Halo… author sampah dateng lagi. :D

FMA bukan punya saya, tapi unya Arakawa-sensei :D

-apple pie and bedtime story-

cklek.

'papa.' elysia berkata sembari tersenyum pada sosok yang membelakangi pintu. Seseorang yang tak lain adalah ayahnya, Maes Hughes.

'hei, malaikat kecilku. Kenapa kau belum tidur?' ia berkata, berjalan ke arah putri kecilnya.

'aku menunggu papa pulang. Tadi aku dan mama membuat apple pie lho. Papa harus coba.' Gracia tersenyum.

'biar papa coba, hmm, kau tahu? Ini adalah apple pie terlezat yang pernah papa makan.'

'besok akan kubuatkan lagi pa.' jawab Elysia.

'nah, tapi sekarang waktunya malaikat kecil papa untuk tidur. Papa akan menceritakan sebuah dongeng untukmu.'

Elysia's bedroom.

'...dan semua orang hidup bahagia untuk selama-lamanya.'

'pa, besok ceritakan aku dongeng lagi ya.'

Maes hanya tersenyum. Ia menaikkan selimut Elysia hingga menutupi lehernya. Ia beranjak menuju ke pintu.

'selamat tidur malaikatku.'

Saat itu adalah saat terakhir ia melihat ayahnya. Ya, siapa yang tahu bahwa saat itu adalah saat terakhir kita melihat seseorang? Tidak ada yang tahu, seorangpun, termasuk Elysia.

'selamat tidur papa.'

-Last Annoying Call-

setengah. Setengah botol sudah ia tenggak. Roy menghela nafas. Ia menatap jendela kemudian menutup matanya yang memang sudah terasa agak berat.

East City, Roy Mustang's Office, around 10.00 am.

Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Kurang dari sedetik kemudian, telepon pun berbunyi.

'Apa, Hughes?'

'Hey, Roy. Sudahkah aku menceritakan kegiatan Elysia pagi ini?'

'Belum. Dan kau tidak perlu men-'

'Kau harusnya melihat bagaimana ia-'

'Hughes.'

'heh? Apa? Aku belum sel-'

'aku.'

'ya?'

'tidak. Mau.'

'apa?'

'mendengar. Cerita-'

'baiklah. Baiklah. Sebenarnya ada hal penting yang ingin kusampaikan.'

'apa?'

'bergegaslah Roy.' Roy mengerutkan alis.

'untuk mencari istr-'

PRAK. Telepon pun dibanting.

Roy membuka matanya. Lalu ia menutup matanya sekali lagi.

'Apa, Hughes?'

'Militer dalam bahaya.'

'apa maksudmu?'

'...' suara tembakan menjadi jawaban.

'Hughes? Jawab aku!'

Sekali lagi. 'Hughes!'

Mata hitam legam itu kembali terbuka. Kini bukan lagi telepon yang ia hadapi. Melainkan sebotol Whiskey yang sudah lebih dari setengah ia tenggak. Bukan telepon.

Bukan.

Bagaimanapun juga, suara letusan pistol itu tetap terdengar. Begitu juga kesunyian yang datang setelahnya. Lagi. Lagi. Berulang-ulang bagaikan sebuah rekaman.

'Harusnya aku mendengarkan ceritanya saat itu.' senyum pahit menghiasi wajahnya.

Semua tak akan sama lagi setelah ini baginya. Tak akan pernah.

Tak akan.


terimakasih udah baca... :D