Note: Karakter Jungkook disini terinspirasi dari ceritanya kak Dian dengan judul Uneasy Romance, pasti gak asing kan :')
.
.
This (drama) story is written by Jia Lie
Happy Reading!
.
.
.
Head Chef : Jungkook
Florist : Taehyung
.
.
Christmas Everyday
.
.
Musim dingin hampir memasuki hari ke empat puluh dua pada pertengahan bulan ini. Masih dengan suhu yan terkadang membuat sebagian orang lebih menyukai bergelung di balik selimut tebal, daripada harus susah payah berangkat ke tempat kerja. Sayangnya, pilihan pertama tadi tidak menarik perhatian laki-laki manis berambut cokelat madu yang kini sedang sibuk mengatur ulang dekorasi toko bunga miliknya.
Menggeluti bidang itu selama hampir tujuh tahun membuatnya paham betul dengan permintaan pasar. Seperti sekarang ini, mereka akan lebih memilih bunga-bunga dengan kelopak yang besar tetapi dengan warna yang cenderung senada dengan suasana natal. White Lily, Pink Lily, Red Rose, Pink Rose, Orange Rose, Blue Rose, Soft purple Lavender adalah beberapa contoh yang popular di bulan Desember hingga Januari.
"Berniat memberiku alasan kenapa kau melupakan sarapan mu?"
"Astaga, Park. Bisa tidak kau datang tanpa harus membuatku terkejut?"
Mendapat tatapan tajam dari Taehyung bukanlah suatu masalah besar bagi Jimin.
Terkadang laki-laki berambut senada jingga itu malah menjadikan kekesalan Taehyung sebagai salah satu hiburan baginya.
Jahil? Itu nama tengah Park Jimin, omong-omong.
"Dan bisa tidak kau..." Jari telunjuk Jimin terangkat mengetuk pelan kening Taehyung "tidak berpikiran untuk selalu melupakan sarapan mu."
Taehyung mengangkat kedua bahunya, kembali sibuk menata beberapa tangkai bunga mawar putih yang baru saja dia potong sepuluh menit sebelum kedatangan Jimin.
"Kau terlalu keras kepala, Tae." Jimin mendesah pelan.
Merasa nada suara Jimin yang terdengar putus asa -ayolah bahkan ini masih terlalu pagi untuk bersikap alay seperti itu- membuat Taehyung menghentikan pekerjaannya dan memilih duduk di samping Jimin.
"Maaf." Taehyung tersenyum, manis.
Bahkan terlalu manis untuk dipamerkan ketika udara sedingin ini, kata Jimin.
Bersahabat sejak kecil dengan Taehyung membuatnya sangat mengenal laki-laki kurus yang sekarang sedang sibuk mengunyah sandwich dengan isi beberapa gram daging, bahkan mengenal jauh lebih detail dibandingkan Taehyung mengenali dirinya sendiri.
"Jimin Park, kau baik-baik saja?" Taehyung melambaikan tangan kirinya tepat didepan muka sahabatnya itu.
Melamun?
Jimin menertawakan dirinya sendiri yang bahkan terlalu hanyut ke alam bawah sadar bahkan hanya dengan memikirkan Taehyung sebentar saja.
"Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan agar aku bisa berhenti menyayangimu?" Taehyung mengernyitkan dahinya.
"Kita ini seumuran Tae, tapi Demi Tuhan, kenapa aku begitu sangat ingin menjagamu?" Taehyung meletakkan sandwich-nya yang sudah tinggal seperempat bagian ke dalam mangkuk kecil.
"Karrna hanya padamu aku bergantung. Maaf kalau aku sering merepotkanmu." Taehyung mengusap sebelah pipi Jimin.
"Cukup dengan kau tidak melupakan sarapanmu, tidak melukai kedua tanganmu dengan duri bunga-bunga sialan itu, tidak flu ketika musim dingin tiba, dan tidak lagi memberiku kabar tentang berat badanmu yang turun." Kedua tangan Jimin kini beralih menangkup wajah Taehyung pelan, memastikan bahwa figure di depannya ini akan selalu baik-baik saja.
"Cukup dengan itu saja, Taehyung, kau bisa membantu mengurangi bebanku."
"Sialan kau, Park. Aku hampir saja menangis." Taehyung menepis kedua tangan Jimin, dan memilih menengadahkan kepalanya untuk mengcegah air mata itu jatuh.
"Haha. Ini bahkan lebih mendramatisir ketimbang Jack yang lebih memlih mengorbankan hidupnya untuk Rose."
"Akkh!" Taehyung menghadiahi Jimin sebuah cubitan kecil, tidak keras memang, tapi cukup memberikan rasa sakit di pinggang kokoh itu.
"Kalau kau sudah selesai dengan kata-kata mutiaramu, lebih baik kau cepat pergi, Jim. Sebelum aku menancapkan duri-duri ini kedalam kepala mesum mu itu."
"Jahat sekali." Taehyung tidak membalas, memlilih kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.
Dan ijinkan Jimin mengucapkan ini untuk yang sekian kalinya. Melihat jari-jari lentik Taehyung bermain di satu buket ke buket lainnya, memangkas daun, memotong tangkai, dan merangkai bunga adalah salah satu pemandangan yang sangat cantik. Indah. Hanya dengan melihat Taehyung berkutat dengan dunianya sudah lebih dari cukup memberikan Jimin ketenangan.
.
.
.
Jungkook memijit pelipisnya kasar, meluapkan segala kekesalan yang tidak kunjung berhenti sejak dua jam yang lalu. Menjadi Head Chef sekaligus pemilik restoran bintang lima di Korea, yang ternyata sudah mempunyai dua cabang masing-masing di Italy dan New York, membuatnya harus berteman dengan kesempurnaan.
Dan hari ini, salah satu juru masak berkelas miliknya melakukan kesalahan yang sangat fatal, tidak sengaja menaruh kecap asin Korea kedalam wadah Kecap manis Jepang.
Beruntung pelanggan sekelas Kim Junmyeon, CEO dengan perusahaan yang hampir menguasai pasar Asia, hanya memberikan tepukan pelan di bahu kiri Jungkook. Memutar kembali kejadian tadi siang saja membuat Head Chef sekaligus Businessman muda ini mual, karna terlalu malu.
"Jungkook." Bahkan panggilan dari asisten pribadinya, Kim Yugyeom, sengaja dia abaikan.
Yugyeom menghela nafas pelan. Bekerja bersama Jungkook sejak mereka masih dudukdi bangku sekolah menengah atas membuatnya mengerti dengan sikap sahabatnya, yang merangkap sebagai atasannya itu.
Perfeksionis, itu yang mengantarkan Jungkook mendapatkan pengakuan dari orang-orang atas keberhasilannya. Pekerja keras yang cenderung gila bekerja membuat auranya menjadi kaku, keningnya saja selalu tampak berkerut samar meskipun Jungkook sedang berada di rumah. Dan kesalahan sekecil apapun itu adalah musuh Jungkook.
"Semua sudah terjadi, bung." Yugyeom menepuk pelan Jungkook, tangan kanannya meletakkan secangkir kopi hitam pekat yang bagi Jungkook adalah penghilang stress paling ampuh.
"Dan sekarang beri tahu aku bagaimana caranya agar nama baik restoran ini kembali?" Jungkook menatap tajam, sekilas, kearah sahabatnya yang sekarang duduk di depannya.
Yugyeom menopangkan dagunya, tangan kirinya sibuk bermain di meja kerja Jungkook, menimbulkan suara ketukan didalam ruangan yang didominasi oleh warna abu-abu terang cenderung putih tulang gelap dengan campuran warna batu sungai di bagian bawah dindingnya.
"Apa aku perlu menyuruh Nayeon nuna membelikan ruangan ini bunga?" Jungkook mengangkat sebelah alisnya.
Demi Tuhan, sekarang bukan waktunya basa basi, dan Yugyeom sangat tau itu.
Bermain main dengan kata disaat keadaan Jungkook sedang kacau adalah sebuah kesalahan besar, fatal.
"Kau terlalu keras memikirkan semuanya, Jungkook. Aku sangat tau dengan sikapmu yang selalu mengutamakan kesempurnaan, mengingat kita memulai usaha ini dari bawah. Sangat bawah sekali sampai aku masih ingat bagaimana dulu orang-orang menghina Chicken Katsu buatan mu."
"Lalu kenapa kau menyuruhku untuk bersantai disaat seperti ini?"
"Aku TIDAK PERNAH memintamu untuk bersantai. Hanya saja, Jungkook, demi Tuhan sekali saja coba kau pergi keluar tanpa membawa otak penuh mu itu. Setidaknya luangkan waktumu untuk natal tahun ini. Setelahnya, silahkan sekalian saja kau menikahi lembaran resep baru beserta laporan keuangan restoran kita."
"Sialan kau, Kyum." Jungkook tertawa kecil.
"Dan sayangnya si sialan ini adalah sahabatmu."
"Dan karyawan pribadiku."
"Ya, ya, anggap saja aku ini terlalu menghormatimu, Chef Jungkook."
Bukan dengan pelukan hangat atau kata-kata manis yang ditawarkan Yugyeom untuk kembali mencairkan otak padat sahabatnya itu. Cukup dengan mengatakan yang sebenarnya, sekalipun itu sangat menyakitkan, bisa membuat suasana hati Jungkook kembali menghangat. Dingin, kaku, workaholic, jarang bereksprei, introvert adalah beberapa nama tengah Jeon Jungkook, omong-omong. Tapi bagi mereka yang sudah mengenal Jungkook, nama tengah itu akan berubah menjadi penyayang, lembut, dan dewasa .
.
.
.
"Hyung, kau dimana? Tidak biasanya perjalananmu memakan waktu selama ini?" tanpa sadar Taehyung memajukan bibir atasnya.
"Maaf, Taetae sayang. Sepuluh menit sebelum keberangkatanku, ada korban kecelakaan. Gigi depan dan gerahamnya terlepas, beberapa serpihan kaca bahkan masuk kedalam gusi dan-"
"Berhenti bercerita atau aku tidak akan mengijinkan hyung tinggal di apartmentku." Taehyung meninggikan suaranya, membuat laki-laki yang duduk dibelakangnya sedikit berjengit.
"Berani berbuat seperti itu kepada kakak kandungmu sendiri, Kim?"
Taehyung menolehkan kepalanya, mata cokelatnya bertabrakan dengan laki-laki yang sejak tadi masih sibuk dengan beberapa lembar kertas, pensil, penggaris dan juga laptopnya.
Merasa ditatap dengan heran, Taehyung kemudian memamerkan senyum kotaknya dan kembali dengan dunia gunting-menggunting tangkai bunga, masih dengan ponsel yang terapit diantara telinga dan bahu kirinya.
"Aku kan hanya bercanda, hyung."
"Aku merindukanmu adik kecilku yang manis."
"Maaf, tapi jika yang di bilang manis adalah aku maka anda salah orang, Dokter gigi Kim Seokjin." Taehyung memasangkan pita berwarna merah muda terang melingkari buket bunga terbarunya.
"Ucapan kasarmu, Tae. Ibu selalu mengkhawatirkan tentang itu."
"Ayolah, hyung. Apa salahnya berkata kasar sesekali? Toh, aku juga tidak menggunakannya untuk menghina orang lain kan?" Taehyung tersenyum melihat hasil karya rangkaian bunga miliknya.
Bertahun-tahun Taehyung merangkai bunga, mawar putih dengan minoritas baby birth kuning gading dan sedikit seruni ungu muda adalah favoritnya.
"Tentu saja salah. Karna itu adalah pesonamu, Tae." Sebelum Taehyung melontarkan pembelaan, dirinya sudah terlebih dahulu mendengar kakaknya itu tertawa keras, dan itu membuat Taehyung kembali menekuk bibirnya.
Secara sepihak Taehyung memutuskan sambungan telepon keduanya, menyisakan rasa jengah yang luar biasa di raut wajah mungil Taehyung.
Laki-laki dengan surai mint, cenderung seperti hijau tosca, menghentikan sejenak kegiatannya menggambar ketika mendapati Taehyung duduk disebelahnya dengan ekspresi kesalnya.
"Kau kenapa, hmm?" katanya sambil menarik sebelah pipi Taehyung.
Kegiatan itu membuatnya miris, seingatnya pipi Taehyung semakin hari semakin tirus padahal porsi makan Taehyung tidak bisa dikatakan sedikit. Lalu kemana perginya semua kalori itu?
"Seokjin hyung, menggodaku lagi, hyung."
"Itu sangat wajar mengingat kalian adalah kakak beradik."
Tangan kecilnya kembali memegang pensil berniat untuk melanjutkan sketsa yang belum sepenuhnya tergambar rapi.
"Dan sayangnya, Yoongi hyung juga sama seperti mereka." Yoongi menoleh kearah Taehyung, ekspresinya datar tetapi sorot matanya penuh akan kasih sayang.
"Mereka?"
"Seokjin hyung dan Jimin." Taehyung menyandarkan tubuhnya ke sofa, memejamkan matanya, mencoba menikmati harum alami bunga yang mulai menyebar mengingat ini sudah memasuki sore hari.
"Karna kami menyayangimu." Yoongi menjawab pernyataan Taehyung singkat tanpa berhenti dari kegiatannya menggambar bahkan hanya untuk menolehkan kepalanya pun tidak.
Taehyung diam, dan mengangguk.
Terakhir kali Taehyung bertemu kakaknya, Seokjin, sekitar tiga bulan yang lalu. Itupun karena Taehyung harus membereskan masalah kecil yang terjadi di cabang toko bunga miliknya, ditanah kelahirannya, Daegu. Taehyung bahkan sampai sekarang masih tidak bisa percaya dirinya bisa tinggal jauh dari keluarganya. Taehyung masih ingat betul bagaimana awal awal dia kuliah di Seoul, ibunya setiap tiga jam sekali menghubunginya untuk memastikan keadaannya. Taehyung itu ceroboh kalau kalian mau tahu, dan beruntung Jimin selalu menjauhkan Taehyung dari sikap kecerobohannya itu. Dan terhitung dari dua tahun lalu, sejak Jimin memperkenalkan Yoongi sebagai kekasihnya, maka detik itu pula Yoongi juga memutuskan untk ikut menjaga Taehyung.
.
.
.
"Sepertinya kau sangat menyukai cafe ini." Jungkook menutup pelan pintu mobil Yugyeom, lalu merapikan kemeja Armani miliknya.
"Aku menyukai design interior nya dan tentu saja karena cafe ini memiliki cita rasa kopi paling enak di Korea. Kau tahu itu, Jungkook."
Jungkook mencebikkan bibirnya lalu berjalan masuk kedalam cafe mendahului Yugyeom.
Bukannya Jungkook tidak tau tempat ini. Hey! Dia bukan mahkluk luar angkasa, asal kalian percaya. Salahkan Jungkook yang malas membawa tubuhnya keluar dari dapur, ruang kerjanya, restoran, dan apartment nya.
Benar-benar keluar dari tempat-tempat itu ketika ada acara dengan relasi bisnisnya, seminar, kunjungan ke restoran cabang di lar negeri dan yang paling penting adalah ketika perlengkapan sehari-harinya sudah habis, benar-benar habis.
Jungkook memilih diam ketika pemilik cafe, Park Jimin -ingatkan diri kalian kalau Jungkook bukan mahkluk luar angkasa-, memeluk Yugyeom sebagai ucapan selamat datang.
Sepertinya mereka berteman cukup dekat, itu terlihat dari bagaimana bahasa tubuh mereka berbicara, itu pemikiran Jungkook.
Setelah selesai menyapa Yugyeom, Jimin kemudian menoleh ke arah Jungkook, melempar senyum lalu mengulurkan tangannya.
"Suatu kebanggan bisa bertemu denganmu, Chef Jeon."
"Kau terlalu merendahkan diri, Jimin hyung." Jimin menggenggam erat tangan Jungkook ketika Chef muda itu memanggilnya hyung.
"Jangan berpikiran kalau aku tidak mengenalmu, hyung. Tolong maafkan sikapku yang terkesan sangat sibuk ini." Jungkook menepuk pelan pundak laki-laki yang lebih pendek darinya itu.
"Akhirnya kau sadar juga kesalahanmu, bung." Jimin malah tertawa cukup keras ketika perkataan Yugyeom tadi dihadiahi tatapan mematikan dari Jungkook.
Jangankan tatapan matanya, setiap langkah kaki Jungkook saja selalu menguarkan aura dominasi yang sangat kental. Tipikal pemimpin sekali.
"Eunbi baru saja selesai membersihkan tempat kesukaanmu, Gyeom-ah. Mungkin sekitar lima belas menit yang lalu" Jimin menolehkan kepalanya kebelakang, tepat kearah Yugyeom dan Jungkook yang sedang berjalan dibelakangnya.
Tempat yang dimaksud Jimin berada dilantai dua, tepat sebelah kanan tangga penghubung ke lantai tiga.
Jungkook masih memaksa otaknya agar berhenti berdecak kagum ketika kakinya menapak di lantai dua. Berbeda dengan lantai dasar, lantai dua café ini di design dengan arsitektur Eropa klasik, dengan minoritas Asia Tengah.
Salahkan sikap terlalu mementingkan pekerjaannya, sehingga membuat Jungkook tidak mengetahui ada tempat dengan design yang semegah sekaligus sesederhana ini.
"Apa kau selalu menyewa ruangan ini?" Jungkook menyandarkan tubuhnya ke sofa merah marun, menatap Yugyeom yang sekarang menyalakan TV dengan layar datar di sebelah kanan pintu.
"Sudah sejak tiga tahun lalu." Yugyeom melempar senyum idiot kearah Jungkook, menaikkan kedua kakinya keatas meja.
"Taehyung dan Yugyeom." Jimin menyugar rambutnya hingga terbelah dua, namun sedetik kemudian kembali pada tatanan awal.
Jungkook menaikkan kedua alisnya.
"Mereka berdua yang membantuku mencari arsitek agar design interior ini bisa terwujud." Jungkook menganggukkan kepalanya.
"Dan yang lebih mengejutkan adalah arsitek design interior itu dipacari oleh Jimin hyung." Jungkook membulatkan matanya.
"Dasar ember." Jimin melempar bantal sofa kearah Yuggyeom, yang langsung dengan sigap ditangkap oleh sang obyek.
Begitu seterusnya, mereka bercanda sampai pesanan mareka diantarkan oleh pelayan di café itu.
"Aku harus pergi sebentar, ada tes wawancara pegawai baru." Jimin mengancingkan kembali kancing teratas kemejanya.
"Tidak masalah, hyung." Jungkook menjawab.
"Sisakan satu yang cantik untuk adikmu ini, hyung." Yugyeom dengan cengiran idiotnya kembali membuat Jungkook dan Jimin tertawa.
Setidaknya menuruti Yugyeom untuk datang ke café ini benar-benar membuat mood Jungkook kembali membaik, sedikit.
.
.
.
Pertama kali, untuk pertama kalinya Jungkook merasakan detak jantungnya bekerja tidak beraturan. Untuk pertama kalinya Jungkook merasa saraf-saraf yang ada di otaknya lumpuh. Untuk pertama kalinya Jungkook merasa kelopak matanya berhenti berkedip, dan untuk pertama kalinya Jungkook menyesal menolak saran Yugyeom mengenai membeli bunga untuk diletakkan diruang kerjanya.
Wangi tubuhnya bahkan dari jauh saja tercium seperti bunga mawar, harum, menenangkan sekaligus mebuat candu. Jemari lentiknya dengan sangat lincah bermain pada tangkai-tangkai yang beberapa diantaranya penuh duri. Kedua matanya berselimutkan bulu mata yang sangat panjang sehingga membuat hazel itu seolah tertupi kabut namun transparan.
Tidak.
Jungkook tidak berniat melihat wajah itu secara utuh. Jungkook tidak pernah merasa kehilangan kepercayaan diri seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Jungkook tidak cukup tampan? Hey! Tujuanmu datang kesini adalah untuk membeli sebuket bunga, batin Jungkook berbicara.
Tidak. Jangan menoleh! Jangan mengalihkan pandanganmu! Tetaplah ditempatmu dan aku akan segera perg-
"Mencari bunga yang seperti apa?"
Dan di detik itu pula Jungkook merasa dunianya berhenti.
.
.
.
TBC
