seperti MC acara TV sambil memegang gelasnya, dan disambung dengan tepuk tangan dari arah TV. Momen yang tepat!

"Dan ini chef paling sial yang pernah ada..." lanjut Gumiya sambil meletakkan mangkok sup dan nasi di tengah meja dan dilanjutkan dengan sepiring kecil bagian tuna memang telah dipotong, diambilnya sebatang sumpit yang masih menjadi satu disamping meja.

"Juga chef yang paling baik hati terhadap sepupunya ini." lanjut Mikuo lagi sambil tersenyum –idiot-, lalu menarik mangkok sup dan nasi bagiannya tersebut.

Gumiya hanya diam sambil memperhatikan sepupunya yang memang hanya terlahir dalam bidang 'olahraga' tersebut, lalu membuat senyum yang memang terlihat palsu, "Three poin, untuk pujian konyolmu itu..."

"Itadakimasu…" ucap mereka berbarengan sambil mematahkan sumpit menjadi dua. Semangat yang terdengar dari mereka sungguh sangat berbeda. Toh mereka juga bukan saudara sedarah.

Sambil menyantap makan malam, mereka menonton acara khas musim panas yang telah berlangsung beberapa minggu ini. Yap, series dari Fuan no Tane, film horror terfavorit musim panas kali ini, dan juga musim panas sebelum-sebelumnya.

Terjadi beberapa kali kenaikan intensitas suasana saat itu, dan berulang kali Gumiya hampir memuntahkan makanannya ke arah TV. Pemberani? Coba kita kurangi anggapan kita terhadapnya tentang hal itu. Dia memang bukan tipe orang seperti Mikuo, yang malah mengeraskan volumenya dan mengunyah makanan di mulutnya hingga lebih dari batas ideal mengunyah makanan, sambil memasang wajah datar. Sepertinya saraf kejutan di otaknya mengalami kerusakan.

Lalu akhirnya tiba pada scene yang biasa kita sebut 'klimaks', scene ketika tokoh utama tersudut, dan akhirnya muncul makhluk superman- supranatural berbentuk abstrak secara tiba-tiba, dan tibalah scene paling dibenci Gumiya, ketika sang aktor-

Maaf untuk menghentikan acara anda. Sebelum kami melanjutkan acara, ada beberapa hal yang akan kami sampaikan..

"Eh? Flash-News? Jarang-jarang di musim panas ada beginian." respon Mikuo sambil memperhatikan perubahan acara yang spontan tersebut. Bersamaan dengan kalimat Mikuo, Gumiya menghela nafas lega, ditelannya potongan tuna yang sedari tadi terendam di mulutnya, hormon adrenalin di tubuhnya mulai berkurang secara perlahan.

Jika dilihat dari schedule musim panas, munculnya Flash-News adalah suatu hal yang langka terjadi, terkecuali jika ada suatu kejadian yang memang harus menyita perhatian penonton di daerah Flash-News tersebut ditayangkan. Namun, lain cerita jika yang menayangkannya adalah channel nasional dalam jangkauan satu prefecture.

Atau seluruh Jepang.

… Knock …

Narita, Chiba... Narita, Chiba...

"Eh? Kenapa dengan kota kita?" tanya Mikuo heran ketika mendengar tempat Flash-News berlangsung, kotanya. Dilihatnya perubahan posisi peta dari ketinggian yang memperlihatkan seluruh Jepang membesar hingga mendapatkan ketinggian yang memperlihatkan kota Narita.

"Jangan tanya aku..." ujar Gumiya sambil berpaling meminggirkan mangkok dan piring bekas makan mereka tersebut ke samping ruangan yang telah mereka selesaikan beberapa saat lalu. Terdengar bunyi plastik dan alumunium bergesekan pelan.

"Apa mungkin ada hubungannya dengan kecelakaan tadi siang?" kata Mikuo sambil membayang-bayangkan berbagai kemungkinan.

"Kecelakaan?"

"Yah, kau tahu, tadi siang kudengar suara sesuatu yang berat menabrak sesuatu... Terdengar agak jauh sih, mungkin tujuh blok dari sekolah, kalau tidak salah ada suara wanita menjerit setelahnya..." sambungnya, agaknya Mikuo masih menimbang-nimbang apa benar itu yang ia dengar tadi siang, "Well, aku sedikit heran dengan kalian di kelas yang tidak mendengar suara itu."

"..." Gumiya menatap masam wajah Mikuo lalu memasang wajah seolah bersyukur. Beruntung aku tak memiliki kelebihan seperti itu. Aku akan berharap tak ada orang yang mandi dalam radius sepuluh blok dariku jika aku memilikinya saat aku menjadi NEET dulu.

"Dan... Sesuatu yang kau sebut sesuatu itu apa?"

"Sesuatu yang besar dan berat... Mungkin kendaraan yang berbentuk box-" kata-kata Mikuo seolah terhenti di tenggorokannya ketika ia mengembalikan pandangannya ke arah TV.

Sesaat, ia memberi isyarat diam dengan jarinya. Ia memperintahkan Gumiya untuk kembali memperhatikan TV -yang sedari tadi mengeluarkan suara-suara yang tidak mereka anggap- dengan menggerakkan telunjuknya.

Gumiya heran, ia mengikuti pandangan Mikuo.

Seketika pupil hijaucerah-nya mengecil.

"Eh... I-Ini cuman bagian dari acara kan?" ucap Mikuo terbata. Ia tidak percayai apa yang dilihatnya, "Apa yang sebenarnya terjadi?!"

"..." Gumiya hanya terdiam mematung, pandangannya tetap terkunci pada satu arah, dan mulutnya mulai menganga tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Dengan gerakan keras, Mikuo berdiri sambil menghentakkan kakinya ke tatami di sampingnya. Ia mendekati pintu geser disampingnya, melengok menatap langit yang berubah kemerah-merah di barat kota. Tangannya mengepal, dihantamnya pintu pintu geser tersebut hingga terdorong kedalam. Ia menggeram tertahan.

Dibaliknya, Gumiya masih terdiam menatap layar TV, rambut hitamnya menutup matanya.

… kemungkinan kebakaran ini disebabkan kebocoran gas penampung di bagian pusat energi, dan kini para pemadam kebakaran telah berupaya memadamkan api yang kini semakin menyebar ke bagian utara Institut, diharapkan …

Suasana ruangan kali ini benar-benar sunyi walau di luar sana tengah terjadi kecelakaan yang berarti.

… Knock …

Mikuo masih berdiri menatap langit merah di barat kota, dengan pelan, dijatuhkannya tubuhnya keatas tatami lalu bersandar ke pintu.

"Aku akan mencoba menelepon paman…" ucap Gumiya sambil berdiri perlahan, ia berjalan terhuyung-huyung kearah dapur.

… hanya beberapa ilmuwan berhasil keluar, dan menurut laporan beberapa orang yang melewati Institut, sesaat sebelum terjadi ledakan, terdengar suara jeritan dari dalam Institut. Diduga ledakan pipa kecil sebenarnya telah menyulut bagian dalam Institut sebelum mengenai tank-gasoline …

"Jeritan lagi… kah?" ujar Mikuo lemas, diraihnya remote TV, dan ditekannya tombol OFF.

"Bagaimana?" tanyanya melihat Gumiya keluar dari dapur.

"Paman tidak menjawab… Mungkin HP-nya tertinggal di apartemen…" balas Gumiya berpikir positif, ia mencoba tegar.

"Walau begitu, kuharap kau tak berharap lebih, Gumiya. Kemungkinan terburuk dapat terjadi"

"Aku tahu, kalau Paman tak selamat… Hanya kau yang tersisa, begitu juga kau…", disandarkannya tubuhnya ke dinding di sampingnya, ia menghela nafas dalam-dalam, "Tapi, siapa juga yang berharap orang lain mati?"

Mikuo tersenyum mendengarnya, "Hoh, aku tak percaya itu yang dikatakan oleh orang yang pernah menutup dirinya dari sosial selama dua tahun."

Akhirnya suasana masuk kedalam area kekuasaan Mikuo. Tentang mengalihkan pembicaraan? Dia ahlinya, bahkan dapat dikatakan professional.

"Hmm, memang itu yang kukatakan…" Gumiya menangkap maksud pembicaraan Mikuo, sehingga mencoba untuk tersenyum di hadapan sepupunya yang lebih tua itu, "Dan aku tak akan berterima kasih kepadamu untuk hal itu."

"Oh, ayolah. Paman akan bangga padaku!"

"Hoh, kau pikir begitu? Kalau begitu aku akan berhenti masuk setelah musim panas berakhir, sepakat?"

Kemudian, mereka tertawa kecil bersama dan berusaha melupakan pikiran-pikiran negatif. Namun, bagaimana bisa Gumiya melupakan paman satu-satunya? Dengan lunglai, ia mulai beranjak menuju tempat tidurnya, meninggalkan Mikuo yang ogah-ogahan di depan kipas angin.

"Hmm, mau kemana kau?"

"Istirahat…" diraihnya ponsel hitam di rak dinding, sambil melemaskan buku-buku jari tangannya ia berbalik, "Kau tak berpikir akan ikut kan?"

"Hey hey, aku bukan tipe seperti itu, el o el." Mikuo berbalik menghadap kipas angin lalu menambahkan kecepatannya, "Akan kuberitahu jika paman menelpon."

Gumiya melangkah pergi tanpa menjawab, lalu Mikuo mendengar suara pintu di tutup menggema dari lorong.

"Hooaammm..." sambil menguap lebar, Mikuo merebahkan tubuhnya di tatami, "Mungkin nanti… akan terdengar suara teleponnya."

Dengan sekali meregangkan tubuh, ia tertidur.

… Knock ...

Suasana sunyi kembali, tentu saja. Hanya ada suara nafas Mikuo, bunyi kipas angin yang berputar, dan lonceng kecil di atas pintu geser yang terbuka, di ruangan tengah itu.

... Knock …

Beberapa menit kemudian dalam kesunyian itu, terdengar suara pekikan dari luar rumah dan mulai terdengar mobil-mobil dan kendaraan lain bergerak dengan cepat melewati rumah Gumiya. Klakson berbunyi terus menerus, lalu terdengar langkah kaki yang cepat disertai teriakan-teriakan.

Mikuo? Dia salah satu orang yang tak mudah untuk dibangunkan walau suara bising sekalipun. Gumiya? Dia selalu memakai headset setiap kali dia tidak ada kerjaan seperti ini, termasuk tidur.

Berbagai suara terdengar melewati rumah Gumiya, terdengar harapan putus-asa di suara-suara itu, dari dalam mobil, bahkan dari jalanan.

"Arghhh…"

"Hei, apa kau tidak punya mata, hah?!"

"Chikuso! Kenapa berhenti! Rem jangan diinjak selamanya!"

"Mereka… Mereka datang! Rey, injak gasnya!"

"Mama! Mama! Hwaaa!"

Braaakk! Dorr… Dorr…

"Cih… Mana Polisi di keadaan seperti ini hah?! Takashi, bawa adik-adikmu pergi dari sini sek—Arghh…"

"Mereka masih hidup! Kau tega membunuh orang-orang yang itu?!"

"Abaikan! Injak gasnya!"

"Ka-Kakiku! Arghhhh…."

Setengah sadar, Mikuo bangun sambil beranjak mendekati pintu geser lalu ditutupnya, "Hah, berisik sekali…"

Braaakk!

Pintu geser tertutup dengan keras, dan Mikuo langsung menjatuhkan tubuhnya ke Tatami lalu tertidur kembali. Dan suara-suara di luar mulai teredam, walau klakson-klakson dan bunyi mobil menabrak sesuatu masih terdengar.

Knock …

… Knock …

… Knock …

… Kraaakkk …

つづく


#A/N : Ahahaha... Gimana? XD
kalau buat effect ...Kraaakkk... itu jangan diambil kesimpulan dulu, effectnya buat nanti di chapter 2, so... just wait it~

lagipula, pasti ada donk viewer disini yang tau "Fuan no Tane" #grin
baguslah kalau tahu, nggk perlu repot ngejelasinnya~ Hahaha..

see ya in the next chapter '-')b