I always think about that ...

Why do clouds not colorful, huh? Why they are white, monotonous, without all the other colors.

Why there is no different from the one and the other?

And ...

Why... humans and their attitude that ... colorful?

.

.

.

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi

Warning! Typo, OOC, bahasa tidak sesuai EYD, AU, bisu reader, dan lain-lain

Genre : Romance, Drama

Character : Akashi Seijuro

Note : Saya membuat fic ini atas pemikiran sendiri, kalau ada kesamaan dalam bentuk apapun, itu adalah ketidaksengajaan.

Don't Like Don't Read, Please. you've been warned.

"Colorful World (美しい世界)" – Andrea Sky

.

.

.

Prolog : First Meet

.

.

.

Dunianya seperti hitam putih. Tanpa warna–monoton. Begitulah awalnya.

Seijuro menguap, ada genangan air di sudut matanya, yang ia langsung seka dengan lengan bajunya. Ia tidak lagi memusatkan perhatiannya pada guru yang berdiri di depan ataupun papan tulis yang kini dipenuhi angka dan rumus.

Bel sekolah berdering beberapa saat setelahnya. Beberapa murid masih mengobrol, beberapa murid lainnya mulai membereskan buku mereka, memasukkannya kedalam tas, bersiap untuk pulang. Dan Seijuro bisa dikategorikan dalam orang yang bersiap untuk pulang, sampai ia ingat bahwa ia ada latihan basket hari ini.

Seijuro menyapa Shuuzo saat bertemu dengannya di depan kelas 3-A, Shuuzo bertanya bagaimana keadaan klub basket–dengam embel-embel 'terutama 2 orang idiot kopi-susu' itu–dan Seijuro membalasnya dengan baik-baik saja. Setelah itu, pemuda dengan surai crimson itu melanjutkan perjalanannya ke gym.

Memasuki gym, ternyata anggota yang lainnya sudah ada disana. Pertama-tama, Seijuro menyuruh mereka melakukan pemanas–dirinya juga melakukan itu, tentu saja. Lalu lari keliling lapangan 20 kali, dan tadi Tetsuya sempat mengeluarkan isi perutnya–untung saja Shintaro dengan tulus hati membantu. Walau beda di mulut beda di hati–kau tau, sikap Shintaro memang seperti itu.

Ryota dan Daiki bertengkar lagi hari ini, dan lagi-lagi, Tetsuya yang menghentikan mereka. Seijuro hanya diam seperti biasanya. Ia memang bukan tipikal orang yang banyak bicara. Shintaro sempat bertanya padanya apa ada masalah. Seijuro menggeleng. Ia berkata bahwa dirinya memang tidak suka berceloteh seperti Ryota. Tapi ketika Shintaro berkata lagi bahwa hari ini Seijuro lebih diam daripada biasanya, Seijuro tidak membalas, ia diam sambil beranjak pergi dari bench, hendak mengganti baju. Dan Shintaro cukup tau bahwa pembicaraan selesai.

Saat sampai di rumah, Seijuro tidak menemukan ayahnya. Bertanya pada salah satu maid, maid itu berkata bahwa tuan besar ada di luar negeri untuk bekerja dan menitip pesan pada Seijuro untuk belajar agar masuk ke universitas yang dipilihnya. Seijuro tidak bertanya apa-apa lagi, ia pergi menuju kamarnya meski maid itu memanggilnya berkali-kali dan menanyakan apakah ia ingin makan malam atau tidak.

Seijuro mengeringkan bulir-bulir air yang menggantung di rambutnya, seusai mandi. Kemudian ia mengambil salah satu buku dari meja belajarnya, kemudian mulai mengerjakan tugas rumahnya. Saat jam di dinding menunjukkan pukul 8, ia menghela napas lega, menutup bukunya, lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi–merentangkan tubuhnya.

Mengingat ia belum makan malam dan karena perutnya berbunyi, ia memanggil Iku-baa-san dan memintanya mengantar makan malam ke kamarnya. Iku-baa-san adalah pelayan yang ia paling percayai di rumah itu. Seolah sudah seperti neneknya sendiri, mengingat umur wanita paruh baya itu sudah menyentuh 75 tahun. Makanya Seijuro tidak pernah memberikannya tugas yang berat–atau tepatnya, melarangnya.

Iku-baa-san mengenal Seijuro sejak masih kecil. Ia mengerti tabiat tuan muda itu. Maka, saat mengantarkan makanan dan Seijuro berucap terima kasih, ia terkekeh kecil. Berucap dengan nada penuh kasih dan usil, kenapa hari ini Seijuro terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan yang disukanya. Seijuro mendengus. Ujung lidahnya mengecap rasa sup tofu. Ia menjawab dengan tidak apa-apa.

Saat makan malam selesai, ia pergi tidur.

1 hari berlalu lagi.

Dengan hal yang sama.

.

.

.

Hidupnya hitam putih. Tanpa warna–monoton. Apa yang ia lakukan dan rasakan sekarang sesungguhnya sangat tidak berarti.

Benar-benar...

membosankan.

Seijuro menautkan alisnya, saat sepasang mata merah itu menangkap seseorang yang asing baginya di gym. Dengan intonasi dan nada yang sama datarnya, pertanyaan terlontar dari Seijuro untuk gadis itu, "ini siapa?"

Satsuki yang pertama kali membalas tanyaan Seijuro dengan ceria, sambil memegang pundak gadis bersurai obsidian itu dari belakang, "namanya (Name)-chan! Ia masuk ke kelasku hari ini." Seijuro mengangguk mengerti, sedikit memperhatikan gadis itu. Ia menunduk ke bawah terus, sedari tadi. Apa dia susah beradaptasi dengan lingkungan baru? Ia terlihat... gugup.

"Aku ingin memperkenalkannya dengan kalian," Momoi berucap, "dia anak yang baik. Ia suka melukis, ia suka mendengarkan musik."

"Aku Kise Ryota–ssu! Salam kenal!" karena pada dasarnya sifat Ryota adalah seseorang yang mudah membaur, jadi ia tak sungkan untuk maju terlebih dahulu. Apalagi mungkin Ryota bisa melihat gadis ini agak pemalu. Gadis itu mendongak, wajahnya terlihat ceria. Ia tersenyum, membalas uluran tangan Ryota. Ekspresi pada wajahnya seolah mengatakan,

'Hi! Salam kenal juga!'

Dan acara kenal-mengenal itu dihentikan Seijuro ketika Daiki hendak memperkenalkan dirinya, hingga membuat pemuda pemilik surai anvy blue itu protes, merasa di diskriminasi.

"Harusnya kalian pemanasan sekarang," Seijuro berucap penuh penekanan dan perintah. Semuanya mengangguk. Menurut ucapan Seijuro dan pelatih mereka yang hanya menampilkan senyum sejak acara perkenalan ini, akhirnya seluruh anggota klub basket string 1 memulai latihan.

Latihan hari ini berjalan seperti biasanya. Kise dan Aomine yang bertengkar, ataupun Momoi dan Aomine yang saling melempar ejekan bercanda–kasusnya tidak jauh berbeda dengan Kise dan Aomine sendiri. Saat ada waktu istirahat, mereka berbincang bersama-sama, mengajak mengobrol gadis itu.

Seijuro mengerutkan dahinya.

Kenapa gadis ini sama sekali tidak bicara?

"Hei," memusnahkan rasa penasarannya, Seijuro membuka mulut, bertanya, "kau tidak bisa berbicara?"

Ouch–yah, memang hanya itu, sih, 1 spekulasi yang ada di pikiran Seijuro. Tapi tetap saja, pemuda itu memang tidak pernah menahan ucapannya, pada siapapun atau tentang apapun. Semuanya menahan napas. Daiki bahkan sampai berani melotot pada kaptennya itu–yang sebenarnya sangat disegani oleh Daiki. Wajahnya seolah mengatakan, 'Akashi, mulutmu itu...'

Tapi, senyum masih terpantri di wajah gadis itu. Gadis itu mengangguk, jemari dan tangannya membentuk sesuatu gestur. Seijuro membelalak, meski tidak terlalu terlihat.

'Um, ya, begitulah! Aku memang tidak bisa berbicara sejak kecil, jadi–'

Gadis itu terdiam sebentar, memiringkan kepalanya. Kemudian, ia menangkap sesuatu di pikirannya saat melihat ekspresi bingung Seijuro. Tangannya bergerak lagi,

'Ehhh... kau juga tidak mengerti ya, jangan-jangan?!'

Sekarang, Seijuro sedang berpikir; apa yang diajarkan Iku-baa-san dulu–yang sempat ia ragukan akan bermanfaat–ternyata berguna sekarang.

"Tidak," Seijuro berucap, "maksudku, aku mengerti."

Gadis itu tersenyum ceria lagi. Diam-diam, yang lain menghela napas lega. Setidaknya Seijuro tidak membuat seseorang menangis hari ini. Tangan gadis itu bergerak lagi,

'Terima kasih!'

Untuk apa dia berterima kasih? Ah, tapi, ya sudahlah.

"Nah," Seijuro menepukkan kedua tangannya. Ia bangkit dari bench yang tadinya ia duduki, "sebaiknya kita kembali latihan."

Kise berdiri dengan semangat, mengangkat tangannya, bagai anak kecil.

"Oke–ssu–adaw! Kenapa aku digatak, Kurokocchi?!"

"Karena kamu terlalu berisik, Kise-kun,"

"Kok begitu!"

"... Berisik, nanodayo. Ayo latihan sebelum Akashi–"

"Kise, Kuroko, dan Midorima. Lari sana keliling lapangan. 5 kali."

Ryota mengatakan 'kenapa?!' dengan keras. Shintaro menepuk dahinya sendiri, ah–seharusnya tadi ia menutup mulutnya saja. Pahit... batinnya. Tetsuya puppy eyes–seolah saja itu bisa meluluhkan hati Seijuro agar ia tidak berlari lagi.

Mendengus melihat ke-3 rekan basketnya tersebut, manik crimson itu sempat melirik kearah sang gadis.

Gadis itu tertawa kecil. Tidak bersuara. Namun, bisa terlihat bahwa ia senang.

.

'Pulang bersama?'

Seijuro mengangguk singkat.

"Eh, eh. Dia ngomong apa, Akashicchi?"

"Dia bertanya apakah kita semua pulang bersama atau tidak,"

"Oh, tentu saja! (Name)-chan ikut ya? Arah rumahmu sama dengan Akashi-kun kok!"

Daiki menganga, menoleh pada sahabat sejak kecilnya itu, "tau darimana…"

"Eh? Tadi pagi dia menuliskan alamatnya padaku lewat kertas, kok! Katanya aku bisa datang kerumahnya kapan saja aku mau,"

"Ohh…" Aomine bergumam, "hati-hati, Satsuki suka ngacakin rumah orang…"

"Dai-chan!"

"Anou, minna-san.. sebaiknya kita berjalan," perut Tetsuya berbunyi kecil, "… karena aku lapar." Satsuki langsung menerjang memeluknya, "Tetsu-kun lucuu!"

"Sudah, sudah, nanodayo. Ayo kita jalan,"

"Ha'i!"

Mereka berbicara bersama saat pulang. Gadis itu ikut juga, meski di terjemahkan oleh Seijuro. Saat melihat Maji Burger, tau-tau Daiki langsung menelusup masuk kesana, membuat yang lain jadi mau tak mau–ralat, semuanya jadi ingin membeli burger atau semacamnya untuk dimakan.

"Kamu mau apa, (Name)-chan?" tanya Satsuki, saat memesan pesanan mereka. Gadis itu menggerakkan tangannya,

'Mocca!'

"Mocca 2," Seijuro berucap. Shintaro membatin, oh, ya… Akashi 'kan juga suka mocca–eh…?

Saat mereka sampai di perempatan jalan, mereka berpisah. Satsuki dengan Daiki, Shintaro sendiri, Ryota dan Tetsuya, lalu Seijuro dengan gadis itu.

"Hey,"

Gadis itu tersentak.

'Ya?'

"Rumahmu dimana?"

'Ah! Di blok A, nomor 11! Sebentar lagi juga sampai kok!'

Seijuro hanya bergumam 'oh' singkat. Nomor 11? Mungkin hanya berjarak 20 meter dari rumahnya. Kalau begitu, seharusnya sebentar lagi–

'Nah, sudah sampai. Sampai jumpa besok, Akashi-kun!'

Ah, benar. Ini rumahnya.

Gadis itu menggerakan tangannya dengan cepat, kelihatannya ia over-excited karena ada seseorang yang mengerti isyarat.

"Ya,"

Seijuro berpikir dalam hatinya.

Hari ini, ia berkenalan dengan seseorang. Seseorang yang meskipun bisu, tapi ia terlihat–bahagia. Seseorang yang seolah tidak takut menunjukkan bahwa ia memiliki kekurangan–ia mengakuinya, tidak menutupinya.

Hari ini, Seijuro mengantarkan seorang gadis pulang.

Ah–ini baru sedikit hal yang mulai akan mewarnai kehidupan pemuda itu, loh.

Selanjutnya…

akan seperti apa?

.

.

.

unexpected events always come.

Isn't it always like that?

And this time, destiny brings something.

That change something for the better.

.

.

.

Awalnya, hidupnya hitam putih. Tanpa warna–monoton.

Akankah berlanjut seperti itu?

.

.

.

TBC

.

.

.


HAHAHA! Aku bikin sesuatu yang absurd lagi, hanya seperti biasanya :"v review?