"Makanya, jangan kebanyakan membaca situs fin—"
"Fanfiction?"
"Yah—itulah."
"Urm, kau benar."
"Yah..."
"Karena hidup tak semulus cerita-cerita di sana."
"Karena dalam kisah kita, takkan ada kata bahagia pada akhirnya."
"Berjanjilah jangan mengatakan sesuatu yang pesimistik seperti itu."
"Yang bisa kulakukan hanya berucap janji, Jongin. Tanpa tahu kapan aku bisa menepatinya... Aku terlalu lelah menghadapi kenyataan."
Waktu sejenak berhenti berputar, sementara aku terpasung dalam pusarannya. Tak bergerak; statis dan membeku. Merajai ruang hampa yang selalu kudambakan. Adalah kehadirannya, yang mengisi tiap ruang terkecil dalam pori-pori. Mengalir seirama aliran darah dalam arteri, berdetak senada dengan dentum jantung, bersenandung selirik dengan lullaby sang peri welas asih. Aku masih mengenalnya walau yang kini kutahu hanya lembut suaranya. Aku masih merasakan bahwa ia masih ada di dunia dengan hawa hangat yang entah dari mana asalnya. Aku tahu ia masih ada. Atau setidaknya, aku berharap seperti itu.
"Kau harus makan, Jongin."
"Mana Kyungsoo?"
Sehun mendesah sambil memijit pelipisnya frustrasi. "Kyungsoo tak ada di sini. Berhenti menanyakan hal yang sama."
"Aku mau Kyungsoo."
"Jongin." Sehun memanggilnya dengan nada tegas. "Kyungsoo tak akan kembali ke sini. Jadi lup—"
"Aku ingin Kyungsoo. Aku ingin dia. Aku menginginkan Kyungsoo-ku," rintih Jongin. Ia terisak pelan seperti anak kecil. Perban yang membalut melingkar menutupi matanya bergetar pelan.
Sehun menatap sahabatnya nanar.
.
.
.
Cerita ini bermula ketika mereka beranjak dewasa. Mengerti dan mulai paham apa itu cinta. Adalah sebuah perasaan yang terjalin rapi menembus semua perbedaan—dan persamaan—di antara keduanya. Mereka saling mencintai; melupakan kodrat bahwa tak seharusnya mereka bersama. Mereka dicemooh, dihina, dicaci, dimaki, dikucilkan, dibuang—diinjak-injak. Baik orangtua Jongin dan Kyungsoo tak pernah setuju anak mereka menjadi seorang pecinta sesama jenis, pendosa, pelanggar norma, anak tak tahu diri, membuat malu keluarga—atau cacian sejenis. Mereka tak sudi melihat anak mereka lagi. Mereka membuangnya.
Hanya beberapa teman-teman mereka yang mau berbesar hati menerima mereka. Memberikan ruang bagi mereka untuk mendeklarasikan cinta.
Bukankah mereka hanya saling mencintai? Lalu bagian mananya yang salah? Bagian mana, yang membuat orangtua mereka, merasa janggal? Apa karena keduanya sama-sama lelaki, jadi mereka tak dapat bersatu? Apa karena itu, cinta mereka jadi salah?
Dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Atas yang mereka miliki—mereka mulai kehidupan dari nol. Dari awal. Sebagai Kim Jongin dan Do Kyungsoo yang baru. Sebagai dua sejoli yang akan menatap lurus ke depan, menghadapi semua yang datang menerpa dengan genggaman tangan yang akan kia mengerat.
Kyungsoo bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran kecil di pinggir kota. Sementara Jongin bekerja sebagai bartender di sebuah klub hiburan malam.
Mereka mulai kehidupan seperti orang normal lainnya. Menyisihkan waktu di akhir pekan hanya untuk obrolan ringan dan kecup mesra yang akan membawa mereka pada malam panjang yang bergelora.
Saat akhir pekan datang, ketika keduanya dibebastugaskan dari pekerjaan masing-masing, Jongin akan duduk di belakang rumah kecil sewaan mereka, dengan Kyungsoo yang merebahkan diri di atasnya. Mereka akan menceritakan kisah unik mereka selama seminggu itu.
Satu di antaranya akan menjadi pencerita dan satu yang lainnya akan mendengarkan dengan seksama. Kadang satu-dua kecupan akan menyela pembicaraan mereka. Lalu Jongin akan meminta Kyungsoo untuk menyanyi untuknya. Ya—Kyungsoo adalah malaikat yang punya sejuta pesona—dan satu di antaranya, adalah suara bak gemericik air surga yang akan selalu membuat Jongin terpesona.
Kyungsoo akan menyanyi dengan merdu, sementara Jongin mendekap erat tubuh sang kekasih dari belakang. Mereka akan terus bersenandung dan mendekap satu sama lain—sampai matahari benar-benar muak akan kemesraan mereka.
Mungkin cinta selalu indah seperti itu.
Mungkin mereka bisa hidup tenang seperti orang normal. Mungkin—tidak ada yang pelru dikhawatirkan. Karena cinta mereka tidak salah.
Mungkin.
Kemudian setting waktu berpindah ketika mereka memasuki tahun ketiga.
Semua baik-baik saja selama ini. Kecuali pertengkaran-pertengkaran kecil mereka—tapi, bukankah itu wajar?
Mereka hidup bahagia selama ini. Menjalani hidup dengan penuh cinta seakan-akan mereka sedang memperolok orang-orang yang membuang mereka dulu. Seakan-akan mereka sedang menunjukkan bahwa selama ini mereka benar; cinta mereka benar, mereka bahagia.
Hari itu Jumat malam. Kyungsoo sudah kembali dari pekerjaan rutinnya. Sudah siap dengan makan malam yang dihangatkan di dalam microwave. Mata jernihnya memandang lurus ke arah perapian, melamunkan tentang apa-apa saja yang sudah ia lalui selama ini.
Apakah ia bahagia?
Tentu saja. Tak ada hal yang paling membahagiakan selain bersama dengan Jongin, hidup bersamanya, menghirup aroma maskulin tubuhnya, bercumbu dengannya, memiliki hatinya, dan menatap matanya saat ia bangun tidur. Tak ada hal yang paling membahagiakan selain bersama dengan Jongin; mengarungi hidup bersamanya.
Tapi—apakah ini semua cukup? Apakah Jongin bahagia bersamanya?
Tentu saja. Jongin selalu bahagia bersama Kyungsoo. Ia selalu mencintainya. Mereka pasangan yang harmonis. Mereka bahagia.
Tapi—kemudian Kyungsoo sadar. Selama ini, mereka kesepian. Mereka memang memiliki cinta dan memiliki satu sama lain. Tapi—ada yang kurang di atas itu semua. Ada yang kurang.
Ia merasakannya. Kyungsoo merasakannya.
Mereka belum sepenuhnya bahagia.
Kemudian rasa itu kembali menjalar dalam hatinya. Rasa kesepian dan ingin dicari. Ia rindu kehidupannya yang dulu. Di mana ayah dan ibunya akan marah-marah di depannya, bukannya membuangnya dan pantang bicara padanya selama bertahun-tahun. Ia merindukan halmony-nya yang selalu membuatkannya kue beras dan kue jahe ketika musim salju. Ia rindu akan Suho hyung yang akan selalu meminta pendapatnya mengenai Yixing noona. Ia rindu kehidupan yang kini malah membuangnya. Menganggapnya tak ada, memusuhinya. Mencacinya.
Ia tahu bahwa Jongin juga merasakan hal yang sama, tapi kekasihnya itu memendamnya. Kerap, Kyungsoo memergoki kekasihnya sedang menangis dalam diam ketika malam menjelang. Punggung Jongin akan bergetar hebat ketika ia tidur membelakangi Kyungsoo. Dan Kyungsoo hanya akan menggigit bibir, seraya merutuk dalam hati.
Jongin lebih tersiksa dari pada dirinya.
Status Jongin yang berperan sebagai orang di mana ia harus melindungi Kyungsoo sungguh berat. Bahkan Kyungsoo lebih tua setahun dari Jongin.
Jongin masih muda. Di umurnya yang baru menginjak duapuluh dua, seharusnya ia masih menikmati masa perkuliahannya bersama Zitao atau Sehun, bukannya bekerja sampai larut malam untuk makan mereka berdua.
Kyungsoo tahu jika Jongin merindukan masa mudanya. Ia rindu ibunya. Kyungsoo tahu hal itu. Apalagi Jongin sangat dekat dengan ibunya. Jongin rindu teman-temannya. Masa di mana mereka akan keluar bersama, menjajal mobil baru milik Sehun dengan berkeliling kota, mencoba minuman jenis baru bersama Zitao, pergi menonton bioskop dengan film baru bersama Luhan, atau berdiam diri di kamarnya dengan PS di depan mata. Jongin terlalu muda untuk menerima konsekuensi cinta yang mereka pertahankan.
Kyungsoo tahu itu, dan ia membencinya.
Ia membenci dirinya yang egois telah mempertahankan kisah cinta mereka. Ia membenci dirinya yang telah membawa Jongin pergi dengan kehidupan yang keras seperti ini.
Suara pintu yang terbuka menarik Kyungsoo kembali dari lamunannya. Pemuda kecil itu mengelap tangannya dengan serbet makan, kemudian berlari kecil menghapiri sang kekasih yang baru pulang. Denting jam menunjukkan pukul sebelas malam. Terlalu malam untuk bisa disebut sebagai 'makan malam'.
"Kau sudah pulang?" sambut Kyungsoo dengan senyum hangatnya seperti biasa.
Jongin melepas alas kakinya, merenggangkan tubuhnya barang sejenak. Perlahan, raut letih di wajahnya terganti dengan senyum bahagia tatkala melihat sang kekasih berdiri di depan pintu, menyambutnya.
Kyungsoo sakit melihatnya; ia sakit mengetahui kenyataan bahwa Jongin lelah, Jongin terlalu memaksakan dirinya.
Rengkuhan lembut penuh kehangatan itu datang dari Jongin, untuk Kyungsoo-nya seorang. Ia membenamkan kepalanya di tengkuk Kyungsoo, menyecap aroma mint yang menenangkan miliknya.
"Bis penuh sekali. Aku harus menunggu selama dua jam. Untung boss menyuruhku pulang cepat."
"Tumben sekali boss-mu baik."
Jongin mengangguk sembari melepas mantelnya, "hari ini ada karyawan baru, jadi tugasku tak seberat biasanya."
Kyungsoo yang mendengarnya, hanya bisa membelalakkan matanya tak percaya, "jadi kau akan sering pulang lebih awal?"
Jongin, yang mendengar nada antusias dari sang kekasih, hanya bisa menoleh kearahnya dan menampakkan wajah penuh kebahagiaan. "Uh oh—tidak," jawab Jongin jenaka.
Kyungsoo yang mendengar gurauan Jongin hanya bisa cemberut; mengerucutkan bibirnya lucu. Jongin tertawa lepas melihatnya, kemudian mengusap surai hitam Kyungsoo lembut.
Dalam nada yang dalam, Jongin berucap, "aku tidak bisa pulang awal setiap hari. Tapi aku janji, akan pulang secepat mungkin untukmu."
Kyungsoo tersenyum kecil sambil menutup matanya. Sedetik kemudian, saat obsidian hitamnya terbuka, ia menatap Jongin tajam. Merasa diperhatikan sedemikian intens, Jongin mengernyit dalam.
"Ada apa?" tanyanya.
Kyungsoo terdiam, masih mengamati struktur wajah Jongin yang ia kagumi; yang menjadi candu, menjadi alasan mengapa ia mau berjuang sedemikian jauh, mengapa ia mau menyerahkan sisa hidupnya.
Lama, mereka terdiam dalam kesenyapan. Dan itu membuat Jongin semakin heran. Diraihnya dagu pemuda mungil di depannya, sampai ia bisa melihat keseluruhan wajah Kyungsoo yang membuatnya damai.
"Hei? Ada apa, hem?" tanya Jongin kembali.
Kyungsoo menatap mata Jongin dalam-dalam. Mencoba mencari sebersit kesedihan yang selalu tertinggal di dasar sana. Ia mencoba mencarinya, di antara pandangan penuh cinta sang kekasih jiwa. Kyungsoo tahu itu. Sebesar apa rasa sayang dan cinta kasih Jongin untuknya; dan sebesar apa pula rasa kesepian yang harus ia bayar untuk ini semua.
"Katakan..."
Jongin mengeryit heran.
"...katakan—apa kau mencintaiku?"
Jongin diam. Ia tahu—bahasan ini takkan berhenti pada 'ya, aku mencintaimu selalu', atau 'tentu saja, kau pasti tahu aku selalu mencintaimu, kan?'. Ia tahu benar. Kyungsoo bukanlah orang yang ingin pembuktian cinta dari kata-kata. Ia bukanlah orang yang selalu bertanya hal demikian. Ia tak pernah menuntut kata cinta.
"Apa maksudmu?" tanya Jongin.
Kyungsoo masih menatap Jongin dalam-dalam. Ia mencoba mengais seberkah kegelapan di sana; yang coba ia sembunyikan rapat-rapat darinya.
"Apa kau mencintaiku?"
"Apa aku perlu menjawabnya?"
"Apa kau bosan padaku?"
"Apa maksudmu? Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Apa kau bahagia?"
"Kyungsoo—apa yang kautanyakan?"
"Apa kau bahagia?"
"Do Kyungsoo—"
"Apa kau bahagia?"
"Demi Tuhan, ada apa dengan dirimu?"
"Apa kau bahagia, Kim Jongin? Apa kau bahagia—bersama denganku? Lari dari kehidupanmu, tersingkir dari duniamu, terlupakan oleh orang yang bahkan sebenarnya mencintaimu?"
"..."
"Kenapa kau selalu menutupinya?"
Jongin terlonjak. "A-apa?"
Kyungsoo membelai pipi sang kekasih. "Kenapa kau berjuang sendirian mengubur kesedihanmu selama ini? Bukankah kau memilihku sebagai teman hidupmu? Bukankah berbagi adalah salah satu hal yang harus kita lakukan? Tapi kenapa kau hanya mau membagi kebahagiaan, dan kau terus memendam kesedihan untukmu sendiri? Kenapa kau berjuang sendiri? Bukankah kau ingin kita berdua bahagia?"
"..."
"Apa kau sudah cukup bahagia bersamaku, kalau kesedihanmu saja masih tertinggal di sana, di ujung matamu? Apa kau tak merindukan semua kehidupanmu? Apa kau—bahagia bersamaku?"
Tepat saat kalimat terakhir ia ucapkan, Jongin meneteskan air matanya; hal itu membuat Kyungsoo terkesiap. Selama mereka bersama, Jongin tak pernah menangis. Bahkan ketika orangtuanya dengan tegas mengatakan bahwa Jongin bukan lagi anggota keluarga Kim, Jongin tidak menangis.
Sedetik setelah ia menyadari bahwa Jongin memang benar-benar menangis, sang pemuda tan itu langsung merengkuh erat Kyungsoo dalam dekap hangatnya. Ia melebur dalam tangisannya sendiri.
Kyungsoo balas memeluk kekasihnya. Ia mengusap lembut punggung Jongin, memberikan ketenangan yang selalu ia tawarkan untuknya.
Jongin masih terisak. Air matanya membuat baju polo Kyungsoo basah. Ia masih menangis dalam diam. Tak ada satupun dari keduanya yang mau repot-repot memulai pembicaraan yang sempat terabaikan.
Semenit mereka bertahan dalam keheningan dan suara isak tangis, Jongin buka suara. Ia masih mendekap erat Kyungsoo.
"Aku mencintaimu. Aku ingin meraih kebahagiaan itu bersamamu."
Kyungsoo tak menjawab. Ia hanya mengangguk dalam dekapan Jongin.
"Aku selalu mencintaimu. Aku memilihmu karena aku tahu, kau akan menggantikan semua bagian yang kosong dalam hatiku. Bahkan nanti jika mereka meremukkan hati atau bahkan tiga ratus tulangku, atau besok ketika mereka mencongkel mataku, menjahit mulutku sampai aku tak bisa mengatakan cinta padamu, atau—atau—atau..."
Kyungsoo mengeratkan pelukannya ketika Jongin semakin meracau tak jelas.
"...atau—atau ketika mereka mematahkan kakiku sampai aku tak bisa mengejarmu, mereka mengambil tanganku sampai aku tak bisa memelukmu seperti ini, dan bahkan jika mereka merenggut satu persatu napas dalam rongga paru-paruku, aku tahu kau akan tetap di sini, di sampingku, ada untukku."
Kyungsoo menitikkan satu air mata.
Ya—Jongin benar. Ia adalah lelaki yang dipilih Jongin karena alasan-alasan tersebut.
"Aku akan menggantikan tiga ratus enam tulangmu jika mereka mematahkannya. Aku akan memberikan mataku jika mereka mencongkelnya. Aku akan membuka jahitan mulutmu jika mereka melakukannya, aku akan menggendongmu jika mereka mematahkan kakimu, dan aku yang akan mendekapmu lembut ketika mereka mengambil tanganmu. Aku memang bukan Tuhan yang bisa mengutuk mereka. Tapi aku adalah orang yang kaupilih untuk melengkapi bagian dari dirimu yang kurang."
.
.
.
Waktu berputar tak kenal lelah, mengantarkan mereka pada bulan-bulan sibuk yang harus dilalui. Kyungsoo dan Jongin bahagia seperti biasa. Dengan canda tawa, bahagia sengsara yang mereka coba bagi bersama.
Ini bulan ketiga semenjak Kyungsoo meminta Jongin untuk tak memendam kesedihannya sendiri. Hari itu Senin pukul 23.05. Jongin harusnya sudah pulang setengah jam yang lalu. Ia berjanji akan pulang cepat karena Kyungsoo akan memasakkan makanan kesukaannya kali ini.
Kyungsoo duduk termenung di dapur. Manik bulatnya menatap jam dinding tak jemu-jemu. Sesekali ia akan memangku wajahnya dengan tangan kirinya sambil mendesah lelah. Ia sudah menunggu Jongin hampir satu jam. Dan mungkin makanan yang ia masak sudah mendingin karena sama sekali belum terjamah.
Dering ponsel miliknya menyadarkan Kyungsoo dari lamunannya. Ia bergegas menuju sofa di ruang tengah, mengambilnya sambil mengernyit heran. Panggilan dari seseorang yang tak ia kenal. Hanya nomor yang tertera di layar ponselnya, tanpa ada nama. Ia buru-buru mengangkat panggilan itu.
/"Halo?"/ sapa orang di seberang telepon.
"Annyeonghaseyo. Ini siapa?" tanya Kyungsoo sopan.
Terdengar riuh redam suara di belakang sang penelepon. Beberapa teriakan dan panggilan terdengar oleh telinga Kyungsoo.
/"Apakah ini Do Kyungsoo?"/
"Ya—ini siapa?"
/"Kami dari Kepolisian Sektor Satu Seoul. Kami ingin memberitahu bahwa kerabat Anda, Kim Jongin, sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit Hanggeokbok Seoul. Kim Jongin mengalami pendarahan hebat pada—"/
.
.
.
tbc
.
.
.
a/n
Annyeonghaseyo readerdeul! Ini SachiMalff –coret yang ff chaptered-nya terbengkalai coret—datang lageeeee. Maaf bawa twoshot bukannya oneshot atau chaptered terbengkalai. Huhuh maklum ini lagi masa mau uas jadi kesibukan beralih pada paper-makalah-quiz-kejar detlen tugas-belajar-paper lagi-etc. Pffft. Ini ff twoshot yang sebenarnya udah selesai sih. Terusannya nanti ya kalau banyak yang review up up up! Ini for Kaisoo day besok Januari lolz. Terlalu awal sih but—who's care? Lolz
Maaf banget buat yang nunggu ff Sachi yang lain, yang terbengkalai ga diurusin, mungkin udah pada lupa bahkan alurnya gimana lolz. Sachi ga bermaksud mau mem-PHP-kan kalian, cuma ya... belum ada niatan buat lanjut aja sih. Jadi maba memang berat, bang adek lelaah hikz...
Ok! Enjoy this fict and, would y'all gimme some review to meee? Lolz.
