Chapter One
Sayatan di Tangan
Ruangan itu gelap gulita, nyaris tanpa cahaya. Satu-satunya sumber penerangan di sana hanyalah sebatang lilin hitam berukir. Api biru keperakan menari-nari di ujung sumbunya, terlihat dingin dan kaku.
Api biru itu memantulkan dua hal ganjil di sana: bercak-bercak cairan hitam kental di lantai, dan, yang sangat mengherankan, seorang gadis dengan sebilah pisau di tangan dan tubuh gemetaran. Gadis itu Temari.
Sungguh mencengangkan, Temari yang biasanya tegas, cerewet, dan galak, kini terduduk lemas di sudut ruangan, benaknya dipenuhi kebimbangan dan kecemasan. Matanya yang hijau indah melebar ketakutan melihat luka-luka sayatan di tangan kirinya.
Satu sayat lagi, pikir Temari. Dan kemudian, dengan mata terpejam, Temari menyilet cepat tangannya dengan pisau itu. Cairan hitam pekat langsung tersembur keluar.
Satu sayat lagi…
Temari tertawa parau melihat tangannya yang berdarah-darah. Cairan hitam kental itu sekarang mengalir ke sikunya, dan perlahan menetes ke lantai...
Tes. Tes. Tes.
"Satu sayat lagi…"
***
"…nganmu itu?"
"Apa?" Temari menoleh ke arah Shikamaru. "Barusan kau berkata apa?"
"Tanganmu," ulang Shikamaru, "tanganmu kenapa?"
Temari cepat-cepat melirik tangannya. Apa yang salah dengan tangannya? Seingatnya tadi pagi dia sudah memakai sarung tangan. Tidak mungkin luka-luka sayatan itu terlihat.
"Ada tinta hitam di tangan kirimu."
Benar. Cairan hitam mirip tinta meresap di sarung tangan Temari, meninggalkan noda besar dan bau agak aneh.
"Oh, ya!" tukas Temari cepat sambil menutupi tangan kirinya. "Itu… itu tinta cina! Tadi aku… mmm… baru saja belajar kaligrafi?"
"Oh, begitu," sahut Shikamaru tidak peduli. Perhatiannya sudah beralih ke langit biru tak berawan di atasnya.
Mungkin, batin Temari sambil menghembuskan nafas lega, ada baiknya juga punya pacar cuek.
***
"Ini, Temari." Kankuro menyodorkan sebuah guci kecil berukir padanya. "Pasti lezat."
"Hmmm, ya. Terima kasih." Temari menerima guci itu dengan enggan.
"Kau tidak pantas menghadapi ini semua…" Kankuro menatapnya dengan pandangan khawatir. "Harusnya si lelaki tak tahu diuntung itu yang sekarang berwajah pucat dan berkantung mata."
"Sudahlah…" Temari menghela nafas. Entah sudah keberapa kalinya hari ini.
"Semua ini terlalu berat untuk kau tanggung sendiri. Kau benar-benar tidak ingin menceritakan hal ini padanya?"
"Tidak," kata Temari mantap.
To be continued
Oke, chapter pertama selesaiiii!
Review ya!
