Suara nyanyian burung sudah menggema di seluruh penjuru kota Seoul, namun suara merdu para burung itu masih belum bisa membangunkan sesosok manusia yang masih bergelung malas dibawah selimut abunya yang tebal itu.
Suara ketukan pintu pun tak kunjung membangunkan orang yang berada di dalam selimut itu.
"Haechan, bangun, nak, sudah pagi." Ada pergerakan, namun pergerakan itu kembali sirna seiring dengan deru nafas yang kembali teratur. Ya, dirinya tertidur lagi.
"Sayang, bangun." Jemari itu bergerak meraba selimut tebal yang menggulung badannya itu, namun gerakan itu kembali melambat. Oh ayolah, ia masih butuh tidur.
"Haechan, sudah jam berapa ini? Ayo bangun, ini hari pertamamu sekolah di sekolah barumu." Mata itu langsung membuka dengan sempurna. Ia menolehkan kepalanya menuju nakas kecil yang berada di samping tidurnya. Matanya makin membulat saat melihat jam weker nya itu menunjukkan pukul 07:35. Dengan buru-buru, Haechan langsung lompat dari kasur, menyambar handuknya dan langsung menutup pintu kamar mandi dengan kencang hingga menimbulkan bunyi debumman yang cukup keras.
...
Haechan memakai sepatunya dengan terburu. Jarak rumah dengan sekolahnya itu cukup jauh, dan bangun jam segini bisa saja membuatnya telat jika dia tak buru-buru.
"Umma, appa, aku berangkat, annyeong." Haechan membungkuk hormat kepada kedua orangtuanya sebelum keluar dari gerbang rumah. Dengan langkah terburu, Haechan menutup pintu pagar rumah dengan asal dan langsung berjalan cepat menuju halte bis.
Sebenarnya Haechan sudah di tawari untuk di antar oleh sang ayah, namun saat mengingat arah sekolahnya yang berbeda dengan arah kantor sang ayah, jadilah Haechan memilih untuk menaiki transportasi umum. Langkah terburunya itu terhenti saat dirinya bertabrakan dengan seorang pemuda yang berbeda satu tahun dengannya.
"Hei! Kalo jalan itu pakai mata dong!" Mata tajam itu menatap manik cokelat Haechan dengan penuh kekesalan, namun entah kapan dan kenapa, tatapan itu berubah menjadi kalem saat menatap manik cokelat Haechan.
Haechan yang memang sedang tidak dalam mood yang bagus untuk di ajak bertengkar, langsung membungkukkan badannya meminta maaf. Mulutnya terasa kaku untuk mengucapkan kata maaf.
"Ck! Memang ya, manusia itu paling susah kalau sudah urusan untuk meminta maaf." Haechan langsung mengangkat kepalanya dan menatap pemuda di hadapannya dengan penuh kekesalan. Tolong, ini masih pagi dan dirinya ingin buru-buru sampai sekolah. Ia tak mau di cap anak baru yang telat di hari pertama sekolah. Ia tak mau. Sangat tidak mau.
"Yasudah maaf, kalau begitu minggir." Haechan melangkahkan kakinya melewati pemuda yang tadi tak sengaja di tabraknya. Ia ingin cepat. Masa bodoh dengan tatapan yang di layangkan oleh pemuda itu, toh dirinya juga tak sepenuhnya salah.
Iya dirinya tak sepenuhnya salah, Haechan sedang terburu-buru, tiba-tiba saja ia muncul dari sebuah pagar rumah dengan matanya yang terarah pada ponsel pintarnya. Jadi benar kan kalau ini semua bukan salah Haechan sepenuhnya?
Haechan langsung menaiki bus yang menuju ke sekolah barunya. Ya, sekolah baru. Haechan pindah ke Seoul sabtu kemarin karena ayahnya harus mengurusi proyek barunya di Seoul.
Alasan mengapa ia ikut pindah adalah dirinya tak ingin ayahnya repot pulang-pergi Seoul-Jeju jadilah ia ikut saja dan dirinya juga harus rela kembali pindah sekolah dan hari ini ia sudah masuk sekolah. Sebenarnya Haechan sudah sering yang namanya pindah sekolah, dan ia terbiasa dengan itu. Tapi entah, hari ini ia merasa seperti orang yang baru pertama kali pindah sekolah.
Haechan langsung duduk di bangku paling belakang karena kebetulan bangku paling depan dan tengah sudah ramai dengan orang-orang yang berangkat kerja dan berangkat sekolah, dan tak lupa juga, dirinya mengeluarkan earphone dan memasangkannya di telinganya. Haechan mengeluarkan ponselnya kemudian menyetel lagu untuk memperbaiki moodnya yang agak rusak.
Haechan mengedarkan pandangannya ke arah kanannya. Melihat pemandangan kota Seoul yang mulai sibuk dengan segala rutinitas perkotaan. Duduk di pinggir jendela enak juga rupanya. Pandangan Haechan terhenti saat melihat motor sport berwarna hitam yang berhenti tepat di sebelah bis yang di tumpanginya. Dengan rasa penasaran, Haechan memajukan kepalanya guna mengintip siapa yang mengendarai sepeda motor mahal itu.
Kedua manik cokelat itu membulat sempurna saat matanya malah bertemu kembali dengan mata pemuda yang mengendarai motor sport itu. Haechan langsung membenarkan posisi duduknya -guna mengamankan dirinya- saat mata itu makin menatapnya dengan lekat.
...
Mark memarkirkan motor sportnya di deretan motor sport para siswa lainnya. Ia menaruh helm hitamnya, mengambil kunci motornya dan langsung bergegas menuju kelas. Untung saja ia tak telat hari ini, jadi ia masih bisa tidur dulu di kelas sampai bel masuk berbunyi. Entah dapat dorongan apa, Mark menoleh kearah pagar sekolah yang berada di samping kanannya. Mata hitamnya itu menatap lekat pemuda tadi yang menabraknya. Senyumnya mengembang dan hal itu membuat riuh para murid perempuan yang melihat senyuman itu. Mark memberhentikan langkahnya, matanya masih menatap pemuda bersurai hitam itu dengan lekat -tanpa di ketahui oleh pemuda itu tentunya. Saat pemuda itu semakin mendekat, senyumnya semakin terlihat dan hal itu makin membuat riuh para murid perempuan. Tak apa di jadikan bahan tontonan pagi-pagi, ia hanya ingin melihat wajah pemuda yang tadi menabraknya.
Bukan melangkahkan kakinya menuju kelas, Mark malah melangkahkan kakinya mendekati pemuda bersurai hitam itu. Mark terus berjalan mendekat, hingga...
"Hoi! Mau sampai kapan terus disini?" Mark menerjapkan matanya terkejut. Acara menghampiri pemuda tadi menjadi gagal total karena pemuda berdarah Jepang di sebelahnya.
"Jangan suka bikin kaget, hyung." Jawab Mark ketus.
"Memangnya kenapa sih?" Pemuda yang memakai name tag 'Nakamoto Yuta' itu mengikuti arah pandang Mark tadi. Mark yang mengetahui arah padang kakak kelasnya itu langsung merangkul pundak Yuta dan menarik pemuda Jepang itu dari tempatnya tadi.
"Tidak ada apa-apa." Mark mempercepat langkahnya dan dirinya sama sekali tidak menanggapi pukulan Yuta pada lengan dan bahu kanannya.
...
Mark melipat tangannya di atas meja dan menaruh kepalanya tepat di atas tangannya. Ia memejamkan matanya. Ya dirinya masih butuh tidur, dan bel masih 5 menit lagi, jadilah ia gunakan ini untuk tidur saja. Baru saja Mark mencapai alam mimpi, tiba-tiba saja Yeri -teman sekelasnya- berteriak dengan nyaring.
"Kelas kita akan ada anak baru!" dan selanjutnya teriakan riuh terdengar.
"Laki-laki atau perempuan, Yer?" selanjutnya teriakan dari Binnie terdengar.
"Katanya sih laki-laki." Kali ini Mark langsung mengangkat kepalanya dan menatap papan tulis dengan nyalang. Bisakah mereka semua tenang sebentar saja? Mark tidak bersuara sama sekali, namun pergerakannya tadi berhasil membuat suasana kelas menjadi sunyi dalam sekejap.
Mark kembali meletakkan kepalanya ke atas meja, namun saat ia ingin memejamkan matanya, suara dering bel terdengar dengan nyaring.
"Duduk-duduk!" Arahan Dino -ketua kelas berkacamata itu- membuat para murid langsung duduk di tempat masing-masing. Mark mengangkat kepalanya dan menatap sekelilingnya dengan cermat. Ia duduk di bangku barisan paling ujung dan urutan ketiga dari depan. Mark memilih duduk disini karena sejajar dengan meja guru dan tempat ini juga di klaim tempat paling sejuk di kelas.
Mark menopang dagunya menggunakan punggung tangannya. Sudah bel namun kenapa guru tidak ada yang masuk? Biasanya saat bel berdering, guru langsung masuk kedalam kelas. Suasana kelas menjadi ramai lagi, dan kesempatan itu di pakai oleh Yeri dan Binnie untuk menggosip. Mark yang merasa terganggu akhirnua menoleh ke belakang dan mendesis pelan kearah Yeri dan Binnie. Semuanya langsung diam saat Kang Ssaem masuk kedalam kelas, tapi hal itu tak berlangsung lama setelah seorang murid laki-laki memasuki kelas.
"Beri salam." Arahan Dino.
"Annyeonghasseo." Salam semua anak-anak di kelas -kecuali Mark- kepada guru paling killer di sekolah.
"Pagi, anak-anak, kalian kedatangan murid baru." Semua anak-anak langsung riuh saat melihat siapa anak murid baru itu.
Mark menolehkan kepalanya dan matanya membulat saat melihat pemuda yang tadi menabraknya itu berdiri di depan? Jadi anak barunya itu dia?
"Perkenalkan dirimu." Pemuda bersurai hitam itu mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berujar.
"Annyeonghasseo, Lee Haechan imnida." Haechan tersenyum dan kalauBOLEH jujur, Mark menyukai senyum itu.
...
Haechan mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kelas, dan matanya itu kembali bertemu dengan manik hitam itu lagi. Rasa kesal tiba-tiba saja menyeruak keluar dari dalam dirinya. Senyumnya masih ia pertahankan walau senyumnya itu menyiratkan perasaan kesal yang sangat ketara untuk pemuda yang tengah menatapnya lekat.
"Kamu duduk di sebelah sana." Kang Ssaem menunjuk bangku kosong yang tepat di sebelah pemuda yang memberikan kesan menyebalkan saat pertama kali bertemu itu. Haechan langsung menoleh kearah gurunya dan tersenyum. Biarlah hatinya yang memaki-maki semua kejadian hari ini. Tanpa buang-buang waktu, Haechan langsung melangkahkan kakinya menuju tempat yang sudah di tentukan oleh gurunya itu.
Haechan tersenyum kearah pemuda yang tadi menatapnya dengan lekat, namun senyumnya itu tak berlangsung lama saat pemuda yang menatapnya tadi itu bukan membalas senyumnya melainkan membuang mukanya kearah jendela di sebelah kirinya.
Haechan mendengus pelan dan langsung meletakkan tasnya di atas meja dan duduk tepat di sebelah pemuda yang masih mengalihkan pandangannya. Haechan mengeluarkan buku tulis dan tempat pensilnya. Keningnya mengerut saat ekor matanya sama sekali tidak melihat pergerakan dari teman sebangkunya.
"Kau tidak bawa buku?"
"..."
Tidak ada jawaban sama sekali. Haechan menghela napas kemudian menatap ke depan -lebih tepatnya kearah papan tulis- memperhatikan Kang Ssaem yang tengah menjelaskan materi.
Ekor matanya kembali melirik kearah sebelahnya, namun tetap saja tidak ada pergerakan. Haechan menundukkan kepalanya, kemudian menoleh ke arah kirinya.
"Belajar, bukan bengong." Tegur Haechan secara halus, namun hanya di tanggapi dengan dehaman ringan oleh teman sebangkunya.
Haechan masih tetap pada posisinya. Matanya masih menatap teman sebangkunya dari atas meja. Tanpa ia sadari, senyuman terulas di wajah manisnya.
...
Mark mencuri pandang kearah Haechan yang sedari tadi menatapnya. Senyuman tipis terukir di wajah tampannya itu. Mark kembali mengalihkan pandangannya saat ia ketahuan mencuri pandang pemuda di hadapannya ini.
"Ayo belajar." Mark hanya menanggapinya dengan dehaman -lagi. Sedari tadi bocah di depannya ini selalu mengajaknya untuk belajar, namun dirinya sendiri saja sedang dalam posisi yang bisa di katakan bukan posisi belajar.
Mark mengulurkan tangannya, kemudian menangkup pipi yang berisi itu, lalu memutar kepala Haechan menghadap ke papan tulis.
"Kau menyuruhku untuk belajar, tapi sedaritadi kau hanya memperhatikanku saja, memangnya aku ini papan tulis?" Mark menoyor kepala Haechan dan hal itu berhasil membuat Haechan mendengus sebal. Haechan mengusap-usap pipinya -yang tadi di tangkup oleh Mark- dengan kasar.
"Yasudah, kalau begitu kita belajar bersama." Haechan menarik tas Mark dan membuka retsleting tasnya. Mata Haechan membulat saat ia hanya melihat 2 buku tulis dan satu binder di dalam tas berwarna hitam itu.
"Biasa saja kali." Mark menarik tasnya dari tangan Haechan dan kembali menaruhnya ketempat semula. Berani sekali bocah di sampingnya ini membuka tasnya.
"Kau ini niat sekolah atau tidak sih?" protes Haechan setelah melihat apa isi tas dari Mark. Pertanyaan Haechan sukses membuat sang ketua kelas yang duduk di depan mereka, menoleh kearah mereka berdua.
"Kalian bisa tidak diam sedikit saja? Kita sedang belajar, dan Mark, keluarkan bukumu." Titah Dino. Mark yang sudah biasa di peringati seperti itu hanya kalem saja menanggapinya, sedangkan Haechan, dirinya langsung diam dan kembali memperhatikan Kang Ssaem menjelaskan pelajaran.
Mark menarik tasnya kemudian mengeluarkan salah satu buku tulis. Ia terus merogoh isi tasnya, namun dirinya sama sekali tak menemukan pulpennya berada di dalam sana. Mata elang itu seketika berbinar saat melihat isi tempat pensil teman baru sekaligus teman sebangkunya itu terlihat rapih dan lengkap. Diam-diam Mark meraih salah satu pulpen dan memakainya.
"Lain kali kalau mau pinjam, izin dulu sama yang punya." Mark mengepalkan tangannya yang memegang pulpen teman sebangkunya itu. Kenapa dirinya merasa bahwa setiap pergerakannya itu selalu di awasi secara tidak langsung dengan pemuda di sampingnya ini?
"Ini aku kembalikan." Mark menaruh pulpen itu dengan kasar. Haechan meletakkan pulpen yang di pegangnya, kemudian mengelus dadanya dengan sabar. Sepertinya Haechan memang benar-benar harus sabar jika sudah berurusan dengan Mark, pemuda tampan yang di cap manusia yang paling menyebalkan oleh Haechan.
"Kalau kau mau pinjam, silahkan, tapi izin dulu." Haechan menunjuk pemuda di sampingnya dengan jari telunjuknya. Mark menganggukkan kepalanya paham.
"Ya, kalau begitu aku pinjam sampai pulang sekolah."
"Tak usah, itu buatmu saja." Jawab Haechan singkat. Dirinya tak mau menjawab apa-apa lagi, yang ada pertengkaran kecil ini tak akan berhenti. Haechan kembali fokus pada kegiatan mencatat apa yang di jelaskan oleh Kang Ssaem.
"Oke lah." Mark membuka buku tulisnya kemudian mengikuti Haechan -mencatat apa yang di jelaskan oleh Kang ssaem. Sesekali ekor matanya melirik Haechan yang sangat teliti mendengarkan dan memperhatikan guru matematikanya di depan.
"Memang, ya, manusia itu paling susah kalau sudah urusan untuk berterimakasih." Mark mengernyit kaget, kemudian menolehkan kepalanya kearah bocah di sampingnya. Dia menyindir Mark? Dengan kalimat yang hampir mirip dengan Mark menyindirnya tadi pagi.
"Oke, terimakasih, Lee Haechan." Mark menekankan kalimat terimakasih pada nada bicaranya dan hal itu membuat Haechan menyeringai senang.
...
Haechan merenggangkan otot-otot tangannya. Bel istirahat sudah daritadi berbunyi dan teman sebangkunya juga belum keluar dari kelas. Sejujurnya, Haechan ingin bertanya dimana letak kantin, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat manik hitam itu fokus pada ponsel pintarnya dengan senyuman yang mengembang.
"Mau sampai kapan kau memperhatikanku seperti itu?" Mark mengintrupsi kegiatan Haechan yang memperhatikannya sedari tadi tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel pintarnya.
"Siapa yang memperhatikanmu? Jangan terlalu percaya diri." Haechan mengalihkan pandangannya -menyembunyikan fakta kalau memang sedaritadi dirinya sedang memperhatikan teman sebangkunya itu.
Tidak ada jawaban dari Mark, melainkan pemuda itu langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu kelas. Mark menoleh kearah Haechan yang masih setia duduk di bangku barunya itu.
"Mau ke kantin tidak?" Haechan menolehkan kepalanya kearah pintu kelas dan tersenyum senang. Sepertinya Mark peka terhadap tatapannya tadi. Beruntung sekali dirinya memiliki teman sebangku yang mengerti dirinya.
Haechan langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menyusul Mark yang telah lebih dulu keluar kelas menuju kantin. Selama berjalan di koridor, Haechan menyadari bahwa dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan oleh murid-murid yang lalu lalang sepanjang koridor. Dirinya terus saja membuntuti langkah Mark hingga akhirnya mereka berbelok menuju kantin.
Mark menyodorkan tray makanan kepada Haechan dan langsung di sambut baik oleh Haechan. Mark terlebih dahulu keluar dari antrean dan mungkin ia sudah duduk di salah satu bangku sekarang. Haechan mengangkat tray makanannya yang sudah terisi makanan menuju meja yang kosong. Bukan meja yang di dapatkannya, melainkan tatapan para siswi yang di dapatkan olehnya. Apa ada yang salah dari dirinya? Apa ada yang salah dengan penampilannya? Kok kenapa semua orang menatapnya dengan penuh tanda tanya dan tatapan tidak suka? Masa bodohlah, perutnya sudah lapar, jadi ia harus mencari tempat.
Haechan melangkahkan kakinya saat matanya melihat sosok Mark yang tengah berjalan menuju salah satu meja. Namun langkahnya terhenti saat melihat Mark duduk di meja yang sudah ramai. Semua pemuda yang berada di dekat Mark menoleh kearahnya. Haechan mengerutkan keningnya, sepertinya ia mengerti maksud tatapan itu. Dirinya sudah di usir sebelum hadir disana.
Dengan ragu, Haechan memutar langkahnya mencari tempat yang kosong, sepertinya nihil, keadaan kantin masih ramai. Dirinya hampir menyerah sebelum mata sayunya itu melihat lambaian tangan seorang pemuda yang tengah makan bersama dengan ketiga temannya. Haechan melihat ke kanan dan ke kiri, namun dirinya tak melihat siapa-siapa, berarti dirinya yang di panggil. Dengan agak ragu, Haechan melangkahkan kakinya mendekati pemuda tadi yang melambaikan tangan kearahnya. Haechan tersenyum saat ia merasa bahwa anak-anak di hadapannya ini adalah anak baik-baik.
"Kau anak baru, ya?" Haechan menganggukkan kepalanya dan tersenyum kaku.
"Gabung dengan kita sini." Haechan menanggukkan kepalanya perlahan, kemudian menaruh tray makanannya dan duduk di sebelah pemuda bersurai karamel tersebut.
Haechan tersenyum canggung dan hal itu malah mengundang gelak tawa kelima orang di sekitarnya. Entah mengapa, perasaan Haechan tidak menentu, apa dirinya disini akan jadi bahan bullyan?
"Tak usah canggung sama kita, kita bukan komplotan yang seperti mereka." Pemuda bergingsul itu menunjuk gerombolan yang letaknya tak begitu jauh dari meja mereka. Haechan yang mengikuti arah tunjukkan sumpit itu terdiam. Matanya tertuju kearah Mark yang sedang tertawa puas, entah mentertawakan apa.
"Perkenalkan namaku Na Jaemin, panggil saja Jaemin." Pemuda yang berada di samping Haechan mengulurkan tangannya dan Haechan menyambutnya dengan senang.
"Lee Haechan, panggil saja Haechan." Haechan tersenyum tulus. Akhirnya ia mempunyai teman juga disini.
"Ini Renjun." Jaemin menunjuk pemuda bergingsul yang tepat berada di hadapan Haechan. "Ini Chenle." Jaemin menunjuk pemuda yang berada tepat di samping Renjun. "Dan ini Jeno." Jaemin menunjuk pemuda berwajah kalem yang tepat di hadapan Jaemin.
"Haechan." Dirinya menyebutkan panggilannya dengan percaya diri. Kalau Haechan lihat sendiri, mereka ini adalah anak-anak baik.
Haechan kembali fokus pada makanan di depannya dan memakannya hingga habis. Sesekali ia ikut tertawa ringan dengan apa yang di bicarakan oleh teman-teman barunya. Ekor matanya mencuri pandang kearah Mark yang tengah mengobrolkan sesuatu. Senyumnya terulas walau tipis.
"Oh iya, kau di kelas mana, Chan?" Haechan menaruh sendok makannya, kemudian menegak minumnya sebelum menjawab.
"10-2." Jaemin melongo saat tahu kelas Haechan.
"Pantas saja tadi kau datang bersama dengan anak itu." Renjun angkat bicara. Haechan mengerutkan keningnya tak paham dengan arah pembicaraan teman-temannya itu. Datang bersama dengan anak itu? Bersama dengan Mark maksudnya?
"Dengan Mark?" tebak Haechan, dan dirinya langsung mendapat anggukkan sebagai jawaban.
"Sebaiknya kau jauhi dia." Jeno mengingatkan. Haechan makin mengerutkan keningnya tak paham. Memang sih tadi saat berangkat sekolah dirinya sempat dibuat kesal dengan pemuda itu, dan tadi di kelas, dirinya juga sempat di buat kesal pemuda yang menjadi teman sebangkunya itu.
"Memangnya kenapa?" Haechan menatap keempat temannya itu dengan bingung. Ia butuh penjelasan.
"Mark itu siswa populer di sekolah. Mungkin karena kalian pertama kali bertemu, kau masih menyimpulkan bahwa dirinya baik terhadapmu, namun kau harus menghindarinya dari sekarang, sebelum kau menjadi bahan bullyannya." Haechan terdiam. Dari awal memang dirinya mempunyai firasat tidak baik terhadap Mark. Pantas saja saat tadi ke kantin, dirinya menjadi bahan pembicaraan murid-murid yang lalu lalang, dan dirinya menjadi bahan tontonan saat Mark dan dirinya mengantre untuk mengambil makan.
"Pokoknya kau harus menjauhi dirinya dari sekarang sebelum terlambat." Haechan menganggukkan kepalanya. Sepertinya teman-temannya ini memang jujur soal Mark, dan sepertinya dirinya juga harus mempercayai perkataan teman-temannya ini.
...
Mark mengetuk-ngetuk mejanya menggunakan jari-jari panjangnya. Ia meletakkan kepalanya tepat diatas lipatan tangannya. Pelajaran Sejarah sedikit membuatnya mengantuk, namun entah mengapa, melihat Haechan yang tengah serius, dirinya sama sekali tidak bisa tidur. Mark menghentikan kegiatannya saat tangan Haechan menggenggam tangannya dengan erat.
"Bisa kan tidak usah berisik?" Mark menggeleng dengen cepat kemudian memamerkan senyum bodohnya. Haechan yang melihat itu menutup wajah Mark menggunakan telapak tangam kanannya. Sekelebat ide jahil, terlintas di otak pintar Mark. Dirinya membuka mulut dengan perlahan, kemudian menggigit telapak tangan Haechan cukup kencang.
"YAK! MARK! JANGAN DI GIGIT! SAKIT, BODOH!" Haechan berteriak, kemudian menarik telapak tangannya yang di gigit oleh Mark tadi. Mark langsung mengangkat kepalanya dari atas meja saat dirinya menyadari bahwa seluruh warga kelas melayangkan tatapan penuh tanya kearah mereka berdua. Mark langsung merangkul pundak Haechan, dan menarik kepala bocah itu kehadapan meja.
"Mark! Haechan! Keluar kalian dari kelas saya!" Bae Ssaem menunjuk kearah Haechan dan Mark yang telah mengacaukan suasana belajar kali ini. Haechan langsung menyingkirkan tangan Mark dan mengangkat kepalanya. Haechan melayangkan tatapan dengan penuh kekesalan kearah pemuda di sampingnya, namun hanya di balas dengan endikkan bahu dari Mark.
Mark langsung berdiri dan melangkahkan kakinya menuju keluar kelas tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun dan hal itu berbeda dengan Haechan. Pemuda bersurai hitam itu melangkahkan kakinya gontai di ikuti oleh Bae Ssaem di belakangnya.
"Sekarang kalian ke lapangan dan hormat bendera sampai jam pelajaran saya selesai." Titah Bae Ssaem. Haechan yang mendengar itu langsung memamerkan wajah melasnya, berbeda dengan Mark yang langsung melangkahkan kakinya santai menuju lapangan.
Mark memberhentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang -lebih tepatnya ke arah Haechan yang tengah berjalan menghampirinya. Wajah memelas itu sudah berganti menjadi sebal saat manik cokelat itu bertemu dengan manik hitam milik Mark. Haechan mensejajarkan tubuhnya tepat di hadapan Mark.
"Kau! Kenapa kau hobi sekali membuat masalah? Dan ingat! Hari pertamaku di sekolah baruku menjadi hancur dan itu karna KAU!" Haechan mengacungkan telunjuknya tepat di hadapan wajah Mark. Mark memundurkan kepalanya saat telunjuk itu hanya berjarak beberapa centi dari wajah tampannya itu.
Mark terkekeh pelan saat Haechan menghentakkan kakinya sebal menuju lapangan sekolah. Merasa di tertawakan, Haechan langsung menoleh kearah Mark dan menatap pemuda itu dengan datar. Mark yang di tatap seperti itu hanya memainkan kedua alisnya dan hal itu sukses membuat Haechan mendengus cukup kencang.
Mark mengamati punggung yang semakin menjauh dari hadapannya itu dengan cermat. Entah mengapa, mengganggu Haechan membuat perasaannya berbeda. Senang, namun rasa suka lebih mendominasi.
Mungkin aku akan terjebak di dalam duniamu atau malah sebaliknya?, batin Mark.
Tbc
Annyeong~
New author here! Kalian bisa panggil saya, atte. FF inni sebenarnya udah di publish di wattpad degan akun chocolattescent dan sudah sampai chapt 3 di sana. Atte nyoba-nyoba aja update di sini siapa tau ada yang suka sama ffnya.
Lanjut gak? Kalau di lanjut jangan lupa reviewnya, biar cepet di lanjut di sini^^
Udah dulu ya, annyeong!
