disclaimer. Emma © Kaoru Mori
warnings. No dialogues, no plots. Semoga no OOC and typo(s). I hate them.
seperti malam pertama
Sekali lagi, ia kembali lagi berjongkok di depan perapian. Menghangatkan diri, menghangatkan hati.
Emma merasa kedinginan. Dinginnya luar biasa menusuk. Seperti dulu, malam saat roda kereta si penculik membawanya pergi dari Yorkshire. Seperti malam itu, bulan purnama berbinar mencemooh. Tertawa menginjak-injak nasibnya dari singgasananya di langit.
Sepanjang pagi ini, ia gosok pegangan tangga sebersih mungkin. Ia pel lantai dapur sampai mengilap. Ia cuci seprei sampai tiada noda tersisa.
Emma tahu ini konyol. Dia melakukan segalanya semaksimal mungkin, dengan seluruh tenaganya, berharap Nyonya akan memuji hasil kerjanya.
Ia ingin mendengar derap kaki sang Nyonya, ingin melihat siluet femininnya, dan mengikuti setiap makna implisit dari dehaman Nyonya Kelly.
Masih saja begini. Sudah tidak mungkin lagi.
Dia sudah pergi.
Bila malam tiba dan tak memiliki kesibukan lagi (lagipula dengan kepergiannya setengah bebannya telah berkurang), Emma kembali membaca buku-buku koleksi Nyonya Kelly Stowner yang sudah ia hafal luar dalam isinya. Tidak ada yang baru—Wuthering Heights, Emma, Hamlet, Evelina—karya-karya Byron, puisi John Keats, beberapa koleksi partitur musik Henry Purcell.
Lucu, ia setengah berharap Nyonya akan muncul entah darimana dan menanyakan pertanyaan, "Sedang baca apa?"
Jika sudah jenuh, Emma hanya terpekur di ruang tamu. Memandang api yang membara. Merasakan panas yang tak mampu menyentuh nuraninya.
Entah mengapa ia dan perapian telah menjadi teman sejak malam pertama kepergian Kelly Stowner.
Ia rindu.
Malam-malam yang Kelly sempatkan untuk mengajarinya menulis, membaca, hal-hal yang dibutuhkan oleh seorang pelayan—bahkan lebih dari yang seharusnya.
Ia rindu.
Wanita yang telah menjadi pelindung dan ibu untuknya selama lima tahun. Wanita yang telah membuka masa depan untuknya. Penyelamat hidupnya.
Ia rindu.
Tak pernah ia membayangkan apa yang terjadi bila Kelly Stowner tiada. Ia merasa terlalu nyaman dengan kehidupannya sekarang sampai melupakan suatu hal yang begitu dekat dengan manusia, yang ironisnya dulu keberadaannya selalu ia rasakan—kematian.
Entah bagaimana sekarang nasibnya.
Emma teramat rindu.
Kembali lagi ia meringkuk di depan perapian, seperti malam pertama yang menyakitkan, sungai kecil terbentuk di ujung mata. Merindu tanpa henti, entah sampai kapan.
tamat
