Title: Until We Meet Again
Genre: Romance/friendship
Rating: T
Summary: Inilah kehidupan mereka dari A-Z. Inilah mereka yang selalu bersama. Inilah mereka yang mencintai satu sama lain lebih dari apapun; bahkan nyawa mereka sendiri. Mello x Matt.

Author's note: Maaf sebelumnya tapi, saya tidak akan memasukan lemon disini meskipun ada kesempatan. Saya ingin membuat fic ini pantas untuk semua umur (termasuk sayaaaaa :P). Dan ya, saya membuat Mello x Matt, bukan Matt x Mello.


100 Themes Fanfiction Challenge (1-10)

1. Introduction
Aku menerawang keluar jendela sambil ikut menyanyikan lagu yang tengah kudengar melalu iPod, Hear You Me-nya Jimmy Eat World. Novel Skulduggery Pleasant seri 1 hingga 4 sedang terduduk di futon. Semua telah kubaca tuntas.

Justin Bieber.

'HEY! Sejak kapan ada lagu ini di iPod-ku? Hapus, hapus!'

Aku menggumam sendiri sembari menggigit coklat batang di tangan kananku. Ketika aku memusatkan pandanganku kembali ke langit, ada seseorang yang muncul, mengagetkanku hingga membuatku terjatuh dari kursi.

"A-ah, maaf!" Ucapnya sambil menepukkan kedua tangannya sekali. "Ngga berniat buat ngagetin kok..."

"Lantas buat apa kau muncul tiba-tiba begitu?" Dampratku marah, memungut coklat yang terjatuh ke lantai.

"SSH!" Ia menaruh jari telunjuk ke bibirnya, memberi tanda agar aku tutup mulut sebelum ia merangkak ke kolong ranjang dan terdiam.

Seseorang lain berlari sambil terengah-engah, berhenti ke depan kamarku. "Kau melihat anak lelaki tinggi kira-kira segini, menggunakan goggles dan baju stripes merah hitam tidak?" Tanyanya.

"Uh." Aku melirik ke kolong ranjang setidak-mencurigakan mungkin. "Tidak." Jawabku yakin.

"Terima kasih." Ia membungkuk sejenak dan melanjutkan berlari.

"Sudah pergi?" Terdengar suara bisikan dari kolong ranjang. Tanpa basa-basi, aku menganyunkan kaki kananku ke arah suara itu dan menghantam sesuatu yang ternyata adalah kepala cowok tersebut. "A-AW!" Rintihnya.

"Kau berhutang satu nyawa kepadaku."

"He? Bagaimana kau tahu?" Ia merangkak keluar dari ranjang sambil mengelus kepalanya yang sudah memar.

"Well, kau yang sering langganan graffiti di tembok-tembok toko kan?" Ucapku, santai.

"AH! Jangan beritahu siapa-siapa, kumohon!"

"Kau berhutang satu lagi kepadaku." Aku tersenyum puas. "Masuk ke Wammy's dan aku akan mengunci rahasiamu."

"Janji?" Aku mengangguk langsung. "Oke." Ia berjalan keluar dan beberapa menit kemudian, aku dapat melihat ia kembali ke kamar dengan Roger. "Aku Matt, teman sekamarmu."

2. Love
Aku menyalakan lampu kamar namun, baru satu detik saja menyala, cahaya tersebut kembali redup.

'Mati lampu?'

Setelah aku bergumam demikian, pintu kamar mandi terbuka lebar.

"MELLO, LAMPUNYA MATI!" Matt berteriak ketakutan dan langsung memeluk tubuhku erat.

"Eeeww! Kau basah, jelek! Menjauh sana!" Bentakku kasar sebelum merasakan sesuatu yang aneh di daerah pahaku. "... MA-MATT!" Ternyata ia telanjang bulat.

"Ha? Maaf." Ia berjalan menjauh. Aku bersyukur itu mati lampu jadi, ia tidak bisa melihat wajahku yang merah padam. "Ini mati lampu ya?"

"Sebentar lagi mereka akan nyalakan genset-nya." Ujarku sambil tetap berusaha menutupi wajahku yang merah. 'Sial, kenapa sekujur tubuhku terasa panas?'

"W-wa... gelap sekali... Mello, dimana kau?" Ia berjalan sambil mengayun-ayunkan tangannya sebelum ia menabrak tubuhku dan membuat kami berdua terhempas di kasur. "Ini kau ya?" Matt bertanya sembari memegang hidungku.

"I-iya, jauhkan tanganmu!" Sekali lagi, ada sesuatu yang menonjol tergesek ke selangkanku. "Nnh!"

"He?" Aku tidak dapat melihat ekspresinya namun, aku yakin ia mengernyitkan dahinya.

'S-SHIT...' Aku langsung menutup mulutku.

3. Light
Lampu berkedip menyala. Di dalam hati, aku terus bersumpah-sumpah karena sekarang Matt dapat melihat wajahku yang merah dengan jelas.

"Mello... you're hard..." Ujarnya sambil melihat ke arah selangkanganku.

Sepertinya setelah ini aku harus lompat dari Grand Canyon.

"... apa kau..." Matt berbisik, "...gay?"

Pertanyaan yang paling tidak kuharapkan. "T-TENTU SAJA TIDAK! Ka-karena barangmu itu yang terus menyentuh ereksiku makanya jadi begini!" Aku berbohong. Apa? Biasanya aku pembohong yang handal... sekarang kenapa aku terbata-bata?

"Bohong."

"Apa maumu, hah?" Karena tahu tidak bisa berbohong, aku menantangnya.

"Aku... juga gay."

Mendengar pernyataan tersebut, kedua mataku membelalak kaget dan dapat melihat wajah Matt yang merah dengan jelas. Kedua mata bocah yang dilapisi goggles itu menatap mataku tajam. Tanpa disadari, kami berdua menutup mata dan bibir kami bertemu.

4. Seeking Solace
Ciuman yang hangat, lembut dan tidak memaksa, namun manis. Kedua tanganku bergerak untuk memegang bagian belakang kepala Matt dan membawanya lebih dekat lagi, mengubah ciuman manis itu menjadi ciuman yang sangat liar.

Aku membiarkan Matt menjelajahi seisi mulutku menggunakan lidahnya yang handal. Terkadang, ia menghisap bibirku dan aku mengerang. Hingga aku tidak tahan lagi dan membalikkan posisi dimana aku berada di atas tubuhnya.

Tanpa pikir panjang, aku mengangkat baju stripes putih hitam yang dikenakannya, mengekspos tubuhnya yang agak berotot dan mulus.

"H-hey..." Wajah Matt makin memerah. Melihat reaksi yang menarik itu, aku tersenyum dan mulai melepas ikat pinggang hitam miliknya, mendaratkan bibirku ke lehernya yang mulus. Matt mengangkat kepalanya, memberikan keleluasaan untuk memonopoli daerah tersebut. Ia memeluk kepalaku, membawanya lebih dalam lagi.

Aku meninggalkan bekas gigitan di daerah tertentu, daerah yang dapat membuatnya meneriakan namaku.

"Mello..." Ia berbisik sambil bernapas dengan berat, memeluk tubuhku dengan erat, seakan tidak mau berpisah sedetikpun.

5. Dark
'SHIT SHIT SHIT! Apa yang telah kulakukan tadi?' Sambil menutup wajahku dengan selimut, aku terus mengingat kejadian tersebut. Aku menoleh kebelakang, Matt ada di ranjangnya, tak berpakaian dibawah selimut, tertidur. Lalu aku berjalan turun dari kasur dan keluar dari kamar.

Aku menggigit coklat susu batangan di tanganku sambil duduk di lapangan belakang, menatap matahari yang sedang turun, mengagumi langit yang berwarna jingga.

'Apa tadi itu memang hal yang pantas?'

Beribu macam perasaan bercampur aduk menjadi satu ketika kuingat apa yang telah kulakukan siang tadi. Melihat Matt mengerang dan memohon membuat bulu kudukku berdiri. Melihat bagian-bagian tubuh Matt yang sepertinya belum pernah terjamah oleh siapapun sebelumnya memang sangat membuatku merasa spesial.

Tapi aku baru mengenalnya selama satu minggu.

Dan aku tidak cukup yakin bahwa hubungan kami akan diakui oleh orang-orang di Wammy's. Mungkin banyak dari mereka yang akan mengangkat satu alis dan memandang kami aneh.

"Mello." Suara lembut itu menghancurkan konsentrasiku.

"Mau apa kau, Near?"

"Roger memanggil kita." Ia berkata singkat dan mendahuluiku. Beberapa menit kemudian, kami tiba di kantor Roger dan si kakek itu terlihat sangat down.

"L is dead."

6. Break Away
Aku berlari pergi dari kantor Roger dan memasuki kamarku. Matt sudah tidak ada disana. Aku menarik napas dan mulai mengepak pakaian dan segala hal yang kubutuhkan.

Keraguan melintas dipikiranku.

'Apa aku harus memberitahu kepergianku kepada Matt?'

Beberapa detik kemudian, aku menghela napas dan melanjutkan mengepak barang. Meninggalkan dia di Wammy's adalah pilihan yang paling aman. Ini untuk kebaikannya sendiri.

Dengan itu, aku mengangkat ransel dan berjalan keluar kamar, keluar gerbang, keluar Wammy's House.

7. Dream
Aku memandang gedung tinggi yang dibangun untuk menyelidiki kasus Kira. Sekaligus dimana L yang kuhormati telah jatuh. Disekelilingku ada banyak sekali orang yang tengah berjalan.

Aku menundukkan kepalaku, tidak tahu kemana aku harus pergi dan yang pasti, aku harus benar-benar berhemat karena aku hanya membawa 5,000 Yen di saku.

Setitik rasa bersalah hinggap di otakku. Bayang-bayang wajah Matt ada terus menyangkut di kepalaku.

Aku duduk di depan sebuah toko yang kumuh dan telah bobrok. Kedua mataku terus memandang ke arah langit. Tiba-tiba, bayangan itu dihalangi oleh sesuatu...

Bukan. Seseorang.

8. Innocence
Orang itu terlihat mengerikan dan badannya tegap. Ia mempunyai pistol di saku kanannya.

"Hey, kau. Kalau tidak mau terbunuh, serahkan uangmu."

Aku terdiam dan memelototinya.

"L-lihat apa kau?" Ia bertanya garang namun ragu-ragu sambil menodongkan pistolnya ke dahiku. Aku tersenyum, menendang pistol itu keras, mengirim benda hitam itu ke atas dan jatuh ketanganku.

"Maaf, aku tidak bisa mendengarmu." Aku mengarahkan revolver itu ke dahinya. "Bisa kau ulangi lagi?"

Click.

Aku melihat ke sekelilingku. Beberapa gang miliknya telah mengepung dan mengarahkan pistol mereka masing-masing ke arahku. Jepang memang gila.

"Siapa kalian?" Aku bertanya singkat.

"Kau tidak tahu?" Seseorang dengan kepala yang 'mulus' muncul dihadapanku. "Kami ini mafia."

9. Drive
Tanpa aku ketahui, ternyata aku berhadapan dengan se-grup mafia. Setelah melihat potensiku dalam hal bertarung dan mendengar penjelasanku tentang darimana aku berasal, mereka sepakat untuk membawaku ke mafia hideout.

Well. Setidaknya aku dapat tempat untuk tidur.

10. Breathe Again
Aku duduk di kamar baruku. Memang tidak sebagus kamar di Wammy's...

Ternyata mafia-mafia itu tidak seburuk yang aku bayangkan. Rodd mengenalkanku dengan seluruh anggota. Dan pastinya, aku yang paling muda di antara mereka. Selama beberapa jam, mereka mengajarkanku cara mengendalikan pistol dan tempat yang tepat untuk menyembunyikan benda tersebut.

Tidak buruk. Aku rasa aku belajar dengan cepat.

Mereka menjelaskan, alasan satu-satunya aku dibawa ke tempat itu adalah untuk menyelamatkan mereka dari teror Kira. Satu dari mereka mengetahui tempat yang bernama 'Wammy's House' dan, ketika ia mendengar bahwa aku adalah juara ke dua di tempat tersebut, mereka langsung menyetujui kehadiranku.

Otakku memang bisa jadi praktis juga, rupanya.

TBC

Yaa ya... saya kembali, kawan-kawan =A=. Maaf kalo ficnya agak aneh...