-Terlalu Manis-
Disclaimer : Saint Seiya © Masami Kurumada.
The OC belongs to me, so, don't like don't read.
.
.
.
.
Rate : T
.
.
.
.
XXX
"Bagaimana hal itu bisa terjadi coba?" tanyanya kemudian dengan nada tak habis pikir.
Rose menghela nafas. Mata biru esnya beralih ke sudut kiri ruangan itu. Menoleh ke jam dingin, menghitung berapa menit waktunya terbuang –salah- waktunya tertahan disini bersama si kakak kelas secerah matahari. Surt sebenarnya orang yang menyenangkan. Kalau saja bapernya tidak kumat dan sedang membutuhkan pelampiasan. Gadis berambut pirang itu mau saja ada di dekat Surt. Toh mereka tetangga satu apartemen.
40 menit.
Setara 1 jam pelajaran.
Dengan 3 kali konsultasi.
Artinya 120 menitnya terbuang dalam 24 jam. Artinya 2 jam terbuang hanya karena curhat. Artinya 22 jamnya yang lain tidak masalah (hiraukan pernyataan terakhir)
Rose memainkan helaian pirangnya yang dimodel tidak simetris. Rambut bagian depan sepanjang pinggang sementara yang belakang hanya sampai dada. Terserah orang mau bilang apa, kalau dirinya suka kan tidak masalah?
"Mungkin dia sedang kerja kelompok?"
"Tidak.. apakah kita harus kerja kelompok selama seminggu penuh sampai menempel pada rekan satu sama lain? Tidak kan? Lagipula aku murid tahun ajaran akhir.. Rose.. kelas 3 SMA. Yang kita lakukan hanyalah belajar sekarang."
Gadis itu mengangguk-angguk paham. Dia membuang kotak susu stroberinya ke tempat sampah.
"Kakak sedang membicarakan Kak Milo kan?"
JLEB.
Oke. Itu menusuk hati Surt yang paling dalam. Sungguh, kucir rambut nyentrik yang dipasang di depan bergoyang sejenak karena dia berpikir. Rose hanya terkekeh pelan. Dia menatap kelas sebelah. Tempat dimana si rambut megar berada.
"Kak Milo orang baik kok~... mau meminjamiku kartu perpustakaan saat aku lupa membawanya~.." kata Rose santai.
"Ya, ya, semua orang tau kalau dia baik," komentar pria itu sambil memangku wajahnya dengan tangan.
Milo, seorang pria berambut beringas dengan wajah yang sama pula. Acak-acakan, tapi mengejutkan kalau ternyata dirinya cukup tekun. Telaten, buktinya mau menemani sahabatnya shift malam di apotek. Pria itu terlihat begitu beruntung bisa sekelas dengan Camus dari kelas 1 SMP sampai 3 SMA. Entah takdir apa yang mempertemukan keduanya.
Pria berkuku tajam nyentrik itu memang cukup baik dan bisa diandalkan. Prestasinya di olahraga terbilang bagus dan akademisnya nggak buruk-buruk amat (baca : nyontek ke Camus). Seseorang berharga diri yang layak dihormati siapa saja.
Tapi siapa yang nggak tahu kalau SURT BENCI MILO?
Capslock, ditebelin. Biar greget.
"Santai ajalah.. toh Kak Milo juga orang yang penting buat Kak Camus."
"Kau bisa gampang mengatakannya, masalahnya setelah kelulusan nanti aku akan kuliah ke Asgard."
Deg.
Rose terdiam. Matanya membelalak sejenak. Mulutnya terkunci rapat.
Dia tahu kok, kalau universitas milik Hilda-sama tidak pernah absen untuk mengambil beberapa murid berprestasi dan ditempatkan di lembaganya sendiri. Surt termasuk bagus loh, striker andalan sekolah. Bintang sepakbola, jago matematika, kalau main mirip Kapten Tsubasa. Orangnya ceria pula, tipe penyebar happy virus.
"Undangannya sudah dikirim. Aku, Baldr, dan Sigmund yang akan pergi. Bersama beberapa murid lain yang tak kutahu. Juga si hijau besar atlet sumo itu. Dengan kata lainaku juga akan pulang ke rumah.. yah. Tidak terlalu buruk.. berkumpul lagi bersama keluarga.."
Senyum pemuda itu merekah. Masam. Seperti buah kesemak yang belum matang. Dia menatap si kepala pirang yang memasang ekspresi aneh. Surt hanya tertawa kecut.
"Jangan begitulah.. bukankah kau sendiri juga sudah terbiasa pindah-pindah ke suatu tempat? Menetap selama beberapa hari lalu menghilang tanpa jejak. Aku bahkan tidak yakin kalau rumahmu itu benar-benar ada di Vancouver."
Dirinya memang punya rumah di Vancouver, Kanada. Tapi Rose tinggal di Fushimi, Kyoto.
Dan tidak boleh ada yang tahu soal itu.
Gadis itu menghela nafas. Kepala pirangnya tergerak. Menatap Surt enggan, sesaat suasana canggung terjadi. Mengingat dua orang satu apartemen itu cukup dekat. Rose selalu tahu kalau dirinya suatu saat akan pergi, tapi dia tak pernah menyangka kalau Surt juga akan pergi.
"Jangan khawatir. Pintu rumahku terbuka untukmu.. dan adikku juga.." kata pemuda itu. Kikuk.
Rose mendengus, gadis blasteran itu menyibakkan poninya. "Aku tidak sebebas yang kau duga.. Kak.." ujarnya. Alis merah Surt terangkat.
"Oh ya? Tak sebebas itu? Lalu apa alasanmu menetap di sekolah ini selama hampir satu semester?" tanyanya dengan nada mengejek. Bibir orang di hadapannya tertarik ke arah lain. Mencibir.
"Alasanku..."
Mata gadis itu menoleh ke jendela yang ada di sampingnya. Dia terdiam. Diantara kerumunan orang itu, ada Seiya, Hyoga, Shun, Shiryuu yang memang cukup populer dengan gengnya. Sedang pelajaran olahraga. Lalu nampak lagi, satu figur tinggi aneh yang bersandar di dinding pada sisi lain. bersebarangan dengan gedung kantin sekolah dan dipisahkan oleh lapangan tempat kelas Seiya berada. Cowok kelas 1 SMA yang mengawasi adiknya dari kejauhan. Menyilangkan tangan di dada dan menatap fokus ke satu arah.
Rose menghela nafas. Dia menarik pandangannya kembali. Dan tidak perlu dijelaskan siapa yang kita singgung di atas karena Surt sudah tahu. Ya, Surt pasti tahu.
Pria itu boleh berbangga diri karena bisa membaca siapa orang yang disukai adik kelasnya yang pendiam, misterius dan tidak banyak omong. Dia terkekeh. Lalu menepuk pelan kepala gadis itu.
"Itu wajar.. kau masih remaja. Bahkan karena itu juga aku jadi yakin kalau kau masih normal.." ucapnya santai. Rose memasang wajah lempeng. "Memangnya aku ini apa, Kak?" tanya si kepala emas sambil menyingkirkan tangan Surt.
"Hm.. semacam agen rahasia? Yang ada di film-film. Sangat pintar menyamar. Apakah namamu itu asli? Atau sejak awal kau pakai nama samaran?"
"Kak.."
Gadis itu menghela nafas keras. Dirinya memang seharusnya sudah kembali, sudah pergi, bahkan sebelum UTS dilaksanakan. Tapi kenapa hal yang begitu manusiawi mendongkrak disiplin kerjanya sampai dia membangkang?
"Sudah bilang sama Kak Camus?" tanya Rose. Pria itu menggeleng.
"Belum. Aku sama sekali tidak melihatnya kecuali saat lewat di depan kelas atau berpapasan bersama teman-temannya –dengan si kepala ungu brengsek itu- sungguh. Aku tidak sempat mengucapkan apapun. Dan waktuku tinggal sedikit.."
Ujung bibir gadis itu tertekuk ke bawah. Sedikit sekali. Hampir-hampir seperti tidak ada perubahan.
Surt hanya terkekeh. Lalu bel berbunyi, tanda pergantian jam pelajaran. "Tidak perlu cemas. Pak Shion sedang ada urusan keluarga.." kata pria itu santai. "Kau sendiri bagaimana? Aku tidak mau diseret ke BK karena menahan adik kelas."
Yang ditanya memutar matanya. "Pak Degel sedang ada tugas keluar. Kalaupun dia ada, aku sudah kabur dari tadi."
Rose menurunkan kelopak matanya, dan demi WiFi sekolah mereka yang kadang-kadang sinyalnya putus. Gadis itu takkan tahan lagi untuk melihat raut wajah Surt setelahnya.
"Akan kubantu..."
"Eh?"
Surt mengedipkan mata. Dia menatap kepala pirang di hadapannya. "Sungguh?"
"Beneran."
"Makasih!"
XXX
Camus bersin.
Dia mengusap hidungnya, lalu menaikkan alis pertanda merasa aneh.
"Flu?"
Pria itu menggeleng. Meyakinkan dirinya kalau hawa dingin tidak sedang mengganggu kesehatan. Milo menatap Camus, lalu menghela nafas lega. "Belakangan ini banyak yang pilek.. Aphrodite dan Deathmask saja belum sembuh-sembuh..." ucapnya. Lalu suara batuk si kepiting terdengar heboh meski hanya sekilas. Sementara wajah Aphrodite tampak merah padam, tenggelam oleh syal dan pakaian hangat. Mawar yang kedinginan. Kasihan mereka.
Milo hanya menyeringai aneh menatap dua orang biang rusuh itu. "Dan untungnya Pak Hypnos ketiduran lagi..."
Suara dengkuran halus –tampan- si guru bersurai pirang pun merayap samar-samar. Dia tampak damai dengan wajah yang ditenggelamkan di lipatan tangan. Tugas yang selesai ditumpuk. Dikumpulkan di sudut. Pak Hypnos sangat gampang mengantuk, dan dia susah dibangunkan.
"Biarkan saja dia tidur disana. Biar nanti Pak Thanatos tidak bisa masuk pelajaran.."
Aiolia dan Kanon tertawa setan mendengarnya. Mereka bertos ria. Milo nyengir, saudara kembar guru sejarah mereka adalah seorang matematikawan killer. Hawa-hawanya aneh, seperti bisa membuat seseorang mati suri. Mungkin terkena aliran gelap.
Saga menggeplak kepala adiknya dengan manis, sementara Camus hanya bisa menggelengkan kepala. Dia menatap trio bangsat di hadapannya. "Sebentar lagi ujian akhir. Jangan membuang waktu."
"Santai saja Mus.. kenapa kau malah jadi seperti Shaka?" tanya Aiolia.
Sekarang alis bercabang itu bertemu saking mengkerutnya. Camus memasang wajah lempeng. Aiolos geleng-geleng kepala sambil menyeret adiknya kembali ke mejanya sendiri. Sementara kepala ungu –sahabat terdekatnya- langsung menepuk pundak pemuda perancis itu seakan mengatakan 'Peace bro, pagi-pagi jangan berantem.'
"Shaka juga ketiduran kalau kalian mau tahu.." kata Shura yang duduk di depan mereka tanpa menoleh. Capricorn itu tampak sibuk dengan soal-soal matematika di ujung batang hidungnya. Sorot matanya datar dan dingin seperti biasa. Duduk sendirian.
"Heran.. padahal DM dan Dite aja sakit-sakitan. Bukannya dirawat malah sibuk sendiri. Kau ini bagaima-hm!" Gemini adik itu langsung dibekap Milo. Sementara orang yang disinggung menyipitkan matanya tajam. Setajam silet –eh salah- setajam Excalibur yang diasahnya tiap hari di ruang olahraga.
Demi keselamatan bersama. Shura akhirnya memutuskan untuk mengalah dan sibuk lagi dengan aktivitasnya sendiri.
Camus mendengus, dia menatap sahabatnya.
"Nanti ada shift tidak?" tanya Milo sambil mengambil buku. Salah satu gestur bermanfaat yang mampu meredakan amarah Aquarius.
"Tidak, saya fokus untuk kelulusan sekarang."
"Yah..."
Perkataan itu spontan meluncur dari mulut si pecinta kalajengking. Refleks kalau dirinya kecewa tidak bisa lagi ada di dekat Camus semalam suntuk. Shift malam di apotek menurutnya malah menjadi kegiatan tersendiri yang tak lagi membosankan. Ya, Milo akui itu. Meskipun tujuannya belok. Sementara orang yang disinggung hanya menatapnya dengan pandangan aneh. Lalu menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir.
"Ujian akhir itu berpengaruh untuk masa depanmu. Milo, kau harus siap."
"He... kau peduli ya.." kata Milo sambil mengangkat kakinya ke atas meja. Pria berambut toska itu meliriknya. "Tentu saja, kamu kan sahabat saya."
"Ya. Dan kau adalah sahabat terbaikku!" balas kepala megar itu mantap. Dia tersenyum lima jari, lengkap dengan ibu jari teracung dan surai ungu yang berkilau. Air muka Camus tidak berubah. Matanya bergeser ke buku biologi.
Eh..
Tunggu..
Pria itu menaikkan alis. Entah kenapa mendengar kata sahabat terbaik seperti membuatnya teringat pada seseorang..
XXX
"DAAH CAMUUUUSS! PULANG NANTI AKU BAWAIN BAKPAO DEH!"
Milo melambaikan tangannya. Kanon dan Aiolia datang merangkulnya. Kemudian mereka pergi dengan niat berpesta pora yang luar biasa. Setelah trio bangsat kelas 3-A itu pergi. Camus masih memasang wajah datar. Bakpao? Yang benar saja?
Shiryuu –murid Pak Dohko dan adik kelas Shura- baru saja memenangkan kompetisi wushu tingkat provinsi, dan tentornya. Si childish berambut coklat mengadakan syukuran. Kalian tahu sendirilah Pak Dohko itu seperti apa. Kental sekali dengan tanah kelahirannya. Pasti akan penuh dengan nuansa chinese.
"Saga?"
Camus menoleh. Melihat kembar kakak di sampingnya masih berdiri dengan jas lengkap dan berjalan mengikuti rombongan adiknya. "Kau juga ikut?" tanya pria itu dengan alis terangkat.
"Hanya untuk jaga-jaga.." jawab Saga tanpa menoleh. Pria itu mengangguk paham. Jiwa rusuh Milo, Kanon dan Aiolia adalah sebuah kombinasi luar biasa yang bisa meluluhlantakkan Athens. Apalagi tiga orang itu berpengaruh dan unggul di sekolah mereka. Hm? Apa yang orang sebut dengan gabungan kekuatan tiga orang pelajar? Athena Exclamation?
Lalu figur Aiolos menghampiri Saga dari belakang. Mereka berbincang sejenak, kemudian melangkah bersama layaknya pasangan bahagia. Sementara Camus yang melihatnya merasa aneh sendiri. Sendiri ditinggal pacar/eh/.
Engsel jendela yang berderit. Juga dedaunan kering yang ditiup angin. Mengolah rambut toskanya yang panjang. Camus menahannya dengan tangan. Suasana sekolah mereka begitu sepi saat pulang. Dan dia baru tahu kalau akan sehening ini jika tidak ada seorang pun.
Pria itu berbalik. Mengambil keperluannya yang masih tertinggal di UKS.
Deg.
"Eh..."
Oh iya.
Pak Degel sedang tidak ada di sekolah. Dia ada tugas keluar untuk urusan kurikulum dan jadwal pelajaran. Pria itu terdiam sejenak.
"Bagaimana saya bisa lupa.." gumam Camus. Aneh saja. Padahal mentornya itu sendiri yang mengatakan padanya secara langsung tadi pagi. Di ruang UKS saat memeriksa Deathmask.
Mata biru pria itu terseret. Menatap ke kelas yang kosong.
Oh iya ya, biasanya Milo yang paling hafal kalau Pak Degel sedang tidak ada di kelas.
Camus hanya lupa. Itu saja. Tidak serta merta dengan perasaan aneh yang sempat menghantam dadanya sedetik lalu. Menyampirkan rambut hijaunya yang menghalangi pandangan. Pria itu menatap kosong ke depan.
Tidak ada seorang pun di sekolah jam segini.
Tidak ada shift nanti malam.
Tidak ada jam pelajaran tambahan Pak Degel.
Tidak ada Milo.
Camus membuka mulutnya sejenak. Lalu tertutup lagi. Dirinya merasa aneh saja. Mengingat jamnya sangatlah kosong mulai sekarang. Pria itu menghela nafas. Lalu berbalik untuk pulang ke rumah. Akan ada banyak waktu kosong yang dia bisa gunakan untuk belajar.
"Camuuuuuss!"
"Hm?"
Pria itu menoleh. Sesosok jangkung dengan jas yang disampirkan terlihat. Berjalan ke arahnya. Aura yang secerah matahari, kepala merah menyala. Dengan ikat rambut antik di sisi depan. Camus mengedipkan matanya.
"...Surt...?"
.
.
.
.
"Kau tidak latihan?" tanya Camus kemudian. Surt menggeleng. "Setelah UTS, aku fokus pada kelulusan.. bagaimana sih kau ini?" tanya pria itu.
Mata birunya terseret ke jajaran pohon yang bunganya sebentar lagi mekar. Angin dingin membasuh muka, pria itu melindungi kulitnya dengan tangan. Sementara pemuda di sampingnya menikmati angin sore. Tidak memaksa, menuntut, atau bergelora seperti biasa.
Dan Surt takkan mau menanyakan dimana Milo seperti yang semua orang lakukan jika mendapati Camus berjalan sendiri. Dimana ada kepala ungu megar, disitulah Aquarius terlihat. Begitu juga sebaliknya. Karena jika pemuda prancis itu bersamanya. Ceritanya akan lain, lakonnya juga lain. Meski seantero sekolah tahu kalau si merah menyala dan pecinta kalajengking itu wataknya hampir sama.
"Setelah ini kamu mau kemana?" tanya Surt kemudian. Camus meliriknya. "Pulang barangkali."
"Kenapa tidak ke pusat kota saja hm? Sedang ada festival makanan manis disana. Aku tahu stand yang bagus. Mau?"
Pria berambut toska itu kini mengalihkan seluruh wajahnya. Dia mengangguk tanpa sadar. "Setuju.."
"Baguslah.. yuk!" ucap Surt sambil menggandeng tangan Camus. Dan dibalas baik oleh yang bersangkutan. Tak peduli dengan daun kering yang menghinggapi kepalanya. Manik coklat berserat kemerahan itu berbinar riang. Sudut bibirnya tertarik ke atas semua. Dia melangkah lebih cepat diiringi pemuda bewajah dingin di sampingnya.
Kini Surt menoleh pada matahari sore. Juga semburat jingga yang ada di atas. Semua pemandangan ini tak terlalu jauh dari warnanya, sosoknya. Merah. Tak elak hati pemuda Asgard itu bergejolak penuh semangat. Dia mengumumkan kemenangannya dalam diam. Lalu dilukiskan oleh seluruh rangkaian senja. Malamnya barangkali takkan bisa tidur. Optimisme itu membutakan firasat akan terjadi apa esok harinya.
Yang terpenting Surt menang sekarang ini, dan akan dilanjutkan oleh kemenangan-kemenangan bisunya beberapa jam ke depan.
XXX
Genteng rumahnya terasa dingin. Gadis itu duduk di atasnya, kerlap-kerlip keramaian pusat kota hanya satu titik penuh warna di penglihatan malam Rose. Penglihatannya selalu jernih, tentu saja.
Angan muluk-muluk bisa dilepaskan di atap rumah selain kamar mandi. Ya, ya, semua orang tahu kalau disiram air hangat sambil memikirkan ujung dunia jauh lebih menyenangkan. Tapi berada di genteng bangunan jauh lebih efisien. Dimana dirinya bisa melihat dari berbagai macam arah, juga menjaga penglihatannya tetap tajam.
Termasuk memantau beberapa orang sekaligus.
Surt berhasil mengajak Camus ke sebuah kedai malam ini. Semuanya sukses, gadis itu tersenyum pelan sambil bersenandung.
Dan akan ditendangnya pantat pria itu jika mengatakan kesuksesannya sekarang adalah hasil kerja sendiri. Rose ikut serta. Semua orang boleh tidak tahu, tapi dunia tahu.
Seiya mengguncangkan patung maneki-nekonya. Dia melirik gadis itu.
"Tidak dingin disana?" teriaknya. Rose menoleh, dia menggeleng. "Tidak kok."
Remaja berambut coklat itu melompat ke atap dengan lincah. Dia berjalan di atas genteng dan duduk. Menatap bintang di atasnya. "Malam ini cerah ya~.."
"Bagaimana pestanya tadi?"
"Sangat menyenangkan! Luar biasa! Kau tahu, Pak Dohko bahkan topless –dasar tukang pamer-. Sayangnya aku hanya bisa disana setengah jam dan harus pulang karena tugas.. yah... kau tahulah.. Pak Thanatos kan sadis.." kata Seiya sambil menggembungkan pipinya kesal. Rose hanya tertawa kecil.
"Jangan khawatir.. nanti kuajari."
"Benar?"
"Memangnya aku terlihat seperti berbohong?" tanya Rose sambil menaikkan alis. Seiya mengedipkan matanya.
"Terimakasih!" ujar remaja itu riang. Meletakkan patung kucing dengan satu tangan melambai itu. Rose tersenyum dalam diam.
"Harusnya aku yang berterimakasih..."
.
.
.
"Oh ya, bagaimana kalian bisa tahu kalau disini ada pesta? Kan Cuma Shura yang kuundang?" tanya Dohko saat membereskan pita di atas jendela.
Kanon, Milo, Aiolia, Saga dan Aiolos terdiam. Mereka saling pandang. "Yang diundang tadi Cuma Shura ya?" tanya singa berambut coklat itu kemudian.
"Eh.. kupikir tadi Milo juga.. kan tadi dia yang ngajak kita.." sahut Kanon. Dia menoleh kepada yang bersangkutan.
"Aku.. aku... itu..." pria berambut megar itu mendadak kikuk. Semua orang menoleh ke arahnya. Lalu menatap tajam. "Aku... mengetahuinya dari seorang adik kelas.. dia teman Camus.. dan juga seangkatan dengan Shiryuu."
"Sudah-sudah! Lupakan semuanya! Yang penting kalian semua mau membantuku membereskan sisanya. Aku sendiri juga tidak masalah kalau seisi sekolah datang.." kata Dohko sambil tersenyum cerah. Dia tertawa kemudian.
Shion yang mendengarkan semuanya hanya bisa sweatdrop. Sementara murid kelas 3-A bisa menghela nafas lega.
.
.
.
Setidaknya aku bisa menjauhkan Kak Milo sebentar dari Kak Camus.. harusnya aku meminta maaf pada kalian. Kalian bisa salahkan aku nanti, yang penting sekarang semuanya berjalan sesuai rencana- gumam Rose dalam hati. Dia terkekeh pelan.
Entah apa tanggapan Camus saat tahu dirinya terlibat. Yang pasti jangan sampai seniornya yang berlandasan hidup sama dengannya itu marah (maksudnya adalah menjadi balok es yang bertampang serius dan dingin). Peace, kan maksudnya baik.
Kalau saja teman satu apartemenku bukan Seiya. Aku tidak akan tahu hal semacam itu..- lanjutnya. Pesta. Keramaian. Dan berhubungan dengan banyak orang. Dirinya tidak suka, tidak pernah suka.
Dia melirik pemuda yang identik dengan pegasus itu. "Itu dari siapa?"
"Oh.. Oleh-oleh dari Pak Dohko.. Shun, dan Hyoga semuanya dapat.. lagipula kenapa kau tidak datang? Meskipun tidak diundang kan Pak Dohko juga mengenalmu?" tanya Seiya. Dia mengayunkan lengan maneki-neko yang memang bisa bergerak. Melambai-lambai dengan wajah tersenyum. Rose terkekeh pelan.
"Aku benci keramaian.."
"Punya banyak teman tidak buruk loh.." ajak pemuda itu. Dia berusaha sabar. Memang, dirinya sangat akrab dengan gadis itu disini. Tapi saat memasuki sekolah, Rose bersikap seakan mereka bukan apapun. Sangat menjaga jarak. Seiya ingin, 'tetangga'-nya bisa bersikap seperti remaja kebanyakan. Wajahnya terlalu serius meski tak sampai kaku. Kepala pirang itu tergerak. Dia tertawa.
"Ruang pertemananku itu sedikit.. Kau dan Kak Surt sudah memakan cukup banyak tempat."
Seiya dan Surt sudah memiliki semuanya untuk menjadi teman yang bisa diandalkan. Dan itu sudah cukup, untuk mengisi ruang sepi di hati Rose yang hanya dibuka sedikit.
XXX
Garda depan dibuka, Surt menyilangkan kakinya diatas bangku kayu. Memakan manisan berwarna-warni yang diletakkan di satu mangkuk. Tampak marsmallow itu luluh oleh lelehan coklat. Menambah rasa manis yang dikecap setiap mulut yang dihampirinya.
Camus seperti biasa. Membaca buku, tapi kali ini dia menyandingkannya dengan kegiatan lain. Yaitu mengecat kukunya, buku kecil berisi deratan kata biologi itu diletakkan agak kesamping diatas meja. Bersanding dengan kutek toska yang sewarna dengan rambut si empu.
Surt sendiri tidak masalah dicuekkan. Rasa lembut manisan itu sudah cukup mengalihkan dunianya. Mata delimanya bergeser ke semangkok marsmallow dingin. Dengan coklat beku yang memeluk setiap sisinya. Masih perpaduan yang menggiurkan. Pria itu mengunyah satu potong lagi.
"Kau tahu Mus, ada seorang anak kecil yang menulis bagaimana marsmallow jatuh cinta pada coklat manis."
Camus menatapnya, perhatiannya teralihkan. Sungguh ahli strategi pemuda Asgard itu. Karena menyinggung sesuatu yang tak pernah dia lontarkan sebelumnya. Sastra.
"Saya pernah baca sekilas. Itu di salah satu buku bahasa inggirs kita.. ya kan?" tebak Camus karena merasa familiar dengan pernyataan sahabat masa kecilnya.
Surt hanya terkekeh pelan. "Benar.. dan kau tahu, cintanya terbalas karena pada akhirnya ditempatkan satu wadah dengan si pujaan hati," ucapnya sambil mengaduk-ngaduk coklat leleh bercampur manisannya di mangkuk. Membuat pemuda prancis di hadapannya berkedut seakan membayangkan rasa manis yang ada. Terlalu pekat dan banyak.
"Saya tidak tahu kalau kamu mengikuti kisah seperti itu."
"Wajar, kita terpisah sejak kelas 1 SMP. Dan tidak pernah sekelas lagi setelahnya."
Pria itu memakan marsmallow putihnya dengan sendok. Terlalu banyak coklat, sedikit tercecer di sudut bibir. Aquarius itu terdiam. Dia memandang ke bawah. Mereka memang berpisah saat masih di bangku TK. Lalu bertemu lagi begitu SMP, sungguh mengherankan. Surt menjadi ceria meskipun kehilangan adiknya. Dan itu adalah kesalahan Camus.
Kalau saja dirinya tidak mengajak Sinmore main petak umpet ke samping taman. Mungkin bocah itu masih hidup.
"Kamu suka yang mana? Marsmallow coklat beku atau yang biasa saja?" tanya Surt kemudian setelah kunyahannya selesai. Lalu menatap Camus yang memandangnya datar.
"Saya lebih suka marsmallow coklat beku.." gumam pemuda prancis itu. Pelan, segan untuk dikatakan. Tapi tak ada gunanya ditutupi. Mata delima di hadapannya bersinar.
"Memang lebih enak itu.." ucapnya. Dia melirik ke jam dinding yang ada di atas kedai. Jam 7 malam.
"Wah.. sudah selarut ini? aku harus pulang. Kau sendiri juga mau belajar kan?" tanya Surt sambil merenggangkan lengannya. Camus mengangguk. Waktu mereka memang tidak banyak.
Surai merahnya tergerak. Tangannya menarik tas keatas pundak, begitu juga jas yang disampirkan di tasnya. Surt tersenyum cerah. "Lain kali kita makan camilan sore lagi ya? Masih ada banyak makanan enak yang bisa kau coba. Sayang kalau berhadapan dengan buku terus."
Sudut bibir pria di hadapannya tiba-tiba kaku. Terdiam di tempatnya. Kini Surt terkekeh pelan, matanya bergeser ke semangkok marsmallow coklat beku yang tinggal beberapa potong.
Manis, dan melekat. Disertai dengan sedikit sensasi dingin begitu giginya menyentuhnya. Seperti seseorang. Seperti Camus. Entah pria itu sadar atau tidak, kalau makanan pilihannya selalu mencerminkan seperti apa dirinya. Pemuda Asgard itu terkekeh ke bawah. Dia menatap sahabat masa kecilnya lagi.
"Sudah dulu yah. Dah!"
Dan punggung Surt terlihat menjauh. Berbalik. Dengan Aquarius berkepala toska yang telah selesai mempoles kukunya. Pemuda prancis itu terdiam. Lalu menatap sisa-sisa lelehan coklat yang masih ada di mangkok pria itu.
.
.
.
"Dia kenapa sih...?"
-TBC-
XXX
Author Note :
SPESIAL BUAT MBAK PERICULUM IN MORA.
NGARET.
SUPER NGARET.
SAYA BAHKAN MALU NGE-PUBLISH INI *dibuang ke jurang*
Maaf mbak, udah bikin nunggu berbulan-bulan :''
Yang mau repiu silahkan. Segala macam kritik dan saran diterima.
Salam Kompor Gas,
Shakazaki Rikou.
See you next chapter!
