Tengok Ke Dalam


"Aku tidak punya susu untuk Armin," Levi merasa otaknya berkedut-kedut menghadapi Erwin Smith yang bersikeras memintanya merawat Armin. Ia akan pastikan ini yang terakhir kalinya Erwin memohon. Sudah hampir dua minggu Erwin datang ke tempatnya mengajar, tak peduli seberapa sering Levi menolaknya, Erwin selalu sudah berdiri menunggu Levi pulang di gerbang TK, mengantarnya pulang di sepeda, lalu kembali bekerja.

Erwin tertawa kecil. Aku bahkan belum menyapamu," Erwin mengangkat topinya, "Selamat sore, Levi sensei,"

"Kebiasaanmu membiarkan Armin menunggu sampai sore, tidak bisakah kau ubah? Dan sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak punya susu!"

"Aku bisa melihatnya," Erwin menyeringai jahil, membuat Levi berdecak. "Lagipula, Armin terbiasa minum susu formula setelah ibunya meninggal."

Lidah Levi terasa digulung rapat mendengar kata terakhir Erwin. Seharusnya ia tidak membahas hal yang mungkin berkaitan dengan istrinya yang wafat setahun lalu. Kapanpun kejadian itu terungkit, sorot mata Erwin selalu berubah redup dan Levi tak ingin melihatnya. Levi segera mengubah pembicaraan, "Erwin, katakan apa yang membuatmu bersikeras meminta kepadaku?"

Erwin merengut, keningnya mengkerut lucu dengan alis pirang yang tak pernah membuat Levi terbiasa melihatnya, satu-satunya teman orang asing yang dia miliki. "Kau gurunya, dan kau sahabatku."

"Oh," Levi menimpali sekenanya. Ia seharusnya tidak mempertanyakan itu. "Hange mungkin terlihat urakan tapi, dia juga sahabatmu, kan? Atau, aku bisa kenalkan kau pada Mikasa."

"Levi,"

"Maksudku, keduanya perempuan. Aku tahu pekerjaanmu sangat memusingkan tapi, jangan kau kira menjadi guru TK itu mudah."

"Levi,"

"Aku sebenarnya lebih ingin menjadi tentara, atau.. memiliki pekerjaanmu juga tidak buruk."

"Mungkin lain kali kau harus beli susu untuk dirimu sendiri supaya- AW!" Erwin tersontak ketika Levi menginjak sepatunya keras-keras. "Itu sakit, Levi!"

"Jangan macam-macam dengan tinggiku. Kau tidak pernah melihat seorang rakyat biasa menendang polisi kan? Sekarang akan kutunjukan adegan itu!"

Erwin tertawa lagi membuat bintang-bintang dan rumbai-rumbai peluit yang menempel di dadanya bergoyang. "Sekarang aku tahu kenapa kau disukai anak-anak sekalipun wajahmu menyeramkan."

"Apanya yang menyeramkan?" ketika berkata begitu, Levi mengerutkan kening dan alisnya sampai Erwin tertawa terbahak-bahak. Armin yang sedang bermain sendirian di kotak pasir pun menoleh ke arah mereka.

"Kalau saja kau perempuan, mungkin aku ! #$%^&*()," Erwin menggumam dengan suara kecil yang hampir tak bisa didengar.

"Apa kau bilang?"

"Tidak." Jawab Erwin sembari menonton putranya. "Ah, dia sangat menggemaskan kan? Aku harap dia tidak merepotkanmu di sekolah."

"Tidak sama sekali. Dia yang paling pandai di kelas."

"Kalau begini, sepertinya aku harus membiarkan Armin menunggu sampai sore setiap hari." Erwin mendesah pasrah, alisnya mengernyit lagi tapi, kali ini dia tersenyum. "Maaf sudah merepotkanmu." Kemudian Erwin berlalu mengajak putranya pulang, berjabat tangan, menyuruhnya membungkuk lalu melambai kepada Levi.

"Selamat malam!" sapa Armin sopan.

Levi balas melambai, membiarkan mereka berdua pergi. Selagi masih bisa melihat punggung Erwin, Levi merogoh isi sakunya, membuka ponsel untuk mengirim pesan pendek.

"Ya ampun, merepotkan sekali," keluhnya sembari mengacak-acak rambut, berlalu menuju ke gedung TK, bersiap-siap pulang sambil memikirkan menu makan malam.


To : Alis Ulat

Subject : ...

TK bukan penitipan anak. Sabtu-Minggu kami libur.

Kasian sekali Armin memiliki ayah yang tidak libur Sabtu-Minggu. Aku harap Armin tidak bosan melihatku di akhir pekan di apartemennya.


"Levi-senseee~i!"

Eren sudah berlari dari gerbang sekolah, kemudian membuka pintu kelas hampir seperti membantingnya sampai mau pecah, anak-anak menjerit dan terkesiap kaget, bahkan Armin menangis. Eren melompat ke punggung Levi, tak peduli reaksi anak-anak yang menontonnya dan tangisan Armin semakin keras.

"Senseeee~i.." panggilnya manja sembari menggosok-gosokkan pipinya ke pipi Levi, bagai kucing yang sedang menandai wilayah. "Hari ini aku sebal sekali," Eren memulai kisahnya dengan rengekan, "Aku dapat nilai C, sedangkan Jean mendapat nilai B."

"Singkirkan tangan kotormu itu dari bahuku, Idiot." Levi menggeram, mengontrol suaranya supaya anak-anak tak mendengar bahwa guru yang bermuka seram ini memang seseram kelihatannya.

"Wuaaahh, senseee~i..." Eren merengek lebih keras, membuat muka jelek menangis tanpa air mata ketika Levi mendorong kepalanya menjauh lalu berpaling kepada Armin yang terisak-isak.

"Tidak apa-apa... tidak apa-apa..." Levi menggendong Armin, menepuk-nepuk punggungnya sembari menenangkan anak-anak lain yang nampak ketakutan dengan kehadiran Eren. "Annie, berhenti!" Levi menghampiri Annie yang sudah mengepalkan tangan di depan Berthold. Levi menariknya kembali ke kursi.

"Nah, anak-anak," Levi mengeraskan suaranya setelah merasa Armin baikan dan menurunkannya dari pangkuan. Suara keras yang mengundang perhatian anak-anak, bukan menakuti mereka. Levi berdiri untuk menarik perhatian mereka berfokus padanya. "Siapa yang senang menggambar?"

Terdengar bunyi debum jatuh di belakang Levi. Di dekat meja guru, kepala Eren terkulai di kaki meja, keningnya berdarah, sementara wajahnya tersenyum seperti orang idiot yang kegirangan mendapat permen.

"Kalau Sensei tersenyum seperti itu, imutnyaa... aku sampai lemas."

Tanpa ucapan pamit, Levi menyeret Eren keluar kelas, menuju ke bagian yang sepi dan tak terlihat di dekat kandang kelinci. Di dalam kepalanya bermunculan bermacam-macam kekerasan yang bisa dia gunakan untuk mengeluarkan keidiotan Eren. Semua itu pasti dilakukannya satu per satu tapi, itu hanya jika Eren Jaeger bukan anak Kepala Sekolah tempatnya bekerja. Sial.

"Dengar, Eren, berhenti mengganggu!" Levi mencengkram kerah kaos Eren.

Eren terkekeh, dan nampak lebih konyol saat setetes darah turun ke dagunya. Levi menampar keningnya sendiri, mendesis menahan diri yang sangat ingin menendang kepala Eren sampai jatuh tumbang berdarah-darah.

"Sensei," kata Eren, menarik salah satu tangan Levi. "Aku akan berhenti jika kau menjadi pacarku."

Sesaat Levi tertegun. Pertama kali Eren mengajaknya berkencan, itu membuat Levi kebingungan setengah mati, bahkan dia jatuh sakit terkena demam tinggi dan tak bisa menatap mata Grisha Jaeger untuk waktu yang lama. Kapanpun dia melihat wajah Grisha, terasa seperti dia melihat Eren. Kedua kalinya Eren menyatakan cinta, Levi tahu dirinya membuat ekspresi bodoh. Mukanya memerah, tangannya berkeringat, dan jantungnya berdebar. Keempat, kelima, kesepuluh dan kesekian kalinya Eren bersikeras mengajaknya pacaran, hasrat dalam dirinya yang ingin menendang Eren semakin menjadi-jadi.

"Pulanglah, dan jadi anak yang berguna untuk ayahmu." Kata Levi dingin.

"Aku yakin, ayahku tidak apa-apa jika dia tahu aku gay karena Sensei." Eren melingkarkan kedua tangannya di leher Levi, membuat Levi membeku berusaha tidak membuat pergerakan yang akan menghilangkan jarak pembatas di antara mereka. "Kenapa kau tidak mengerti bahwa aku menyukaimu, Sensei?!" Eren mulai merengek lagi.

Levi mendorong wajah Eren. "Kau bukan anak SMA lagi, Eren."

"Justru karena aku bukan anak SMA lagi. Jadi aku tahu, perasaan ini bukan hanya perasaan sesaat!"

Kalau Levi serius, dia bisa saja melepaskan diri dari Eren, mendorongnya sampai menabrak dinding dan menggertaknya. Tapi saat dirinya menjabat peran seorang guru, kekerasan terdengar hal yang viral.

"Atau... Sensei, kau sudah punya pacar?" Suara Eren menurun.

Levi meliriknya, mengambi nafas panjang dan mengusap-usap dadanya sendiri, meminta kekuatan teramat besar kepada dewa di langit sana supaya luka Eren tak bertambah.

"Siapa dia? Laki-laki atau perempuan? Kuliah dimana dia? Atau sudah bekerja? Tinggal dimana dia? Berapa lama kau mengenalnya?"

"Eren," Levi menyela nafas lagi.

"Erwin Smith ya?"

Levi tercekat, mendongakkan kepala kepada laki-laki yang lebih muda darinya tapi, lebih tinggi postur tubuhnya. Eren menunduk, membuat darah menetes langsung ke tanah.

"Sensei pacaran dengan Erwin ayah Armin, kan?" tanyanya tanpa rengekan.

Levi mengambil langkah mundur. Dia tak tahu persisnya bagaimana, tapi dia tahu lewat kalimat yang dikatakan Eren dengan suara yang tak dibuat-buat, Eren merasa sedih.

"A...itu.. Ka.." Levi terbata, matanya berlarian ke sagala arah. "Kau membuang waktu mengajarku!" akhirnya Levi mendapat alasan yang tepat. Jadi dia bisa berbalik meninggalkan Eren yang masih menunduk layu.

Dari kejauhan, Levi kembali berbalik. Berharap Eren segera menengadahkan kepalanya.

"Eren, basuh lukamu segera!"


Levi sedang menikmati 5 menit sisa istirahatnya sambil duduk di bangku taman, membiarkan Armin mengekploitasi pangkuannya; Berthold memanfaat lengan Levi sebagai tameng; Annie yang berusaha menyerang Berthold dan sesekali kepalannya meleset malah mengenai punggung Levi dan itu, sekalipun tangannya kecil, terasa sakit—apalagi berulang-ulang; Historia bersama Ymir sedang bermain salon-salonan, mereka tak mengubah tatanan rambut Levi, tapi memberinya banyak hiasan bunga, dedaunan, ranting dan... lain-lain. Tak salah jika Erwin mengira Levi sangat digemari anak-anak.

"Anak-anak, sekarang waktunya memandikan Tuan Kelinci!" dari kejauhan suara Mikasa memanggil, membuat semua anak-anak di sekeliling Levi bersorak berlarian ke arahnya.

"Ah.." Levi menghela, mengeluarkan suara parau seperti zombie yang gagal 2.783 kali dalam upaya bunuh diri.

"Sepertinya kau bersenang-senang, ya?"

Dari luar taman TK yang dipisah oleh dinding semak, Erwin menyapa di atas sepedanya.

"Selamat siang, Sensei!" Erwin mengangkat topinya dengan sumringah.

Levi meliriknya sekilas untuk kemudian beralih ke kandang kelinci dimana Mikasa dan Hange mengatur anak-anak yang terlalu bersemangat, berebut, ingin memandikan kelinci yang mereka rawat sejak kelinci tersebut masih bayi. Dalam hatinya, dia merasa sedikit kecewa melihat Erwin kembali mengenakan seragam harian. Kemarin, dengan seragam yang seperti seorang kapten besar, Erwin terlihat gagah.

"Kau sudah makan siang?" tepat setelah Erwin bertanya, perut Levi menjawab segera. Erwin pun tertawa.

"Diam kau! Kalau sedang patroli, ya patroli saja!"

"Ya.. bagaimana lagi. Walaupun sangat ingin makan siang bersamamu, tapi pekerjaan melayani negara tidak bisa ditinggalkan."

"Enyahlah."

Erwin tertawa lagi. "Baiklah, kalau makan malam bagaimana?"

Levi meliriknya lagi. Matanya amat jelas kelihatan berkantung. Baju belel dan celemek yang penuh cat warna di tubuhnya melorot turun, Levi terlalu kecil untuk ukuran pakaian tersebut, dan Erwin tak bisa menahan tawa melihat Levi yang seperti itu.

"Maaf," Erwin mendehem menahan perut.

"Kalau kau traktir aku, aku akan makan bersamamu."

"Kapan aku tidak mentraktirmu tiap kali kita makan bersama?"

Dari kejauhan, Hange memanggil Levi, melambaikan tangan berulang-ulang memintanya segera datang. Tanpa menjawab, Levi segera beringsut.

"Oh, iya!" Seruan Erwin membuat Levi berbalik dan menghentikan langkahnya sesaat. "Aku tidak bisa mengajak Armin makan malam di luar. Kau tahu kan, Armin sedikit sensitif dengan suhu dingin. Makan malam di apartemenku, ok?"

"Kau yang memasak."

Dengan itu, mereka berpisah dan bertemu lagi di apartemen Erwin. Armin dalam gendongan Levi tertidur selama perjalan dari apartemen Levi ke rumahnya. Levi harap Armin terbangun saat ayahnya memindahkannya dari gendongan ke tempat tidur, karena jika hanya mereka berdua saja yang makan malam, itu terasa... canggung, tak peduli seberapa sering mereka makan bersama.


Levi mengetuk pintu sekalipun pintu tersebut jelas-jelas sudah terbuka. Ketukan adalah hal yang sakral di tempat ini. Kau harus tunjukan sopan santunmu, minta izin masuk meski tuan rumah sudah melihatmu, nasehat pertama Grisha di tahun pertama Levi bekerja padanya. Setelah dipersilahkan, Levi duduk di kursi yang berseberangan dengan meja Grisha.

"Levi," Grisha memulai dengan suara berat, "ini hari ketiga Eren tidak mau bicara. Dia tidak berhenti makan tapi, Mikasa bilang porsi makannya jauh lebih sedikit daripada biasanya."

Levi menahan nafas sesaat ketika nama Eren disebutkan. Meskipun cerita masih berlanjut, Levi seperti sudah tahu akan seperti apa cerita tersebut berakhir.

"Dan seperti yang kita lihat, selama tiga hari ini juga Eren tidak mengunjungi sekolah. Aku tahu, kau dan putraku sangat akrab. Apa kau tahu sesuatu tentang penyebab semua ini, Levi?"

Ya, saya tahu. Mungkin dia depresi karena cintanya saya tolak. Levi mengulum lidahnya, menahan diri untuk tidak mengatakan hal jujur. "Maaf, Pak, saya tidak tahu. Eren tidak bercerita apa-apa."

Nafas berat lolos dari mulut Grisha. Di bawah meja, kakinya bergerak-gerak gusar. "Dia tidak bisa seperti ini terus. Minggu lalu, dia bilang ujian di tempat kuliahnya sudah semakin dekat. Aku takut, keadaan seperti ini berpengaruh pada nilainya dan membuat Eren semakin kacau."

Lalu anda ingin saya berbuat apa, Pak? Anda berharap saya jadi tutor anak anda? Saya guru TK tanpa sertifikat, Pak, dan bahkan tidak pernah berniat masuk universitas apapun.

"Maksud saya, Levi... kau bagai abang bagi putraku, bisa kau ajak dia bicara?"

Selama tiga hari ini, Levi merasa lega bisa membentangkan sayapnya seluas mungkin dan bernafas sedikit lebih lega karena akhirnya kebebasannya bertambah sedikit seiring beban mengasuhnya berkurang. Meski Eren berusia belasan tahun lebih tua dari anak-anak di TK ini tapi, entah bagaimana, Eren memiliki hak diasuh yang sama seperti mereka.

"Besok TK libur. Besok juga hari libur Eren. Jika kau ada waktu, bisakah kau berkunjung ke rumah kami?"

Apa-apaan ini? Levi bisa datang dengan mudah dan tak perlu menanyakan alamat ataupun jam senggang mereka. Levi pernah tinggal di kediaman Jaeger. Berkunjung ke sana sesekali atas permintaan Eren pun bukan hal asing. Tapi diundang secara formal begini, rasanya amat aneh. Belum lagi, besok hari Sabtu. Levi sudah bilang kepada Erwin dan Armin, dia akan berkunjung ke apartemen mereka tiap akhir pekan.

"Levi?"

Yang ada di kepala Levi adalah Erwin yang beberapa hari lalu mengenakan celemek, sedang memasak untuknya. Erwin paling pintar membuat olahan rumput laut. Mendadak, perutnya lapar. Levi menatap Grisha yang masih menunggu jawaban.


TBC


Salam kenal, saya author baru di fandom SNK (bow) Kohan desu~ Yoroshiku onegaishimasu! Terimakasih sudah membaca chapter 1 ^^

Saya sangat menerima tiap masukan (semakin panjang, semakin asyik dibaca!)

Tadinya saya ingin membuat romance in action dengan masih tema cinta segitiga dan banyak bagian yang hanya orang dewasa boleh baca (HAHAHAHAHA) tapi.. akhir-akhir ini saya membaca komik tentang keseharian pasangan gay di dunia nyata. Jadi... lahirlah ini. Ini pertama kalinya saya membuat kisah cinta seterang ini.

Soal Armin yang jadi anak-anak... ahh.. tolonglah, tiap lihat Armin versi anak SMP, saya gk bisa berhenti mengagumi ke-kawaii-annya (terpesona akan cahaya menyilaukan dari seorang Armin Arlert) /mendadak ingat chap 84/ /ruined mood/

Tolong isi kotak review dan klik tombol favorite! Hehehe

Sampai bertemu di chapter selanjutnya!