Ini terlalu sulit bagiku. Aku menyerah untuk coba memahami jalan pikiran kedua orang tuaku. Aku tahu mereka melakukannya untuk kebaikan dan demi masa depanku, tapi semua ini terasa menyesakan. Aku tertekan dengan apa yang mereka lakukan selama ini, dan aku pikir sudah saatnya aku menentukan jalan hidupku sendiri.
Aku sudah dua puluh satu tahun, aku tidak ingin jadi perempuan yang hanya bisa terkurung di rumah dan hanya bisa menunggu ijin dari para lelaki kepala rumah tangga untuk melakukan ini dan itu. Aku tidak ingin terus menjadi tidak berguna dengan bergantung pada keluargaku yang memiliki pemahaman yang sangat kuno tentang kehidupan. Aku akan menunjukan bahwa aku bisa mandiri, aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri. Aku pasti bisa.
Oleh karena itu, di suatu sore, saat semua orang di rumahku tengah sibuk dengan urusan masing-masing, aku menyelinap keluar dari rumah dengan membawa ransel berisi pakaian dan sedikit uang. Menggunakan ojek yang sembarang kuhentikan di tengah jalan, aku berangkat menuju terminal bus, untuk menunggu bus antar kota yang kemarin tiketnya telah kubeli dengan tujuan acak.
Konohagakure.
Ah. Aku tidak tahu, akan seperti apa hidupku disana nanti. Aku memang telah siap menerima segala konsekwensi dari keputusan yang kubuat, tapi ... Bolehkah aku berharap kalau hidupku disana tidak akan seberat yang kuhadapi disini?
#
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Remake from ERIN
Pairing : Naruto U & Hinata H. Slight Sasuke U & Sakura H.
AU. OOC.
Drama-Romance.
HINATA POV.
#
"Tuh bocah beneran kampret deh!" Cewek cantik berambut unik yang duduk di kursi di depanku bersama seorang teman cowoknya, berdecak kesal sambil melotot keluar jendela mobil. Memperhatikan beberapa penumpang yang belum naik.
"Siapa? Naruto?" Nada suara teman cowok si cewek cantik itu terdengar malas, "Ngapain lagi tuh anak?"
"Kayak biasa. Dia nggak bisa ngeliat mahluk yang dada ama pantatnya mancung dikit, langsung digoda."
Aku meringis mendengar perkataan si cewek berambut pink unik itu. Enggan mendengar kelanjutan obrolan mereka, ataupun mencaritahu lebih lanjut siapa objek yang menjadi topik pembicaraan dua orang ganteng dan cantik di depanku, aku segera mengeluarkan ponsel dan kartu layanan provider yang baru kubeli. Setelah terdiam ragu selama beberapa detik, aku kemudian menyibukan diri mengganti kartu nomer ponsel lamaku dengan yang baru. Untuk saat ini aku belum siap bicara dengan keluargaku, aku tidak mau diseret pulang. Ayahku adalah Ayah yang paling egois di dunia. Dia memiliki ambisi untuk mengatur hidup semua anaknya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tak peduli itu akan berdampak baik atau buruk untuk sang anak, dan bahkan tak peduli bahwa sang anak sama sekali tidak berniat menuruti keinginannya, dia akan memaksa sampai semua keinginannya tercapai.
Dua puluh satu tahun, aku hidup sebagai anak baik dengan menuruti semua kemauan Ayah. Dan aku sudah mencapai titik dimana aku tidak sanggup lagi untuk menjadi anak baik bagi keluarga.
Bus mulai berjalan setelah semua penumpang naik. Aku masih menyibukan diri dengan ponsel, membuka internet untuk mencari pekerjaan dan beberapa penginapan murah di tempat tujuanku, saat seseorang tiba-tiba duduk di kursi penumpang kosong di sampingku.
Aku menoleh dan agak terkejut ketika seraut wajah tampan menyambutku dengan sebuah senyuman yang bisa membuat hati meleleh.
"Hai," sapanya ramah. Mata birunya tampak berbinar geli saat melihat reaksi kampunganku. Yeah, memalukan. Aku memang tidak terbiasa berhadapan dengan laki-laki tampan.
Apalagi yang setampan ini.
"H-hai," balasku gagap. Aku kembali menunduk, berpura-pura sibuk bermain ponsel.
"Naiknya sendirian Sist?" Aku kembali mendongak ketika mendengar suara pertanyaan yang kelewat ramah itu.
Perkataan ibu untuk berhati-hati terhadap orang asing kembali terngiang di kepalaku. Walaupun orang asing itu seganteng Mas Reza Rahardian, aktor favoritku, tapi tetap saja itu berbahaya. Siapa tahu dia punya catatan kriminal? Mucikari? Perampok? Pembunuh? Muka ganteng kan nggak bisa menjamin baik atau tidaknya orang tersebut.
"Iya." Aku meliriknya sesaat dan mendapati dia sedang memperhatikanku serius. Tampak begitu tertarik.
Aku berdoa dalam hati, semoga saja orang asing ini bukan perampok, pembunuh, mucikari, atau apapun namanya. Aku benar-benar tertarik dengan profilnya, dia tinggi, memiliki dada bidang dan postur bagus (kaus abu-abu pas badan dan celana khaki yang dia gunakan, memperlihatkan semuanya dengan jelas). Dia memiliki rambut pirang terang dan lumayan gondrong, membuatnya kelihatan cukup ganteng dan laki banget, apalagi saat rambutnya dikuncir ke belakang. Dia memiliki kulit agak kecokelatanan, garis rahang tegas, hidung mancung, mata biru yang hangat. Dia juga memiliki wajah yang agak kebule-bulean seperti cewek yang duduk di depan kami.
"Tujuan mana?" Tanyanya penasaran.
"Ummm. Konoha." Aku enggan memberitahu kemana tujuanku secara terperinci, siapa tahu dia ini penjahat atau psikopat gila.
Mata birunya tampak berbinar senang. "Oh. Sama dong!"
Waduh.
"Aku sama teman-temanku ..." Menggunakan jempol dia menunjuk ke arah dua orang yang duduk di bangku depan kami, dan juga beberapa cowok yang duduk di samping pak sopir di bangku nomer satu-dua—paling depan, "juga mau ke Konoha."
"Oh." Hanya itu respon yang bisa kukeluarkan.
Aku tidak pernah berinteraksi dengan orang asing. Jadi ini terasa sangat canggung.
"Hmm?" Aku kembali terkejut saat dia tiba-tiba menyodorkan tangannya ke depanku.
"Kita belum kenalan kan?"
"Iya." Aku mengangguk. Membalas jabatan tangannya kikuk.
"Aku Naruto Uzumaki. Panggil aja Naruto."
"Hinata Hyuuga. Panggil aja Hinata."
Senyuman Naruto benar-benar berbahaya untuk kesehatan jantung.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya."
Aku menunduk, tak tahu harus merespon seperti apa. Aku tidak terbiasa digoda cowok. Aku memiliki seorang saudara laki-laki hampir seumuran, yang biasa mengintimidasi para laki-laki di sekolah, kampus, maupun lingkungan sosial untuk menjauh dariku.
Agar Naruto tidak bertanya apapun lagi, aku membuat kursiku mundur sedikit. Agar bisa berbaring nyaman, dan tidur—kalau bisa.
"Selamat malam, Nata. Mimpi indah ya."
Naruto berbisik pelan, aku bisa mendengar senyum dalam suaranya. Dan itu membuatku memejamkan mata dengan erat.
#
"Nata. Hinata ..."
Ini benar-benar tidak nyaman. Leherku terasa sakit, dan badanku pegal. Sesaat aku kehilangan orientasi dan berpikir bahwa aku perlu membeli kasur baru, karena kasur yang ini terasa begitu keras. Belum lagi volume AC yang terlalu dingin menerpa beberapa bagian kulit telanjang, hingga aku mengginggil.
"Hinata. Ayo bangun, kita sudah sampai."
Suara asing seorang laki-laki seketika membuat mataku terbuka lebar. Aku mulutku menganga lebar ketika muka ganteng seorang cowok bertampang bule terpampang jelas di depanku. Aku mengerjap linglung, berbagai macam pikiran negatif yang membuatku hampir menjerit kencang melintas di kepala.
"Maaf kalau aku ngeganggu tidur kamu." Cowok ganteng itu tampak geli melihat ekspresiku. "Tapi kita sudah sampai di Terminal Amegakure. Kamu nggak mau turun dulu buat makan?"
Aku kembali mengerjap, bingung. Sepertinya aku masih terdisorientasi karena baru bangun. Suara orang-orang yang terdengar ramai membuatku menoleh ke sekeliling. Para penumpang tampak ogah-ogahan bangun dari kursi mereka masing-masing, lalu berjalan tertib menuju pintu untuk keluar dari bus.
Oh. Akhirnya aku ingat apa yang terjadi. Aku kabur dari rumah. Duduk sebangku dengan cowok ganteng bernama Naruto, dalam perjalanan menuju HI-Konoha.
"Ah. Maaf." Malu-malu aku merubah posisi berbaringku jadi duduk tegak. "Terimakasih udah ngebangunin aku."
"Yup. Sama-sama!" Kata Naruto riang.
Siulan menggoda yang datang dari kursi depan kami, membuat kami berdua menoleh. Si cewek rambut pink nyentrik teman Naruto memandang kami dengan sorot mata dan ekspresi aneh. Cengiran lebar tersungging di mulutnya.
"Pantas aja daritadi kamu nggak ngerempongin kami seperti biasa," cowok yang disebelah si cewek terkekeh geli, dia tampak memakai jaket kulitnya dan bersiap turun, "rupanya lagi sibuk ngecengin cewek cakep."
Disebut cakep oleh orang yang jelas cantik membuatku tersipu.
"Mbak. Kalau dia mulai ngegombal jangan percaya, nih anak Buaya. Nggak bisa ngeliat cewek langsung digoda."
Aku meringis. Setelah melipat selimutku rapi, aku kemudian berdiri, memeriksa uang di sakuku dan bersiap pergi.
"Enak aja." Naruto sewot mendengar ejekan si cewek bule. "Yuk, Nata. Turun sama-sama."
Aku berjalan di belakang Naruto. Diikuti si cewek rambut nyentrik dan pasangannya.
"Hei." Cewek rambut nyentrik menyejajarkan langkahnya denganku. Dia terlihat ramah dan baik.
"Hei."
"Aku Sakura. Adik kembarnya Naruto." Dia tiba-tiba memperkenalkan diri.
Ah. Pantas mirip, dan rada bule. Ternyata mereka kembar. Aku agak canggung untuk berinteraksi dengan Sakura dan Naruto, mereka sangat supel.
"Hinata," jawabku kikuk sembari memasukan tangan ke dalam saku jaket. Ini jam dua subuh. Suasananya benar-benar dingin.
"Aku dengar pembicaraan kamu sama Naruto, katanya kamu mau ke Konoha juga ya?"
Aku, Sakura, dan pacarnya yang belakangan kuketahui bernama Sasuke memasuk ke rumah makan yang telah ramai oleh puluhan penumpang dari bus yang kami tumpangi.
"Iya," aku menjawab pertanyaan Sakura sambil memperhatikan sekeliling untuk mencari meja dan bangku kosong.
Naruto yang masuk lebih dulu, tampak berbicara dengan beberapa orang temannya di sebuah meja yang telah penuh. Ketika melihat kami bertiga, dia kemudian memberi isyarat dengan menggedikan dagunya ke meja yang masih kosong.
"Kesana yuk," ajak Sasuke memahami isyarat Naruto. Aku tahu ajakan itu ditujukan untuk Sang pacar, Sakura, dan bukan aku.
Aku terpaksa mengikuti mereka, karena memang tidak ada lagi kursi dan bangku kosong.
#
Sakura itu gadis yang menyenangkan. Dia cerewet dan memiliki banyak lelucon lucu yang bisa membuatku tertawa. Sasuke bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya dari sang pacar walau hanya sedetik. Dia tampak tergila-gila pada Sakura.
"Menggunakan mode transportasi apapun, aku biasanya terkena motion sickness jika ada orang di kendaraan yang kutumpangi, yang mual dan muntah-muntah," jelas Sakura sambil menjejalkan potongan perkedel jagung dan sesuap nasi ke mulutnya, "suara orang yang muntah membuat perutku melilit tak enak."
Aku tersenyum mendengar penjelasan Sakura, sementara Sasuke berdecak.
"Kalau jijik sama suara muntahan orang, ya jangan bicarain muntah waktu lagi makan!" Katanya tak sabar.
"Hehehe. Sorry Beib." Sakura cengar-cengir tak jelas.
Aku melanjutkan acara makanku sambil coba mengabaikan kemesraan pasangan yang duduk di seberang meja.
"Kembaranmu itu benar-benar dah." Gerutuan Sasuke membuat atensiku dari nasi dan laukku yang hampir habis kembali teralih.
"Hmm?" Aku dan Sakura memandang Sasuke penasaran.
"Tuh." Dia menggedikan bahunya ke sebuah meja yang letaknya tak jauh dari pintu masuk warung makan. Meja itu diisi oleh beberapa gadis cantik berpakaian seksi, celana skinny jeans dan kaos ketat pas badan (cuma Tuhan sama diri mereka sendiri yang tahu, apa mereka kedinginan atau nggak dengan pakaian macam itu. Aku aja walau udah make jaket, dinginnya udara subuh masih kerasa). Naruto tampak duduk di meja itu, berbicara dengan yang paling cantik, sambil sesekali melempar rayuan yang membuat gadis berambut brunnete dengan body aduhai itu merebahkan kepala di pundaknya. Haaaah. Buaya.
Sakura mencebikan bibir melihat kelakuan abangnya. "Aku heran sifat player Naruto sebenarnya nurun darimana, Papaku itu orang yang kelewat kalem, sementara Mama orangnya pemalu."
"Mungkin dia mengalami depresi genetik," tambah Sasuke.
"Yah, mungkin," gumam Sakura pasrah.
Setelah selesai makan, aku dan Sakura memutuskan untuk pergi ke toilet menuruti panggilan alam. Lalu membeli beberapa snack dan minuman. Begitu kami kembali ke bus, Sakura masih tidak bisa berhenti bercerita mengenai banyak hal dalam kehidupannya. Aku jadi berpikir, jika Sakura dan Sasuke mengatakan Naruto mengalami depresi genetik karena tidak tahu darimana sifat playboy-nya berasal, maka aku bisa mengatakan hal yang sama mengenai Sakura. Jika ayahnya dan kelewat kalem dan ibunya seorang pemalu, lalu darimana kecerewetan Sakura berasal?
Aku memejamkan mata dan hampir tertidur ketika Naruto kembali, duduk di sampingku.
"Hai," sapanya riang.
Aku mengangguk, terlalu mengantuk untuk menyadari bahwa bus sudah kembali berjalan lagi. Sakura yang duduk di bangku depan berbalik.
"Cewek mana lagi yang kamu goda di rumah makan tadi?" Tanyanya datar.
"Owh. Namanya Maki, dia kuliah di Kiri." Naruto menjawab kalem, seolah Sakura hanya bertanya soal cuaca.
"Udah dapet nomer ponselnya pasti."
"Udah dong. Malah sama Pin BB dan alamat lengkapnya juga."
Sakura mendengus. Dan setelah itu terjadi perdebatan sengit antar saudara mengenai masalah 'menghormati perempuan', dan aku tidak mendengar apapun lagi setelahnya, karena aku tertidur.
#
"Kamu nggak bisa berhenti ngegodain perempuan ya?" Dalam kapal penyebrangan dari Ame ke Kiri, aku menegur Naruto, yang lagi-lagi tidak bisa diam ketika melihat gadis cantik penumpang bus lain, yang menaiki kapal yang sama dengan kami. Gadis cantik itu duduk di deretan bangku terdepan di dek kapal, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melempar senyum malu-malunya pada Naruto yang langsung membalasnya dengan kedipan mata ala playboy.
Oh. Ya ampun. Aku memutar mata melihat kelakuannya. Sasuke dan Sakura tidak turun ke kapal, mereka lebih memilih tetap berada di atas bus.
"Menggoda cewek itu baik untuk kesehatan. Lagian ceweknya juga nggak nolak tuh waktu kugoda." Dia membela diri.
"Tapi itu sama seperti kamu mempermainkan perempuan."
Naruto terkekeh. Matanya tampak berbinar senang. "Aku tidak mempermainkan perempuan. Mereka saja yang selalu datang padaku, dan mereka juga tidak keberatan dipermainkan."
Aku cemberut mendengar jawaban Naruto. "Kamu jugakan punya kembaran cewek, gimana perasaanmu kalau Sakura dipermainkan cowok kayak kamu?"
Naruto tertawa keras mendengar pertanyaanku. "Nata, percaya deh, nggak ada cowok yang akan berani mempermainkan singa betina macam Sakura."
Heh?
"Bahkan Sasuke takut sama Sakura. Adikku itu garang dan jago martial arts. Jadi cowok yang kenal Sakura dan mau mainin dia, bakal mikir-mikir dulu sebelum melaksanakan niatannya. Dijadiin samsak tinju sama Sakura, nyaho dah."
"Oh." Aku meringis mendengar penjelasan Naruto.
"Oh ya ..."
"Hmmm?"
"Kamu ... Kabur dari rumah ya?"
Pertanyaan Naruto membuatku hampir merosot jatuh dari bangku. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa tahu? Aku menoleh gugup ke arah Naruto yang menatapku serius.
"K-kenapa kamu bisa nebak gitu?"
"Orang yang berpergian untuk kuliah atau apapun biasanya akan menelpon atau mengirim pesan singkat pada keluarga. Kamu tidak melakukannya," nada suaranya terdengar menuduh, "dan kamu juga terlihat canggung saat berinteraksi dengan orang asing. Apa ini kali pertama kamu berpergian sendiri?"
Aku berusaha menatap objek apapun, kecuali bola mata biru yang saat ini menatapku tajam dan penuh selidik.
"Kamu benar-benar sok tahu," kataku pelan sembari bangun dari bangku dan beranjak menuju kantin kapal untuk membeli cemilan. Dan saat aku kembali, Naruto sudah pindah di bangku gadis cantik tadi. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol akrab.
#
"Bosaaaaaan." Keluhan Sakura terdengar dari bangku depan.
Sekarang bus yang kami tumpangi sedang melaju di jalanan besar kota Kiri. Aku duduk bersandar sambil menonton kesibukan pagi penduduk Kiri melalui jendela mobil, sementara Naruto sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Pembicaraan dengan Naruto di atas kapal tadi, membuat perasaanku mendadak kacau. Aku tiba-tiba teringat pada keluargaku, Ayah, Ibu, Oma, beserta kedua adikku, Neji dan Hanabi. Mereka pasti sedang kelimpungan mencariku. Aku harap penyakit jantung Ayah tidak kambuh. Betapapun aku tidak suka pada cara egois Ayah mendidik kami, Beliau tetap Ayahku dan aku menyayanginya.
"Nata! Hinata?"
Eh? Suara panggilan Sakura di depan membuatku keluar dari lamunan. Aku menoleh mendapati wajah bingung Sakura yang muncul di atas sandaran kursi di bangku depan, wajah khawatir Sasuke yang juga ikut memperhatikanku dari celah kursinya, dan juga wajah—aku tidak bisa membaca ekspresi apa yang diperlihatkannya—Naruto yang duduk di sampingku.
"Ya?"
"Kamu mabuk ya? Daritadi dipanggilin kok nggak nyahut."
"Eng. Maaf, aku melamun," aku meringis kikuk. "Ada apa?"
"Kita udah nyampe di tempat perhentian. Mau turun makan?"
"Eng. Oke."
#
Sambil menunggu Pak Supir dan para penumpang lain selesai makan di warung, aku berjalan-jalan sendiri. Di sekitaran rumah makan terdapat beberapa warung dan toko penjualan buah, cinderamata, dan pakaian. Ada satu barang yang menarik perhatianku, sebuah gelang dengan liontin perak berbentuk mawar yang dihinggapi sepasang merpati di atasnya. Aksesori yang lucu. Namun ketika aku bertanya harga pada si penjual, nominal yang dia sebutkan membuatku mengurungkan niat untuk membelinya. Sayang sekali.
Kalau saja aku tidak kabur dari rumah dan masih 'akur' dengan keluarga, aku tentu akan bisa membeli puluhan aksesoris semacam ini. Tapi ... Yeah. Aku harus berhemat. Aku tidak mau jadi gembel di kampung orang.
"Itu bagus. Kenapa nggak jadi beli?"
"Eh?" Teguran suara berat dekat telinga membuatku berbalik kaget, Naruto ternyata sudah berdiri di belakangku sambil tersenyum geli. "Ngapain kamu disini?" Tak menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya.
"Jalan-jalan abis makan," jawabnya dengan satu sudut bibir melengkung ke atas. Dia memperhatikanku sebentar, lalu menatap gelang perak yang hendak kuserahkan kembali pada penjualnya. "Gelangnya bagus, kok nggak dibeli?" Dia mengulang pertanyaannya tadi.
Aku meringis. Memberikan kembali gelang itu pada si penjual, lalu beranjak keluar dari toko aksesori. Naruto mengikuti di belakang.
"Harganya terlalu mahal untukku," jawabku malu-malu.
Naruto terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kita kembali ke toko itu, biar aku yang bayarin buat kamu," tawarnya dengan sangat baik hati.
Aku mendengus. "Nggak usah deh. Makasih."
"Aku serius lho."
Aku meliriknya. Dan ekspresi Naruto memang terlihat serius. Hal itu membuatku tertawa.
"Ada yang lucu?" Tanyanya bingung.
Aku mengangguk.
"Apa?"
"Kamu." Aku menunjuknya tepat di dada.
Dahinya berkerut bingung mendengar jawabanku. Dia tampak geli. "Apa muka gantengku ini sudah berubah jadi seperti badut di mata kamu, sampai kamu ngetawain aku kayak gitu?" Godanya sambil memasang ekspresi pura-pura sakit hati. Tawaku makin keras, sementara Naruto tersenyum lebar.
Kami berdua berjalan beriringan menuju bus. Para penumpang lain juga sudah mulai naik.
"Kamu lucu karena kamu terlalu baik sama aku, orang asing yang bahkan baru kamu kenal."
"Owh. Terus kamu maunya dijahatin gitu?" Tanyanya main-main.
"Hihihi. Nggak juga sih. Kamu mau beliin gelang buat aku yang harganya lumayan mahal, menurutku itu aneh." Naruto naik lebih dulu ke atas bus, dia kemudian mengulurkan tangan dan menarikku untuk ikut naik ke atas bus, dan ... Yeah, aku menyambutnya. Tangannya besar dan hangat.
"Tapi buatku itu nggak aneh," dia menanggapi perkataanku setelah kami kembali duduk di kursi penumpang kami. Sakura dan Sasuke sepertinya belum kembali.
Aku mendengus. "Iya. Buatmu yang selalu 'melakukan kebaikan' pada semua cewek cantik yang kamu temui di jalan, itu memang nggak aneh. Tapi buatku itu iya."
"Nata. Aku memang selalu melakukan banyak kebaikan untuk cewek-cewek cantik asing yang kutemui di jalan. Tapi sekalipun aku nggak pernah membelikan barang untuk mereka."
Pembelaan diri Naruto membuatku menoleh. Dan seketika mata birunya yang hangat memerangkapku.
"Terus kenapa kamu nawarin beliin gelang buat aku?" Aku masih terhanyut dalam tatapannya.
"Karena kamu berbeda. Kamu nggak seperti cewek-cewek yang selama ini kutemui."
Aku terdiam sesaat mendengar jawabannya. Aku hampir meleleh mendengar rayuan Naruto, beruntung akal sehatku mulai berfungsi. Naruto itu player, kata-kata kayak yang barusan keluar dari mulutnya pasti sudah biasa dia ucapkan sama banyak cewek.
Aku mendengus dan langsung mengalihkan atensiku darinya. "Dasar gombal," gerutuku.
Naruto tertawa masam. Beberapa menit kemudian Sakura dan Sasuke kembali. Di saat Pak Supir mengumumkan kalau kami akan berangkat lima menit lagi, Naruto tiba-tiba turun dari bus. Dia bilang, dia melupakan ponselnya di warung makan. (Mungkin dia terlalu sibuk merayu para gadis sampai melupakan ponselnya.) Dan dia kembali di saat bus sudah akan berangkat. Syukur, nggak ketinggalan.
#
Aku merasa seperti sampah. Penyebrangan kedua menggunakan kapal dari Kiri ke Hoshigakure membuatku merasa mual dan pusing. Ombak yang menggoyang kapal, ditambah dinginnya angin laut sore membuat isi perutku berdemo minta keluar. Aku muntah di dek. Beberapa orang yang lewat memandangku jijik, namun aku tidak peduli. Hampir empat jam kapal yang kutumpangi terombang-ambing di laut. Dan kalau kalian bertanya dimana Naruto, Sakura, dan Sasuke ... Mereka bertiga sudah memesan kamar yang nyaman bersama teman-teman rombongannya. Aku tidak mungkin ikut, aku cuma orang asing yang baru tiga dikenal selama dua puluh empat jam lebih oleh mereka. Jadi tidak mungkin mereka mengajakku untuk masuk ke dalam kamar nyamannya.
Aku berjalan lunglai menyusuri koridor kapal, aku baru saja membersihkan mulutku dan sisa muntahan yang menjijikan, ketika berpapasan dengan Naruto.
Dia mengerutkan keningnya saat melihatku. "Nata, kamu sakit?" Nada suaranya terdengar khawatir.
"Nggak." Aku menggeleng lemah. "Cuma mabuk ..." Berjalan menuju dek, untuk kembali ke bangku panjang tempatku menyimpan ransel. Dan syukurlah ranselku tidak hilang.
"Hinata!" Naruto menahan tubuhku saat aku hampir terjatuh karena pusing dan kehilangan keseimbangan. "Kamu nggak apa-apa? Mending kamu istirahat di kamar bareng Sakura, dia juga kurang enak badan."
Aku tidak menjawab karena semuanya terlihat dan terdengar samar.
"Ayo Nata, jangan keras kepala. Mending ikut aku ke kamar dan kamu ..." Aku tidak mendengar kelanjutan kalimat Naruto karena semua mendadak terasa sunyi dan gelap. Yang terakhir aku tahu, kepalaku terasa sakit karena membentur sesuatu.
#
Sakura tidak bisa berhenti menggodaku saat aku sadar dari pingsan. Dia bercerita tentang bagaimana kembarannya menghawatirkan aku, menggendongku dari dek menuju kamar kapal yang mereka sewa, dan karena aku belum juga sadar saat kapal berlabuh di Pelabuhan Hoshi, Naruto juga menggendongku naik ke bus. Ugh. Ini memalukan.
"Sudahlah Sakura, jangan gangguin Hinata mulu. Kasihan dia masih sakit." Naruto yang sejak tadi diam menegur kembarannya.
"Oke Kakak." Sakura melempar senyum ganjil pada kami, lalu kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke depan dan berbincang dengan Sasuke.
Keheningan yang canggung menyelimutiku dan Naruto.
"Bagaimana keadaan kamu?" Dia coba memulai pembicaraan.
"Enn. Aku baik," jawabku kikuk. "Terimakasih ya."
"Hn."
#
Bersambung
#
Note : terimakasih banyak untuk yang sudah mendukung fanfic Uchiha Sarada sampai bisa menang IFA kategori Best Canon. Nggak nyangka :)
