Naruto © Kishimoto Masashi
Indigo Rose
© Haruno Aoi
Catatan
: AU, rated T – M, hyperOoC, (miss) typo, ringan pendek dan gaje—hanya sebagai pelepas stres (just for fun), sekuel My Doctor dan masih berhubungan dengan Too Damn Late

.

.

.


~o Indigo Rose o~


.

.

.

Hinata turun dari tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Sudah menjadi kebiasaannya di pagi hari berjalan ke kamar mandi dengan terkantuk-kantuk. Biasanya rasa kantuknya segera hilang jika ia menyentuh air dingin dari keran wastafel. Meski tak jarang rasa ingin tidurnya seketika lenyap tatkala ia terantuk kaki meja atau ketika badannya membentur dinding. Ia masih belum terbiasa dengan tata ruang di apartemen itu. Memang jauh berbeda dengan bilik tempat tidurnya di kediaman Hyuuga yang dilengkapi kamar mandi.

Ia terlihat lebih segar setelah membasuh mukanya. Penglihatannya makin jelas. Ia bisa menangkap bayangan dirinya pada cermin di hadapannya. Dan ia tidak hanya menemukan pantulannya sendiri, karena Sasuke yang berkimono mandi berdiri di sampingnya.

"Segarnya…," desah Hinata melihat penampilan Sasuke, yang tampaknya juga habis keramas.

"Makanya cepat mandi. Dasar pemalas. Harusnya kau bangun lebih dulu dariku, dan segera siapkan sarapan," gerutu Sasuke yang kemudian menyikat giginya. Kalau kebiasaan Hinata di pagi hari adalah bangun dari kasur masih dalam keadaan mengantuk. Sikat gigi sebelum dan sesudah sarapan adalah kebiasaan Sasuke.

Bukannya gentar dan langsung buka baju kemudian masuk shower area, Hinata malah beringsut memeluk sebelah lengan Sasuke yang menumpu pada meja wastafel.

"Tiba-tiba aku ngantuk lagi…," rengeknya manja sembari menutup mata. Senyumnya mengembang karena pria yang sudah menikahinya dua bulan lalu itu tidak melakukan penolakan.

"Kau tak bisa jadikan kantuk sebagai alasan untuk bolos kerja," desis Sasuke pelan, namun tajam.

Serta merta Hinata melepaskan lingkaran lengannya dengan sedikit kasar disertai tampang cemberut.

"Aku 'kan tidak bilang akan bolos. Selalu~ saja berprasangka buruk padaku. Huh!" Ia melengos, lalu cepat-cepat melucuti piama kuningnya yang bergambar beruang cokelat, tak peduli tatapan bengong sang suami yang berpadu dengan rasa heran lantaran mendapatinya yang mendadak hipersensitif.

.

.


.

.

Hinata yang sudah berseragam perawat, menyusul Sasuke ke dapur. Tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, Sasuke yang memasak untuk sarapan sedangkan ia berlama-lama di kamar mandi. Ya, boleh dikatakan kalau ia adalah istri manja dan kekanakan yang belum bisa memasak. Untung baginya karena tidak pernah terlintas kata cerai dalam benak Sasuke.

Agar tak selamanya ia menyandang julukan sebagai seorang istri yang tidak berbakti kepada suami, belakangan ini ia mencoba belajar memasak dari Karin yang merupakan seorang ahli gizi di rumah sakit yang sama dengan tempatnya bekerja—selain berlatih dengan ibu mertuanya yang sangat memahami selera Sasuke.

Awalnya ia mengira kalau wanita berambut merah itu adalah manusia super cuek dan judes. Setelah saling mengenal lebih jauh, ia bisa menyayangi sahabat suaminya itu layaknya kakaknya sendiri. Ternyata benar pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang, atau jangan menilai suatu buku hanya dari sampulnya. Bahkan dulu ia pernah mengira kalau wanita yang sudah bersuami dan memiliki seorang putri itu berkeinginan merebut Sasuke darinya. Sekali lagi, ia salah besar.

Sekarang ia malah merasa bahwa saingan terberatnya adalah seorang anak perempuan yang pernah menjadi pasien Sasuke—yang dulu menolak dioperasi jika tidak mendengar pernyataan kesanggupan akan dinikahi oleh pria yang kini menjadi suaminya tersebut. Terkadang ia cemas bocah itu akan menagih janji Sasuke suatu hari nanti.

Ia mengambil tempat di sebelah Sasuke yang tengah mengaduk susu. Tanpa antusias ia memandang menu makanan yang ada di meja dapur. Pagi ini Sasuke hanya membuat sandwich sebagai pendamping sup. Ia lalu menjulurkan lidah tanpa selera.

"Bawa ke meja makan," perintah Sasuke tanpa memedulikan raut kurang suka Hinata. Ia sendiri membawa dua gelas susu untuknya dan Hinata, lalu meletakkan di kedua sisi meja yang mereka hadap.

Hinata hanya menggigit roti lapisnya sekali, dan memakan supnya beberapa sendok, sebelum mengaduk isi mangkuknya dengan malas. Padahal Sasuke menilai kalau rasa masakannya tidak buruk.

Sesudah meminum separuh gelas susunya, Hinata beranjak ke kulkas. Ia mengeluarkan sebotol yoghurt, sebatang wortel, dan sepotong lobak yang setengahnya ia makan semalam. Ia pun memotong sayur itu kecil-kecil setelah mencucinya lagi, yang kemudian ia letakkan di mangkuk bersama yoghurt. Sasuke tampak menghela napas panjang saat ia membawa yoghurtnya ke meja makan.

"Habiskan sarapanmu dulu."

Hinata kembali mendorong mangkuk supnya ke tengah meja, menolak perintah Sasuke.

"Supnya tidak enak?"

"Sangat," balas Hinata tak acuh. "Hambar." Ia menghabiskan yoghurtnya tanpa melihat Sasuke lagi.

Cukup lama Sasuke terdiam dan mengabaikan sisa makan paginya. Nafsu makannya menguap entah ke mana. Padahal biasanya Hinata bersedia menyantap makanan buatannya tanpa protes. Ia pun konsisten dengan bumbu masakannya.

Ia tetap berbaik sangka. Mungkin Hinata bosan dengan rasa supnya yang tidak terlalu berbeda dari masakan berkuah lainnya yang ia buat.

"Kalau begitu, mulai nanti malam, kau yang masak," titah Sasuke yang kemudian meminum susu di gelasnya hingga tandas.

"Hooo~ tidak bisa~," tolak Hinata mentah-mentah.

Sasuke mendengus mendengar nada bicara Hinata yang teramat santai. "Bukankah kau sudah belajar memasak?"

"Maksudnya, aku tidak mau. Memasak hanya membuatku capek—"

Mendapatkan tatapan mematikan dari Sasuke, cukup membuat Hinata mengkeret. Ia juga belum berani mengeluarkan suaranya lagi. Satu menit yang berlalu dalam hening terasa sangat lama. Sasuke pun begitu tahan berdiam diri tanpa mengalihkan pandangan darinya. Ia mulai takut Sasuke marah padanya karena suaminya itu masih saja memandangnya dengan tajam. "Ma-maaf—baiklah, aku mau masak…," cicitnya seraya membalas tatapan Sasuke dengan takut-takut. "Tapi," imbuhnya, "bawakan aku indigo rose."

Sasuke mengernyit. "Mawar berwarna indigo?"

Sekarang Hinata yang malas menyahut.

"Mawar ungu?"

Hinata belum membalas. Rasa kesal tersirat di mukanya yang tampak masam.

"Mawar biru?"

Sebenarnya Sasuke benar-benar tidak tahu atau hanya berpura-pura baru mendengar nama itu? Sebagai pecinta tomat, sangat aneh jika Sasuke belum kenal apa itu yang disebut indigo rose.

"Indigo rose itu super tomato atau tomat blueberry atau tomat ungu…!"

Sasuke mengusap telinganya yang mendadak berdengung. "Telingaku masih berfungsi dengan sangat baik, Sayang…," katanya dengan suara dibuat-buat tanpa melunakkan ekspresi wajahnya yang kaku. Ia pun bisa mendongkol pada istrinya yang lebih muda tujuh tahun darinya itu. Melihat Hinata masih memberengut, ia pun mengalah, "Aku belum pernah melihatnya dijual di toko swalayan. Bagaimana kalau tomat ceri saja?"

"Aku inginnya indigo rose!" Hinata meninggalkan dapur tanpa mencuci peralatan makannya yang kotor. Ia sungguh merasa sangat kesal. Biar saja Sasuke yang mencuci semuanya sebelum mereka pergi bekerja—seperti biasanya. Ia menyambar tasnya di meja kamar tidur dan siap berangkat ke rumah sakit.

Melewati ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur dan meja makan, ia melirik sekilas Sasuke yang sedang berkutat di bak cuci dengan lengan kemeja yang disingsing.

"Kau tidak mau menungguku?"

Hinata luluh juga mendapati kesabaran Sasuke. Ia yang hampir mencapai pintu, berjalan mundur dan menjatuhkan dirinya di sofa. Meski begitu, ia masih enggan bertemu pandang dengan Sasuke, sehingga ia duduk bersandar dengan posisi miring membelakangi suaminya itu. Entah mengapa ia jadi merasakan kantuk, terlebih setelah ia memeluk bantal sofa.

Merasakan tepukan di bahunya, ia seperti dibangunkan dari tidur singkat. Ia menyimpulkan kalau Sasuke sudah siap, namun ia masih berkukuh untuk tidak melupakan keinginannya. "Indigo rose…," lirihnya tanpa bangkit dari sofa, bahkan hanya untuk menengok pada suaminya.

"Aku benar-benar baru mendengar ada tomat ungu. Memangnya di mana aku bisa mendapatkannya?"

Ia makin dongkol karena Sasuke seperti tidak mau berusaha memenuhi permintaannya. Ia membalas tatapan sepasang manik kelam itu, kemudian berkata dengan dingin, "Dasar manusia kuno."

"Apa?!"

"Uchiha Sasuke si manusia zaman baheula," ledeknya tanpa rasa takut.

Sasuke terlihat sekuat tenaga menekan kekesalannya. "Beraninya kau mengatai suamimu seperti itu," geramnya dengan gigi saling menekan. "Aku duluan," katanya kasar, "dan jangan berjalan kurang-dari-sama-dengan sepuluh kaki di belakangku."

Sasuke tahu kalau jauh darinya sudah menjadi hukuman bagi Hinata.

"Oke," sahut Hinata tanpa beban. "Berangkat sana. Hush, hush!"

.

.


.

.

Pada akhirnya Hinata sendiri yang menyesal. Ia hanya bisa memandang punggung suaminya yang berjalan jauh di depannya bersama Neji. Bahkan kakak laki-lakinya itu tidak mau membelanya kali ini.

Langkahnya terhenti di halte yang mulai ditinggalkan oleh para murid dan pekerja kantoran yang mengantre memasuki bus. Ia duduk di bangku seraya menoleh pada Sasuke dan Neji yang makin mendekati gedung rumah sakit Universitas Konoha.

"Kau pasti bingung kalau aku hilang. Kau pasti menyesal kalau aku diculik," racaunya yang sedang dalam keadaan labil. "Dasar Sasu-gay, pedofil, manusia jadul. Katanya sangat menggemari tomat, tapi baru tahu ada indigo rose. Bukankah kau cukup lama tinggal di negara yang menemukan dan membudidayakannya? Apa kau sudah jarang membaca karena aku selalu berhasil mengalihkan duniamu? Apa karena kau berpikir tak ada yang perlu dipelajari lagi selain menjadi suami yang baik untukku, Sensei?—Uuugh!" Ia yang merasa sangat gemas, menggigit tali tasnya guna meredam keinginannya untuk berteriak.

Namun, karena mengangkat lengannya itulah, ia jadi bisa melihat arloji putihnya yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Telaaat…!" Ia pun berlari sekencang yang ia bisa menuju rumah sakit. Sayangnya ia tak cukup lincah karena rok putihnya yang lumayan ketat, meski sepatunya tak berhak tinggi.

Siap-siap saja mendapatkan omelan dari kepala perawat.

.

.


.

.

Hinata membuka pintu apartemennya pelan-pelan. Lampu di dekat pintu langsung menyala secara otomatis. Agaknya Sasuke belum pulang.

Hari ini ia seperti menghindari Sasuke. Ia yang bekerja di bangsal bayi memang tak bisa sering bertemu dengan suaminya yang merupakan dokter anak. Tadi pun ia mengajak ayah dan kakaknya untuk makan siang di meja yang sama, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Ia masih canggung untuk berdua saja dengan Sasuke jika mengingat perdebatan kecil mereka tadi pagi. Baru kali ini ia merasa begitu kesal semenjak resmi menjadi istri Sasuke.

"Ngapain?"

Hinata yang tengah melepas alas kakinya, terperanjat mendengar suara Neji. Dengan kikuk ia menoleh ke belakang dan menemukan Neji melongok di pintu. Sepertinya kakaknya itu melihat tingkah anehnya sejak ia membuka pintu tadi. Lihat saja senyum geli yang ditunjukkan pria berambut panjang itu.

"Tadi aku melihat suamimu memasuki mobil Ayah," imbuh Neji tanpa menunggu jawaban Hinata. "Mereka sangat rukun, ne?"

Hinata masih bungkam. Tak tahu mengapa ia merasa tersindir dengan ucapan Neji.

"Mereka ke mana?"

Neji hanya mengedikkan bahu tanpa memudarkan senyum tipisnya. "Langsung kunci pintunya," katanya sembari menutup pintu.

"Kak."

Hinata kembali membuka pintu apartemennya. Panggilannya menahan langkah Neji di depan pintu apartemen sebelah yang hendak dibuka oleh pria itu—apartemen Neji dan keluarga kecilnya.

"A-aku—a-ah, tidak jadi." Mengabaikan kernyit penuh tanya di dahi Neji, ia menutup pintunya lagi dan langsung menguncinya.

.

.


.

.

Hinata membalut luka di dua jari tangan kirinya setelah membasuhnya dengan cairan peroksida. Biasanya kalau ia belajar memasak dari ibu mertuanya, ia tidak diperbolehkan memegang pisau. Kenyataannya ia memang tidak berbakat dalam hal memasak, terlebih jika harus mengiris-iris daging.

Namun, hasilnya cukup memuaskan. Ia berhasil memasak sup iga dengan ekstra irisan tomat untuk makan malam. Sekarang hanya tinggal menunggu Sasuke yang bahkan tidak menghubunginya untuk sekadar mengatakan hendak pulang terlambat.

Ia tepekur di meja makan dengan bertopang dagu. Mangkuk besar di tengah meja sudah tak lagi mengeluarkan uap beraroma sedap. Pandangannya memburam tanpa alasan jelas.

Mendengar debaman pintu, ia lekas menyeka air mata yang telanjur menuruni pipinya. Belum sempat ia turun dari kursi, Sasuke sudah masuk ruangan dengan menjinjing keranjang rotan bertutup.

"Okaerinasai…," sambutnya untuk memecah kecanggungan.

Sasuke hanya menggumam dan meletakkan keranjang berukuran sedang itu di meja marmer dapur.

"Kenapa Ayah tidak mampir?"

"Takutnya kemalaman. Ayah tidak mau mengemudi dalam keadaan mengantuk—tentunya kau juga mengharapkan keselamatan Ayah."

"Ya—tentu saja," sahut Hinata dengan suara pelan.

Keheningan menyelimuti keduanya, hingga Sasuke yang masih berdiri di dekat meja dapur kembali membuka mulutnya, "Aku sudah makan malam."

"O-oh…," gumam Hinata dengan kepala tertunduk. Ia memandang jemarinya di atas pangkuannya yang terbalut kain kasa, kemudian menutupinya dengan tangan lainnya. Rasanya ia akan menangis lagi, namun ia tahan sekuat tenaga.

Suara air keran menggantikan suasana sepi di antara keduanya. Hinata tidak tahu apa yang dilakukan Sasuke karena tempat duduknya membelakangi meja dapur. Sampai akhirnya sepiring tomat berwarna ungu gelap dihidangkan di meja makan.

"Aku minta bantuan Ayah untuk mendapatkannya," ungkap Sasuke yang kemudian menduduki kursinya di seberang Hinata. Dengan tenang ia mengambil sendok di sebelah mangkuk nasinya yang masih menutup dan menggunakannya untuk mencicipi sup buatan sang istri. "Sayang sekali aku sudah makan. Tidak baik 'kan kalau dipaksakan? Sebaiknya cepat makan, dan simpan sisanya untuk sarapan besok. Makan juga tomatnya."

"Dari mana Sasuke-san mendapatkannya?" Hinata mencicit tanpa berani mengangkat wajahnya karena pasti Sasuke dapat menemukan matanya yang memerah.

"Pusat Kanker Konoha. Ternyata yang membudidayakannya adalah teman-teman Ayah. Awalnya mereka bermaksud memberikannya cuma-cuma karena mengira kau sedang ngidam, tapi aku tetap membayarnya setara seribu benih." Entah mengapa Sasuke jadi banyak bicara malam ini. Belum sempat Hinata menyahut, ia menambahkan, "Aku akan tidur duluan."

Sasuke langsung beranjak dari kursinya. Jujur saja ia merasa lelah karena ia sendiri yang memetik tomat untuk Hinata, ditambah rasa capai yang ia dapatkan dari mengabdikan diri di rumah sakit selama tak kurang dari delapan jam.

Belum sampai menyentuh pintu kamar, langkahnya terhenti, diikuti sebuah tomat ungu yang menggelinding di sekitar kakinya setelah sebelumnya membentur punggungnya.

"Kenapa lagi?" tanyanya begitu ia berbalik setelah memungut tomat itu.

"Sekarang aku juga ingin punya pohonnya."

"Besok aku ke sana lagi," ujar Sasuke yang berjalan mendekat ke meja makan untuk mengembalikan tomat yang dilemparkan ke punggungnya tersebut.

"Aku 'kan bilang sekarang~," rengek Hinata. Sebenarnya ia hanya mencari alasan agar Sasuke tidak tidur mendahuluinya. Rasanya ia masih sangat merindukan Sasuke meski suaminya itu sedang bersamanya. Ia kapok telah mencoba menghindari Sasuke, karena nyatanya ia sendiri yang merasa tersiksa.

Sasuke membuang napas panjang bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh di kursi. Ia menatap Hinata dengan nyalang, dan cukup sukses untuk membuat wanita di depannya itu merasa gentar.

"Hari ini kau terus-menerus menguji kesabaranku. Sebenarnya apa tujuanmu?" Tidak mendengar balasan dari Hinata, ia melanjutkan sambil menyeringai, "Kau tahu, tomat ungu atau indigo rose adalah hasil perkawinan antara tomat merah dan blueberry. Lantas, apa yang dapat kita hasilkan?"

Wajah Hinata merona dalam sekejap. Ia kemudian berlagak sibuk dengan makan malamnya, juga tomat-tomat ungu yang siap disantap.

"Sasuke-san pasti lelah karena seharian berada di luar rumah. A-aku tidak keberatan kalau Sasuke-san tidur duluan," lirihnya tanpa memandang lawan bicaranya. Ia juga tidak sanggup melihat seringai tampan Sasuke.

"Aku juga tidak keberatan menunggumu sampai selesai," goda Sasuke. "Lagipula, aku belum mengantuk lagi."

"A-aku akan lama." Secara mendadak Hinata merasa belum siap untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. "Aku akan menghabiskan sup ini, lalu memakan semua tomat itu."

"Tidak masalah…." Sasuke masih menunjukkan senyum menggoda, membuat Hinata makin berdebar-debar. Hinata meneguk ludahnya, terlebih saat Sasuke berbisik mesra disertai kerlingan mata, "Indigo rose…."

.

.

.

Sekian
Terima kasih
Minggu, 07/10/2012