Ringkasan: Kehadiran Arikawa dan senyum di wajah Misaki. Betapa mimpi telah menyatukan mereka kembali.

Warning: shounen-ai; Arikawa/Misaki; implisit Kawahata/Misaki; canon


Hana no Mizo Shiru/花のみぞ知© Takarai Rihito

SEPANJANG MUSIM

Story by Kenzeira

.

.


Satu-dua kali, Misaki mengalami mimpi yang berepetisi. Mimpi tentang kesendiriannya di rumah besar sang Kakek. Dalam mimpi itu, ia duduk memandangi bunga-bunga yang tersebar di sekeliling halaman rumah. Begitu banyak, begitu indah. Barangkali ia memang sendirian, tapi para bunga itu ada menemaninya; mengisi kekosongan di hati Misaki.

Ia tidak berdiri—terlebih berjalan mendekati salah satu bunga atau memetiknya. Ia tidak melakukan itu, tidak bisa. Rumah Kakek adalah tempat ia hidup—terikat. Misaki kadang merasa kedua kakinya dililit akar yang tumbuh di dalam rumah, akar yang terus menjalar mengikat seluruh tubuhnya untuk tidak beranjak dari sana.

Misaki merasa sepi, akhir-akhir ini ia bingung karena perasaan kesepian itu lenyap tidak tahu ke mana—barangkali ke suatu tempat di sepasang mata Kawahata. Tapi, tiba-tiba saja, rasa sepi itu datang lagi dan mengejutkan dirinya yang lena. Ia benci mengakuinya, benci tatkala harus kembali menangisi kepergian orang-orang yang dikasihinya; ayah, ibu, kakek. Benci karena Kawahata benar, ia tidak bisa melakukan apapun tanpa pria itu.

Hingga seorang anak laki-laki muncul, berlari-lari menjelajahi taman bunga di halaman rumahnya. Kedua mata anak laki-laki itu bersinar dengan senyum lebar di sepanjang garis bibirnya. Anak-laki-laki yang mengubah pandangannya bahwa ternyata ia bisa melakukan apapun tanpa Kawahata. Apapun.

Arikawa Youichi.

Misaki merasa pernah mendengar nama itu di suatu tempat dan suatu masa, berdengung di kedua telinga dan terpatri di kepala dan dada. Ia merasa, Arikawa pernah merengkuh tubuh kecilnya, menenangkan ia dari tangisnya dan meniadakan segala rasa sepi di hatinya. Misaki mendapatkan kehangatan dari Arikawa. Dari anak laki-laki itu.

"Misaki…!" Arikawa memanggilnya, kedua tangan melambai-lambai. Misaki ingin menghampiri Arikawa, tapi akar-akar itu seolah tak mau lepas melilit tubuhnya. Ia menyerah dan membiarkan Arikawa berwajah kecewa.

Hingga kemudian ia hampir sampai pada batas akhir dari mimpi itu.

Arikawa datang padanya. Mendekat dan menarik ia keluar dari segenap belenggu yang mengikat tubuhnya. Misaki nyaris meledak bahagia.

"Aku mencintaimu, Misaki! Aku akan terus mencintaimu seperti bunga-bunga bermekaran di sepanjang musim, yang akan tumbuh kembali setelah layu, yang akan mengharumkan perjalanan kita. Aku mencintaimu, Misaki. Cinta seribu kali dan berkali-kali."

Pada akhir kata itu, ia akan menerima rengkuhan hangat dari Arikawa hingga kembali terjaga di pagi buta.

Misaki tersenyum.

Betapapun hanya mimpi, ia merasa bahagia—bahagia tiada kira. Terlebih ketika menemukan kekasihnya bergulung dengan selimut dan lelap dalam mimpi serupa. Mimpi tentang kebersamaan mereka di masa lalu—barangkali masa yang seharusnya tercipta tapi tidak bisa tercipta hingga Tuhan menyalurkan masa itu pada setiap mimpi mereka. Terus berulang-ulang seolah menegaskan bahwa mereka pernah hidup di masa tanpa masa itu.

Misaki menunduk, memandang Arikawa, lalu membisikkan kata-kata di telinga lelaki yang masih lelap itu.

"Aku juga mencintaimu, Youichi. Cinta seribu kali dan berkali-kali."


.

.

.

END


A/N: Pengen meluk Takarai Rihito-san karena udah bikin manga seindah ini!

Jumat Pon, 3 Juli 2015 — 5:02am