Chapter 1 ― After Death

Kuroshitsuji

©Yana Toboso/Square Enix

Rated : T for now, maybe changing later

Genre : hurt/comfort, dark, little bit romance (I hope so)

warn! typo(s), OOC, slash(boyxboy), between AU and modified canon, complicated scenes, still learning author, and etc

Summary : Kematian bukanlah akhir. Kisah ini masih berlanjut. Sampai jasadnya hancur tak berbentuk. Sampai mahkotanya jatuh. Sampai singgasananya habis dimakan waktu.

.

.

.


Kelopak itu mulai hancur. Helai demi helai berubah menjadi debu. Terurai oleh udara. Hingga tak bersisa...

.

"Tuan muda...,"

Siapa? Siapa itu? Rasanya aku mengenal suara ini. Aku tak dapat melihat. Semuanya gelap. Kenapa?

"Tuan muda...,"

Siapa yang berbicara? Tunjukkan sosokmu. Jangan main-main denganku.

"Tuan muda...,"

Siapa? Masih terlalu buram. Aku tak dapat melihat dengan benar. Sudah kubilang jangan main-main denganku. Ah! Ternyata dia mempunyai surai sekelam malam. Tidak. Masih belum jelas. Tunjukkan lagi padaku. Lagi. Lagi.

Kulitnya... putih. Tapi rasanya terlihat jauh lebih pucat dari manusia kebanyakan. Kamu siapa? Kh..., kenapa suaraku tidak mau keluar. Lidahku terasa kelu. Matamu, berwarna cokelat tanah. Dan senyum itu, rasanya aku mengenalnya. Sangat familiar. Siapa? Siapa?

"Kh..."

Sakit. Kenapa kepalaku tiba-tiba sakit? Mual. Kh... aku ingin muntah.

"Ukh... uhuk ―huekk"

S-sesak. Dadaku terasa sangat sesak. Sakit sekali.

"Kemarilah, tuan muda!"

Jangan memerintahku. Kamu tidak bisa memerintahku. Aku ini..., aku, aku... siapa? Kenapa aku tidak bisa mengingat namaku? Sial! Sebenarnya ada apa ini? Siapa dirimu? Siapa aku? Lalu... ini dimana?

"Ayo, tuan muda. Kemarilah. Panggil nama saya."

Sudah kubilang jangan memerintahku. Kamu kira kamu siapa? Aku bahkan tak tahu namamu.

"S-se... ba..."

Tapi kenapa tanganku justru ingin meraihnya? Kenapa tubuhku malah mendekatinya? Aku tidak suka. Bagaimana aku yang mengikuti kata-katanya. Menuju ke arahnya yang sedang merentangkan tangannya. Menyambutku. Dia hanya berdiri disana. Menatapku dengan iris matanya yang tajam dan senyuman yang seperti tak pernah luntur itu, walau aku jatuh dan terseok-seok.

"Seba... Sebas..., Sebatian...,"

Bibirku terus mantara. Berulang-ulang. Namamu kah?

"Yes, my lord. Seperti itu."

Sekarang aku bisa melihat lebih jelas. Melihat tiap detail raut wajahmu. Bahkan, hamparan bunga aneh yang berpendar keunguan disekelilingku. Ternyata manik matamu tidak sepenuhnya berwarna cokelat tanah tapi ada sepercik api yang menyala disana. Seperti lava yang meletup di dalam kawah. Lalu sinar matamu tidak tajam. Malah terkesan teduh. Senyummu juga misterius. Setiap lekuk yang tertoreh disana.

"Sebastian..., Sebastian..., Sebastian...,"

Kemudian dia merengkuh tubuhku erat. Aku pun tak kalah. Balas merengkuhnya erat. Dadaku terasa semakin sesak, seiring dengan sensasi asing menyusupi pori-pori tubuhku. Rasanya dingin. Aneh. Seiring dengan jemariku yang terus mencengkram punggung kemejanya. Terus begini. Kamu...

"―Sebastian"

.

.

.

.oOo

"Tuan muda, sudah waktunya bangun."

Suara derit gorden yang dibuka samar-samar terdengar. Cahaya matahari menyeruak masuk dari pembiasan kaca jendela di ruangan besar itu. Paparannya mengenai seorang pemuda manis berambut kelabu yang tengah tidur di atas kasur berkanopi biru laut. Sontak saja dia langsung membuka matanya, memperlihatkan iris sebiru langit. Jemari rampingnya sedikit menutupi matanya dari cahaya matahari pagi yang terlalu menyilaukan. Perlahan, ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya hingga dada. Di depan pemuda itu, berdiri seorang pria dengan setelan coat dari bahan wool berwarna hitam. Helaian rambut kelamnya sedikit menutupi manik matanya yang sewarna lava ketika sedang menuangkan teh di atas set cangkir. Seorang butler.

"Saya sudah menyiapkan new moon drop tea untuk anda."

Kemudian pria itu membuka kemeja yang dipakai tuannya dengan cekatan. Mengganti pakaian tidur itu menjadi setelan kemeja dan waistcoat berwarna hitam, lalu menyimpul pita dasi tuannya.

"Aroma yang wangi." ucap pemuda itu, lalu menyesap teh yang disajikan butler-nya. Sedangkan sang butler memakaikan sepatu kulit berhak 5 centi ―senada dengan waistcoat yang dikenakannya.

Butler- nya menunduk hormat. Sebelah tangannya yang memegang nampan perak disodorkan kepada tuannya. Di atas nampan itu terdapat sebuah surat dengan emblem yang sangat mereka kenal. Emblem keluarga kerajaan.

"Ada surat dari ratu."

Pernyataan pria itu, butler - nya, mempertegas darimana surat itu berasal. Dia melirik sekilas, kemudian mengambil amplop beremblem tersebut.

"Kepada bocahku yang manis, Ciel Phantomhive." ucap pemuda itu perlahan. Dia mendengus geli ketika membaca kap dari surat itu. Ternyata yang mulia ratu masih suka memanggilnya seperti itu. Robekan amplop diletakkannya di atas meja kecil di samping ranjangnya.

"Ciel, bagaimana kabarmu? Bagaimana tempat tinggalmu yang baru? Aku tahu, kamu tidak lagi berada di Britania. Dan maaf. Mungkin kamu harus kembali lagi kesini. Aku ingin kamu memeriksa Public School: Weston. Aku merasa ada yang aneh dengan sekolah itu. Derek Arden, keponakanku, bersekolah disana dan sudah lama tidak pulang ke rumah. Beberapa anak lain yang bersekolah disana pun bernasib sama dengan Derek. Aku merasa ini bukan sekedar masalah anak yang sedang melakukan pemberontakan hingga tidak mau pulang ke rumah. Sepertinya masalah ini lebih dalam dari yang aku duga. Maaf selalu merepotkanmu, Ciel sayang. Setelah ini aku tidak akan menganggumu lagi. Ini permintaan terakhirku. Tertanda, Victoria."

Pemuda itu, Ciel, mengakhirinya dengan dengusan kecil.

"Sebastian...," panggil Ciel. Sang butler yang masih setia berdiri di sampingnya menolehkan kepalanya, "cari data tentang Public School: Weston dan Derek Arden ini. Semua yang menyangkut mereka juga."

"Anda akan menerima permintaan Ratu, tuan muda?" tanya sang butler ―Sebastian. Keningnya mengernyit heran.

"Tentu saja." ucap Ciel. "Dan kau akan ikut bersamaku."

"Hmp..., bukankah anda bilang anda tidak akan lagi menginjakkan kaki ke Britania ataupun menerima perintah dari sang ratu? Sekali anjing, tetap saja akan menjadi anjing, ya?" Sebastian berkata dengan wajah yang sengaja dibuat sepolos mungkin. Ciel mendecih.

"Diamlah! Ini perintah, Sebastian!"

Dengan ini Ciel mengakhiri ultimatumnya, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut. Sebastian setengah berlutut dengan sebelah tangannya diletakkan di dada. Bibirnya tertarik ke samping membentuk senyuman.

"Yes, my lord."

.oOo

Suara derik roda kayu yang bergerak terdengar seiring ketoplak kuda yang berjalan menarik kereta di belakangnya. Sinar mentari membiaskan cahaya keemasan yang hangat. Berkasnya menerpa pemuda manis yang sedang mengintip keluar melalui jendela kecil di kereta itu. Kadangkala terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan yang ia lewati. Manik birunya memperhatikan tumpukan salju yang sedikit demi sedikit mencair. Beberapa jatuh dari atas ranting dan dedaunan, menampakkan kuncup-kuncup bunga yang mulai tumbuh dan bermekaran di ranting-ranting pohon.

"Tuan muda, ini data yang anda minta." ucap Sebastian sembari memberikan lembaran kertas berisi tulisan tangannya yang rapi, "hanya ini yang bisa saya dapatkan."

Jemari ramping Ciel sibuk membolak-balik lembaran kertas berisi data tentang Derek Arden ataupun Public School: Weston.

"Aku memang mendengar sekolah itu tertutup, tapi aku tidak menyangka kamu hanya mendapatkan informasi sesedikit ini, Sebastian." ucap Ciel dengan sedikit nada sarkasme. Sebelah bibirnya tertarik ke samping, sedangkan manik birunya menatap Sebastian dengan pandangan mencemooh.

"Tapi kalau seperti ini, mau tidak mau kita harus menyusup dan menyelidiki sekolah itu secara langsung. Benar-benar merepotkan."

Ciel melemparkan tumpukan berkas di tangannya ke samping tubuhnya. Dia menatap jengah keluar jendela. Kembali memperhatikan pohon demi pohon yang seperti tak akan habis, terselimuti salju berwarna putih.

"Sebastian, siapkan keperluanku untuk bersekolah disana. Semua tanpa terkecuali." titah Ciel tanpa menoleh ke arah Sebastian. Tangannya melepas simpul yang menahan tirai jendela hingga kain berwarna biru tua itu menutupi satu-satunya akses cahaya untuk menerangi ruangan bergerak berukuran 2x2 meter yang sedang ia diami.

"Sebastian?" ucapnya lagi ketika Sebastian tidak juga merespon apapun.

Ciel menolehkan kepalanya dari hamparan salju yang sedari tadi dipandanginya. Pangkal alisnya saling menaut heran tatkala melihat sikap Sebastian yang tengah duduk di depannya. Manik mata Sebatian yang biasanya membiaskan binar yang tenang kini terlihat bergejolak. Pandangannya yang terkesan teduh pun kini sedikit menerawang. Seperti permukaan air pada lautan dalam dan tidak dapat terlihat isinya. Ada yang tidak beres.

"Sebastian!" panggil Ciel lagi, tapi kali ini sedikit lebih keras. Sebastian mengerjapkan matanya sebelum menatap tuan mudanya. Manik mata sewarna lava miliknya secara perlahan kembali bergejolak. Bibirnya tertarik ke samping membentuk senyuman. Seakan-akan apa yang baru saja terjadi, kejanggalan itu, hanyalah delusi dari Ciel.

Sebastian menundukkan kepala, membuat surai hitamnya menutupi sebagian wajahnya, "Yes, my lord." ucapnya kemudian. Dan Ciel memilih untuk mengacuhkan segelintir perasaan janggal yang mampir kepikirannya. Mengacuhkan Sebastian.

Sebastian membuka pintu kereta. Cahaya matahari pun mulai merembes memasuki ruangan. Tidak sampai sepertiganya yang tersentuh cahaya sehingga hanya menampakkan salah satu sisi kursi kereta berbahan beludru lemut yang berada dekat dengan pintu. Kegelapan masih menenggelamkan sosok Ciel di sudut ruangan. Tak terusik. Kecuali sebagian kecil jemari kirinya yang tak sengaja ikut terkena cahaya.

Sebastian menatap tuan mudanya sekali lagi. Sepersekian detik, sebelum akhirnya ia melompat dari kereta yang masih berjalan. Meninggalkan sekelebat bayangan hitam dan serpihan salju yang bersinar keperakan tertimpa matahari. Pintu menghantam dinding kereta beberapa kali, disusul suara derikan pelan, sebelum tertutup sempurna. Tempat itu kembali gelap.

Bola mata berwarna biru menatap lurus kegelapan di depannya. Berlahan tapi pasti berubah warna menjadi crimson.

.

This is not the end

.

.

.

Chapter 1 fin


a/n :: Finally, fanfict pertama saya di fandom ini. Terinspirasi dari lagu Kalafina pada ending Kuroshitsuji season 2. Saya harap kalian (siapapun yang membaca ini) dapat menikmatinya. Kritik dan sarannya saya tunggu. Yang pedas juga nggak apa-apa. Saya tahan banting(?), malah saya mengharapkannya lagi. RnR please.. ^^

Sign, Rin-ku