Title : Pathetique 1985
Genre : Hurt/Confort, Romance, Family.
Rated : PG-15
Chapter : 1 (one)
Type : Genderswitch. (Kenapa aku buat JJ jadi cewek? Well, untuk mendukung kebutuhan cerita dan karakter remaja cewek pada umumnya, lol)
Cast : Kim Jaejoong (female), Jung Yunho (male), Kim Jaein, Kim Jaeyoo, Hwang Minyoung, Lee Sunmi and other.
Summary : Kim Jaejoong berusia 17 tahun (di Korsel, biasanya 17th itu setingkat dengan kelas 1 SMA), tidak terlalu tertarik dengan percintaan.
SR : TARNISH (noda)!
ooo-ooo
CHAPTER 1 - IT ISN'T LIKE THE PAST TIME
S.E.O.U.L, 15 Januari 1985
Kim Jaejoong berdiri seorang diri di depan halte yang sudah hampir reot. Kayu - kayu penyangga atap halte di setiap sudut, nyaris lapuk, lekang oleh gigitan serangga. Ia menunggu bus berwarna coklat tua dengan rute tujuannya menuju sekolah. Pohon - pohon di sepanjang trotoar tampak gersang seiring dedaunan yang meranggas.
" Sial ", bibir merah delimanya yang indah seolah teracuni umpatan kasarnya.
Keningnya berkerut dalam, berlipat - lipat tidak karuan. Lantas, secarik kertas di genggaman tangannya dikucal - kucal tanpa ampun. Hingga kusut, tidak berbentuk lagi. Amplop merah yang membalut kertas itu tidak luput menjadi sasaran empuk. Dirobeknya kecil - kecil, berubah menjadi serpihan tidak simetris. Kejengahan melanda hatinya, menabuh dadanya keras. Ia bosan menerima surat - surat cinta dengan amplop merah, wangi buah - buahan dan berbubuhkan tinta yang menggoreskan inti isi surat yang tidak majemuk. ' Kim Jaejoong, sudah lama aku memperhatikanmu dan menaruh rasa padamau. Maukah kau menjadi pasanganku? '. Rasa muak tidak mampu ditepis lagi, entah sampai kapan berdaya mengombang - ambingkan prinsip yang dipeliharanya sejak dulu. Selamanya, Kim Jaejoong akan selalu seperti ini. Surat cinta kesekian menambah daftar beban di pikirannya. Dua bulan belakangan ini, ayahnya tak kunjung pulang ke rumah. Tanpa ada kabar berita, paling hanya menghubungi telepon rumah sesekali. Kontan, hal itu menyebabkan ibunya kalang-kabut. Khawatir menerka - nerka tentang kondisi ayahnya; mungkin sakit, cuaca yang bermuram-durja atau karena faktor lain. Kemakluman dan kesabaran sangat dibutuhkan untuk menguatkan hati. Mengingat ayahnya mengemban kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga, mengais rejeki bersemat julukan kontraktor yang selalu bekerja lapangan di luar daerah Seoul; bisa di pemukiman perkambungan, rawa yang diratakan, di hutan - hutan yang telah digunduli untuk sebuah proyek bangunan. Memakan waktu berhari - hari, berminggu - minggu dan berbulan - bulan. Berimbas secara mencolok pada Jaejoong. Tidak ada yang mengantar-jemputnya ke sekolah, mengecup keningnya sebelum menginjakkan kaki keluar dari mobil serta menceritakan gurauan lisan mengocok perut. Tidak sama seperti waktu dulu. Sekarang hanya kehampaan sobat setianya. Sangat menyebalkan, ia harus berjiwa besar, mencoret kata prestise dari kamusnya. Karena suka tidak suka, ikhlas tidak ikhlas, ia harus ikut-serta memanfaatkan tumpangan bus, berdesak - desakkan ria dan berlomba - lomba menjadi pemenang dalam memperebutkan oksigen dengan pemumpang lain. Kedua kakaknya tidak bisa ia andalkan. Mereka sibuk dengan urusan masing - masing. Terkadang, ia melayangkan protes besar pada ibunya. Kakaknya yang paling besar diberikan fasilitas kendaraan berupa mobil dan kakanya nomor dua diberikan motor. Sementara ia, keinginannya memiliki sepeda saja tidak pernah diindahkan. Ibunya terkesan membeda - bedakan.
' Kau masih kecil. Ibu khawatir, fasilitas yang ibu berikan malah kau salah gunakan nantinya '
Sabda klasik ibunya terngiang - ngiang mengusik gendang telinganya. Ia tidak bisa melakukan apapun jika sudah begitu. Ibunya memegang kuasa atas anak - anaknya. Bunyi klakson bus menarik Jaejoong dari jeratan dunia lamunannya. Mengantisipasi ketertinggalan, ia lekas berlari terkatung - katung menaiki bus.
" Hei, tunggu aku! "
Berbaur bersama penumpang lain.
ooo-ooo
" Memang apa saja yang kau lakukan kemarin malam sampai kau tidak mengerjakan pekerjaan rumahmu? " tanya Jaejoong sedikit kesal pada Minyoung, teman baru sekaligus teman semejanya di kelas. Gadis sebayanya itu entah mengapa gemar sekali mencontek, tidak mencerminkan figur pelajar yang baik.
" Aduh, kau terlalu banyak bertanya! Sebenarnya kau niat tidak meminjamkan pekerjaan rumahmu? " hardik Minyoung dongkol.
" Jawab dulu pertanyaanku! Aku mengerjakan tugas matematika ini dengan susah payah dan butuh konsentrasi tingkat tinggi "
" Aku tidak tertarik mendengar keluh kesahmu! " Minyoung berusaha merebut buku tulis matematika dari tangan Jaejoong.
" Tidak bisa! Aku bilang, jawab dulu! Kita baru sebulan berorientasi menjadi siswa SMA. Ini baru permulaan, tapi kau malas mengerjakan pekerjaan rumah. Sebelum matematika, kemarin ada sastra Korea, fisika, biologi dan sejarah. Bisa - bisa kau tidak naik kelas nanti "
" Ya! Kim Jaejoong. Telingaku panas mendengarkan nasihatmu yang tidak penting. Kau mengingatkanku pada ibuku saja. Aish "
" Salahmu sendiri-", Minyoung menyela Jaejoong, " Baik, baik. Kemarin malam aku pergi ke taman hiburan bersama seseorang "
" Kau berkencan? Apa bersama senior itu? Benarkah rumor yang beredar itu? " mata Jaejoong berkilat - kilat ingin tahu. Meski belum genap sebulan menjadi murid di sekolah ini, Minyoung cukup dikenal di lingkungan sekolah. Jaejoong dan Minyoung sebenarnya tidak jauh berbeda; sama - sama diburu murid lelaki hampir seantero sekolah. Hanya Minyoung meladeni ajakan murid lelaki yang menyukainya sementara Jaejoong menunjukkan penolakan frontal.
" Kau mau tahu saja " Minyoung menjulurkan lidahnya, " Cepat berikan bukumu. Waktuku menyalin takut tidak akan cukup. Sepuluh menit lagi bel berdering dan aku tidak mau digantung Pak Yoon " Minyoung kelabakan.
" Arraseo, arraseo. ini lihatlah " putus Jaejoong sebelum pergi ke toilet. Di perjalanan sekembalinya dari toilet, Jaejoong berpapasan dengan seorang murid.
" Kim Jaejoong? " tanya seorang murid lelaki. Gadis di hadapannya sekarang sesuai dengan gambaran Guru Mael. Berwajah cantik, berhidung bangir, bermata besar laksana gerhana bulan penuh, bibir merah delimanya yang merekah dan kartu tanda diri berterakan hangul Kim Jaejoong. Sudah pasti yang ini orangnya.
Berkas - berkas cahaya matahari melimpahkan kemilauannya pada bangsal - bangsal sekolah Darhaeseok. Kim Jaejoong berlari kecil menyusuri koridor bermandikan kegelapan. Ketakutan bukan ancaman utama sehingga ia berlari, justru ia harus lekas mencapai ruangan pribadi Guru Mael. Sebelumnya seorang anak memberitahukan kepadanya bahwa guru muda jelita berusia 28 tahun itu meminta ia datang ke ruangannya. Otak dan gerak tubuhnya terhubung cepat. Ia segera melesat menuju ruangan Guru Mael karena beliau sangat mengeluk - elukkan ketepatan waktu. Jaejoong ingat betul nasihat beliau, ' Tepat waktu adalah salah satu aspek penting dalam mencapai kesuksesan '.
Jaejoong menormalkan deru nafasnya yang sempat terengah - engah. Selain itu, ia merapihkan tatanan rambutnya dan mengusap pelan lipatan roknya yang agak lecek. Setelah semuanya dirasa sudah lebih baik, ia mengetuk pintu berbahan dasar kayu jati tersebut. Sedikit ganjil, ia baru menyadari ruangan Guru Mael terpisah dari ruangan guru yang lain. Tempatnya di sudut koridor, gelap dan sunyi-senyap.
TOK TOK TOK
" Masuk " seru suara dari dalam. Jaejoong memutar engsel pintu dan membuka pintu perlahan. Bunyi derit pintu tua yang melebar seolah - olah membuat gusi dan pendengarannya mengilu seketika. Menambahkan aura mistik di sekeliling. Bulu kuduknya ikut meremang dan degup jantungnya meletup - letup. Mencoba mengamankan diri, ia bergegas masuk dan kembali menutup pintu.
Jaejoong menghadap Guru Mael sambil membungkukkan badan sekilas.
" Annyeong hasseyo Mael songsaengnim "
" Annyeong Jaejoong-sshi. Berdirilah yang tegak. Santai saja " perintah Guru Mael. Jaejoong menurut dan begitu ia menegakkan tubuhnya, ia mendapati seorang siswa laki - laki yang berdiri di samping Guru Mael. Wajahnya kecil, matanya kecil dan ekspresinya sangat kaku. Persis patung porselen.
" Ada apa Guru Mael memanggil saya kemari? " Jaejoong memutar haluan pandangannya begitu mengingat tujuan awalnya.
" Murid ini menemukan liontin perak bertatakan nama Kim Jaejoong dan saat aku periksa foto kecil pada liontin itu, ternyata benar mirip wajahmu " jelas Guru Mael. Bahasanya mengandung pembawaan intelektual tinggi. Sosok terpelajar terpatri jelas pada diri wanita berkulit putih langsat itu. Lantas, kau tidak mempunyai keberanian sedikitpun untuk membantah atau meremehkannya.
Jaejoong terkesiap cepat dan meraba - raba lehernya. Benar, tidak ada liontin yang mengelilingi leher putihnya di sana.
" Jadi benar bukan, liontin milikmu hilang? " Guru Mael memastikan. Jaejoong mengerjap - ngerjapkan matanya.
" Iya Guru Mael "
" Ini " Guru Mael mengacungkan sebuah liontin perak di tangannya. Bola mata Jaejoong berbinar - binar. Bayangan ibunya yang memarahi dirinya habis - habisan karena kecerobohannya menghilangkan liontin sirna dalam sekejap.
" Iya Guru Mael. Itu milik saya "
" Wah, bagus kalau begitu. Syukurlah " ucap Guru Mael.
" Ini milikmu, terima. Lain waktu jangan gegabah dan jaga barang - barangmu dengan baik. Arraseoyo Jaejoong-sshi? "
" Arraseoseumnida, Guru Mael. Aku berjanji akan menjaga barang - barangku dengan baik. Kamsahamnida " Jaejoong mengambil liontin itu dengan gestur tubuh yang sopan.
" Semua ini berkat Yunho-sshi. Dia yang menemukan liontinmu dan segera melapor ke ruanganku "
" Oh? " Jaejoong memiringkan kepalanya lalu menatap Yunho, " Kamsahamnida Yunho-sshi " Jaejoong membungkuk sekilas padanya. Tidak ada tanda - tanda berarti, atau balasan dari pria berwajah kecil bernama Yunho. Sekedar menganggukkan kepala saja tidak dilakukannya. Jaejoong tidak ambil pusing, yang penting ia sudah mengucapkan terima kasih dan tidak perlu repot - repot merasa berhutang budi. Semoga Yunho adalah pria yang tanpa pamrih.
" Ehm, nde. Kalau begitu aku pamit. Permisi Guru Mael dan eum... Yunho-sshi. Annyeong "
" Ne "
Dan siswa bernama Yunho tidak menggubris lagi.
ooo-ooo
" Gila! " Jaejoong memaki soal - soal fisika yang tengah dikerjakannya. Melalui beberapa tahap, memutar otak berulang kali dan hasilnya tetap nihil. Helaian rambutnya seakan ditarik - tarik saking otaknya mengepul tebal. Soal anomali air ini tidak bisa dipecahkannya. Pertama dalam sejarah, ia gagal menaklukan soal berkategori angka, rumus dan logika.
" Ada apa adikku yang manis? Siapa yang gila? " tanya salah seorang kakaknya ikut mendudukkan diri di atas sofa, bersebelahan dengan Jaejoong. Ia telaten meniupi susu coklatnya yang masih panas. Aroma susu yang enak menyebar agresif ke segala penjuru ruang keluarga.
" Jaein oppa?! " Jaejoong tersentak.
" Hey,hey! Tidak usah berlebihan. Kau pikir oppamu yang tampan ini hantu? "
" Oppa mengagetkanku. Muncul tiba - tiba. Menyebalkan " gerutu Jaejoong. Jantungnya memang nyaris loncat dan lari terbirit - birit.
Jaein terkekeh pelan, " Maaf, adik perempuanku yang manis "
" Jangan menggodaku! "
" Aku tidak menggodamu, aku hanya bermain - main denganmu " Jaein terbahak mendapati mimik menggemaskan adiknya yang sedang kesal seraya memelototinya dengan tatapan mencekik. Ia paling suka menggoda adik perempuan kesayangannya, kalau bisa sampai melonjakkan emosinya. Jaejoong memang lebih akrab dengan Jaein dibanding kakak lelakinya yang paling besar. Mungkin karena faktor usia yang hanya terpaut lima tahun, membuat mereka lebih nyambung dalam membahas sesuatu. Hobi dan selera musik mereka juga sama. Saat ini, Jaein masih duduk di bangku kuliah, baru memasuki semester empat di fakultas SAINS.
" Haha, adikku, tugas apa yang sedang kau kerjakan? "
" Fisika. Materi anomali air. Aku pusing mengerjakannya oppa. Seperti ada banyak burung berputar - putar di kepalaku " ungkap Jaejoong setengah frustasi, setengah lagi berkelakar. Ia mengerucutkan bibirnya sambil mendengus pelan. Seperti ada palu mementung pelipisnya ketika mengerjakan soal - soal fisika itu.
" Ini mudah. Yang penting kau hafal rumusnya. Tinggal memasukkan angka - angkanya " Jaein mencubit ujung hidung Jaejoong. " Mari, oppa ajari " tawar Jaein. Lalu, gelas susunya ditaruh di atas meja. Jaejoong menyimak penjelasan Jaein dengan serius. Kakaknya memiliki otak encer dalam memecahkan soal - soal berbau SAINS. Kurun waktu setengah jam, Jaejoong sudah langsung mengerti.
" Terima kasih oppa sudah mengajariku " ia tersenyum manis.
" Tentu. Oppa ke kamar ya. Kerjakan tugasmu dengan baik "
" Ne " ia mengecup pipi Jaein sekilas sebelum akhirnya Jaein beranjak dan pergi ke kamarnya.
ooo-ooo
Seselesainya kegiatan belajar mengajar di sekolah, Jaejoong menyiram tanaman adenium miliknya di taman sekolah. Bibirnya bersenandung riang, melantunkan melodi - melodi pengusir nelangsa.
Langit yang biru cerah mewakili suasana hatinya yang sedang baik. Sesekali, ia terkekeh sendiri mengamati kupu - kupu yang malu - malu menghinggapi kuncup bunganya. Teriknya peluh kerlingan kemilau sang surya, mengucurkan keringat pada pelipis Jaejoong. Punggung tangannya buru - buru menyeka butir - butir keringat itu.
" Kau harus tumbuh besar. Mengerti? " ia bersua pada adenium miliknya. Adenium berwarna merah muda merekah, menyibak pesona keindahan. Bongsai berbonggol besar yang melata dan mencuat di permukaan tanah, memamerkan kesejatiannya. Perawatan tanaman yang digalangkan berkaitan dengan materi pelajaran Pemeliharaan Lingkungan Hidup.
Jaejoong menepuk pelan pot tanamannya kemudian hendak beranjak mengembalikannya ke tempat semula, di rak kayu khusus dipayungi kerindangan pohon beringin. Ia melangkahi parit dengan hati - hati.
" Ah! " pekik Jaejoong melengking. Ia terjatuh, kakinya sempat tesandung pinggiran parit, berupa tonjolan bebatuan kali abu - abu. Tubuh mungilnya terjerembab mulus di timbunan tanah. Wajahnya ternodai kepulan tanah kecoklatan. Lututnya terbentur pada batu. Hembusan nafasnya bergentayangan, seirama lututnya terobek hingga berdarah anyir. Sangat sakit, lapisan kulit luar yang mulus tanpa cacat harus berakhir mengenaskan karena robekan luka. Saking pedihnya, lidahnya seakan kelu untuk meringis pilu.
Pandangannya berpendar ke sekeliling. Alangkah terkejutnya ia begitu mendapati adeniumnya terpental mengenaskan. Tanah di dalam pot terobrak - abrik keluar serta tanamannya yang sudah berbaur berantakan. Tanaman yang ia rawat dengan sepenuh hati harus mengalami nasib serupa seperti kedua lututnya. Syaraf - syaraf tubuhnya seolah lumpuh, sukar digerakkan dan ia hanya bisa pasrah menanti kedatangan sinar keajaiban dari langit, turunnya malaikat penolong.
Matanya membelalak kaget ketika pria berwajah kecil berdiri tidak jauh di depannya. Masih segar di ingatannya; anak laki - laki berpostur tinggi tegap, bermata kecil, berhidung mancung, berahang tegas. Matanya menipu daya, terlihat kecil sebaliknya mampu menembus setajam sinar inframerah. Yunho, yang sarat misteri.
Jaejoong tidak terlalu mengharapkan kepedulian dari Yunho. Ia merasa kurang beruntung jikalau berurusan kembali dengannya. Lelaki sedingin es, semisterius gua yang gelap gulita. Namun keadaan menjerit membutuhkan pertolongan segera. Jaejoong setidaknya bisa bernafas lega ketika Yunho yang hanya berdiam diri sejenak dengan pot aglonema di tangannya sudah bergulir ke penjuru lain. Meski kekecewaan sulit ditampik. Yunho tidak berkemanusiaan, membiarkan seorang gadis terluka.
Jaejoong bersusah payah menopang tubuhnya dengan tangannya untuk berdiri. Naas tidak membuahkan hasil sama sekali. Hanya terdengar lenguhan panjang menyiksanya. Terlalu lemah dan pedih. Tersentak keras ketika sebuah tangan kekar meraup erat bahunya. Didongakkan kepalanya, matanya secara tidak sengaja bersirobok dengan mata kecil... Yunho?
" Yunho-sshi " Jaejoong tidak bermaksud mengelak atau menolak. Tidak ada waktu berjual-mahal. Ia sudah sepayah ini. Yunho tidak menggubris Jaejoong malah mengerutkan lapisan kulit di bawah matanya. Aglonema di tangannya semula telah raib dari pandangan Jaejoong bergantikan sebotol kecil obat biru. Tanpa bersua Yunho meraup tubuh Jaejoong kemudian menepikannya di bawah pohon lars (*pohon lars sejenis dengan pohon cemara) di sudut taman. Ia menyandarkan punggung Jaejoong pada batang pohon.
" Aw " ringis Jaejoong ketika tangan Yunho menarik pelan kedua kakinya dan meluruskannya. Dari tempatnya, Jaejoong bisa melihat jelas otot - otot halus Yunho yang terbentuk mendekati kata sempurna. Tanpa meminta persetujuan Jaejoong, ia membasahi kedua lutut Jaejoong menggunakan air liurnya. Jaejoong memekik tertahan, sangat perih. Hasratnya meluap - luap ingin memaki batu bodoh yang telah membuatnya tidak berkutik seperti ini. Sejurus memantau,
Yunho meneteskan obat merah tadi dan membalurinya secara telaten. Jaejoong menggigit bibir bawahnya kuat - kuat. Nafasnya terikat oleh kepedihan yang berlipat ganda. Lutut indahnya harus beriwayat cacat, bekas luka terkutuk. Lutut yang selalu ia jaga, ibunya yang juga cerewet mewanti - wantinya dengan nasihat turun-temurun, yang hampir membuat telinganya mengeluarkan uap. ' Ingat, kau anak gadisku satu - satunya. Jangan sampai ada luka di tubuhmu karena jika luka itu berbekas, akan tampak jelek nantinya '. Lamunan Jaejoong membuyar ketika Yunho telah siap dengan kegiatannya. Ia akan beranjak berdirik namun lekas mengurungkan niat begitu suara Jaejoong memanggilnya.
" Yunho-sshi " panggil Jaejoong cukup ragu. Ia melengok ke arah Jaejoong tanpa ada sahutan. Matanya...sangat dalam dan menghanyutkan bagi siapapun yang menatapnya. Sehingga kau tidak akan mau kembali lagi. Jaejoong menelan air liurnya, mempersiapkan mental untuk meneruskan kalimatnya.
" Terima kasih sudah menolongku " lanjutnya canggung, " ah, aku tidak tahu kalau tidak ada kau
" ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Yunho memutar bola matanya perlahan sambil membuang napas dari mulutnya. Pria ini tidak mudah diprediksi. Penuh teka - teki dan sulit mencari celah hangat pada dirinya. Ia membuang mukanya ke samping dan berdiri, pergi entah ke mana dengan obat birunya tanpa mengucapkan sepatah kata saja. Apa karena ia bisu atau bukan tipikal orang banyak bicara?
" Aish, anak aneh. Susah ditebak " gumam Jaejoong gemas.
Jaejoong melangkah terseok - seok. Tas punggungnya yang amat berat, menambah daftar deritanya hari ini. Ia melewati pos satpam di dekat gerbang sekolah dan melihat sebentar pada jam dinding di dalam pos. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Keluhannya dibarengi dengan suara Minyoung.
" Jaejoong-a! " semilir angin beratapkan langit jingga mengantarkan suara itu ke telinga Jaejoong. Jaejoong berhenti dan menoleh ke belakang. Minyoung dengan satu kantung kresek di tangan kanannya.
" Hei! " Jaejoong agak berteriak sambil melambaikan tangannya. Minyoung berlari kecil menyusul Jaejoong.
" Hosh, hosh " ia terengah - engah, tangannya disimpan pada kedua lututnya. " Kau belum pulang? " tanyanya.
" Aku baru akan pulang. Kau? "
" Ah, aku usai mengikuti ekstrakurikuler merajut. Aku membawa benang wol warna - warni. Makanya kantungku sampai sepenuh ini " Minyoung mengeluh, mengacungkan kantung hitamnya.
" Omo Jaejoong-a! Ada apa dengan lututmu? " Minyoung bertanya hiperbolis menunjukkan kepanikannya.
" Eh? Oh... Aku terjatuh di taman sekolah. Karena kecerobohanku " sesalnya.
" Lain kali kau harus hati - hati. Mengerti? "
Jaejoong mengangguk paham. Seperti tertimpa tangga dua kali. Kemarin karena keteledorannya menjaga barang sampai liontinnya lenyap dari lehernya dan berpindah ke tangan Yunho, ditemukan anak tersebut. Anak laki - laki misterius yang tidak pernah ia harapkan andilnya dalam menemukan liontinnya. Dan Guru Mael menasehatinya. Sekarang, ia kelepasan menjaga kulit tubuh indahnya. Lagi - lagi, Yunho datang sebagai juruselamatnya. Berlanjut Minyoung mencekokinya dengan petuah setaraf Guru Mael. Aish, semuanya tampak seperti kebetulan yang disengaja atau mungkin sudah diatur Yang Maha Kuasa.
" Lukamu sudah diobati? Pakai obat biru? "
Jaejoong mengedipkan matanya beberapa detik.
" Ya ", singkatnya.
" Dari mana kau mendapatkan obatnya? Setahuku kau paling anti membawa obat - obatan ke sekolah " Minyoung menyelidik.
Jaejoong gelagapan tapi dengan lihainya lekas berimprovisasi, " Aku mendapatkan obatnya dari UKS " Lagipula mana mungkin ia menceritakan tentang anak laki - laki bernama Yunho. Nama lengkapnya bahkan ia berada di kelas apa, Jaejoong juga tidak tahu.
" Ah? Benarkah? Bukankah UKS sudah tutup? "
" Tidak. Buktinya aku bisa mendapatkan obat biru dari sana ", Minyoung sudah kalah berdebat dari Jaejoong kalau begini.
" Mm, Yea " , Jaejoong menyipitkan mata begitu menemukan keganjilan pada leher Minyoung.
" Minyoung, lehermu kenapa? "
Minyoung tampak gusar dan lekas menutupi lehernya dengan sebelah tangannya, " Ini, aku digigit nyamuk tadi "
" Tapi kenapa sebesar itu ya bekasnya? "
" Haha, kau tahu sendiri seperti apa ukuran nyamuk - nyamuk di sekolah kita " Minyoung tertawa sengau, aneh dan mencurigakan. Diam - diam di dalam hati, ia mengutuki bekas di lehernya itu. Rasanya ingin mengusap bekas itu sekuat tenaga agar hilang dan yang paling penting tidak dilihat orang lain, termasuk Jaejoong.
" Oh " Jaejoong kembali mengangguk tidak berarti.
" Hei, itu senior Yong, bukan? " tunjuk Jaejoong ke arah parkiran motor. Minyoung menggedikkan bahunya, " Ne ".
Jaejoong mengerutkan dahi. Rumor yang ia dengar Minyoung dan senior Kim yang berwajah tampan itu sedang menjalani hubungan khusus. Ia juga tidak tahu kebenarannya. Tapi keberadaan kedua orang ini secara bersamaan; di tempat yang sama dan waktu yang sama justru menguatkan dugaannya. Mustahil pula jika kedua anak manusia berbeda jenis kelamin berbeda ini tidak melakukan sesuatu ketika berada di sekolah tadi.
" Oh ya. haha dia mungkin akan pulang ke rumahnya "
" Kau meminta tebengannya saja "
" Hah? Untuk apa? " ketus Minyoung lalu buru - buru meralat, " Maaf, maksudku rumah kami tidak searah dan aku tidak ingin merepotkannya "
" Kalian sedang ada masalah ya? " tebak Jaejoong.
" Emm, kurang lebih " air muka Minyoung memburam. Melukiskan berbagai macam emosi di dirinya.
" Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan " Jaejoong berusaha menghibur dengan cara mengelus punggung Minyoung. Permasalahan cinta selalu rumit dan menyakiti hati sia - sia. Maka dari itu Jaejoong tidak mau menjalin hubungan dengan pria manapun untuk saat ini. Masih terlalu dini dan banyak merugikan.
" Ya. Gomawo " ucap Minyoung dengan seulas senyum di bibirnya.
" Itu gunanya teman, bukan? Mari kita pulang. Hari semakin sore "
" Kkaja "
ooo-ooo
" Astaga! Ya ampun. Omo sesange. Aku berharap ini hanya mimpi " Lee Sun-mi, ibunda Kim Jaejoong berseru histeris seperti baru melihat penampakan makhluk halus. Pemandangan di depannya sangat menyeramkan, melebihi penampakan makhluk halus -seperti yang disinggung di atas-. Jaejoong tidak membisu, kepalanya menunduk ciut. Reaksi ibunya sudah ia tebak sebelumnya.
" Lututmu akan cacat. Ah, kenapa harus dua - duanya? "
" Maaf omma. Aku tersandung batu di taman sekolah "
" Jadinya begini, bukan? Kau anak perempuanku satu - satunya. Yang kupelihara sepenuh hati dan menjaga keutuhanmu. Tapi kau merusak semuanya " kecewa Sunmi.
" Omma, mianhae. Kecelakaan ini tidak disengaja. Aku janji tidak akan mengulanginya "
" Kau berkata seperti itu juga tidak akan merubah keadaan. Lututmu tetap akan jelek nanti. Lalu apa jadinya kalau kau mengenakan rok dan gaun di atas lutut? Aish " desah
Sunmi. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimanapun, Jaejoong adalah permatanya yang paling berharga. Sosok yang mewarisi kecantikan dan keanggunannya. Meskhi hidung bangir dan pipinya yang menawan dan tertarik ke atas diturunkan dari suaminya, ayah Jaejoong. Dari dulu, ia overprotektif terhadap Jaejoong. Walau caranya salah dan berlebihan tetapi semuanya demi kebaikan putri semata wayangnya.
" Omma, aku mohon jangan marah - marah lagi " Jaejoong bergelayut manja pada lengan Sunmi.
Sunmi luluh jua menatap mata besar Jaejoong. Ia menyerah dan mengalah.
" Baik,baik. Sekarang kau mandi. Lalu turun ke bawah dan makan malam. Setelah itu omma akan mengobati lututmu. Arrachi? "
" Ne. Aku mengerti "
Sunmi mengecup puncak kepala Jaejoong, " Naiklah ".
Jaejoong menggeliatkan tubuhnya tidak beraturan di atas ranjang. Ia melihat sekilas pada lutut yang telah ditangani ibunya, kain kasa telah membalut lukanya beserta ramuan obat di baliknya. Perih dan linu. Kemudian ia menerawang kejadian - kejadian yang dialaminya hari ini. Yunho; pria sedingin es, berekspresi kaku dan tidak banyak berbicara, malah mengundang rasa penasarannya. Hebat, belum pernah ia dihinggapi keingintahuan sebesar ini terhadap seseorang terlebih pria.
TOK TOK TOK
" Masuk "
Pintu terbuka lebar. Pria dewasa berperawakan meluluhkan masuk ke dalam dan ikut merebahkan dirinya di sebelah Jaejoong.
" Jaein oppa? "
" Ya? " Jaein memejamkan mata sementara Jaejoong memijat lembut kepala oppanya.
" Kau tampak sangat lelah "
" Tentu Jaejoongie. Tadi oppa dan kawan - kawan dari tim seangkatan merangkai mesin penyimpanan uranium " Jaein bernapas teratur, ia mengantuk tapi sulit mengatupkan mata sepenuhnya.
" Emm, bagaimanapun juga itu tetap tanggung jawab oppa sebagai mahasiswa "
" Ya, aku tahu adikku yang cerewet "
Jaejoong mengguman tidak jelas.
" Oppa, "
" Ada apa? " gumam Jaein.
" Aku punya sebuah pertanyaan "
Jaein membuka matanya segera, bermaksud menghargai adiknya yang mulai berbicara serius, " Apa gigitan nyamuk akan menyebabkan bekas merah keunguan dengan ukuran agak besar? "
" Maksudmu? "
" Tadi, di leher temanku ada bercak merah keunguan. Katanya itu karena digigit nyamuk "
" Apa ada tonjolannya? " telisik Jaein.
Jaejoong menggeleng singkat. Jaein memutar kedua bola matanya, sudah tidak perlu diragukan
lagi.
" Kenapa oppa? Kau membuatku bertanya - tanya! "
" Itu dinamakan kissmark "
" Kissmark? Apa itu? " Astaga! Jaejoong terlampau polos dan suci.
Pikirannya belum terkontaminasi hal - hal berbau seperti itu. Jaein mendesah bingung, " Kissmark adalah tanda dari ciuman seseorang. Ciuman yang bernafsu atau terlalu bertenaga akan meninggalkan bekas ciuman itu sendiri ", jelas Jaein.
" Hah? Bukan karena gigitan nyamuk? " Jaejoong membelalak kaget.
" Logisnya saja, gigitan nyamuk tidak berwarna merah-keunguan dan pasti terdapat tonjolan. Kau jangan mau dikelabui Joongie "
" Tidak kusangka Minyoung berbohong " gumam Jaejoong. Kekecewaan melintas di benaknya. Minyoung berdusta dan itu cukup melukai hatinya. Sebagai seorang teman yang cukup dekat dengan Minyoung -walau mereka tidak begitu akur-, ia merasa didustai.
" Apa yang kau katakan? Ayo, pijat oppa lagi "
" Aish, iya iya. Bawel " gerutu Jaejoong.
" Kau belum mempunyai pasangan Jaejoongie? "
" Belum. Aku harus belajar dulu dengan benar, kuliah seperti Jaein oppa dan lulus kemudian sukses dalam karir seperti Jaeyoo oppa. Aku merasa sangat bersyukur kalau harapanku barusan terkabul " ungkap Jaejoong. Wajahnya berseri - berseri, menyiratkan asa setinggi bintang di langit.
" Amin. Kau harus membuktikan perkataanmu "
" Tentu. Aku akan membahagiakan omma suatu saat nanti dan juga menyenangkan hati Jaeyoo oppa serta Jaein oppa "
" Adik berbakti " Jaein tersenyum bahagia lalu mencubit kedua pipi Jaejoong.
" Appo " ringis Jaejoong. Jaein tertawa terpingkal, " Haha, sampai air mataku keluar. Ekspresimu, aku tidak tahan melihatnya. Sangat jelek dan menyeramkan "
" Apa? " Jaejoong berkacak pinggang, matanya membulat.
" Tidak,tidak " Jaein berusaha mengebah tangan Jaejoong yang bersiap memukulnya. Pukulannya tidak sekuat petinju profesional memang, tapi tetap saja membuat nyeri di tubuhnya. Ia sudah kapok dipukuli Jaejoong.
" Ah! Aku pergi. Annyeong! " Jaein melesat.
" Tidak bisa. Kemari kau oppa "
" Aduh oppa! Lututku sakit. Larinya pelan - pelan! " Jaejoong berlari tergopoh - gopoh menyusul Jaein. Kekanakan, seperti tikus dan kucing tetapi menyenangkan serta semakin mempereerat tali persaudaraan di antara mereka.
ooo-ooo
Jaejoong terperanjat kaget begitu ia mendapati keramain saat akan memasuki kelas. Murid - murid berkumpul tidak beraturan di kelas. Membuat sakit mata melihatnya. Ia masuk ke dalam kelas dan menurunkan kursi kayunya. Minyoung, teman semejanya tengah sibuk berkaca di kursinya, melakukan rutinitas klasiknya. Menaburkan bedak bungkusan di wajahnya dan mengoles minyak zaitun di bibirnya. Sehingga bibir itu tampak lebih mengkilap sekaligus menggairahkan.
" Minyoung " panggil Jaejoong.
" Hei, Jaejoong-a. Selamat pagi " sapanya.
" Ne " Jaejoong menoleh lagi keluar lewat jendela lalu kembali pada Minyoung, " Ada apa? Tumben seramai ini dan kelas sangat sepi "
" Kau tidak tahu? " tanya Minyoung meninggi. Tampaknya Jaejoong tertinggal berita.
" Hari ini sekolah kita memperingati usia yang ke sepuluh tahun "
" Lalu? " Jaejoong menyela.
" Dengar aku dulu. Kita akan berbaris di lapangan sekolah. Dan murid tampan bernama Jung Yunho akan menyampaikan pidatonya "
Jung Yunho? Jaejoong menelan air liurnya. Apakah Yunho yang itu? Ah, tapi yang namanya Yunho dari sekian ratus murid di sini bukan berarti cuma satu.
" Maka dari itu gadis - gadis di sana sangat ribut? "
" Yea. Gadis - gadis tidak tahu malu. Mereka pikir mereka siapa, haha "
" Aku sependapat denganmu. Tidak ada gunanya sama sekali. Lagipula belum tentu Yunho yang kau maksud melihat ke arah mereka "
Bel pertanda masuk menunjukkan gaungnya, menjeda obrolan mereka.
" Ayo, kita ke lapangan " Minyoung menyeret tangan Jaejoong.
Guru - guru sibuk mengomandoi pembarisan murid - murid. Ada saja anak berulah dan susah diatur. Lapangan sudah dipadati murid - murd dari tingkat X - XII. Panggung kecil berkanopi di depan telah dirangkai seapik mungkin. Setelah mengikuti upacara selama empat puluh menit, MC (*Master of ceremony ) muncul di atas panggung. Ia berkata entahlah apa Jaejoong tidak mendengarkannya dengan begitu baik. Karena persendian lututnya serasa akan rontok. Berbaur dengan keperihan lukanya.
" Selanjutnya mari kita saksikan pidato dari Jung Yunho-sshi, siswa kelas X-1 "
Riuk tepuk tangan menggema ke segala arah. Orang yang dimaksud naik ke panggung.
" Dia?! " Jaejoong terhenyak meredam.
Ya, kenyataannya bertolak belakang dengan kemungkinan yang ditafsirkan Jaejoong.
Pria yang berdiri di panggung, pria yang akan membacakan pidato dan pria yang disorak - soraikan gadis - gadis adalah Yunho. Jadi, marganya Jung. Jaejoong terhenyak beberapa saat.
Kembali sadar ketika Yunho membenahi mikroponnya. Ia berdehem pelan kemudian memulai sambutannya, " Selamat pagi saya ucapkan kepada Bapak Kepala Sekolah, bapak/ibu guru, para karyawan sekolah dan teman - teman yang saya kasihi "
Jaejoong terhenyak di tempatnya. Pertama kalinya ia menangkap dengar suara Yunho.
Suara beribawa, gagah dan sangat kecowok-an. Ditepuknya kedua pipinya kencang, " Auh " ringisnya. Aish, ini benar nyata dan ia sedang tidak berkelana di alam mimpi.
" Selamat pagi " balas yang lain serempak.
Yunho menyunggingkan senyumannya sekilas dan itu membuat Jaejoong berjungkat. Pria berwajah kecil dan berhidung mancung itu bisa tersenyum juga. Tapi kenapa di depannya sangat dingin seolah tidak menyukai keberadaannya?
ooo-ooo
tbc .
chapter 1 . Review kalian bikin aku semangat ^^ One word comment wont hurt me, janji deeeh ^.
