Sesosok pemuda berambut pirang itu menjatuhkan pelan tubuhnya di hamparan rerumputan hijau. Dia menarik nafas panjang, entah ingin menikmati aroma segar dari rerumputan atau hanya sekedar ingin menenangkan pikirannya saja. Selanjutnya mata shappirenya menatap ke atas. Menatap langit yang saat itu terlihat sangat menawan dengan warna biru yang mendominasi. Sedetik kemudian sang pemuda Namikaze tersenyum kecut, menyadari bahwa pilihannya untuk hanya sekedar bersantai sambil menatap langit seperti apa yang sering dilakukan Shikamaru adalah pilihan yang salah. Langit yang biru itu secara tidak langsung mengingatkannya pada sosok gadis lemah lembut yang diam-diam disukainya sejak dulu. Hyuuga Hinata, gadis pemilik nama itu adalah satu-satunya gadis yang diam-diam telah menawan hati Naruto.

Naruto tidak bisa menyalahkan Hinata atas apa yang telah terjadi. Dia memang merasa sakit ketika Hinata hanya melihat Sasuke seorang. Dia merasa diabaikan, dan Naruto tidak bisa untuk tidak merasa baik-baik saja ketika semuanya terjadi.

Tapi pemuda penyuka ramen itu juga tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya seorang pemuda dari Clan yang sering kali disisihkan. Clannya tidak sebaik dan sehebat Clan Uchiha maupun Nara. Dia merasa sangat tidak pantas untuk menyukai Hinata, seorang putri calon pewaris dari Clan nomer satu di Konoha.

Naruto juga bukan orang yang pintar. Kemampuanya jauh lebih rendah dari Neji. Dan dia merasa sangat payah apabila dibandingkan dengan Sasuke. Bahkan dari dulu memang Naruto hanya dianggap sebagai bocah payah yang suka membuat onar, sangat beranding terbalik dengan Sasuke yang mempunyai otak jenius dari kecil.

Naruto juga sadar, tidak ada yang perlu dibanggakan dari fisiknya. Dia tidak setampan Sasuke maupun Gaara yang mempunyai banyak fans. Tidak ada satupun yang menarik darinya.

Naruto sadar akan semua itu, maka dari itu Naruto tidak pernah menuntut apapun dari Hinata. Naruto tidak pernah sekalipun menyatakan perasaannya kepada sang gadis bermata amethyst. Dia hanya bisa menyukainya secara diam-diam, membantunya sebisa mungkin dan terus berada di sampingnya sebagai seorang sahabat.

"Apakah aku harus mulai melepaskannya?" tanyanya kepada diri sendiri.

Sebenarnya selama ini Naruto selalu berusaha untuk bersikap tenang dalam menghadapi Hinata. Sebisa mungkin tidak terganggu dengan perasaan Hinata kepada Sasuke yang sering kali didengarnya langsung dari mulut Hinata. Tapi semenjak Sasuke dan Hinata ditempatkan di kelas yang sama sementara dirinya tidak, kedekatan antara Sasuke dan Hinata semakin menjadi. Naruto mulai sering merasa gelisah dan perasaannya semakin tak menentu. Terkadang rasa marah, benci dan cemburu secara tiba-tiba menyerangnya ketika melihat hubungan mereka yang semakin intens. Naruto mulai tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Dia begitu tidak suka melihat senyum bahagia Hinata dan wajah meronanya yang selalu dia tunjukan kepada Sasuke.

Dan karena itulah, sudah satu minggu ini dia memutuskan untuk tidak menemui Hinata. Menghindari teman kecilnya, setidaknya sampai dia dapat mengendalikan perasaannya kembali. Tidak apa-apa, pikirnya, toh Hinata juga tidak akan menyadari karena sang gadis Hyuuga itu pasti sedang sibuk dengan pemuda yang dari dulu dikaguminya.

Pelajar berkulit tan itu menoleh, melihat anjing kesayangannya yang dibelinya bersama Hinata beberapa bulan lalu ternyata sudah terlelap entah sejak kapan. Ah, dia terlalu lama melamun sampai tidak menyadari keadaan sekitarnya. Naruto ikut menutup kedua matanya. Mungkin di hari yang begitu terik ini digunakan untuk tidur siang bukan ide yang buruk. Lagipula Naruto juga tidak akan keberatan kalau kulitnya terbakar matahari, toh mungkin hanya membawa sedikit perubahan di kulitnya yang dari awal memang sudah berwarna gelap.

Tapi baru sekitar lima menit dia memejamkan mata, Naruto merasakan sesuatu yang aneh. Cahaya di sekitar matanya meredup, tidak seperti beberapa saat lalu yang terasa sangat terang, seperti ada sesuatu yang menghalangi sinar matahari mengenai matanya.

Perlahan kedua kelopak matanya terbuka, menampakkan manik shappire yang langsung mendapati sebuah telapak tangan tepat di atasnya. Naruto menggerakkan kepalanya, mencoba melihat siapa gerangan yang memiliki tangan tersebut. Dan alangkah terkejutnya dia ketika mendapati Hinata duduk di sampingnya dan tengah tersenyum kepadanya. "H-hinata?" ucapnya sedikit panik.

.

.

.

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

Can't Blamed

Desclaimer: Masashi Kishimoto

Pairing: NaruHina

Genre: Hurt/Comfort, Drama

Rating: T

Warning: AU, maybe OOC, gajenes, ide pasaran, typo, etc

.

.

Check it out!

.

.

Naruto langsung bangkit dari tidurnya dengan tergesa-gesa. Sedangkan Kyubi anjing berbulu orangenya sedikit membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi.

"Maaf kalau aku mengganggu tidur siangmu, Naruto-kun," ucap Hinata dengan senyum sedikit canggung. Hinata sama sekali tidak berniat membangunkan tidur Naruto. Dia hanya berusaha untuk menghalau sinar matahari yang mengenai daerah mata sang pemuda itu. Dia berpikir pasti sangat tidak nyaman kalau itu terjadi.

"Tidak masalah," jawab Naruto sambil duduk bersila. "Ada apa?" Naruto sama sekali tidak menatap Hinata ketika dia berbicara karena sebenarnya dia belum siap untuk bertemu Hinata saat ini.

"Aku hanya ingin bertemu dengan Naruto-kun dan Kyubi saja. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu kalian," ungkap Hinata. Gadis berambut panjang itu duduk dengan posisi menyamping supaya bisa melihat lawan bicara dengan jelas. Tidak ada yang lebih penting saat ini selain memperhatikan Naruto. Rasanya sudah lama sekali Hinata tidak melihat sosok pemuda blonde itu. Hinata sangat rindu. Biasanya pemuda itu setiap saat akan selalu berada di dekatnya. Bahkan teman-teman mereka sudah sangat hafal, dimanapun ada Hinata di sana ada Naruto. Tapi ternyata sedari tadi Naruto terus menerus membuang muka dan sama sekali tidak melirik ke arahnya. Hinata merasa kecewa. "Apa Naruto-kun sibuk sekali?"

Naruto menggosok-gosok tengkuknya. Sedikit canggung apabila Hinata mengangkat topik ini. "Begitulah. Kau juga pasti sangat sibuk kan?"

"Tidak. Aku sering berkunjung ke rumahmu. Tapi Naruto-kun selalu tidak ada."

"Ah, begitu ya?" Naruto menjawab sekenanya. Dia kehabisan kata lagi. Tidak bisa mengelak atau mencari alasan lain untuk menjawab pertanyaan Hinata.

"..."

"..."

Setelah itu hening terasa. Hinata merasa sangat asing dengan suasana ini. Biasanya kalau dia berhadapan dengan Naruto hampir dapat dipastikan kalau pemuda di depannya itu tidak pernah bisa diam. Naruto selalu mengoceh, bercerita sana sini. Dia tidak pernah kehilangan topik untuk dibahas. Sedangkan Hinata selalu menjadi pihak pendengar, tugasnya adalah selalu tertawa saat Naruto mengeluarkan leluconnya dan sedikit memberi tanggapan atas cerita Naruto.

Wajar kalau dia sekarang merasa sangat asing dengan situasi ini. Hinata merasa saat ini Naruto sangat enggan berbicara lebih jauh dengannya.

Sementara Naruto yang sedari tadi hanya diam saja, merasa bingung harus melakukan apa. Dia seperti kehilangan semua topik aneh yang selalu disampaikannya agar Hinata tidak pernah merasa bosan ketika di dekatnya. "Ah, jam berapa sekarang?" ucapnya tiba-tiba. Dia langsung merogoh kantong celananya untuk mengambil jam saku yang biasanya dibawanya. "Astaga Kyubi, kenapa kau tidak mengingatkanku tentang janji dengan Menma-nii."

Naruto melirik ke arah Hinata sebentar. "Maaf Hinata, aku harus segera pergi." Kemudian bungsu Namikaze itu beralih kepada Kyubi. "Cepatlah bangun pemalas. Kau tidak mau kita dimarahi Menma-nii kan?"

Dengan malas dan mata masih mengantuk, Kyubi bangkit. Anjing berbulu orange itu menatap Hinata dan menggonggong singkat seolah meminta izin untuk pergi kepada Hinata.

Hinata hanya membalasnya dengan sebuah senyum yang terkesan kecut dan dipaksakan.

Setelah itu mereka langsung pergi meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Hinata hanya tersenyum miris. Entah kenapa melihat punggung Naruto yang semakin menjauh membuatnya merasakan takut yang teramat sangat. Ada sesuatu yang terluka jauh di lubuk hatinya dan itu bisa sangat jelas dirasakan Hinata.

Di sisi lain pemuda berkulit tan itu tengah bernafas lega, setidaknya dia sekali lagi dapat menghindar dari Hinata walaupun dia juga harus merasa bersalah karena terus menerus harus berbohong kepada Hinata. 'Gomen Hinata.'

.

~[Can't Blamed]~

.

Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba Naruto merasakan ada seseorang yang menarik tangannya dan mau tidak mau memaksanya untuk berhenti. Naruto berbalik, memasang wajah ramah karena sudah mengetahui siapa seseorang yang tengah menarik tangannya. "Ada apa Hinata?" Pemuda dengan garis wajah khasnya itu merasa terkejut ketika mendapati Hinata yang sedang menatapnya dengan pandangan terluka.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu! Ada apa denganmu Naruto-kun," ucap Hinata dengan suara serak seperti ingin menangis. "Kenapa kau berbohong padaku?"

Naruto tiba-tiba merasa gelisah. "Apa maksudmu?" tanyanya seakan tidak tahu arti dari ucapan Hinata.

"Menma-nii pergi tour dari kemarin kan?" Suara Hinata semakin terdengar serak. "Aku tadi sempat pergi ke rumahmu."

Naruto menunduk. Merasa malu karena ketahuan berbohong. Otaknya tidak bisa memproses apa yang harus dilakukan saat ini. Dia membeku. Sekilas matanya melirik ke arah tangan Hinata yang bergetar dengan tangan Hinata yang masih setia memegang tangannya. Naruto merasa sangat bersalah. Dia tahu kalau saat ini pasti Hinata sedang berusaha untuk tidak menangis di hadapannya. Tapi ketika Naruto melihat beberapa tetes air yang meluncur cepat dari atas, dapat dipastikan bahwa saat ini Hinata pasti tengah menangis.

Naruto mendongak menatap sang gadis yang terus menerus mengeluarkan kristal bening dari mata indahnya. Melihat itu, hatinya terasa dicubit. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Kumohon jangan menangis Hinata." Ini pertama kalinya Hinata menangis karenanya. Dan Naruto ingin sekali menghajar dirinya sendiri karena telah membuat gadis yang selama ini dicintainya menangis.

Walaupun Naruto memintanya untuk berhenti menangis, tapi Hinata tidak bisa melakukan itu. Dia tetap saja menangis. Hinata tidak tahu mengapa ia merasa sangat sedih. Ada sesuatu yang hilang sejak beberapa hari terakhir. Tepatnya saat Naruto tidak menampakkan diri di hadapannya sama sekali. Hinata merasa kesepian, sendirian dan tidak mempunyai sosok pelindung yang selama ini selalu di dekatnya.

"Hinata, ayolah. Berhenti menangis. Jangan seperti ini. Kau tahu kalau aku tidak bisa melihatmu menangis." Naruto terus memohon agar Hinata berhenti menangis. Entah berapa lama lagi dia bisa bertahan dengan Hinata yang terus menangis seperti ini. Hatinya semakin lama semakin terasa sesak karena mendengar isak tangis Hinata yang tidak juga mau berhenti. "Maafkan aku, kumohon."

Hinata masih saja betah dengan kediamannya. Tapi selang beberapa saat, Naruto dapat merasa tubuh Hinata yang dengan cukup keras menghantamnya. Gadis itu memeluknya dengan erat sembari menagis dalam diam.

Walaupun ini bukan kali pertama Hinata memeluknya, tapi tetap saja Naruto tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang tiba-tiba terasa menggila. Naruto berdoa, semoga saja Hinata tidak dapat mendengar suara jantungnya yang terdengar amat berisik itu.

"Kenapa?" tanya Hinata yang mulai angkat bicara dengan suara yang bergetar. "Kenapa kau selalu menghindariku, Naruto-kun?" Hinata berucap pelan, nada parau terdengar jelas. Pelukan gadis Hyuuga itu semakin mengerat, seakan tidak mau melepaskan Naruto barang sedetikpun. Walaupun terdengar aneh dan berlebihan, tapi Hinata benar-benar merindukan pemuda ini. Merindukan semua hal tentang Naruto, mulai dari bagaimana hangatnya pemuda itu sampai tatapan ramah yang selalu diberikan Naruto kepadanya.

"Apa maksudmu Hinata? Siapa yang menghindarimu?" Naruto sekali lagi mencoba menampik sesuatu yang jelas-jelas dilakukannya.

Hinata melepaskan pelukannya dari Naruto dengan kasar. Kemudian iris amethyst itu menatap Naruto marah. "Berhenti berbohong Naruto-kun!" Suara Hinata meninggi. Dia sudah tidak tahan lagi mendengar semua kebohongan Naruto. Kenapa Naruto terus menerus membohonginya? Kenapa Naruto bisa setega itu padanya?

Naruto terkejut. Tubuhnya menegang seketika mendengar Hinata berbicara dengan nada tinggi. Ini pertama kalinya. Ini pertama kalinya Hinata terlihat begitu marah padanya. "H-hinata."

"Kau tidak pernah berangkat dan pulang sekolah bersamaku lagi. Kau selalu memutar arah ketika bertemu denganku. Kau sering berpura-pura tidak mendengar ketika aku memanggilmu. Apa semua itu belum cukup membuktikan bahwa kau memang menghindariku?" Gigi Hinata saling bergemelatuk. Dia benar-benar lepas kendali kali ini. Tidak bisa lagi mengontrol emosinya.

Naruto hanya diam seraya melukis samar senyum getir di wajahnya. Dia tahu, dia tidak bisa mengelak lagi. Dia tahu bahwa kali ini dia benar-benar keterlaluan.

Tangan kekarnya mengepal kuat. Bergetar menahan seluruh emosinya. Dia merasa sakit melihat Hinata tampak begitu hancur. Dia merasa sakit mengetahui semua perbuatannya berdampak buruk untuk Hinata. Naruto ingin sekali memeluk tubuh kecil itu, membelai lembut rambut panjangnya dan membisikkan kata-kata yang membuatnya tenang seperti yang ia lakukan ketika Hinata menangis.

Tapi Naruto tahu ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Ini berbeda! Hinata saat ini menangis karenanya. "Apa yang harus kulakukan Hinata?" tanyanya frustasi. Naruto mendadak menjadi seperti orang idiot. Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kenapa kau menghindariku? Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Hinata menuntut jawaban dari Naruto. "Kalau itu memang benar, aku minta maaf. Aku akan mencoba memperbaikinya. Tapi tolong, jangan menjauhiku, Naruto-kun. Itu membuatku sakit."

Apa Hinata berpikir dia saja yang merasa sakit? Justru Naruto yang merasakan rasa itu terlebih dulu. Apa Hinata tidak berpikir kalau Naruto merasa sakit apabila Naruto mendengar topik tentang Sasuke yang terus-menerus dia bahas? Apa Naruto tidak merasa sakit ketika pandangan Hinata tidak bisa terlepas dari Sasuke padahal jelas-jelas pada saat itu Naruto tepat berada di sampingnya? Naruto merasa sakit. Sering. Bahkan mungkin hatinya sudah memproduksi antibody tersendiri untuk menangkal rasa sakit itu yang terlalu sering dia rasakan. "Kau tidak mengerti," jawabnya pelan.

"Buat aku mengerti Naruto-kun. Aku tidak akan mengerti kalau kau diam saja."

Naruto mulai jenggah. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Hinata. Tidak sekarang. Dia belum siap. "Lebih baik kita hentikan semua ini. Aku minta maaf padamu. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi padamu. Selesai! Tidak ada yang perlu kita bahas lagi bukan." Naruto berbalik, hendak pergi. Tapi lagi-lagi tangan Hinata menahannya.

.

~[Can't Blamed]~

.

"Apa yang kau sembunyikan dariku, Naruto-kun?" Hinata sedikit mengeliminasi jarak antara dirinya dengan Naruto. Sorot matanya menajam, menuntut Naruto untuk berterus terang padanya.

"Tidak ada yang ku sembunyikan," jawab Naruto singkat. Bola matanya bergerak gelisah, mencari sudut apapun asal tidak bertemu dengan manik bening Hinata.

"Tidak?" Hinata membeo. "Aku dapat melihatnya dengan jelas. Kau tidak dapat menyembunyikannya dariku."

"Aku tidak tahu maksud ucapanmu. Tidak ada yang ku sembunyikan. Cukup Hinata!" Kali ini ucapan Naruto meninggi. Dia lelah dengan perdebatan ini. Naruto ingin sekali segera pergi dari sini, sebelum dia benar-benar lepas kendali.

"Tatap aku! Kau bahkan tidak berani menatapku."

"Tolong jangan memaksaku!" peringat Naruto sekali lagi.

"Katakan sesuatu, Naruto-kun. Katakan kenapa kau menjauhiku! Kenapa kau terus-menerus membohongiku. Apa yang kau sembunyikan dariku. Kata-"

"Karena aku mencintaimu!" ungkap Naruto nyaris berteriak.

Hinata terkejut mendengarnya. Gadis bertubuh mungil itu langsung menarik tangganya yang sedari tadi menggenggam tangan Naruto. Menggunakan kedua tangannya untuk menutup mulutnya. Untaian rambutnya bergerak ke kiri dan ke kanan karena sang pemilik tengah menggeleng tidak percaya. Dan kristal-kristal bening itu mulai meluncur lagi dengan deras setelah beberapa saat lalu sempat terhenti.

"Aku mencintaimu Hinata. Mencintaimu yang selalu mencintai Sasuke." Suara Naruto terdengar melemah, nyaris seperti bisikan. "Aku sudah mencintaimu sejak dulu. Sejak Sasuke belum melihatmu seperti sekarang."

"..."

"Aku menghindarimu karena aku ingin berusaha melepaskanmu. Menyingkirkan perasaanku yang sudah tertanam bertahun-tahun di hatiku." Naruto menatap wajah sembab Hinata. Tangannya terangkat. Dengan menggunakan ibu jarinya dia menyeka air mata sang gadis. "Jangan menangis dan tidak perlu merasa bersalah. Aku baik-baik saja." Naruto tersenyum. Walaupun terkesan dipaksakan tapi Naruto hanya ingin meyakinkan Hinata bahwa dia memang baik-baik saja.

"Tolong beri aku waktu untuk sendirian sementara ini. Aku janji akan berusaha keras untuk melupakan perasaanku padamu." Naruto mengangkat tangannya tepat di atas kepala Hinata. Mengacak-acak rambut Hinata pelan seperti yang biasa dilakukannya.

"Jangan jadikan ini beban untukmu. Anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa. Anggap saja ini tidak pernah terjadi." Kemudian pemuda berambut pirang itu berlalu pergi begitu saja, menyisakan Hinata yang masih saja terpaku di sana. Meninggalkan Hinata tanpa tahu bagaimana keadaan sang gadis. Bagaimana terlukanya gadis itu mendengar ucapannya.

.

.

.

~[Fin]~

.

.

.

A/N:

Oke, saya muncul lagi dengan bawa fanfic gaje yang lagi-lagi kesannya nanggung banget. Sebenarnya dari kemarin-kemarin udah pengen post fanfic di sini, tapi kayaknya lagi sepi banget ya? Para author dan reader pada ngilang semua (saya pake pengaturan archive Hinata, entah archive lain). Karena masih sepi jadi saya nerusin berhiatusisasi. Dan akhirnya fic multichap saya jadi terbengkalai. Gomen. #bungkuk-bungkuk

Walaupun fanficnya gaje, tapi saya masih mengharapkan review dan jejak-jejak lain dari kalian. Jadi jangan lupa tinggalkan jejak!

.

.

.

Sign out,

Phya Phyo