title: don't tap the white tiles

genre: friendship/angst

rating: T

.

Pandora Hearts © Jun Mochizuki

Don't Tap The White Tiles (c) Umoni Studio

.

notes: judul fanfiksi ini diambil dari game untuk Android, dengan judul yang sama.

fanfiksi ini dibuat untuk #BiweeklyPrompt4, tema fictogemino. Semoga memuaskan ya :)

.


dalam kebisingan, aku mendengar suara nyanyianmu

tawaku ini hanya akan memperjelas ketakutanku


(Elliot, jangan pergi. Kalau kau pergi—aku sendirian disini…)

.

Ia berdoa dalam hati, membisikkan harapan terbesarnya ke dalam ketiadaan.

Denting piano terdengar begitu magis, dan Leo melihat nada-nada itu berilusi seolah menggantung di udara—sebelum kemudian, sesosok anak laki-laki berambut mencuat menggeser posisinya sehingga bahu mereka kini bersentuhan; meskipun Leo merasakan bahwa hangat yang ada pada pundaknya bertemu dengan sesuatu yang sedingin es.

Elliot ada di sampingnya. Figurnya tersusun dari cahaya, dan napasnya direkatkan oleh nada.

Sang anak laki-laki mengulurkan tangannya, mengacak rambut sang pemuda berkacamata perlahan; dan tersenyum lebar.

"Kita bertemu lagi, Leo. Jangan menangis."

Tapi mata sang pelayan terlalu berkabut untuk melihat senyum itu—dan ia menggapai-gapai ke figur di sebelahnya, hanya untuk menemui udara kosong yang melipir di antara jari-jarinya.

"Elliot—maaf, maafkan aku…" gumamnya terbata-bata. Di sebelahnya,sang penjamah piano mengangkat alis—mengamati ekspresi sahabatnya yang seolah terbuat dari kaca retak, dan tersenyum lembut. Mencoba menenangkannya dalam diam.

Sang anak laki-laki yang membias dari cahaya tersenyum lebar, menaruh tangannya di sebelah pemuda berkacamata itu. "Kau terlalu banyak memainkan nada minor sebelumnya, Leo."

Leo terdiam—tenggorokkannya terlalu kering untuk merespon. Ia membiarkan jari-jari Elliot yang seringan udara menggenggam pergelangan tangannya, dan mengarahkan jemarinya untuk menyentuh tuts yang tepat.

"Statice tak seharusnya dimainkan dengan nada suram begitu," ia memberitahu, ekspresinya serius. "Sejak kapan kau jadi melankolis seperti ini, Leo?"

Nada-nada berdenting, dan Leo merasakan kakinya yang gemetaran di pedal piano. Elliot tak sopan. Bahkan dalam kematian pun—ia masih tak bisa mengerti perasaan Leo; betapa besar rasa kehilangannya.

"Kunci G, setelah itu pindah ke C. Lihat, Statice disusun dari nada-nada mayor, lho. Tapi kau menekan terlalu banyak nada minor tadi," Elliot mengarahkan jari-jarinya dengan lembut, menekan tuts-tuts berwarna putih. "Jangan memainkannya dengan ekspresi sedih, Leo."

Leo membiarkan tangannya bergerak dalam diam, merasakan jari-jari Elliot yang sedingin es mengarahkan jemarinya perlahan; sementara denting melodi yang menceritakan bunga-bunga di musim semi, dan persahabatan mereka—menggantung di udara, bak kupu-kupu yang melebarkan sayapnya untuk menari di antara tautan nada.

"Kita bertemu lagi, Leo. Jangan sedih," katanya lembut, membisikkan itu seolah kematian hanyalah sebuah tirai yang bisa dibuka-tutup begitu saja, dan kehidupan hanyalah sebuah ambang fana.

(Tapi kau mati, Elliot. Kau mati. Aku gagal menyelamatkanmu.)

"E-Elliot…"

(Kau mati, Elliot. Kau meninggalkanku sendirian disini.)

"Statice," bisik sang pemuda berambut mencuat seraya tersenyum, menatap mata sahabatnya lekat-lekat. "Perasaanku tak akan berubah kepadamu, Leo."

Leo tercekat.

(Tapi kau mati. Tapi kau mati, Elliot.)

"Persahabatan kita takkan terhenti disini," Elliot meneruskan lagi, jemarinya menuntun Leo untuk melakukan improvisasi nada. "Lihat? Karena itulah aku menulis Statice untukmu."

(Aku tak bisa memainkannya seindah dirimu, Ellliot. Jari-jari ini merusaknya.)

Leo menolehkan kepalanya, memandangi sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tak peduli ini ilusi atau bukan—tapi yang jelas, ia tak ingin ini segera berakhir.

(Statice…tak sanggup dimainkan oleh tangan ini, Elliot.)

"Mengapa kau menangis, Leo?" Elliot mengangkat tangan kirinya perlahan, mengusap lembut air mata yang mengaliri pipi pemuda itu. "Kalau kau memainkannya dengan sedih, Statice takkan terdengar indah."

Elliot membimbing tangan sahabatnya itu sekali lagi, kali ini lebih lembut—dan menuntun jari-jemarinya menekan tuts-tuts putih, mendentingkan nada mayor yang merajut kegembiraan.

(Tapi jari-jarimu sedingin es, Elliot. Aku takut—aku takut kalau ini semua hanya ilusi…)

"Nah,bagaimana menurutmu?" Elliot menoleh, menyeringai lebar pada sahabatnya. "Tersenyumlah, Leo. Lihat, kau bisa memainkannya dengan bagus, lho," ia mengarahkan pandangannya pada jari-jari Leo yang menekan tuts, dibantu oleh tangan Elliot yang menuntunnya.

"Elliot…" bisiknya terbata-bata, tapi suaranya tenggelam di antara alunan nada magis yang menggantung di udara.

Sahabatnya tak menghiraukan permintaan maafnya tadi, tetap berkonsentrasi mengarahkan jari-jari Leo yang kini tengah menari di antara barisan tuts.

"Maafkan aku, Elliot…a-aku, gagal menyelamatkanmu…"

Mata Leo berkaca-kaca, kakinya yang menginjak pedal gemetaran—dan rasa sesak yang dingin menyelinap di dadanya.

Elliot menjeda sebentar permainannya, menoleh pada sahabatnya itu. "Tenanglah, semuanya baik-baik saja, Leo," katanya lembut. Senyum lebar terukir di wajahnya, seakan ia begitu hidup (hidup, hidup, hidup) dan kematian tak berpengaruh apapun padanya.

(Kenapa kau tersenyum? Apakah ada masa depan yang tak kuketahui, yang menunggumu disana?)

"Elliot, j-jangan pergi lagi…" gumamnya terbata-bata, namun suaranya tenggelam di antara alunan Statice yang riang. Begitu kontras dengan dirinya. Statice hanya cocok untuk Elliot, hanya cocok dimainkan oleh Elliot—yang saat ini tengah tersenyum lebar, seolah ia masih memiliki hari esok.

Ia berharap Elliot mendengarnya.

"Aku minta maaf, Elliot…" bisiknya pelan, begitu pelan—seakan udara dingin telah menenggelamkan suaranya. "Jangan pergi. Aku ingin—" ia tercekat sejenak, "bermain piano denganmu. Terus, terus, terus…"

Leo menghentikan isakannya sejenak, karena Elliot pasti takkan suka melihatnya menangis seperti ini.

.

Nada mengalun, rembulan melamun; dan Elliot tersenyum, samar-samar figurnya memudar ditelan cahaya—sebelum kemudian tangan dinginnya bersentuhan lagi dengan jari-jari Leo yang basah karena air mata, menuntunnya untuk kembali bercengkerama dengan nada.

Elliot tak bersedih, Elliot tak merintih. Hanya Leo yang menangis disini.

Ia tidak mati.

Elliot tersenyum; lebar, begitu lebar—seakan ia begitu hidup, dan kematian hanyalah ilusi yang menggandeng tangannya untuk sejenak. Statice menggantungkan atmosfer riangnya di tengah hembusan udara malam, dan Leo berdoa; semoga ia bisa melihat senyum sahabatnya itu lagi—malam ini, esok, dan seterusnya.

.

.

(Tetaplah disini, Elliot. Aku menyayangimu.)


.

.

FIN

.

notes ii: fanfiksi ini ditulis berdasarkan canon dari Pandora Hearts. Statice adalah lagu yang ditulis Elliot untuk Leo, sementara Leo memberikan Lacie sebagai balasannya.

Sebagai tambahan, lagu "Statice" memang tak ada dalam album soundtrack official-nya, namun untuk yang penasaran dengan iramanya, saya membayangkan kalau nada lagu itu kira-kira mirip dengan irama dari La Corda D' Oro 2 - Vivace - 34 - Jitaku 1. Disarankan untuk mendengarkan lagunya, ya. :D

.

(jakarta, 30/06/2014)

terima kasih sudah membaca. :)