Oretachi no Symphony

A Naruto Fanfiction

--

Oretachi no Symphony © Emi Yoshikuni
Naruto © Kishimoto Masashi

--

Kushin Hero1ne proudly presents

"Ichiban no Monogatari" called Oretachi no Symphony.

Emi Yoshikuni to omoimasu

Yoroshiku nee~

LESSON 1 : INTRODUCE

Aki.

Musim gugur pertama di kota Konoha adalah hal yang paling disukai oleh para penduduknya. Entah mengapa. Namun, autumn merupakan fase pertemuan antara angin dingin dan salju. Salju. Salju memang menyenangkan tapi tidak akan menyenangkan bila telah mencapai puncaknya. Kota Konoha sering diterpa badai salju kala winter tapi seperti pepatah mengatakan, "Sedia Payung Sebelum Hujan", warga Konoha adalah warga yang selalu siap sedia di setiap saat, baik itu di kala summer, sampai kembali summer lagi. Musim semi memberi kesempatan bagi tiap benih untuk tumbuh dan berkembang. Rerumputan, bunga liar dan ilalang bertebaran di padang-padang, menghembuskan hawa sejuk bagi orang-orang yang melewatinya. Akan tetapi, ada juga warga Konoha yang sering meributkan masalah alergi serbuk bunga. Bagi mereka yang memiliki selaput lendir yang lemah, dipastikan akan mengalami alergi di setiap musim semi. Kemudian, musim semi akan berubah menjadi aki. Inilah musim yang sangat disukai oleh salah satu warga Konoha yang kini berstatus sebagai siswi Konoha Music University divisi piano. Sakura Haruno.

Gadis nyentrik berkelakuan aneh dan ajaib ini menyusuri jalanan Hokage Avenue dengan langkah cepat dan lebar. Ia mengayun-ayunkan tas kecilnya dengan tak karuan. Entah apa yang dibawanya, yang jelas terlihat tasnya seperti tak berisi alias kosong. Ia bersiul kecil menyanyikan sedikit potongan salah satu masterpiece maestro terkemuka dunia, Beethoven Symphony Nr. 7. Rambut pink pendek sebahu, poni hingga menutupi alis pinknya dan bandana berwarna kuning sudah menjadi ciri khasnya sehingga bila para senpai yang ingin menagih obento mereka yang sering dicuri oleh Sakura dapat dengan mudah mencarinya, hanya saja kelakuan nyentriknya itu yang malah membuatnya semakin terkenal di Konoha Music Academy. Bahkan, di kalangan divisi piano, nama Sakura Haruno Sang Pencuri Obento telah dipatenkan oleh mereka. Namun, tak berarti kualitas permainan jemarinya dikategorikan dalam under rank. Kembali pada aktivitasnya sekarang, ia telah berada tepat di depan pintu gerbang megah yang bertuliskan "Konoha Music University". Dengan senyum yang terus mengembang dari bibirnya, ia kemudian mengangkat satu tangannya ke atas meneriakkan beberapa hal tak penting yang membuat para siswa di sekitarnya menghentikan sesaat aktivitasnya.

"Mukyaa... akhirnya..."

Hening sesaat dan aktivitas para siswa Konoha Music University yang berlalu lalang di sekitar sekolah kembali normal. Para pemain oboe dan trumpet tahun terakhir yang akan mengikuti concour dalam uji coba pemain musik profesional terlihat amat serius dengan kegiatannya. Siswi-siswi divisi vocal berpakaian anggun layaknya seorang duchess membentuk barisan khusus di sekitar air mancur sekolah yang juga amat megah; dengan patung Maestro Schubert berdiri tegap di tengah-tengahnya, membawa sebuah baton di tangan kanannya. Ditambah lagi dengan adanya sekumpulan siswa elit divisi orchestra yang nampak sedang mendiskusikan masalah konser mereka di akhir tahun, tepat saat Natal.

Sakura yang hanya menampakkan wajah senangnya berjalan menuju halaman sekolahnya hingga mencapai sebuah bangunan megah benuansa Europe Classic Castle. Ia mendorong pintu masuk berkaca dengan ornamen-ornamen emas dan dua buah patung cupid yang membawa kendi di tiap pojok gedung. Langkah-langkah girang dan lebarnya menyusuri tiap anak tangga menuju lantai dua gedung tersebut. Melodi-melodi orkestra mulai terngiang di koklea Sakura. Ia tersenyum senang, menutup kedua kelopak matanya dan mulai menikmati alunan melodi-melodi indah yang berasal dari sebuah aula latihan bagi siswa-siswi divisi orkestra. Akan tetapi, tepat saat ia berada di depan pintu kelas khususnya, senyum yang terus mengembang di balik bibir tipis nan merahnya itu tidak membentuk huruf "U" lagi tapi kembali datar. Ia menundukkan wajahnya dan tersenyum sedih. Entah perasaan apa yang membuatnya bersedih padahal semestinya alunan melodi orkestra adalah obat terbaik baginya untuk tersenyum ceria. Hal itu sudah bukan pertanyaan tanpa jawaban baginya karena sejak semester pertama ia memasuki satu-satunya akademi musik terkompeten di Konoha no Sato, ia telah mengetahui dengan baik jawabannya.

"Tak ada piano dalam orkestra. Mukyaa..."

Ia jadi tambah sedih setelah menguraikan kata-kata itu. Ia merasa seperti dihujani beribu ton batu besar yang jatuh dari langit dan mengenai kepalanya. Dari balik pintu kelas khususnya, ia melihat piano yang sangat dicintainya. Mungkin itulah yang membuat hatinya semakin gundah dan kacau.

Suara alunan melodi orkestra itu berhenti; Sakura hendak membuka gagang pintu kelas khususnya. Namun, kelas itu secara tiba-tiba dibuka dengan paksa oleh seseorang dari dalam kelas sehingga membuat Sakura harus menerima bogem mentah di dahinya.

"Gyabooooooooo..."

Benjolan merah tepat di dahi menjadi hadiah di hari pertama semester baru di tahun ketiganya di Konoha Music University. Tangisan kecil ala Sakura Haruno, siswi divisi piano terdengar dengan jelas oleh seorang pria tua yang tanpa rasa bersalah membuka pintu kelas khusus Sakura. Pria tua itu menggunakan jas butut cream dengan dasi bermotif polkadot merah. Kacamata berframe bulat oval menghiasi wajahnya yang dipenuhi keriput-keriput khas pria beristri-dengan-keluarga-bahagia-selamanya, ditambah juga dengan rambut yang dipenuhi dengan wig berwarna putih alias uban.

"Hoo, Sakura-san...Ohayou Gozaimasu!" sapanya dengan nada ceria.

"Mukyaa..." keluh Sakura sambil berusaha berdiri dari terpaan bogem mentah dari sensei-nya. "O-ohayou Gozaima-shuu, sensei."

"Tadi, Sensei melihat Sakura-san hanya berdiri di depan pintu dan seperti kehilangan pandangan. Tak kusangka, Sakura-san datang sepagi ini, biasanya Sakura-san terjebak dalam stasiun yang penuh dengan orang-orang kan? Tapi, nilai plus dariku untuk Sakura-san."

Sakura seperti melihat beberapa burung kecil terbang mengitari atas kepalanya. "Haa, ada burung kecil..."

"Hoo, Sakura-san, hari ini adalah hari tercerah seperti biasanya, ya? Sensei senang sekali bisa mengajar lagi untuk tahun ini dan terutama menjadi guru privatmu seperti biasa. Apa ada masalah yang ingin kamu bahas sebagai pemanasan di hari pertama tahun ketigamu?"

Sakura berdiri sambil memegangi dahinya yang masih sakit. Ia lalu kembali ceria seperti biasa dan mengembangkan lagi senyum di bibir merahnya. Pipinya yang juga kemerah-merahan kembali cerah lagi.

"Ano..."

"Ya?" pria tua itu melihat Sakura dengan wajah senang tapi tak mengerti apa yang diinginkannya.

"A-apa Sakura bisa masuk ke dalam kelas, sensei?" tanya Sakura hati-hati

Pria tua itu mengangguk pelan dan tetap tersenyum, "Oh ya, maaf, Sensei lupa. Semestinya sensei menyilakan kamu masuk terlebih dahulu. Ayo masuk!"

"Hai'!"

Kedua pendidik dan terdidik itu memasuki ruangan yang khusus diberikan pada siswa-siswi tahun ketiga. Dua buah piano besar dan berwarna hitam terletak sejajar tepat di depan sebuah papan tulis dan jendela yang memberikan pemandangan indah taman Konoha Music University. Sakura mendekapkan kedua tangannya dan melihat ke arah jendela. Ia mulai terkagum-kagum lagi pada suasana taman yang dilihatnya sekarang.

"Huaa, sugoi..."

"Melihat ciptaan Tuhan yang sangat indah adalah hal yang bisa menginspirasi siapapun dalam berimajinasi. Sama seperti dalam memainkan setiap not dalam score yang harus kamu pelajari hari ini, Sakura-san." ujar pria tua yang menjadi guru privat Sakura untuk tahun ketiganya. Ia menyodorkan sebuah scorebook kepada Sakura. Sakura lalu memanyunkan bibirnya seraya mengerutkan dahinya.

"Sensei..." panggil Sakura kecil.

"Nani―apa?"

Sakura mengerutkan bibirnya dan mulai menangis.

"He? Ada apa Sakura-san? Apa ada sesuatu yang salah dengan scorebook itu?" tanya pria tua itu kebingungan, "Ah! Aku tahu. Sakura-san, bagaimana kalau kita pemanasan dulu, ok?"

Sakura menggeleng, "Ano, Sakura tak bisa memainkan karya ini sekarang."

"Kenapa? Apa kamu sakit? Ada yang mengubah mood-mu? Atau..."

"KRUYUKKKKK"

Terdengar suara aneh dari arah perut Sakura. Ia tertawa kecil mendengar suara dari perutnya sendiri. Rasa lapar menghantui dirinya sekarang. Ah! Dia lupa sarapan pagi. Karena terlalu senang dengan hari pertamanya kembali ke sekolah, ia jadi lupa sarapan. Mengingat kondisi rumahnya yang terlalu―rapi, ia jadi tak bisa membuat sarapan; ia bahkan tak tahu di mana ia meletakkan kompor dan rice cooker-nya.

"Ah, Sakura-san, apakah kamu mendengar sesuatu yang aneh? Sepertinya ada suara binatang aneh dalam ruangan ini. Ataukah suara tonggeret dari luar sana? Sepertinya bukan, musim semi telah usai, mana mungkin masih ada tonggeret. Sakura-san?"

Sakura terlihat berdiri namun seperti kehilangan semangat untuk berdiri. Kepalanya terus ia tundukkan dan suara-suara berisik dari dalam perutnya bernyanyi terus-menerus membuatnya semakin menunduk. Semakin lama, suara-suara itu semakin menggeliat dan berbunyi semakin besar.

"Sakura―lapar, he he." jawabnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Sensei, bisakah kita istirahat?"

"Oh? Baiklah! Anak muda butuh energi besar daripada orang tua. Untuk memainkan karya terbaik Rachmaninoff, harus dengan energi besar, iya kan Sakura-san?"

"Un!"

Keduanya keluar dari kelas itu tanpa memulai latihan sedikit pun. Dengan alasan kelaparan, Sakura mengajak senseinya untuk beristirahat dan makan siang (?) di café kampusnya itu. Suara decitan dari sepatu pria tua yang berjalan beriringan dengan Sakura terdengar amat jelas di tiap koridor gedung kampus. Akan tetapi, Sakura sama sekali tidak memperhatikannya, yang ia inginkan hanya mendapatkan sekotak obento lezat atau kalau pun ia tak mendapatkannya, ia bisa melakukan "hobinya" yang aneh itu.

Keheningan melingkupi suasana koridor divisi piano. Kelas khusus Sakura kembali sepi. Rangkaian melodi piano hutan milik Sakura tak terdengar lagi. Ia belum memulai apapun padahal siswa-siswi Konoha Music University rela meninggalkan segala urusan di luar sekolah dan berusaha dengan keras di tahun-tahun mereka terutama pada awal semester baru. Namun, langkah riang Sakura adalah rangkaian melodi yang ia ciptakan. Piano hutannya yang messy adalah ciri khasnya tetapi awal dari rangkaian not-not dalam scrobeook Sakura dimulai di saat ini, dalam sebuah simfoni...

XXxx____xxXX

Konoha International Airport

09.34 AM

Suasana di sekitar bandara Konoha yang begitu luas disesaki dengan ratusan, bukan, ribuan manusia dengan berbagai aktivitasnya. Kumpulan pria berjas hitam bergaya perlente memenuhi ruang tunggu bandara. Gate-gate bernomor besar berdiri dengan gagah di depan kursi-kursi tunggu itu. Pesawat-pesawat yang telah siap untuk diterbangkan ke tujuannya masing-masing berjalan pelan dan nampak seperti mainan anak-anak yang sudah rusak. Jalurnya, bagi seorang anak berusia enam tahun pasti dianggap salah jalan. Tidak semestinya sebuah pesawat hanya berputar-putar di tempatnya layaknya mainan rusak. Hal itu takkan bisa dimengerti oleh anak-anak itu dan kalau pun ada yang memahaminya, anak tersebut pasti akan tumbuh menjadi anak cerdas atau bahkan jenius.

Seperti di ruang tungu, di bagian international arrival pun terjadi hal yang sama, hanya saja kumpulan manusia yang terbentuk lebih beraneka ragam dan bentuk. Wanita-wanita gemuk putih dengan pakaian bak seperti orang Hawai dilengkapi dengan kalung bunga-bunga yang mengelilingi lehernya berjalan sambil membawa anjing puddle-nya yang lucu. Kemudian, ada juga pria tua aneh yang hanya berputar-putar di tempatnya berdiri. Rambut yang Tuhan ciptakan ketika lahir dan akan tumbuh lebat hingga dewasa tak hadir lagi di tiap kerutan kulit kepalanya. Pria tua itu pasti sangat tua. Ia nampak seperti mencari-cari sesuatu yang jatuh tapi ia tak tahu di mana letaknya barang yang ia jatuhkan.

"Kami-sama, di mana ia terjatuh? Tunjukkanlah letaknya, Kami-sama."

Sesosok pria berambut hitam pekat dengan mantel biru tua tiba-tiba berjalan mendekati sang kakek. Ia menepuk pelan bahu sang kakek.

"Ada sesuatu, Jii-san?" tanyanya pelan.

Kakek tua itu berbalik dan menatap lelaki muda berkulit putih itu. Namun, matanya yang sudah rabun tak bisa menangkap dengan jelas rupa lelaki itu.

"Anu, kelereng yang Jii-san belikan untuk cucu Jii-san terjatuh dan tidak tahu jatuh di mana." jawabnya ragu. Ia pun kembali pada aktivitasnya mencari benda yang dicarinya yang ternyata sebuah kelereng.

"Apakah kelereng ini yang Jii-san maksud?" ungkapnya datar tanpa nada.

"HA... iya, iya, betul! Kelereng ini... Haa... Yokatta. Arigatō Gozaimashita!" seru sang kakek senang, kemudian mengambil kelereng yang berhasil ditemukan oleh lelaki muda itu tanpa sengaja.

"Iie, tidak apa-apa. Saya permisi dulu, Jii-san." katanya seraya menundukkan kepala, tanda hormat.

Lelaki muda itu berjalan pelan namun dengan langkah pasti ke arah pintu kedatangan luar negeri. Setelah mengambil luggage-nya ia lalu menuju pintu keluar bandara. Berpuluh-puluh manusia berusaha keluar dari rombongan tur Amegakure. Lelaki muda itu tidak merasa terganggu sama sekali dan tetap memperlihatkan wajah datarnya tanpa ekspresi. Maya onyx-nya menangkap tiap aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Ia melihat ke arah jam tangannya dan mendapat waktu yang sekarang menunjukkan pukul sepuluh tepat. Ia memicingkan matanya dan melihat seseorang yang mengangkat sebuah kertas bertuliskan "Mr. Sasuke Uchiha"

"Apa ini mobilku?" tanya lelaki muda itu kepada seorang pria kecil yang membawa kertas bertuliskan namanya.

"I-iya, U-uchiha do―no." jawabnya takut-takut.

"Aku akan menyupir sendiri." pintanya dengan nada yang masih datar. Ia menyodorkan tangannya ke arah pria kecil itu, tampak meminta sesuatu.

"Ah, iya. Ma-maaf. Ini kuncinya." katanya seraya memberikan kunci mobilnya kepada pria yang bernama Sasuke Uchiha itu. Sasuke lalu berjalan menjauhi pria kecil itu dan menuju mobilnya. Sebuah mobil sport merah telah terparkir baik tepat di depan pintu keluar itu. Ia lalu menekan tombol alarm dari balik kuncinya dan membuka pintu mobilnya. Tiba-tiba saat ia baru saja ingin memasuki mobilnya, sekelompok wanita nyentrik dengan pakaian berbulu-bulu berteriak kegirangan ketika melihat Sasuke.

"Kyaa... lihat, lihat! Cowok itu manis sekali... Kyaa..."

"Iya, iya, betul. Sepertinya dia orang penting dan lihat mobilnya. Wow... pasti orang kaya."

"Hahh... ingin sekali menjadi pacarnya."

Dan begitu terus hal-hal yang diucapkan oleh wanita-wanita itu. Sasuke sebenarnya tidak terusik tapi wanita-wanita itu lama-kelamaan semakin mendekat ke arahnya. Ia memperlihatkan matanya yang menakutkan ke arah wanita-wanita iseng itu. Mereka akhirnya selangkah menjauh, menjauh, dan lari.

"Dasar cewek-cewek tak berguna."

XXxx____xxXX

Mobilnya melesat dengan kecepatan penuh. Ia merasa ada yang hilang selama ini. Liburannya di Ame untuk menenangkan diri atas insiden lalu ternyata tak membawa hasil yang bagus. Ia masih saja dilingkupi rasa amarah dan jengkel terhadap perlakuan sensei yang selalu dipercayainya. Speedometer mobilnya hampir berada di angka 120 tapi ia menghiraukannya. Ia tak peduli dengan mobil polisi atau sebagainya. Yang dapat ia pikirkan sekarang adalah mendapat kepercayaan sensei-nya kembali seperti semula.

"Kuso!" umpatnya dalam hati berulang-ulang.

Ia memutar setiran mobilnya tanpa perhitungan ke kiri. Hampir saja ia menabrak tembok apartemennya. Ia mengambil napas yang panjang kemudian menghembuskannya, begitu terus. Jantungnya berdegup kencang dan adrenalin-nya belum mampu dikendalikan. Ia menatap wajahnya sendiri dari atas cermin yang terletak di atasnya. Sebuah helaan napas panjang ia keluarkan dan ia kembali tenang serta rileks. Dibukanya pintu mobilnya dan ia lalu berjalan menuju halaman apartemennya dan melihat-lihat kondisi apartemennya yang tidak berubah sama sekali (tentu saja, ia kan hanya meninggalkan apartemennya untuk tiga minggu saja).

Paman dan bibi pemilik apartemen terlihat sedang melakukan aktivitas sehari-hari mereka, yaitu menyiram dan menyiangi rumput yang ini tumbuh sangat subur. Padahal sekarang sudah memasuki musim gugur tapi ruput teki yang menghiasi setiap sisi halaman di sekitar apartemen bergaya klasik itu masih saja tumbuh dengan subur. Sasuke menatapnya sebentar dan kemudian membuka kenop pintu apartemen. Kemudian, ia membuka lemari kecil yang terletak di sisi kanan meja FO apartemen itu. Ia mengambil kunci kamar apartemennya dengan tatapan kosong. Hanya saja, ada hal selain kunci kamar yang ia temukan dalam lemari itu.

"Surat?"

Dibacanya surat itu. Ia memandang sedikit-sedikit ke segala penjuru sebelum membaca nama pengirim surat misterius itu.

"Hatake Kakashi? Mau apa lagi dia." ungkapnya seraya membanting pintu lemari itu.

Langkahnya lambat. Ia memang terlihat sangat lelah. Perjalanan panjang yang telah ia lalui dari Ame ke Konoha membuatnya homesick. Sasuke bukanlah tipe orang yang tahan dengan perjalanan jauh. Meskipun phobianya akan pesawat terbang dan kapal laut telah hilang, bukan berarti ia dengan sepenuhnya dapat dengan sedang hati menaiki kedua kendaraan jarak jauh itu.

Ia membuka pintu kamar apartemennya. Tak berubah dan masih bersih. Ia merasa ada seseorang yang selalu membersihkan kamarnya itu. Siapa lagi kalau bukan Hinata Hyuuga sang Madonna dari divisi vocal. Mereka memang sudah tak punya hubungan apa-apa lagi tapi sepertinya masih ada hubungan istimewa antara mereka. Sasuke ingin fokus pada pianonya begitu pula dengan gadis manis pemilik mata lavender itu. Tak sabar dengan rasa ngantuk yang merasuki dirinya, ia pun membanting badannya tanpa membuka sepatu dan mantelnya terlebih dahulu di atas sofa ruang tamu yang empuk.

"Hm, orang ini masih belum cukup menasehatiku rupanya." katanya seraya membuka lembaran dalam amplop surat itu.

Mr. Uchiha Sasuke

Apa kabarmu? Pasti kau telah berada di rumah dengan selamat saat membaca surat ini. Yah, tentu saja. Langsung saja, mengenai kebodohan yang kau lakukan dahulu, aku berpikir terus dan mempertimbangkannya. Aku tak bermaksud mengejek permainanmu di akhir musim semi lalu, hanya saja kau sudah memasuki tahun keempatmu sekarang dan kau masih belum bisa mengubah caramu membawa alunan melodi-melodi itu. Kau tahu, sebagai mantan guru privatmu dan satu-satunya orang yang sudah menamparmu di depan Profesor Sarutobi (kurasa aku benar-benar mempermalukanmu, maaf), aku merasa aku adalah orang gagal. Hei, dengar ya, ini bukan pengakuan dosa meskipun saat membaca kalimat sebelumnya kau akan berpikir aku ini orang yang tak bermoral. Yah, apapun itu tetap saja aku harus memberikanmu satu kesempatan lagi.

Kau kenal Maestro Jiraiya kan? Di bulan Agustus nanti, dia akan ke Konoha dan kupastikan jika kau masih ingin meneruskan impianmu bertemu dengan Maestro tercintamu di Oto, kau harus menemui orang ini atau lebih tepatnya menemukan"nya".

Kurasa hanya itu. Hei, salamku untuk ibumu yang cantik itu. Jangan berpikir macam-macam ya.

Maestro Hatake Kakashi.

"Cih, menggunakan kata Maestro di depan namanya. Hahh... menemui orang ini, memangnya siapa dia..." katanya kecil seraya melempar lembaran surat yang telah dibacanya ke atas meja ruang tamu.

Ia merasa pusing sekali ditambah dengan rasa ngantuk yang mengantui dirinya. Tanpa sadar, ia langsung saja terbaring di atas sofa ruang tamunya dan tertidur pulas. Ia membawa dirinya dalam beberapa mimpi buruk. Dimulai dari pengalaman mengerikan ketika ia masih kecil, saat ia baru saja pindah dari Oto di usianya yang ke-10. Ia harus menaiki sebuah pesawat dari sana ke Konoha, hanya saja ketika pesawat itu akan landing, tiba-tiba terjadi kesalahan dan menyebabkan kerusakan mesin. Pesawat itu terjatuh dari ketinggian sepuluh meter. Terjadi gesekan keras antara roda pesawat yang belum sepenuhnya keluar dengan jalur landing pesawat. Sasuke kecil berteriak keras dan ketakutan. Ia terus memegangi pegangan kursinya dan berteriak. Dilihatnya suasana pun menjadi kacau. Orang-orang di sekelilingnya terus berdo'a dan ada juga yang berteriak bak akan menemui kematian. Untungnya saja, ia selamat dan jumlah penumpang yang juga banyak, kecuali satu orang, yaitu...

"TI TIT... TI TIT... TI TIT... TI TIT... TI TIT..."

Alarm ponsel Sasuke berdering. Ia lupa mematikan alarmnya yang sering ia gunakan jika ia lupa akan waktu yang penting dan memang ada sesuatu yang penting di waktu itu.

....

I've been waiting for you

Here I come

...

Ponsel Sasuke berdering lagi tapi kali ini adalah bunyi isyarat pesan. Sasuke terbangun dan dengan pelan ia menegakkan tubuhnya dan melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu di angka enam. Ia menghela napas panjang dan memijit-mijit keningnya. Setelah badannya rileks, ia lalu mengambil ponsel dari atas meja.

"Hinata?"

Konban wa

Apa aku mengganggumu? Ibumu menelepon tadi siang, katanya seharusnya kamu sudah sampai di Konoha. Kalau iya, bisa kita bertemu? Ada hal yang ingin kutanyakan.

P.S: Kutunggu di tempat biasa.

Sasuke memicingkan matanya dan sedetik kemudian ia lalu menutup penutup ponselnya dan segera beranjak dari sofa empuknya menuju tempat biasa yang hanya mereka berdua ketahui.

Sebuah mobil sport merah melaju dengan kencang di jalanan ramai itu. Tak peduli apa kata orang, asalkan kau sampai pada tujuanmu, itulah motonya, dan juga jangan biarkan orang lain mengganggu ruang gerakmu. Sasuke akhirnya sampai di tempat yang Hinata maksud, yakni sebuah restoran mewah bergaya Eropa.

"Sasuke-kun?" sapa seorang wanita anggun dengan rambut yang digerai hingga pinggangnya. Wanita itu juga menambahkan syal merah muda yang mengitari tengkuknya.

"Hisashiburi." katanya lagi dan kini dengan senyum yang benar-benar manis.

Sasuke berbalik dan melihat wanita anggun itu. Ia jadi teringat dengan masa lalunya. Senyum Hinata-lah yang hanya mampu mendinginkan kepalanya yang panas bila tak bisa menemukan tempo dan ketukan yang tepat untuk setiap beat nada yang ingin dimainkannya. Ia adalah satu-satunya wanita yang ia kenal dan sayangi sebagai seorang kekasih.

"Hm, bagaimana liburanmu di Ame? Pasti sangat menyenangkan. Kak Neji pernah bilang, pantai di Ame sangat indah. Ah! Dan juga ada tebing-tebing curam disertai dengan air terjun. Pasti―" kata-kata Hinata terpotong saat Sasuke berusaha mengganti topik pembicaraan sejak tadi.

"Bisakah kita membicarakan hal lain?" tanyanya dengan tegas tapi berusaha untuk tidak menakuti Hinata.

Hinata berhenti menatap Sasuke dan kembali tenang, "A-aku hanya ingin berusaha membuat segalanya jadi lebih baik. Kurasa bukanlah saat yang tepat kalau aku harus membicarakan hal yang berat seperti..."

"Kakashi-sensei memberiku satu kesempatan lagi. Tapi, kesempatan itu adalah hal yang konyol. Aku sudah bertekad akan berganti divisi tahun ini dan berusaha meraih impianku menjadi konduktor."

"Ber―pindah divisi?" tanya Hinata agak sedikit tercengang.

Sasuke hanya mengangguk pelan sambil mengangkat gelas champagne-nya.

Hinata nampak membulatkan matanya saat Sasuke selesai mengatakan hal yang tak biasa didengarnya itu, "Aku tahu kamu ingin sekali menjadi konduktor profesional, sama seperti Maestro Nagato, guru pertama yang mengajarimu mengenal alat musik. Tapi... kamu sudah punya jalan yang harus kamu lalui, Sasuke. Kakashi sensei memberimu satu kesempatan lagi untuk memperbaiki segalanya, bukankah itu bagus? Lebih baik kamu berkonsentrasi dengan pianomu sekarang dan kembali pada dirimu yang dulu."

Sasuke seperi tertohok oleh seuatu sehingga gelas champagne yang dipegangnya tiba-tiba terhenti tepat di depan wajahnya. Ia menatap Hinata dalam-dalam dan kembali tenang seraya meneguk champagne-nya.

"Aku tak pernah berubah, Hinata. Dulu dan sekarang masih aku. Tak ada yang berubah. Permainan jariku juga tak ada yang berubah. Lalu, bagian mana dari diriku yang kata orang-orang itu berubah? Hah... aku tak mengerti dengan arti dari perubahan itu sendiri. Ya, aku yang kosong dan tak punya sense of music." kata Sasuke dengan pandangan yang kosong seperti tak memiliki jiwa lagi.

"PLAKK!"

"Kupikir― kamu masih Sasuke yang dulu. Tapi tidak! Kamu bukan Sasuke yang AKU kenal. Saat aku mendengar alunan melodimu waktu itu, sudah tak ada jiwa lagi tapi dulu, waktu kita masih di bangku SMU―

Hinata berusaha berdiri tegar dan menatap Sasuke dengan tangis dan kecewa. Mata lavendernya yang indah itu kini tampak berkaca-kaca. Ia merasa sangat kecewa dengan perkataan Sasuke dan sudah tak bisa menahan kekecawaan yang telah menumpuk di hatinya.

"―kamu selalu memainkan piano itu dengan segenap hati dan tak pernah meragukan melodi itu sekali pun!"

Seruan Hinata membuat Sasuke terkejut tapi tak membuatnya sampai lupa diri. Ia malah semakin kacau, "Aku adalah aku, yang dulu itu..."

"Aku benci pengecut sepertimu!"

Sasuke telah menerima tamparan dari Hinata ditambah dengan perkataan sadis Hinata padanya, "Aku benci pengecut sepertimu!". Langit terasa runtuh. Sasuke tak tahu harus berbuat apa lagi. Seketika, ia menarik lengan kecil Hinata saat Hinata berusaha untuk pergi darinya.

"Kumohon, tinggallah. Kumohon..."

Hinata merasa iba tapi rasa iba itu serasa hilang ketika wajah pengecut Sasuke muncul lagi. "Ti―tidak. Sudah kukatakan padamu, Sasuke-kun. Aku benci pengecut sepertimu."

Hinata menarik pergelangan tangannya yang dipegang erat oleh Sasuke. Perasaan hancur berkeping-keping adalah hal yang dirasakan Sasuke saat itu tapi ia tidak memikirkannya sekarang. Pikirannya masih dijejali dengan efek alkohol sehingga ia langsung tertidur di meja bertender dan terjatuh...

XXxx____xxXX

"Mukyaa... Sakura senang sekali hari ini!" seru Sakura sambil membawa beberapa buah kantung plastik berisi makanan-makanan yang sangat disukainya. Ia berjalan dengan langkah tak karuan dan melangkah menaiki tiap anak tangga menuju apartemennya.

"Tapi..." Sakura melihat dari balik tas sampingnya. Begitu banyak scorebook yang harus bisa ia kuasai di tahun ketigaya ini. Dia jadi lemas tapi bukan berarti ia jadi patah semangat.

"Yosh!"

Sesampainya di depan pintu apartemennya yang bernomor 201, ada hal yang "tak biasa" yang dilihatnya. Sesosok manusia sedang tertidur pulas tepat di depan pintu kamar sebelah kamar Sakura. Ternyata sosok manusia itu adalah seorang pria yang sangat populer di kalangan siswi-siswi Konoha Music University. Seseorang yang sebenarnya Sakura kenal tapi ia lupa akan namanya.

"Uoh? Si―siapa?" tanyanya dengan nada ketakutan.

Sakura berjalan selangkah demi seangkah mendekati sosok pria misterius itu. Sesampainya ia di dekat pria itu, ia duduk bersila berusaha memegangi pipi sosok itu. Tiba-tiba, sosok itu membalikkan kepalanya ke arah Sakura dan saat wajah charming itu terlihat tepat di depan mata Sakura, Sakura jadi berbunga-bunga.

"Huaa... kakkoi..." ungkapnya terkagum-kagum. Ia pun memberanikan diri menyentuh pipi sosok itu. Dan saat ia berhasil melakukannya, ia jadi memerah sendiri.

"Waa, dia lucu, seperti bantal―"

"Ngg..."

Sosok itu memiliki kulit yang putih bersinar dengan hidung yang mancung. Rambut berwarna hitam kelam ditambah dengan blouse putih dan celana pajang hitam. Sosok itu merasa terganggu tidurnya tapi ia kembali menekuninya.

"Sepertinya aku mengenal orang ini. Siapa ya? Mmm..." kata Sakura sambil menekan-nekan ujung dagunya dan mulai meningat nama sosok aneh itu, "'apa-namanya' senpai. Siapa ya?"

Nampaknya sampai berapapun lamanya Sakura berusaha mengingat nama sosok misterius itu, ia tak bisa mendapatkan namanya. Tapi, hanya orang bodoh saja yang tidak mengenal nama sosok itu. Seantero Konoha Music Academy, bahkan kalau perlu seantero Konoha pasti mengenal sosok ini. Tentu saja, ia adalah Uchiha Sasuke The Prodigy. Anak jenius nan berbakat di divisi piano. Tak ada anak sejenius ia dalam hal piano, terutama dalam ketepatan penjarian dan nada. Hanya saja, di tahun terakhirnya di Konoha Music Academy, ada hal lain yang akan mengubah dirinya dan semuanya bermula dari pertemuan konyol ini...

"He he―"

TSUDZUKU

Sebenarnya saya adalah pendatang baru di FanFiction ini. Saya berusaha mewujudkan karakter tokoh utamanya di chapter pertama ini tapi sepertinya terkesan membosankan dan terlalu panjang. Maaf...

Saya hanya ingin mewujudkan imajinasi saya, jadi― kalau ada review saya sangat senang tapi kalau tidak, yah, tidak apa-apa.

Di akhir cerita ini, saya akan memberitahu mengenai asal-usul cerita ini (nggak penting banget!). Tapi bagi Anda yang menyukai anime-anime bertema musik, pasti Anda sudah mengetahuinya.

Posting untuk chapter selanjutnya mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

~Arigato Gozaimashita~

Emi Yoshikuni