Cerita ini terinspirasi dari sebuah lagu, Last Child – Diary Depresiku

Pemuda baik, tidak neko-neko, mempesona, bergelimang harta, berlimpahkan kasih sayang orang tua. Prestasi yang luar biasa, memiliki kawan yang setia, kehidupan yang nyaris sempurna, bukan? Bisa kutebak berapa banyak orang diluar sana yang iri akan kehidupanku ini. Semua yang kuminta, pasti akan kudapatkan hanya dengan sebuah kedipan mata. Ayahku Xi Guixian, seorang pria rupawan yang menjabat sebagai direktur utama Sendbill Coorporation. Mamaku Lee Sungmin, seorang pria cantik yang memiliki peran ibu rumah tangga sekaligus sekertaris ayah di kantor. Aku menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangiku. You are so envious with me, right?

Namun semua itu kandas dikala malam pertama hujan turun. Ayah datang sempoyongan dan berantakan, meneriakkan nama mama dengan lantang. Tak selang lama keduanya saling sahut-menyahut, seakan ingin menyaingi suara guntur diluar sana. Aku yang kala itu masih bocah -14 tahun- tak mengerti situasi yang terjadi. Tapi kejadian itu terus terulang kembali seiring berjalannya hari. Hingga dimana malam itu terjadi, malam dimana aku mulai membenci hujan didalam hidupku. Malam dimana semua berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah pulang dan kembali bertengkar dengan mama, tapi adalah malam pertama dan terakhir kulihat ayah memukul mama. Aku ingin membantu mama, namun mama mengurungku disebuah kamar sesaat setelah melihatku berdiri terperangah menatap keduanya. Malam ketujuh hujan turun –masih dengan petir yang bersahutan- di iringi teriakan marah ayah, jerit sakit mama dan suara debuman juga pecahan. Itu pula yang menjadi malam terakhir dimana aku melihat sosok ayah, karena esok hari ayah tak lagi datang dan meninggalkan kami.

Segalanya berubah. Tak ada lagi hidup mewah yang berkecukupan. Tak ada tawa mama ketika ia bersendau gurau dengan ayah. Tak ada lagi prestasi yang mampu kucetak dan dengan bangga kutunjukkan pada ayah-mama disaat pulang. Hanya menyisakan kawan yang masih tetap setia berteman dan meminjamkan catatan sekolah agar ilmu tetap ku emban.

Aku mulai mengerti kerasnya hidup. Aku membiasakan diri kelaparan, asal mama tetap makan dengan baik. Ketika luka dan penat itu datang, minuman keras dan serpihan kaca adalah hal yang kusambut dengan senyuman. Jalanan adalah rumah bagiku. Dan aku dapat mengerti perasaan iri yang mendominasi saat membandingkan hidup orang lain dengan hidupku yang kini kelam.

Seseorang berkata kebahagiaan akan tetap bisa kita dapatkan meski dalam masa tersuram sekalipun, asalkan kita ingat untuk tetap menyalakan lampunya. Pada orang itu, ku ucapkan banyak terima kasih. Karena dialah orang yang perlahan masuk dan membuatku tersadar untuk bangkit dalam hidup termaram. Dialah orang yang melukis pelangi indah, dikala hujan turun dengan derasnya. Dialah orang yang membuatku kembali merasakan betapa indahnya dicintai juga mencintai. Dia adalah harapan disaat aku mulai depresi. Dia adalah hadiah terindah yang rela kutukar dengan apapun itu agar dapat berada disisinya. Karena aku Xi Luhan mencintai Oh Sehun,seorang pria yang menyadarkanku jika aku tidak sendiri...

.

.

.

Dilanjut kalau ada yang berminat..

XOXO