Fandom:Kuroko No Basuke
Genre :Drama, Romance, Tragedy
Warning:Lemon, BoyxBoy, typos
Rating :MATURE
AN : dianjurkan baca Innocent Cinderella dulu. Innocent alarm ga sedetail smut Innocent Cinderella. Typo bertebaran, OOC, Alur bikinan sendiri. semoga suka, ya.
Anime belongs to Tadatoshi Fujimaki but the story is mine.
Proudly present, enjoy!
.
.
.
.
Innocent Alarm
Janji adalah janji. Meskipun janji hanya diucapkan dalam hati dan diperuntukkan kepada diri sendiri, Kuroko Tetsuya tidak akan pernah mengikari janji. Kebaikan hatinya sudah tidak diragukan. Malah diagungkan. Hanya kadang salah digunakan.
Persepsi bertolak muncul karena pengakuan Akashi Seijuurou di belakang panggung tempo hari.
"Aku seorang gay"
Dan Kuroko Tetsuya kembali menyalah gunakan kepolosan diri dengan cara menggabungkannya dengan kebaikan hati. Kuroko mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tidak pernah tau dampaknya bagi seorang Akashi Seijuurou.
"aku mau jadi kekasih Akashi-kun"
Bahagia bukan kepalang. Tubuh Kuroko ditarik ke dalam pelukan, didekap penuh kasih sayang. Kuroko tidak pernah menanyakan arti degup cepat di dada Akashi. hanya membiarkan. Menerimanya. Submisif.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri.
Ia akan membantu Akashi Seijuurou keluar dari masalah orientasi seksualnya.
Termasuk memenuhi kebutuhan seksual Akashi Seijuurou.
"Tetsuya, kemari"
sabtu sore. Usai latihan Klub basket Kuroko selalu memenuhi panggilan Akashi. sebagai bentuk pertanggung jawaban. ia akan melakukan apa saja untuk memenuhi janji. Tak peduli jika itu berarti tubuhnya dilucuti sampai menggigil. Dijilati sampai bermandikan saliva. Kuroko pasrah. Jika Akashi mulai menempelkan wajahnya di leher. Maka Akashi akan melakukannya.
Bercak di leher sudah tak terhitung. Peluh membanjiri kedua tubuh yang menempel di atas meja guru. Satu mendekap, satu melengkung. Keduanya sama-sama mendesah. Kelas di sore hari adalah pilihan Akashi sebagai wadah bermesraan. Karena tak akan ada yang datang. Kecuali jika penjaga sekolah memutuskan mengunci gedung lebih awal.
Kuroko mengalungkan tangannya di leher Akashi. menahan wajah si scarlet di perpotongan leher. Kakinya mengait di pinggang. bersiap menerima hujaman pedang tumpul di dalam lubang. Seperti biasa semua selalu diakhiri dengan semburan cairan putih pekat. Dan Akashi tak pernah lupa membawa air mineral sebagai pelarut sari Kuroko di lantai kelas. Si biru hanya memandangi, mengatur nafas, membiarkan Akashi memakaikan seragam kembali. Mengancingnya sampai ke leher.
Tak dapat disalahkan. Kadang-kadang Kuroko bertanya-tanya dalam hati. 'mengapa aku hanya mau melakukannya dengan Akashi-kun?'
Entah, Kuroko tak pernah tau jawabannya.
.
.
.
Gelap gulita. Sungai tak pernah berwarna biru di malam hari. Namun Kuroko tak pernah bosan meminta Akashi melewati jalan ini. jalan favoritnya. Ditunjukkan saat hari kedua mereka berpacaran. Kuroko tidak pernah meminta Akashi membawa mobil untuk menjemputnya. Malah meminta cowok konglomerat itu berjalan kaki bersamanya.
Kerlap kerlip cahaya putih terlihat diseberang sana. Kuroko tak bisa mengalihkan pandangan saking terpananya. Tubuhnya sudah lelah akibat kegiatan sore tadi. Walau dikatakan Kuroko orang yang luar biasa keras kepala, pantang menyerah, tak bisa di luluhkan jika tekadnya bulat. Tetap saja Kuroko manusia. Ringkih, kecil, menggemaskan, jatuh begitu saja saat mencoba langkah pertama sehabis bermesraan.
Akashi ingin tertawa. Tapi tidak tega. Tangannya diulurkan, dipaksa menggendong Kuroko di punggunya. Ia juga lelah. Tapi setidaknya masih bisa berjalan. Kuroko tidak.
Hening cukup lama. Kuroko terlalu asyik dengan kegiatannya memandangi kota. Akashi sampai menyadarinya. Ikut mendongak. Iris kucing miliknya menangkap cahaya putih dari arah seberang sungai. Berputar serupa ufo secara vertikal. Bianglala raksasa. Ia sering melihatnya dari dekat. Tapi tak pernah berfikir untuk menaikinya.
Meskipun tak dapat dilihat secara langsung. Akashi bisa menduga manik biru besar milik kuroko di balik punggungnya tengah berkilat penuh penasaran. Ia ingin mengajak. Membuat janji kencan berhubung sejak hari awal jadian tak pernah keluar bersama. tapi Akashi cukup sadar bahwa ia bukan orang yang santai. Yang kerjaannya sekolah, main basket, lalu tidur. Akashi mengikuti berbagai macam les, bimbingan belajar, salahkan otou-sannya yang perfeksionis dan menuntut putranya sempurna. Ia hanya menjalani peran sebagai pion. Syukur-syukur bebannya berkurang karena Kuroko berada disampingnya.
Akhirnya suasana sunyi dibiarkan menjamur. Tak ada yang berbicara sampai Kuroko sampai dirumahnya. Hanya ada salam perpisahan biasa, kecupan di dahi, lalu lambaian singkat sebagai penutup. Setelah itu Akashi akan menghilang dibalik gelapnya malam. Menaiki mobil spot hitam yang sudah menunggu di ujung jalan rumah Kuroko.
.
.
'aku mencintaimu apa adanya'
'aku ingin kau kembali ke dirimu yang sebenarnya'
.
.
Sebenarnya tidak ada pemandangan yang salah di perpustakaan hari ini. Buku masih tersusun rapi dirak rak kayu berwarna coklat, orang-orang tetap duduk membaca dalam diam, sebagian mencari buku refrensi dengan menyusuri rak-rak kayu tadi.
Suasananya sangat wajar. Tapi Ogiwara malah melongo di tengah pintu. nyaris terjengkang saat salah satu kakinya melangkah mundur spontan. Mata coklatnya melebar, menyipit, kemudian alis ditautkan super heran. Bagi Ogiwara, tidak ada yang lebih mengherankan daripada Kuroko Tetsuya sedang menyendiri membaca novel di salah satu kursi baca perpustakaan.
Aneh? Tidak sebenarnya. Kuroko anak sastra, memang spesialisasinya membaca buku. Khususnya Light Novel. Tapi yang aneh disini adalah kesendirian Kuroko. Sejak kapan Kuroko menyendiri ? memisah dengan mahluk separuh malaikat pencabut nyawa bernama Akashi Seijuurou. Yang ia dengar belakangan ini mereka pacaran. Tak terpisahkan. Menempel tak ubahnya dua buah kutub magnet berbeda ujung .
Ogiwara Shigehiro, teman kecil Kuroko yang eksistensinya berkurang akibat kemunculan Akashi sebagai kekasih Kuroko Tetsuya. Sebelumnya mereka adalah sahabat karib. Saling bertukar cerita dan bermain basket di perkarangan rumah. Tapi semua berubah saat Akashi menyerang. Jangankan berbicara. Dekat-dekat Kuroko saja Ogiwara serasa di awasi mata dewa Akashi.
Ingin menegur, bimbang. Pura-pura tidak lihat, tapi mereka tidak sedang dalam masalah. Bisa-bisa nanti Kuroko mengira ia dijauhi karena menjalin hubungan dengan Akashi Seijuurou. Bagaimanapun, dilihat dari sudut manapun, hubungan mereka tidak pernah mendekati kata wajar. Laki-laki dan laki-laki berpacaran. Memikirkannya saja Ogiwara sudah sakit kepala.
Pilihan kedua dipilih. Ogiwara melangkah sesantai mungkin, serilex yang ia bisa. Menghampiri si rambut biru yang membalik halaman novel ke halaman berikutnya. Sampai. Ogiwara memamerkan senyum lebar yang biasa ia berikan kepada si pemuda mungil saat mendongak.
"Ogiwara-kun"
Kuroko Tetsuya menggumamkan namanya. Kaget karena sahabat lamanya baru menampakan batang hidung.
"Yo! Kuroko apa kabar?" kursi ditarik, Ogiwara duduk disana.
"baik. bagaimana dengan Ogiwara-kun? "
"aku juga baik, Kuroko. Tumben tidak dengan Akashi?"
"ada rapat Osis." Pantas."aku disuruh menunggu disini"
Senyum tersungging di wajah imut Kuroko Tetsuya. Light Novel ditutup. Bermaksud mengarahkan perhatian penuh kepada sahabatnya.
Ogiwara Shigehiro adalah objek keluh kesah Kuroko sejak masih menginjak umur 7 tahun. Tau seluk beluk jalan fikirannya tak peduli disembunyikan seapik apapun. Kuroko tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Termasuk ketika Kuroko menyimpan perasaan kepada seseorang. Jujur saja, Ogiwara kaget saat mendengar kabar Kuroko berpacaran dengan Akashi.
Setahu Ogiwara Kuroko normal, tidak belok. Masih menyukai gadis sampai umur 15 tahun. Masih jatuh cinta layaknya pemuda pubertas yang memikirkan dada wanita(meski tak separah obsesi Aomine terhadap Mai-chan), manstrubasi sambil menonton video porno. Kuroko tak pernah bercerita tentang kelainan orientasi seksual. Ataupun curhat tentang Akashi Seijuurou.
Jadi Ogiwara memutuskan menyelidiki.
Gaya sudah bak detektif, sok berbisik. Tangan dilipat di atas meja. "Kuroko. Jujur padaku. Kenapa kau bisa pacaran dengan Akashi?"
Mata biru besar mengerjap bingung. "karena Akashi-kun menembakku, dan aku menerimanya"
Satu hal hal Ogiwara lupakan dari pemuda kecil berwajah shota ini. luar biasa polos. Ogiwara sampai bingung mengkategorikan polosnya bagaimana. Antara terlalu polos, atau bodoh. Berhubung di tim basketnya ada orang yang bernama Ahomine Daiki. Maaf. Aomine. Cahayanya Kuroko. Ogiwara yakin Aomine telah menularkan kadar kebodohannya kepada Kuroko.
"bukan itu maksudku" pelipis diurut. "kalian berdua sama-sama laki-laki. Kau yakin menyukainya? Hubungan romantis semacam pacaran harus didasari dengan perasaan cinta Kuroko"
Tidak dijawab. Bola biru langit mulai berubah sorot. Aha! Ogiwara tau Kuroko menyembunyikan sesuatu.
"katakan padaku Kuroko. apa yang kau rencanakan?"
Kuroko kembali menatapnya takjub, lega, merasa tertolong entah karena apa.
"Ogiwara-kun memang selalu mengerti aku." Senyum mengembang lagi. "aku hanya bisa menceritakan sedikit. Pada intinya, perubahan Orientasi seksual yang diderita Akashi-kun disebabkan oleh drama yang kami lakoni minggu lalu. Dan sepertinya itu salahku."
Kepala biru menunduk. Ogiwara menaikkan sebelah alis.
"maksudnya Akashi terbawa suasana?"-Akashi Seijuurou si jenius? Terbawa suasana? Tidak kusangka!
Ogiwara memang sohib Kuroko. Tapi kadang masih terkecoh dengan analisis super absurd yang diproses dari kotak polos Kuroko. ia percaya dengan mudahnya meskipun tau Akashi bukan tipe orang mudah terpengaruh seperti yang dipaparkan si biru muda.
Jawabnya mengangguk yakin. "aku harus melakukan sesuatu untuknya Ogiwara-kun. Dengan menjadi kekasihnya, aku bisa mudah mengendalikannya"
Alis Ogiwara kembali dinaikkan.'bukannya yang dikendalikan itu kau, Kuroko?'
"kau punya rencana?"
Menggeleng, Kuroko menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku belum tau harus melakukan apa selain menjalani peran sebagai kekasihnya, Ogiwara-kun"
Ogiwara kembali sadar akan sesuatu. Kuroko Tetsuya adalah pemuda kecil berwajah malaikat. Kebaikan hatinya mungkin setara dengan ibu peri di drama yang ia lakoni minggu lalu. Alias, Kuroko terlalu baik!
Ogiwara ikut menyandarkan punggung. bibirnya mengerucut, dahi mengerut-ngerut. Berfikir.
Lampu neon putih tiba-tiba berpedar di atas kepala. Ogiwara mendapat ide.
"Kuroko aku bisa membantumu, mungkin." Serunya bersemangat, setengah ragu. Ogiwara mendekatkan wajahnya ke Kuroko, menyuruh si baby blue mendengarkan rencananya secara teliti.
.
.
.
Membosankan! Memuakkan!
Umpatan kasar dimuntahkan dalam hati, frekuensinya sudah menyamai jumlah tarikan nafas.
Akashi Seijuurou tak jemu mengumbar aura hitam disekitarnya. Salahkan kepala sekolah yang seenak jidat mendelay rapat dan tidak mengizinkan mereka keluar dari ruangan barang 5 menit. Kondisi sekarat nan pucat akibat kebanyakan tercemar aura -Furihata dan Sakurai- di acuhkan. Senpai perempuan bernama Riko betah mengomeli senpai lain yang terlihat bodoh berkacamata Hyuuga Junpei. Akashi memandangi malas.
Ia lelah. Ingin cepat-cepat mengisi semangat dengan bertemu Kuroko. Mencium kening dan mengacak rambut biru muda-nya.
"Akashi-kun!" suara Momoi Satsuki, manajer klub basket. Bukan bagian dari Osis, biasanya kalau berbicara dengan Akashi selalu membahas hal mengenai klub. Gadis berambut buble gum manis itu tau betul kalau Akashi benci yang namanya basa basi. Jadi saat kepala merah menoleh, Momoi langsung mengatakan keperluannya.
"Kuroko-kun memberi ini. katanya dia pulang duluan" kertas berlipat segi empat ditaruh di telapak tangan. "aku pergi dulu, Akashi-kun"
"terimakasih Satsuki"
"oke!"
Apapun, bagaimanapun bentuknya, semua hal dan benda yang berasal dari Kuroko Tetsuya di anggap magis, berharga, membawa keberuntungan, semacam jimat. Terserah. Yang jelas benda itu mampu mengubah raut datar menjadi senyum penuh arti. Aura hitam berkurang. Furihata dan Sakurai menghela nafas bersahutan. Akashi tak peduli. Lebih tertarik dengan membuka dan membaca tulisan tangan Kuroko di atas kertas.
'Akashi-kun. Maaf karena aku sudah pulang duluan. Sebagai gantinya bisakah kau menemaniku ke karaoke depan Shiboya minggu pagi besok?'
Tanpa menunggu lagi Akashi mengeluarkan ponsel dari saku dan mengetik pesan secepat yang ia bisa.
'tentu Tetsuya. Kalau begitu kita pergi jam 9. Kujemput'
Kirim.
Belum satu menit, ponsel Akashi sudah bergetar. Satu pesan dari Kuroko Tetsuya.
'Terimakasih Akashi-kun'
Balasan Kuroko memang selalu singkat. Tapi tidak dipermasalahkan. Berhubung Akashi lebih suka mendengarkan suara daripada menekan tombol keypad di hp.
.
.
.
Kalau ditanya apa saja dua hal yang bisa membuat seorang Akashi Seijuuro bahagia, maka jawabannya hanya ada dua. Ibunya kembali hidup dan Kuroko Tetsuya.
Alasan pertama jelas mustahil, mengerikan malah. Tapi justru yang di impikan Akashi. dengan harapan ia bisa mengenalkan Kuroko sebagai calon menantu ibu, Akashi sangat berharap ibunya bisa kembali ke sisinya.
Alasan kedua Kuroko Tetsuya, pacarnya yang paling imut, penurut, dan polos. Terkenal dengan wajah ikemen dan sifat kuudere nan polos. Kini tengah berdiri menungguinya di tempat janjian. Berdiri sendirian. Membawa segelas minuman favorit bernama Vanila milkshake.
Langkah Akashi sengaja diperlambat untuk meliat tingkah si bocah biru yang sedang meminum milk shakenya. Setelah Jeans dan sweeter biru yang dikenakannya sangat cocok. Akashi yang jarang melihat Kuroko tampil selain memakai seragam(karena mereka hanya bertemu saat di sekolah) -Kecuali dengan kostum saat tampil drama atau kaos oblong putih saat latihan basket- tak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya.
"Tetsuya"
Tolehan raut wajah datar itu kadang menyakiti hati. Tapi kalau kadar manis dan imutnya mengimbangi, Akashi akan toleransi.
"Oh. Akashi-kun"
"Tetsuya sudah makan?"
Akashi mengusap kepala pemuda kecil. Kuroko mengangguk. "belum. Akashi-kun sudah?"
"sudah"
"kalau begitu langsung ke karaoke saja"
Akashi Seijuuro dan keabsolutannya yang anti mengulur waktu jelas menyukai sifat Kuroko yang tak jauh beda darinya. Pergi dengan melakukan tujuan awal diprioritaskan lebih baik. tapi tak ada salahnya berjalan-jalan terlebih dahulu kalau sedang berkencan. Akashi juga manusia biasa. Ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kuroko. Berfikir untuk mencari-cari alasan, Akashi melirik vanila shake yang sudah kelihatan ringan.
"Tetsuya tidak mau beli Vanila shake dulu?"
Kuroko spontan membawa gelas vanila shake ke depan wajahnya. Mengguncang sedikit. Isinya sudah hampir tandas. Mata biru itu kemudian beralih melirik Akashi di sampingnya. Mengangguk malu-malu. Yang diangguki tersenyum senang. Akashi selalu tau bagaimana mengendalikan Kuroko dan sifat-sifat kaku baku nya.
Langkah mereka berbalik ke kedai Maji Burger terdekat, tak lupa tangan Kuroko digandeng apik, gelas Vanila kosong disingkirkan ke bak sampah.
"orangnya sangat banyak. Aku sudah memesannya. Tetsuya mau menunggu?"
Akashi berkata benar. di depan meja pelayanan orangnya tidak sedikit. Antre memanjang bahkan beberapa yang bosan menyerah keluar dari barisan. Kuroko tidak bertanya bagaimana Akashi bisa memesan dengan meninggalkan meja. Tidak penasaran. Ia memilih untuk mengangguk patuh dan duduk manis di atas kursi.
Meja meja cukup sepi. Tidak seramai antrean. Suhu ruang di maji terasa lebih sejuk daripada diluar. Padahal ini Januari. Kuroko tidak mau repot-repot memikirkan pemanasan Global yang tiba-tiba menyangkut difikirannya. Disini sejuk. Itu yang penting. Dan makin sejuk kalau Vanila Shakenya sudah di hadapan.
Senyuman samar tersungging diwajah Akashi kala memerhatikan bagaimana Kuroko menyerah pada rasa kantuknya. Pukul 9.40 di arloji. Tebakan kalau Kuroko begadang di vonis dalam hati. Kepala biru sudah tergeletak di atas meja kaca. Menghadap jendela. Separuh poni menutupi kelopak matanya. Rambut pendek bersentuhan dengan meja.
kalau saja gelas Vanila Milk Shake yang penuh tak mendarat di meja dengan berisik -pelayan mengulang nama minuman dengan suara keras sebelum menaruhnya di atas meja- Akashi bersedia membiarkan Kuroko tertidur di sana dan menontonnya seharian. Tak ada pemandangan yang lebih menggemaskan daripada anak ayam biru kecil yang sedang terlelap di atas meja. Lagu terindah yang pernah Akashi dengar adalah suara dengkur yang mengalun dari bibir mungilnya. Tanpa sadar, ia jatuh cinta lebih dalam lagi.
sayangnya Kuroko mengangkat kepalanya saat suhu meja kaca terasa lebih dingin. Bola aquamarine miliknya berbinar-binar mengamati gelas bertudung datar. Segera menyambar, mulut mengerucut menghisap sedotan. Memindahkan isi gelas ke kerongkongan sampai tandas setengahnya. Akashi mendengus geli. Setengah merasa bersalah karena hanya memesankan satu gelas.
"bisa kita pergi sekarang?"
Akashi tak mengintrupsi, Kuroko sendiri yang mengingatkan. Maka ia mengangguk, tak sabar melihat kekasihnya bernyanyi di depan mata. Berasumsi kalau hari ini hari terindah dalam hidupnya. Hari pertama terindah. Kemudian setelah hari ini giliran ia yang membawa Kuroko berlibur. Ke luar kota, luar negeri, pantai, gunung, kemana saja.
Ia bersedia. Asalkan hanya mereka berdua.
"Ruang 114"
Akashi terhenyak, bingung. Kuroko tidak protes saat Pelayan mendorong pintu kedap suara berwarna merah maroon sambil membungkuk hormat. Mengantarkan mereka ke ruangan remang dengan lampu warna warni, semacam lampu diskotik kecil. Layar tv lcd sudah menyala, sound berbunyi berisik, bercampur dengan riuh suara perempuan yang sudah lebih dahulu duduk di sofa. Remote menjadi rebutan. Mic sudah diambil alih. Jelas ruangan sudah dipakai. Tak satupun yang Akashi kenal. Kuroko juga.
Tapi pemuda kecil malah melangkah masuk tanpa ragu.
Akashi spontan mengikuti, menarik lengan sweeternya lembut. Menuntut Kuroko berbalik.
Tapi yang ia terima bukan tolehan. Melainkan tepisan. "Akashi-kun. Jangan begini di depan para gadis. Kita akan bersenang senang"
Kebingungan, "Tetsuya, apa maksudmu? Ini-"
"Akashi-kun, Kuroko-kun. Selamat datang." Seorang gadis bermake up tebal menginterupsi perkataan Akashi "Ayo duduk. Goukon nya sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu. Kami malah mengira kalian tidak jadi datang"
'tidak jadi datang? A-apa Tetsuya yang merencanakan..'
Mereka ditarik duduk ke tengah empat gadis. Akashi terlalu shock untuk melawan dan masih waras untuk tidak mendorong paksa gadis yang berani menariki tubuhnya. Mata ruby itu masih memandangi Kuroko lekat, terluka. Akashi bertanya-tanya. Apa yang sedang Kuroko fikirkan? Mengapa ia melakukan ini?
Sayang pandangan mereka tak pernah bertemu. Kuroko sibuk menanggapi ocehan gadis berambut panjang yang memeluk tangannya. Menempel sok manja di bahunya. Akashi gerah melihatnya. Rengekan gadis-gadis yang mengapit tubuh dianggap angin lalu. Ia lebih memikirkan bagaimana cara membalik meja Karaoke yang menempel pada lantai semen berlapis karpet beledru dibawahnya. Atau melempar gelas tinggi yang masih terisi penuh ke layar lcd TV.
Tidak bisa. Ia tidak bisa melakukan itu.
Kuroko akan menganggapnya perusuh.
Heh. Memang sekarang Kuroko menganggapnya ?
menganggap apa? Memasangkan kekasih ke perempuan normal dengan rok mini memangnya bisa disebut menganggap? Akashi meludah dalam hati.
Sudah cukup! Akashi berhenti menghujami Kuroko dengan pandangan menuntut diperhatikan. Ia berdiri, berjalan lurus kearah pintu. namanya dipanggilpun ia tak peduli. Karena suara yang ia inginkan malah tak keluar dan hanya memandanginya dengan tatapan sulit diartikan.
Merasa bersalah? Entahlah.
Kuroko Tetsuya sudah bimbang sejak memasuki pintu karaoke. dan Akashi sekali lagi terkecoh. Tak menyadari alasan Kuroko menghindari kontak mata. Kepala biru itu sekarang menunduk. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa ia merasa bersalah. Rencana Ogiwara sudah dilaksanakan dengan baik. Sesuai rancangan sahabat karib. Memasangkan Akashi dalam acara goukon. Membiarkan ia melirik dada dan paha montok perempuan. Harusnya Kuroko lega. Tapi reaksi Akashi malah membuatnya takut.
Beranjak, Kuroko memilih menyusul Akashi. memilah-milah kata dalam hati untuk bicara. Menduga-duga bagaimana Akashi akan mengusirnya.
Toilet pria.
Kuroko membaca dalam hati. Memantapkan hatinya memasuki ruangan paling mungkin yang didatangi Akashi. Benar saja. Cowok pemilik rambut merah menyala kini itu tengah bersandar di dinding kaca. Menunduk, tak melihat kedatangan Kuroko namun Kuroko yakin Akashi tau ia akan datang. Buktinya mata merah itu langsung menoleh kearahnya dengan tatapan tajam dan.. Terluka.
"Tetsuya. Apa sebenarnya yang kau fikirkan? Kau yang mengatur goukon ini?"
'bukan, tapi Ogiwara-kun' malah dijawab "ya, aku yang mengaturnya"
"kenapa?" suara serak yang dilontarkan Akashi entah kenapa terasa menyakitkan bagi Kuroko.
"Aku ingin menolong Akashi-kun" jawabnya. Setengah ragu untuk mendekati Akashi. "Akulah yang menyebabkan Akashi-kun terbawa suasana di pertunjukan drama kita tempo hari. Sampai-sampai Akashi-kun mengakui diri sebagai gay. Aku-"
Diinterupsi, "kau berpacaran denganku karena kasihan?"
Kaki kecil tak jadi melangkah. Terpaku di tempatnya.
Kasihan.
Setidaknya itulah kesimpulan yang Akashi dapatkan dari penjelasan amburadul yang dilotarkan Kuroko. Sakit hati. Jelas. Meskipun belum ada jawaban pasti, tapi sorot mata dapat menjelaskan segalanya. Akashi tertawa keras dalam hati. Bisa-bisanya dia tidak menyadari semua ini. Hubungan penuh kebohongan yang ia bangun penuh cinta sepihak. Akashi memberi segalanya. Kuroko memberi segalanya. Tapi bukan karena cinta. Kuroko hanya kasihan. Tidak lebih.
Senyuman mengejek tersungging, diperuntukan untuk dirinya sendiri.
"Akashi-kun, aku hanya ingin membantumu"
Lirikan tajam, merendahkan. Seringaian angkuh. Akashi memperlihatkan sisi lain dirinya.
"Memangnya siapa yang butuh bantuanmu? Memangnya kau siapa berhak kasihan padaku? Tetsuya, kau benar-benar menjijikan. Memberi segalanya untukku. Mau kutiduri. Hanya karena kau merasa dibebani tanggung jawab yang bahkan tidak nyata. Aku gay bukan karena kau. Jangan besar kepala. Kalau kau tidak bersedia jadi pacarku, kau tinggal bilang. Tak perlu repot berpura-pura. Lakonmu memang tak perlu diragukan. Aku yakin kau berbakat menjadi bintang film biru"
Akashi tau hati Kuroko selembut kapas, sensitif melebihi alat kontrasepsi kehamilan. Menerima kata-kata kasar dan pedas milik Akashi mampu membuatnya terluka. Semudah air panas mencairkan es batu di musim dingin. Ia tau Kuroko berusaha tidak melepas sepatu untuk dilemparkan ke wajahnya.
Jeda panjang. Tak ada yang berbicara. hening suasana dimanfaatkan untuk mengendalikan emosi. Akashi maupun Kuroko.
Si merah menghela nafas lebih dulu. Kembali ke dirinya yang normal. Bersiap meninggalkan ruangan itu. sebelum benar-benar keluar, Akashi berbisik ditelinga Kuroko.
"kau tidak perlu mendengarkanku lagi. Aku menyayangimu." Andai ia dapat melihat mata biru itu membulat sebagai reaksi dari kata-katanya. "Sangat sayang sampai rasanya aku bisa gila"
Dan Akashi tak pernah tau efek perkataannya barusan membuat Kuroko jadi kalang kabut. Badannya berbalik meraih lengan kanan Akashi dengan dua tangan.
"Akashi-kun tidak boleh gila!"
Kaget tentu saja. Seketika Akashi merasa jadi orang paling bodoh di dunia. Menghujami Kuroko dengan kata-kata kasar sama halnya dengan memarahi anak ingusan yang lagaknya sok kuat. Jelas-jelas ia tau Kuroko sangat polos. Hatinya bersih. Selalu memiliki niat sebaik ibu peri Cinderella. Tapi Akashi malah melupakan hal itu.
Mendengus kecil, Akashi menepuk pucuk kepala Kuroko. perlahan tangannya turun melepaskan genggaman Kuroko.
Rasanya berat untuk mengakhiri hubungan manis –untuknya- namun penuh kebohongan ini. tapi ia tidak ingin lebih brengsek lagi. berhubungan intim dengan angan-angan Kuroko mencintainya sudah sangat kurang ajar. Ia tak lebih dari om hidung belang yang mencuri keperjakaan anak kecil di kolong jembatan. Kuroko yang mencintainya hanya khayalan. Yang benar, Kuroko kasihan padanya.
"aku tidak akan gila. Memangnya kau siapa bisa membuatku gila"
Kalimat berlawanan, nada lembut, Kuroko merasa hatinya dibuat seperti gado-gado. Campur aduk. Tapi yang kentara adalah rasa sesak dan menyakitkan.
Ketika menatap lurus, yang dilihatnya hanya sosok Akashi yang berbelok pergi.
'Hubungan kami sudah berakhir'
.
.
.
Dilema terulang lagi. Akashi Seijuurou uring-uringan di tempat duduk. Tak memedulikan tatapan aneh dari siswa dan guru yang sedang mengajar di depan mata. Hanya ada satu yang disesalinya dalam hidup ini ketika ia berusaha tidak bertegur sapa dengan Kuroko Tetsuya.
Kenapa mereka harus satu kelas?
Setiap hari bertemu –kecuali hari minggu- dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore. Belum lagi ditambah ekstrakulikuler basket dan drama yang juga diikuti Kuroko. yang jelas-jelas menambah frekuensi jam temu keduanya. Akashi rasanya benar-benar sudah hampir gila. Tidak bisa menyikapkan diri selain cuek bebek dan curi-curi pandang. Bolos jelas tidak masuk hitungan. Yang ada Otou-san nya malah membuat masalah baru dengan menyelidiki penyebab 'galau' nya Akashi.
Yang paling membuat Akashi ingin out of character adalah suara pemuda kecil yang terus-terusan memanggil namanya. Menegur dan menebar sapa seolah tak terjadi apa-apa. Kuroko memang polosnya tak tanggung tanggung.
'ayolah, kita sudah putus!'
"Akashi-kun"
Masa bodoh, yang perlu Akashi lakukan hanya mengacuhkannya.
"Akashi-kun"
Tapi bukan Kuroko namanya kalau menyerah dengan mudah.
"Akashi-kun"
Sekali lagi memanggil, Akashi akan menciumnya di tengah pelajaran. 'sial, sejak kapan Tetsuya duduk dibelakangku?'
"Akashi-kun"
"Akashi-kun"
Tidak. Sekali lagi.
"Akashi-kun Akashi-kun Akashi-kun Akasi-"
Sudah cukup! "Tetsuya aku sedang belajar! Bisa diam tidak!" Akashi berbalik.
Oktaf digunakan nyaring menyaingin suara sensei di depan kelas. Jelas yang lain menoleh, tapi tidak protes. Murasakibara yang di ujung kelas saja terbangun dari tidurnya. Sedangkan Kuroko anteng menampakkan wajah tak bersalah.
"Aku ingin pipis"
"lalu apa urusannya denganku!"
"temani aku."
Anak gila. Menghela nafas, Akashi memutar badannya lagi tanpa menjawab. Kuroko bingung. Namun tidak menyerah. Tangannya terulur mencuil cuil bahu Akashi.
'Kuroko benar-benar sedang cari mati.'
"Akashi-kun, nanti aku pipis dicelana"
Dan Akashi mengutuk dirinya sendiri karena bisa horny hanya dengan mendengar kalimat Kuroko barusan.
"sensei. Ijin ke toilet"
Akhirnya ia beranjak keluar kelas, Akashi memilih jalan aman daripada harus menonton Kuroko pipis dicelana betulan. Si biru muda mengikuti dibelakangnya. Kemudian berjalan lebih cepat ketika sudah hampir sampai di toilet.
Sebenarnya salah Akashi juga, siapa suruh dulu ia mengambil langkah licik saat pdkt dengan memanfaatkan kepolosan Kuroko, menceritakan Lagenda toire no Hanako. Alias hantu toilet Hanako. Akibatnya Kuroko tidak pernah berani ke toilet sendirian di sekolah. Dan yang dimintai bantuan menemani tak lain tak bukan addalah Akashi sendiri. Mana berani yang lain menemani. Semua orang disana cukup waras untuk menolak ajakan ke toilet Kuroko demi menghindari rajam gunting dewa Akashi.
Pintu toilet ditutup, dikunci dari dalam. Akashi menunggui di luar. Mengadap pintu toilet yang dimasuki Kuroko. menyandarkan punggungnya ke dinding.
Bunyi kancing diturunkan. Kemudian celana jatuh ke mata kaki, Akashi dapat meilihat Kaki Kuroko mengangkang dari sini. Pintu tidak tertutup sampai kebawah.
Srrrr.
Wajah Akashi merona seketika, ia tau bunyi barusan adalah bunyi 'kegiatan pipis' Kuroko. dalam hati ia kembali mengutuk dirinya sendiri. bisa-bisanya berfikiran mesum saat sudah putus.
Siap-siap melangkah menjauh, Kuroko malah memanggilnya.
"Akashi-kun? Kau masih disana"
Akashi tidak jadi berbalik. "hm"
Suara air keran, tisu gulung ditarik dan dibuang ke tempat sampah, kemudian resleting celana dinaikkan lagi.
Kaki Kuroko berbalik, pintu terbuka perlahan.
"apa yang kau lihat Tetsuya"
Tak langsung dijawab. Matanya mengamati sesuatu dibawah sana.
"Akashi-kun." Mata biru dan merah bertabrakan, satu jari Kuroko menunjuk ke 'bkp'-benda kejadian perkara-. Akashi ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok sekarang juga.
"-itumu.. Tegang"
'sialan!'
.
.
.
Kata Ogiwara Shigehiro -sahabat kecilnya sekaligus tetangga sejak ingusan- yang namanya berpacaran harus didasari dengan kekuatan yang bernama cinta. Lalu apa hal semacam sex juga harus didasarkan oleh cinta? Ia pernah menonton film dimana para aktornya saling melakukan hubungan intim. Berciuman sampai bersetubuh. Apa semua itu juga didasari oleh cinta?
Hubungannya dengan Akashi murni suatu kesalah pahaman yang sudah tuntas -menurut Kuroko-. Cinta sepihak, sudah jelas. Kuroko yakin Akashi berkata jujur. Dan entah bagaimana waktu itu ia bisa menjadi sakit hati. Tidak rela. kecewa. Melihat punggung Akashi tidak berbalik lagi. meninggalkannya sendirian.
Hal-hal yang ia lakukan dengan Akashi selama menjalin hubungan tak pernah disesali Kuroko. Dirinya sudah pernah bilang kalau hanya akan melakukannya dengan Akashi. Kuroko tidak berbohong. Ia benar-benar tidak mau melakukannya jika itu orang lain. Lalu apa artinya itu?
Menyerah, Kuroko kembali menghempaskan tubuhnya ke hangatnya kasur. Menggapai-gapai ponsel biru muda yang tergeletak apik di meja kayu dekat ranjang. Nama Ogiwara kembali dinobatkan sebagai teman curhat numero uno. Meski terakhir kali ia menuruti saran Ogiwara, hubungannya malah kandas. Hikmah nya ya ia bisa tau perasaan Akashi sebenarnya bukan seperti yang ia fikirkan selama ini. tidak pantas dikasihani, pantasnya difikirkan baik-baik dan ditanggapi sepenuh hati.
Ponsel tidak didekatkan ke telinga. Hanya headset yang diganti sebagai perantara dengar. Akashi yang menyarankannya. Katanya lebih baik menelpon menggunakan perantara daripada menempelkan langsung ke telinga. Mencegah radiasi.
Nada sambung berganti dengan suara yang ia kenal.
"Kuroko? tumben menelpon malam-malam begini?"
"Ogiwara-kun. Kalau berhubungan sex juga harus didasari oleh cinta ya?
"UHUUUKK!"
Suara tersedak.
Kuroko tidak tau kalau sekarang Ogiwara berada di ruang keluarga, menonton tv bersama ayah dan ibu. ia juga tidak tau kalau barusan Ogiwara dihadiahi death glare oleh ibu tercinta karena menyemburkan air mineral dari mulutnya.
Suara menjauh, tapi tidak ditutup. Terdengar sangat gaduh. Ogiwara mengaduh-dilempar botol pelastik bekas air mineral-, meminta maaf-dimaafkan tapi disuruh menyuci karpet basah yang lebarnya 3x4 meter-, permisi ke kamar-sambil mengutuk dalam hati-.
Tapi kalau yang bertanya Kuroko, jelas tidak bisa disalahkan. Kalimat sakral 'talk to the point' sudah dianut sejak dulu. Mana Kuroko mau tau dengan yang namanya basa-basi.
"Kuroko! kenapa tiba-tiba tanya hal begituan!" suara dipelankan. Namun nadanya memarahi.
"summimasen. Aku hanya ingin tau, Ogiwara-kun"
Helaan nafas terdengar.
"sex juga harus didasari cinta. Sudah jelaskan!"
"tapi aku sering lihat orang berhubungan badan di tv. Apa mereka saling mencintai?"
Ogiwara berusaha sesabar-sabarnya. Kalau saja yang tanya bukan Kuroko, pasti ponsel sudah dilemparnya dari tadi.
"sejak kapan kau suka nonton blue film?"
"itu tidak penting Ogiwara-kun"
'yang tidak penting itu pertanyaanmu Kuroko'. Ogiwara mencelos dalam hati.
"mereka terikat kontrak pekerjaan. Semacam tanggung jawab. Kesepakatan hitam di atas putih. Ada imbalan Kuroko. kalau orang biasa seperti kita harus melakukannya dengan seseorang yang kita cintai"
Kuroko teringat kata-kata Akashi.
'aku hanya melakukannya dengan orang yang kucintai, Kuroko'
"Kuroko? kenapa kau diam saja? ap-"
Diinterupsi. Manik biru berkilat ingin tau.
"aku sudah melakukannya dengan Akashi-kun. Sebelum kami pacaran" suara menggebu-gebu, Ogiwara terbatuk lagi. "tapi aku tidak mau melakukannya dengan orang lain selain Akashi-kun. Itu.. apa artinya aku mencintai Akashi-kun?"
Ogiwara ternganga diseberang sana. Mengutuk habis-habisan nama Akashi Seijuurou karena telah merenggut keperjakaan sahabat karibnya yang kelebihan kadar gula. Tapi mau bagaimana lagi. Ia hanya berhak memberi jawaban untuk pertanyaan Kuroko.
"iya." Jawabnya "Apa kau merasa jantungmu mau copot kalau dekat-dekat dengannya?"
"jantungku tidak akan copot hanya karena kami berdekatan, Ogiwara-kun"
Tidak, Ogiwara salah pilih kata.
"kuganti pertanyaannya. Apa yang kau rasakan kalau sedang err.. bermesraan dengan Akashi?"
Kuroko tidak langsung menjawab. Ia mengingat-ngingat. Mata dipejamkan.
Akashi Seijuurou. Namanya terdengar familiar dan nyaman saat diucapkan. Sentuhannya lembut mengalahkan bedak bayi yang katanya selembut sentuhan ibu. Kuroko menyukainya. Kuroko senang disentuh Akashi.
Sulit dilukiskan, Kuroko tidak bisa mengutarakannya kepada Ogiwara. Pipinya akan langsung merona jika mengingat saat-saat berciuman dengan Akashi. Yang ia tau, rasanya menyenangkan. Rasa seperti..
"rasanya seperti turun dari seluncuran yang tinggi. Perutku geli.." Kuroko meraba dadanya "tapi rasanya menyenangkan di sini"
"dimana ?"
"dadaku"
Mata coklat Ogiwara membulat.
"kau.. jatuh cinta"
.
.
.
Jika ditanya apa saja dua hal yang paling disukai Akashi Seijuurou di dunia ini maka jawaban nya adalah basket dan Kuroko Tetsuya.
Basket adalah bagian dari dirinya, warisan ibunya. Dan setengah hidupnya sejak ia dilahirkan sudah mengakui kalau basket memang tak dapat ditinggalkan. Satu-satunya olahraga yang menuntut para pemainnya berfikir keras sambil bersenang-senang. Bagaimana cara memasukkan bola saat kondisi ini? bagaimana cara mengoper saat kau sedang begini? Bagaimana ini.. Bagaimana itu.. Bagaimana bla bla bla. Akashi dituntut berfikir dengan cepat untuk menghasilkan keputusan yang tepat.
Dan keputusannya selalu tepat.
Jika dihubungkan dengan hal kedua, dan disuruh memilih antara basket dengan mantan kekasih yang jelas-jelas sudah menghancurkan hatinya. Akashi jelas akan memilih basket.
Keputusannya selalu tepat.
Bermain basket sampai kaki mau lepas. Atau sampai bajunya basah kuyup gara-gara keringat. Sampai ring basketnya rusak. Bola gundul. Akashi akan terus bermain basket. Mengacuhkan tatapan seseorang yang tengah mengamatinya dari tengah pintu gym.
Harusnya begitu.
Tapi ia lagi-lagi mengikarinya.
"Tetsuya. Apa yang kau lakukan disana?"
Kuroko Tetsuya. Dengan wajah super datar dan pembawaan super tenang, terlihat betah mengamati kegiatan Akashi Seijuurou bermain basket.
"lanjutkan saja, Akashi-kun. aku mau lihat Akashi-kun main basket"
'mana bisa aku konsentrasi kalau yang memperhatikan itu kau, bodoh!'
"lupakan. Aku sudah selesai."
Bola ditaruh ke keranjang. Akashi duduk di bench terdekat, mengelap keringat.
"apa maumu?"
"ayo kita pulang bareng"
Hal kedua yang paling disukai Akashi adalah kuroko Tetsuya. Bagaimanapun perasaannya sekarang, sehancur apapun. Akashi tidak pernah menampik kalau ia benar-benar menyayangi Kuroko. jika orang-orang mengetahui alasan mereka putus dan melihat Akashi yang pulang mengantar Kuroko melewati jalan semasa mereka masih jadi sepasang kekasih, pastilah orang-orang itu berfikir kalau Akashi sudah berubah menjadi orang yang sangat bodoh. Sekali lagi Akashi tak akan menampik. Satu-satunya orang yang bisa membuat Akashi bukan seperti dirinya sendiri hanya Kuroko Tetsuya.
Mereka berjalan bersisian. Tak berpegangan tangan seperti dulu. Akashi tak mengharapkan meski merindukan menyentuh tangan kecil milik Kuroko. dan Kuroko disampingnya malah menariknya untuk turun ke sisi sungai didekat jembatan.
Pemuda mungil itu berdiri didepannya. Menengadah ke langit yang masih berwarna jingga. Tak secerah biru rambutnya lagi.
"matahari terbenam bisa dilihat dari sini kan, Akashi-kun?"
Percakapan Kuroko Tetsuya tidak pernah dibuka dengan basa-basi seperti sekarang. Akashi keberatan.
"apa yang ingin kau katakan Tetsuya?"
Kepalanya berhenti mengadah. Menjadi menatap sungai yang tenang.
"maafkan aku Akashi-kun. Aku sudah menanggapi perasaanmu dengan asumsi paling tidak masuk akal. Lalu berakhir dengan menyakitimu."
'ya. Kau menyakitiku. Rasanya seperti dijatuhkan dari menara tokyo sehabis dinaikkan dengan jet pribadi. Rasanya lebih buruk daripada disuruh memakan wakame semangkuk porsi Murasakibara. Aku malu kepada diriku sendiri Tetsuya. Kau berhasil membuatku menderita-
-tapi kalau kau mau tau. aku masih mencintaimu'
"semua sudah berlalu. Kau harus melupakannya Tetsuya" –meskipun aku sendiri belum bisa lupa
"apa kau masih marah denganku, Akashi-kun?"
Tubuh kecil itu berputar. Menatap langsung ke mata ruby yang berusaha tegar. Akashi berusaha tidak menarik kuroko kepelukannya.
"kenapa harus marah? Memang aku yang salah. Meneguk mentah mentah omonganmu begitu saja tanpa menanyakannya lebih lanjut. Akulah yang harusnya minta maaf padamu. Maafkan aku karena.. telah menyentuhmu seenaknya. Tetsuya."
Seandainya Akashi tau kalau yang Kuroko harapkan bukanlah permintaan maaf. Ia tidak pernah merasa keberatan Akashi menyentuhnya.
"jangan merasa terbebani lagi. kumohon." Senyuman tipis diiringi dengan belaian tangan di poni biru muda. "jangan pedulikan aku Tetsuya. jalanilah kehidupan normalmu."
"Akashi-kun?"
"aku sangat menyayangimu Tetsuya. meskipun hatimu belum dewasa dan kau masih belum dan tidak akan mengerti apa yang selama ini ku rasakan. Kau sangat istimewa. Kau berbeda dari orang-orang. Kuharap kau tetap seperti ini"
Belaian itu turun kepipi. Kuroko masih mematung. Tak bisa mengeluarkan kata-kata selain menyusun nafas.
"jangan pernah kehilangan kepolosanmu. Cintai apa yang harus kau cintai. Dan jika kau bimbang, temui teman-teman dekatmu."
"aku akan menemui Akashi-kun"
Kata-kata itu keluar begitu saja. Bersamaan dengan tangan Kuroko yang terangkat menimpa tangan Akashi.
Tertegun. Tapi Akashi terlalu takut untuk berharap lagi. sudahlah. Ia harus menerima kenyataan. Tak mau berbesar hati.
"ya. Temui aku kalau kau sudah tak memiliki teman-temanmu. Aku selalu ada untukmu."
"Akashi-kun ingin aku dijauhi teman-temanku supaya bisa berteman dengan Akashi-kun?"
'Kenapa sih, otak polos Tetsuya tidak bisa toleran sedikit saja?'
"kita memang teman Tetsuya. Teman sekelas, teman satu Klub. Aku kaptenmu, ingat?"
Pipi pucat dicubit gemas. Tetsuya mengaduh meski tak sakit.
"aku.. jatuh cinta dengan Akashi-kun" katanya sambil mengusap pipi. Wajah Kuroko sudah memerah samar.
Saling bertatapan. Akashi mencoba menemukan keraguan di mata biru langit dari orang yang sangat ia cintai. Ia ingin mencubit pipinya sendiri. Tapi sangat tidak cool. Jadi diurungkan.
Hening cukup lama. Kuroko takut kalau kata-kata nya barusan ada yang keliru. Habis, ditatapi tajam begitu oleh Akashi rasanya menakutkan juga.
Benarkan? aku tadi bilang mencintai Akashi-kun, kan? Bukan bilang membencinya ataupun mengejeknya pendek kan?
"Tetsuya jatuh cinta denganku?" Akashi memastikan, masih tak percaya.
Satu anggukan diberi sebagai jawaban.
"siapa yang bilang begitu?"
Tidak yakin harus menjawab apa. Kuroko merasa kalimat yang ia katakan berdasarkan apa yang dirasakannya. Nyaman bersama Akashi. deg-degan kalau mereka bertemu mata. sayangnya yang dicamkan Kuroko dalam fikirannya hanya pertanyaan Akashi dan jawaban yang benar.
Siapa yang bilang begitu?
"Ogiwara-kun"
Sekali lagi Akashi terkecoh dengan otak polos nan tidak peka milik Kuroko Tetsuya. tidak sadar sudah salah memberi pertanyaan. Dan mengimbas pada perasaannya sendiri.
Jatuh dari menara tokyo dua kali bukan ide yang bagus. Apalagi kali ini penyebabnya karena kau lupa memakai sendal anti slip saat turun dari jet pribadimu.
Dengan kata lain, kesalah pahaman kembali terjadi.
Kuroko yang sudah susah payah menyadari perasaannya sendiri harus menanggung galau karena ditinggal pergi Akashi Seijuuro ditengah senja.
"Tetsuya. kau pulang sendiri saja ya. Aku mendadak ingin membunuh orang. Jadi tak bisa menemanimu"
Kapan mereka bisa menemukan garis lurus untuk hubungan mereka?
Kuroko tidak tau.
End of chapter 1.
Berhubung banyak yang minta Innocent Cinderella dibikin Sequel, saya mau coba bikin cerita bersambung. Niatnya pengen mempertahankan sifat Kuroko yang polosnya hampir mendekati bego. Dan jangan marah pada Ogiwara yang menyalahkan Aomine dan menuduhnya nularin bego atas ke 'lola' an Kuroko buat baca situasi. Aomine gak pernah nularin siapa-siapa kok. Maafkan karakter Akashi yang agak OOC disini. Demi Tuhan sebenarnya Author cinta mati sama bang Akashi.
Kesalahan masih sangat banyak. Saya mood-an bikinnya. Dan ini adalah smut story kedua setelah Innocent Cinderella.
Mohon di review.
Keritik dan saran anda sangat berguna bagi perkembangan cerita ini.
Terimakasih atas dukungannya.
Salam Author
