House of Lake
by Loonatic Aqueous
Disclaimer : Bleach © Kubo Tite
Genre : Horor, Drama
Rate : M (mungkin)
Pairing : IchiRuki, ByaRuki
Warning : OOC, sedikit Bloody, Typos, etc
.
.
.
Summary: Kuchiki Rukia, seorang patissier dari salah satu restaurant di New York sedang berlibur di sebuah rumah danau di sebelah timur desa Rokungai. Rumah danau yang indah namun angker tersebut sedang meminta korban kembali. Akankah Rukia mengetahui cerita di balik rumah misterius itu? Sadarkah dia akan bahaya yang mengancam nyawanya?
.
.
13 Juni 2006
Di sebuah desa kecil bernama Rokungai di sebelah selatan Seiretei, desa yang sangat tenang dan nyaman untuk ditinggali. Di bagian timur desa tersebut, ada sebuah danau yang indah. Suasana di sana sangat hening. Sesekali terdengar suara kicauan burung gereja yang tinggal di danau tersebut. Terkadang terdengar suara kecipak air yang diciptakan ikan-ikan di danau itu. Terkadang juga ada suara dahan-dahan pohon yang saling bergesekan tertiup angin.
Namun tiba-tiba…
DDUUUUAAAARRRRR!
Terdengar suara ledakan yang tidak biasa. Suara itu diikuti dengan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi dari satu-satunya rumah yang berdiri di sekitar danau tersebut. Segala sesuatu yang ada di rumah tersebut menjadi porak-poranda.
Semenit setelah suara tersebut suasana kembali tenang. Tak ada suara sedikitpun. Bahkan anginpun sepertinya segan untuk berhembus, sehingga kepulan asap tetap mengambang di sekitar danau. Namun lama-lama asap tersebut membumbung semakin tinggi. Meninggalkan suasana mencekam di sekitar danau yang indah itu.
.
.
.
22 Oktober 2010
Rukia P.O.V
"YEAAAHH! WUHUUUUU!"
Kurentangkan tanganku lebar-lebar dan kuhirup udara bersih yang ada dihadapanku kini ini sepuas-puasnya. Jarang-jarang aku bisa menghirup udara sebersih ini.
Sudah tiga tahun ini aku tinggal di kota New York, bekerja sebagai salah seorang patissier di salah satu restoran terkenal di sana. Selama tiga tahun ini aku hidup di kota padat penduduk dan udara yang berpolusi. Dan kini, senang rasanya akhirnya aku punya kesempatan pulang ke Jepang, dan berlibur di desa kecil bernama Rokungai ini.
Oh, ya namaku Kuchiki Rukia, anak kedua sekaligus terakhir dari Kuchiki bersaudara. Aku bisa berlibur di desa Rokungai yang indah ini karena info yang aku dapat dari Kuchiki Byakuya, nii-samaku. Dia hobi sekali berkelana kemana-mana tanpa tujuan yang jelas.
Well, sebenarnya itu karena pekerjaan Byakuya-nii adalah sebagai fotografer. Dulu aku merasa sebal sekali dengan kebiasaan nii-samaku yang suka sekali bepergian ini.
Kedua orang tua kami meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat aku berumur 11 tahun dan Byakuya-nii baru saja lulus dari sekolahnya di bidang fotografi di usianya yang ke 19 tahun. Dua tahun pertama setelah kepergian orang tua kami, Byakuya-nii hanya bepergian ke tempat di sekitar tempat tinggal kami saja. Dia pergi untuk mencukupi kebutuhan kami tentu saja.
Meski sering ditinggal, hubunganku dengan Byakuya-nii tetap sangat baik. Aku tak pernah sekalipun membenci Byakuya-nii karena sering meninggalkanku sendirian. Toh, dia tetap memperhatikanku dan membiayai segala kebutuhanku. Aku tak pernah merasa kekurangan suatu apapun karena nii-samaku itu.
Tapi di tahun ketiga setelah kepergian orang tua kami, saat aku mulai masuk ke sekolah menengah atas, byakuya-niii mulai bepergian jauh. Biasanya dia pulang kerumah dua hari sekali, terkadang malah lebih dari itu. Benar-benar menyebalkan ditinggal sendirian!
Tapi ternyata berkat hobi Byakuya-nii yang menyebalkan itu, aku bisa tumbuh menjadi gadis yang kuat dan tidak mudah menyerah hingga akhirnya aku bisa menjadi koki di New York sana. Dan berkat hobi berkelana itu aku mendapat tempat istirahat yang memuaskan. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus mendengarkan teriakan-teriakan Yourichi-san, pemilik restoran yang cerewet dan yang selalu mengkritik kue-kue buatanku dengan pedas.
"Ahh…" Kurebahkan tubuh mengilku di sofa bludru warna biru tua di rumah kecil yang kusewa untuk seminggu ini.
Wusssh..
Angin sepoi-sepoi berhembus dari jendela yang kubuka saat baru masuk kerumah kecil ini tadi.
"Nyamannya…"
'Eh?' Aku mengernyit.
'Bau apa ini?'
'Eh? Kok hilang?' Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepi.
Tadi aku yakin mencium bau aneh. Aku mengendus udara lagi, mencari sisa-sisa bau yang tadi sempat aku aku cium. Tapi ternyata sekarang baunya sudah hilang.
KRIIIINGG…
"Ya!" Aku terlonjak dari tempat dudukku. Ponselku berdering nyaring di meja dimana aku meletakkannya tadi. Segera kuambil dan kulihat caller id-nya. Ternyata byakuya-nii, langsung saja kutekan tombol hijau di ponselku.
"Moshi-moshi."
"Rukia…"
"Ya, Byakuya-nii?"
"Kau sedang apa?"
"Aku baru saja selesai beres-beres nii-sama. Kenapa?"
"Bagaimana keadaanmu di sana?"
"Menakjubkan nii-sama. Di sini indah sekali, tapi sayang air danaunya tak begitu jernih." Aku mendesah.
"Tapi airnya bersihkan?"
"Ya, aku—"
Eh? Bau lagi.
"Rukia?" Suara Byakuya-nii terdengar khawatir, tapi aku sedang tidak begitu memperhatikannya. Pikiranku sedang sibuk dengan bau yang baru aku cium kini dan beberapa saat yang lalu.
'Seperti bau gas bocor dan sesuatu yang terbakar?' batinku. Segera kulangkahkan kakiku ke dapur dan memeriksa tabung gas.
"Rukia? Kau tak apa-apa?"
"Tak ada yang salah dengan tabung gasnya . Tabung gasnya tidak bocor." Aku bicara pada diriku sendiri.
"Rukia?" Suara Byakuya-nii terdengar sangat khawatir sekarang.
"Eh, ya nii-sama." Akhirnya aku menanggapinya.
"Kenapa diam saja? Jangan membuatku khawatir!" Suaranya memang terdengar khawatir.
Aku mengendus udara di sekitarku, bau tadi ternyata hilang lagi.
"Ya, nii-sama. Aku tidak apa-apa. Hehe…" Aku sedikit tertawa untuk menghilangkan kekhaawatiran Byakuya-nii.
"Ck. Berhati-hatilah! Rumah penjaga danau itu ada 50 meter dari rumah yang kau tinggali, kan?" Byakuya-nii terdengar sebal mendengar jawabanku tadi.
"Iya,aku tahu Byakuya nii-sama…"
"Ya sudah. Aku baru saja sampai di Tokyo nih. Bye Rukia."
"Bye, nii-sama."
Byakuya-nii memutuskan sambungan telepon kami. Kuletakkan ponselku di meja counter dapur.
End of Rukia P.O.V
.
.
"Harus kuperiksa tabung gasnya lagi nanti," ucap Rukia lirih. Dengan teliti dia memeriksa tabung gas itu lagi. Beberapa saat kemudian dia berdiri dan berkacak pinggang.
"Tak ada yang salah dengan tabung gasku." Dahinya berkerut. Kemudian hidungnya kembang kempis selama tiga detik.
"Eh? Lagi?" Dahinya makin berkerut.
"Bau hangus?" Dia mengendus lagi.
"Eh? Hilang lagi?"
Wuusshh…
Tiba-tiba angin berhembus lagi dengan sedikit kencang. Rukia bergidk ngeri, "Ah, mungkin aku kecapekan. Aku mau mandi saja."
Rukia meninggalkan ponselnya tetap di meja counter dan pergi mandi. Tanpa diketahui Rukia, sebuah bayangan berkelebat di rumah itu, dan…
KLOTAK!
Ponsel Rukia jatuh dari meja dan hancur berantakan kemana-mana.
.
Dengan tergesa-gesa Rukia kembali ke dapur, dan menemukan bangkai (?) ponselnya yang telah hancur.
"Sial, ponselku!" jerit Rukia histeris saat melihat melihat ponselnya yang tak berbentuk lagi.
"Ponselku…" Lirihnya.
Dengan air mata yang hampir tumpah dia mulai memunguti kepingan-kepingan ponselnya yang telah bertebaran dimana-mana. Chasing, baterai, dan badan ponselnya berada di tempat yang saling berjauhan. Ponselnya benar-benar tidak bisa terselamatkan.
"Nii-sama~. Ini ponsel hasil keringatku sendiri. Dan ini satu-satunya alat komunikasi yang ada di sini," ucapnya masih menahan tangis.
Rukia benar-benar meratapi kepergian ponselnya. Sudah hampir tiga puluh menit dia habiskan untuk mencoba memperbaiki ponselnya itu. Tapi ponselnya memang benar-benar harus pergi meninggalkannya sendirian.
Saat Rukia sedang berjongkok di dapur sambil meratapi kepergian ponsel berharganya, tanpa Rukia ketahui sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—sedang mengawasinya dengan senyum licik yang tersungging dari sudut bibirnya.
.
Akhirnya setelah sekian lama Rukia berhenti meratapi ponselnya yang telah hancur. Dia sudah menyerah untuk memperbaiki ponselnya lagi.
Setelah menyimpan bagian-bagian ponselnya yang telah hancur di tas ransel yang dia taruh di kamarnya, Rukia kembali ke dapur dan menuju ke lemari pendingin. Dia mulai mengeluarkan semua bahan makanan yang ada di dalam lemari pendingin itu. Dia juga mengaduk-aduk isi lemari tempat penyimpanan makanan kering. Ada beberapa bungkus sereal, beberapa kotak susu, dan beberapa bahan roti yang dia temukan. Akhirnya dia menghibur dirinya sendiri dengan memasak.
Rukia terus berkutat di dapur kecil rumah itu hingga larut malam. Setelah kue buatannya jadi, dia menikmatinya sendirian sambil menonton acara kartun Chappy The Rabbit Show kesukaannya.
Sementara itu, terlihat bayangan seseorang dengan senyum licik kembali menampakkan dirinya di belakang Rukia. Namun dalam waktu yang sangat singkat bayangan menghilang tanpa Rukia sempat melihatnya.
.
.
Rukia P.O.V
Sinar mentari pagi mulai masuk ke dalam rumah danau itu melalui sela-sela jendela dan pintu kayu. Suara burung-burung hutan yang saling bersautan benar-benar suasana yang menyenangkan bagiku. Badanku terasa sakit sekali, baru kusadari ternyata aku tertidur di sofa semalam.
"Ugh!" Aku mulai menggeliatkan badanku, mencoba merenggangkan otot-ototku yang serasa kaku.
Setelah mencuci muka dan sikat gigi, aku keluar rumah dengan celana jins selutut, kaos berwarna putih tulang dan sepatu kets kesayanganku. Aku mulai berlari ke sekeliling rumah untuk menghangatkan badanku.
"Huft, nyaman sih nyaman. Tapi lama-lama bosan juga di sini sendirian. Setelah mandi dan sarapan aku akan ke rumah penjaga danau. Yosh! Aku harus kesana nanti," seruku bersemangat.
.
Dengan pakaian santai akuu mengayuh sepeda silver metalik yang tersedia di rumah danau menuju pos penjaga. Dalam sepuluh menit aku sudah melihat rumah kayu yang cukup sederhana yang juga merupakan pos penjaga itu. Kuparkirkan sepedakudi depan pos dan mulai mengetuk pintu pos yang memang tidak jauh dari tempat dimana aku menaruh sepedaku tadi.
TOK TOK TOK.
Setelah beberapa saat pintu rumah kayu itu terbuka. Kulihat seorang laki-laki yang mungkin umurnya hanya beberapa tahun lebih tua dariku muncul dari dalam rumah itu dengan senyuman yang seperti err… musang?
"Apa Anda penjaga danau?" tanyaku sopan.
Dia menganggguk, masih dengan senyum musangnya.
Aku mengernyit, "Apa di sini ada ada telepon yang bisa aku gunakan untuk menghubungi keluargaku?"
Dia menggeleng lagi.
Aku memutar bola mataku. "Bisakah Anda memberitahuku dimana aku bisa menemukan tempat yang ada teleponnya atau telepon umum?"
Dia mengangguk.
'Argh! Orang ini benar-benar menyebalkan!' batinku. Aku mencoba bersabar menghadapinya. Yeah, walaupun aku juga sedikit takut dengan senyumnya yang misterius itu.
"Bisakah Anda mengatakan padaku dimana tepatnya?" tanyaku lagi.
Dia menatapku selama beberapa detik. Tatapannya membuat darahku berdesir. Bukan karena aku terpesona, tapi karena seperti ada sesuatu yang berbahaya yang sedang menantiku di saat dia menatapku seperti itu. Selain itu senyumannya juga membuatku sedikit bergidik ngeri. Akhirnya kulirikkan mataku ke arah lain, menunggu jawabannya—juga untuk menghindari tatapannya tentu saja.
Karena tak ada suara yang keluar, akhirnya kulirikan mataku lagi ke arah si penjaga. Dia terlihat memiringkan matanya sedikit, lalu dia menunjuk sebuah arah. Kuarahkan mataku mengikuti arah yang ditunjukkannya.
"Di kota?" tanyaku memastikan bahwa arah yang ditunjukkannya menuju ke kota.
Dia mengangguk lagi.
"Ohh… kalau begitu arigato," kataku sambil sedikit membungkukkan badan.
Dia mengangguk (lagi?) dan juga sedikit membungkukkan badan.
Aku segera berbalik dan menaiki sepeda dan segera mengayuhnya menuju kota. Aku melirik sekilas ke rumah kayu itu. Kudapati si penjaga masih terus mengawasiku. Akhirnya kupalingkan pandanganku ke depan, dan mengayuh lebih cepat-cepat.
'Aku tidak akan ke tempat itu lagi kalau aku tidak benar-benar butuh,' batinku sambil menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghapus bayangan dan senyuman yang mengerikannya itu dari otakku.
End of Rukia P.O.V
Beberapa menit setelah Rukia menjauh dari rumah kayu itu dengan sepedanya, terdengar sesuatu dari dalam rumah penjaga.
KRIIING KRIIIING KRIIING
Lalu dengan santainya si penjaga dengan kaos tanpa lengannya mengangkat telepon yang berdering itu.
"Hallo?" jawabnya dengan seringaian yang lebih mengerikan dari tadi menghiasi bibirnya.
Dari jendela kayu yang kainnya sudah lusuh karena jarang di cuci itu terlihat punggung si penjaga. Di bagian belakang punggung kaosnya tercetak tulisan G.I.N.
"Tak ada masalah. Paman tenang saja, kugantikan tugasmu menjaga di sini untik beberapa hari."
"…"
"Ya, aku akan selalu memeriksa penyewa itu setiap hari."
"…"
"Ya, aku tidak akan menceritakan kejadian apapun kepada si penyewa tentang kejadian yang terjadi empat tahun yang lalu di rumah danau itu."
"…"
"Ya, paman tenang saja."
"…"
"Ya, jaa nee."
G.I.N, panggil saja si penjaga seperti itu. Dia terlihat meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Kemudian dia terlihat barjalan menuju ke meja nakas di samping tempat tidurnya, dia meraih dompetnya dan membuka dompet tersebut. Dia memandang sesuatu di dalam dompetnya itu. Dan lagi-lagi seringaian muncul dibibirnya. Matanya tampak lebih gelap dari warna aslinya. Sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat.
.
.
Rukia P.O.V
Aku sudah mencapai jalan besar saat ini. Perjalanan dari pos penjaga itu sampai ke kota memang cukup jauh. Hampir dua puluh menit naik sepeda.
"Ugh, kalau tahu di pos penjaga tak ada telepon lebih baik aku tadi tak usah kesana saja. Labih baik langsung pakai mobil dan meluncur ke kota," rutukku. Tapi bodohnya aku, kenapa tadi aku tidak pulang dulu dan mengambil mobil, ya?
"Baka!" rutukku lagi sambil memukul pelan kepalaku.
"Ya, sudahlah. Kepalang tanggung." Akupun mengayuh sepedaku lagi menuju minimarket terdekat.
Sambil mengayuh aku kembali teringat pada tatapan si penjaga penjaga danau tadi, juga senyumannya. Penjaga tadi aneh, apa dia bisu ya? Rumahnya gelap lagi. Huft…
"Eh? Kenapa aku mengingatnya lagi?" Kugelengkan pelan kepalaku. Tak begitu lama kemudian, aku sudah melihat sebuah minimarket dan pom bensin diseberang jalan sana.
"Aha! Di sana pasti ada telepon umum." Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Sesampainya di sana segera kuparkirkan sepedaku dan menghampiri sebuah telepon umum.
"Eh, jadul amat sih telepon umumnya?" ucapku tercengang dengan bentuk telepon lama yang masih menggunakan koin itu. Tapi akhirnya kumasukkan koin juga ke dalamnya, kemudian memencet beberapa angka yang sudah aku hafal di luar kepala.
Aku hanya menunggu sampai dering kedua saja, lalu kudengar suara yang kurindukan tapi aku tak sudi mengatakan kalau aku merindukannya.
"Byakuya-nii?"
"Ya, Rukia?"
"Nii-sama… ponselku hancur. Kau tak bisa akan bisa menghubungiku selama aku berlibur di sini," ucapku ke pokok masalah.
"Bagaimana ponselmu bisa hancur?" Suara Byakuya-nii terdengar cemas.
"Terjatuh dari counter."
"Bagaimana bisa?" Kali ini suaranya terdengar seperti akan marah.
"Tidak tahu," kataku membela diri.
"Haih…"
"Aku hanya meninggalkannya di counter untuk mandi. Setelah itu tahu-tahu ponselku sudah berserakan di lantai."
"Lalu ini kau telepon dimana?"
"Di minimarket, di pinggir jalan menuju kota."
"Kenapa jauh-jauh keluar dari area danau? Kau tidak pakai telepon di rumah penjaga danau itu seja?"
Aku mengernyit, "Di sana tidak ada telepon, nii-sama…"
"Kau ini! Mana mungkin disana tak ada telepon?Lalu bagaimana aku memesan tempat itu untukmu kalau disana tak ada telepon, ha?" Byakuya-nii seolah mengataiku bodoh.
"Baka!" Well, dia memang mengataiku.
"Nii-sama… aku tadi sudah kesana, tapi penjaganya bilang tak ada telepon disana," kakaku tak ingin mengalah.
"Yang benar saja? Paman yang menjaga danau itu tak mungkinberbohong! Aku mengenalnya. Dia orang yang baik Rukia…"
Aku mengernyit lagi, "Penjaganya masih muda, nii-sama. Bahkan ia tak lebih TUA darimu!" kataku menekankan kata TUA padanya.
"Ya, Kuchiki Rukia! Aku ini nii-samamu. Bicaralah yang sopan dengan nii-samamu ini!" Dia mulai menasehatiku lagi.
"Ya, ya, ya," jawabku santai.
"Jangan meledek!"
"Ya… Kuchiki Byakuya nii-sama…" kataku pura-pura menghormatinya.
"Kau! Ah, sudahlah! Tapi yang jelas penjaga danau itu lebih tua dariku. Mana mungkin orang dengan perut tambun—"
"Perut nii-sama juga tambun," cibirku.
"Dan rambut beruban itu tak lebih tua dariku." Dia sengaja tak menggubris sindiranku tadi.
"Nii-sama, penjaga danau yang aku temui tadi tak lebih muda darimu, tak lebih tinggi darimu, tak lebih kurus darimu, dan tak lebih tampan darimu." Aku sengaja mengatakan itu pada Byakuya-nii, meskipun sebenarnya aku justru takut pada si penjaga danau itu.
"Ck. Mungkin itu anak dari paman penjaga danau Rukia."
"Ya."
"Ya sudahlah. Kau rajin-rajin ke minimarket, ya? Rajin-rajinlah menghubungi nii-samamu ini!"
"Ya, nii-sama," jawabku sambil tersenyum sendiri.
"Bagus."
"Bye, nii-sama." Belum sempat dia membalas salamku, aku sudah meletakkan gagang telepon di tempatnya lagi.
Baru akan kulangkahkan kakiku memasuki mini market itu, tiba-tiba kurasakan sebuah tepukan tangan pelan di pundakku. Dengan spontan aku menoleh dan mendapati seseorang berdiri di belakangku sambil tersenyum.
Kubalikkan badanku dan sedikit mundur, "Ya?"
End of Rukia P.O.V
.
.
.
TBC
Author: Ah~ akhirnya selesai juga chap satu. (merenggangkan tangan)
Ichigo: Eh? Aku belum muncul, ya?
Rukia: Belum… Belum… Kau belum dapat jatah tampil Ichi… (mengibas-ngibaskan tangan menyindir)
Ichigo: (deathglare Rukia) Awas nanti kau!
Rukia: Hehe… (nyengir gaje)
Author: Sudah… Sudah… Ngomong-ngomong kenapa atmosfirnya jadi begini dingin, ya? (clingak-clinguk)
Byakuya: (muncul tiba-tiba di belakang author)
Author: Hwaaa! (kaget meluk Ichi) Byakuya, kenapa kau muncul tiba-tiba? Mengagetkanku saja! (masih meluk Ichi)
Ichigo: (blushing)
Byakuya: Kenapa rasanya kewibawaanku hilang disini? (menatap tajam author) Dan kau Rukia, dimana adab kesopanan bangsawan Kuchiki? (menatap tajam Rukia ganti)
Rukia: Eh,ma-maaf Nii-sama. Ini juga tuntutan scenario yang dibikin author. Lagipula disini sepertinya kita sedang tidak menjadi keluarga bangsawan. Kita hanya menjadi rakyat biasa. Kalau mau menyalahkan, pada author saja tuh. (menunjuk author)
Author: Zzzz…
Byakuya: Eh, kenapa dia?
Ichigo: Sepertinya tertidur. Semalam dia mengetik sendirian, dan katanya dia jadi parno dengan ceritanya sendiri. Berulang kali lihat ke belakang. (menggendong author)
Byakuya: (masih tidak terima perlakuan author)
Rukia: Ah, sudahlah Nii-sama. Disini kau juga terlihat keren sebagai seorang fotografer kok. Yosh! Baik minna, berikan review-nya, please?
m(_ _)m
R E V I E W
