Apakah arti hidup yang sesungguhnya, Sasori no Danna?
Benarkah itu seperti yang selalu kau bilang?
Pendapatku, pendapatmu, mana yang lebih benar?
Aku selalu berpikir kalau keberadaan seorang seniman di atas dunia ini adalah untuk berkarya.
Tapi, perasaan apa ini? Aku masih merasakan perasaan kosong ini, bahkan setelah aku menyempurnakan banyak karya-karyaku.
Berkarya, benarkah itu tujuan hidupku?
Keberadaanku di dunia ini,… untuk apa sebenarnya?
Fic ini khusus untuk ELFL-Event. Ini pertama kalinya aku membuat fic genre angst, jadi kritik dan saran sangat diharapkan. Aku bahkan sebenarnya tidak terlalu pede menyebutnya ANGST. Jangan langsung close tab hanya karena ada tokoh lain disini. Tenang, Tobi BUKAN pihak ketiga. Ok? Selamat membaca!
Hidup
Disclaimer : Masashi Kashimoto
Tokoh : Deidara, Akasuna no Sasori
Warning : IC (?), typo(s), bikin keriting kepala
(For ELFL-Event: DEAR. Theme: Death & slight Afterlife)
.
.
.
Dua buah titik muncul begitu saja, seakan dari ketiadaan di langit biru yang cerah. Titik itu semakin besar dan membesar ketika terbang semakin rendah mendekati daratan. Sedikit demi sedikit wujudnya terlihat semakin jelas, yaitu dua ekor burung besar bewarna putih, burung unik dan antik yang tidak kelihatan seperti spesies burung manapun yang ada diatas bumi ini. Dua burung itu akhirnya mendarat di depan pelataran sebuah gua yang tersembunyi, jauh di pedalaman, dikelilingi oleh padang rumput yang luas yang dipagari hutan-hutan lebat beserta sungai dan air terjun. Dua makhluk berjubah hitam dengan corak awan merah turun dari masing-masing burung putih antik yang besar itu. Salah satu diantara mereka turun dengan anggun. Ketika topi jeraminya terbuka, tampak sesosok pemuda rupawan berambut pirang panjang dengan sebagian poni menutup mata kirinya. Sebagian rambutnya dikuncir keatas, menampakkan mata kanannya yang sewarna azure cerah, secerah langit biru yang berada tepat diatas kepalanya.
Makhluk lainnya mengikuti turun dari burung antik satu-satunya yang tersisa, tidak dengan anggun seperti sang pemuda flamboyan, melainkan dengan sempoyongan dan canggung, bahkan hampir saja tersungkur mencium tanah karena tersandung jubahnya sendiri. Topi jeraminya terhempas dengan berdebam, menampakkan sesosok berambut jabrik pendek dengan topeng berukiran spiral bewarna orange terang.
"Deidara senpaaaiiii,…. Hampir sajaaaa…. Hampir saja aku kehilangan satu-satunya nyawaku yang berharga ini,…." Si pemuda bertopeng, Tobi, berbicara dengan nada tinggi yang melengking, terdengar sangat lega seraya meluruskan badannya agar kembali tegak. Dia sangat ngos-ngosan, seakan habis dikejar setan.
Sang pemuda pirang, Deidara, tidak menggubris bunyi berdebam disebelahnya, ataupun ocehan sang partner. Dia dengan cepat membuat segel di tangan. Batu besar yang berperan sebagai gerbang gua persembunyian mereka bergeser dengan suara gaduh, sungai di bawah kaki mereka berkecipak sebagai reaksi atas bergesernya sang batu besar. Kosong. Gua itu kosong melompong. Cih! Sang bomber berdecih kesal.
"….Aku masih anak baru, dan memberikan aku misi seperti ini sungguh sangat tega, tapi aku melakukannya dengan sempurna. Yipppieeeeee!" Tobi sepertinya tak sadar kalau dia diacuhkan dan tetap berteriak-teriak senang setelah mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
Deidara masih tidak mempedulikannya. Dengan malas, dia membuat segel lagi sehingga pintu gua itu menutup lagi, lalu menghela napas panjang. Sepertinya dia dan Tobi datang terlalu cepat. Semua member dijadwalkan untuk kembali berkumpul kembali disini untuk memberikan laporan progress misi dan diskusi perencanaan misi mereka selanjutnya. Kecuali selama tiga bulan terakhir, Deidara biasanya selalu datang terlambat. Dia mempunyai kecendrungan untuk bermain-main dengan lawannya, menikmati membuat lawannya terbirit-birit ketakutan dengan bom-bom nya, menikmati penderitaan dan keputus asaan sang lawan sehingga nyaris lupa waktu. Hal ini biasanya, tentu membuat seseorang yang benci menunggu menjadi marah-marah, tapi Deidara tidak peduli dan tetap suka berlama-lama seperti itu. Hal yang sama selalu berulang semenjak dia pertama kali masuk organisasi kriminal ini. Kecuali beberapa bulan belakangan ini. Deidara memikirkan perubahan perilakunya. Belakangan dia memang tidak seperti biasanya. Deidara masih tetap semangat mengerjakan misi apapun yang diperintahkan kepadanya (sebagai seorang seniman, misi sebagai kesempatan untuk berkarya merupakan sebuah kehormatan, tentu), bahkan dia jauh lebih semangat akhir-akhir ini, tapi Deidara tidak merasa menikmatinya. Dia memang selalu menang seperti biasanya, tapi segala hal terasa sangat membosankan sehingga dia selalu ingin menyelesaikan misinya cepat-cepat.
"…Kau lihat kan, senpai? Bagaimana mereka langsung KO dalam sekali serang! Aku memang hebat! Ya, kan? Ya, kan?..." Tidak mempedulikan Deidara yang bungkam, Tobi masih tetap merepet. Deidara mengerjap, mengabaikan pikirannya yang tiba-tiba berkecamuk.
"… Misi kita sukses karena SENIku, bodoh! Semua kredit kesuksesan kita hari ini adalah untuk seni-ku,hmmmmmm!" Deidara akhirnya menjawab repetan Tobi. Dia tak pernah senang ketika ada yang tidak menganggap seni-nya. Sudah jelas-jelas semua target pembantaian dalam misi mereka kali ini meledak dengan indah dalam sekali serangan patung-patung tanah liat kebanggaanku, apa-apaan si Tobi, dasar bermulut besar! Deidara menyambung omelannya dalam hati, sedang tidak berminat meladeni omong-kosong si pemuda jabrik bertopeng.
Tapi, Tobi tidak mendengarnya. Dia memperhatikan sekeliling, dan menyadari Deidara telah menyegel menutup kembali gua persembunyian mereka yang kosong.
"….Kita datang paling awal lagi, senpai! Kita memang merupakan duo akatsuki terhebat! Kita selalu nomor satu dalam kecepatan penyelesaian misi…..$%^^%*(&)*_(&^&%^%$# ! !" Tobi sepertinya tidak mendengar Deidara,dan masih saja tetap merepet setelah melihat bagaimana gua persembunyian mereka kosong.
Cih, batin Deidara sebal. Dengan tanpa rasa bersalah, ninja pelarian dari Iwakagure ini menaiki undakan-undakan gua dengan cepat, menuju sebuah ceruk tersembunyi, meninggalkan Tobi yang masih terus merepet sendiri, tidak sadar kalau Deidara sudah meninggalkannya entah kemana sementara dia berteriak-teriak sendiri seperti orang gila. Ceruk itu agak kelihatan seperti balkon tersembunyi. Deidara membaringkan badannya, menatap langit biru yang cerah dan luas, memperhatikan awan putih yang berpindah mengikuti angin dengan perlahan. Sang pemuda menarik napas panjang dan memejamkan mata, mencoba mendinginkan kepalanya yang belakangan ini selalu panas bergejolak. Oke, kepala miliknya memang biasanya selalu panas bergejolak, tapi bukan gejolak yang muram dan kosong mengerikan seperti ini, melainkan gejolak yang penuh semangat dan kegembiraan. Deidara membuka matanya lagi, menatap langit biru cerah dengan mata azure-nya, memejamkannya lagi, kemudian tertawa pelan. Bukan tawa yang riang, melainkan tawa yang getir dan kosong. Apa yang salah dari dirinya? Apa yang kurang? Sejak kapan dia berubah menjadi 'suram' seperti ini ya? Dari Deidara yang suka berlama-lama mengerjakan misi karena keasyikan 'berkarya', menjadi Deidara yang suka cepat-cepat selesai sehingga bisa pulang ke markas lebih cepat untuk bersantai-santai menikmati langit biru sambil melamun di ceruk ini, tempat persembunyian kesayangannya. Melamun? Lucu sekali. Deidara yang dulu terlalu senang dan sibuk mengerjakan karya-karyanya, tidak mungkin punya waktu untuk melamun. Dia sebenarnya selalu mengupayakan untuk tidak pulang terlalu cepat, bagaimanapun, menyendiri di ceruk gua sambil menatap langit dia pikir bukanlah karakternya atau sesuatu yang Deidara dari Akatsuki akan lakukan. Menyendiri sambil menatap langit disini menyenangkan, tapi membuatnya merasa tertohok secara bersamaan. Dia bahkan sering mengambil misi dua, bahkan tiga kali lebih banyak daripada member lainnya agar supaya tidak tergoda mampir ke ceruk ini dan membiarkan pikirannya bergejolak-gejolak mengerikan lagi. Pein, sang Leader tidak mengeluh, tentu, dia justru sangat gembira karena produktivitas Deidara yang meningkat pesat. Dengan jumlah member Akatsuki yang menciut, jumlah misi yang harus dilakukan bertambah berat dan sang Leader sangat senang dia punya member yang sangat bisa diandalkan. Tapi, tetap saja, batin Deidara lemas. Tak peduli betapa banyak misi yang dia selesaikan, dia selalu pulang ke markas lebih cepat. Seakan-akan alam bawah sadarnya membimbingnya untuk cepat-cepat menyelesaikan misi supaya sempat mampir ke ceruk ini, bersantai menatap langit. Dan Deidara, salah satu ninja paling berbakat dari Iwakagure, kalah oleh kemauan alam bawah sadarnya sendiri.
Deidara membuka matanya dengan cepat dan langsung bangkit terduduk,lalu meninju dinding batu yang ada disebelah kananya. CIH!. Cukup. Cukup dengan semua pemikiran ini. Aku menyia-nyiakan waktuku yang berharga! gumamnya. Lebih baik aku membuat karya seni-ku, meningkatkan levelnya menjadi lebih baik lagi! Bukankah begitu tujuan hidupnya sebagai seniman? Membuat karya-karya yang bernilai seni tinggi, bukan? membuat semua orang terpana dan terpukau akan keindahan seni-ku, bukan? Sang pemuda flamboyan menyemangati dirinya sendiri, tapi tetap merasa tak mempunyai kekuatan untuk bangkit berdiri. Deidara merasa sangat frustasi dengan mood jeleknya hari itu. Kenapa dia begini? Kenapa? Perasaan apa ini? Perasaan apa? Tangan kirinya dengan gemetaran memegangi dadanya yang sakit dan sesak, serasa tertusuk sembilu dingin yang tidak terlihat. Deidara meninju dinding batu itu lagi dengan brutal. Apa salahnya? Apa yang kurang? Seorang seniman hidup untuk berkarya, membuat dunia berdecak kagum atas keindahan karyanya, bukan? Deidara sudah melakukannya dengan sangat baik. Bahkan, dia telah berhasil menyempurnakan banyak jurusnya akhir-akhir ini. Perkembangannya akhir-akhir ini sungguh sangat pesat. Dia telah menyempurnakan C2 Garuda dan C4 Karura, bahkan telah berhasil melatih mata kiri-nya terhadap genjutsu, karena dia berniat untuk menantang Itachi suatu saat nanti, uchiha menyebalkan yang pernah mengalahkannya dengan doujutsu konyol bernama Sharingan. Bahkan, ada lagi satu jurus hebat yang Deidara tak menyebutkannya saking bangga-nya. His true hidden masterpiece. Dia seharusnya merasa bahagia dan bangga pada dirinya sendiri, tapi perasaan macam apa ini? Berkarya? Benarkah itu makna hidup seorang seniman yang sesungguhnya? Kalau begitu, kenapa dia merasa tidak bahagia? Deidara pernah berdebat tentang seni dan makna hidup dengan seseorang, tapi sebelum kenangan itu muncul lagi, Deidara menepisnya dan membuangnya jauh-jauh. Moodnya sudah sangat buruk, dia tak ingin membuatnya merasa lebih buruk lagi.
Kemudian tanpa disadarinya, dia menoleh ke sebelah kanan, ke arah dinding batu yang dia tinju. Deidara menghiraukan rasa perih pada buku-buku tangan kanannya yang berdarah, mata azure-nya menelusuri dinding batu itu. Tepat disamping kepalan tangannya, terdapat ukiran-ukiran yang dia patri sendiri di tembok batu itu selama beberapa waktu terakhir. Deidara melepaskan tangannya dari batu, memperhatikan ukiran yang dia buat setiap hari itu dengan seksama. Mata azure biru-nya yang indah terkesima.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30,
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31
Ada dua onggokan angka yang tersusun di dinding batu tersebut. Terdapat lingkaran pada setiap angka 1 dari masing-masing onggokan angka. Deidara tertawa kosong. Pantas saja mood dia sangat jelek hari ini. Mood dia memang akhir-akhir ini selalu muram, tapi hari ini dia merasa jauh lebih muram daripada biasanya. Sambil tersenyum sedih, sang pemuda pirang mengukir sebentukan angka sedikit lebih dibawah onggokan angka terakhir dengan kunai yang dia dapati ada disampingnya, kemudian melingkarinya.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30,
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31,
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30,
1
Deidara memperhatikan angka 1 yang dilingkari itu lekat-lekat, kemudian tersenyum puas. Aku punya alasan untuk bersantai-santai menatap langit disini, batinnya berteriak senang. Karena hari ini adalah hari yang ke-92. Hari ini adalah hari peringatan 3 bulan setelah dia tiada. Hari peringatan berpulangnya Sasori no Danna.
Deidara membaringkan tubuhnya kembali, menatap langit biru yang cerah. Deidara selalu mencoba mengabaikan kesedihannya yang mendalam karena kehilangan partner-nya. Bukankah dia seorang ninja? Garis bawahi, dia tidak hanya seorang ninja, dia adalah seorang akatsuki, missing-nin kelas S, tidak ada alasan untuk bermelankolis-melankolis ria. Tapi, Deidara memutuskan untuk menyerah hari ini. Hari ini adalah hari peringatan kematian Sasori. Tidak ada salahnya untuk mengheningkan cipta pada hari peringatan kematian seorang partner yang berharga, bukan? batinnya lega,mencari pembenaran atas perasaannya. yang berkecamuk-kecamuk tidak terkendali Deidara melepaskan semua beban yang menghimpit dada-nya, membiarkan pikirannya berseliweran hilir mudik dan bergejolak. Dia akan membiarkan kenangan lamanya menguasainya. Hari ini saja. Pikiran-pikiran tersebut seakan tertawa senang,seakan-akan merasa memenangkan perdebatan dengan pemiliknya. Deidara meletakkan tangan kanannya diatas dada kirinya, memejamkan matanya, menghirup napas panjang dan menghembuskannya kembali. Perasaan sesak di dadanya mulai hanyut, seakan ikut terbang terbawa angin berbau wangi rerumputan yang bertiup di permukaan tubuhnya,menerbangkan helaian-helaian rambut pirangnya. Sang seniman yg sangat berbakat tersebut terhanyut dalam pikirannya,perasaannya. Dalam kenangannya.
Apakah arti hidup yang sesungguhnya, Sasori no Danna?
Benarkah itu seperti yang selalu kau bilang?
Pendapatku, pendapatmu, mana yang lebih benar?
Aku selalu berpikir kalau keberadaan seorang seniman adalah untuk berkarya.
Tapi, perasaan apa ini? Aku masih merasakan perasaan kosong ini, bahkan setelah aku memnyempurnakan banyak karya-karyaku.
Berkarya, benarkah itu tujuan hidupku?
Keberadaanku di dunia ini,… untuk apa sebenarnya?
TBC
Haii,….
Aku sebenarnya tidak berniat membuat multichapter, tapi mau bagaimana lagi. Sepertinya agak terlalu panjang kalau semua dijadikan satu.*nangis*. Ini malah belum ngapa-ngapain Deidara-nya. Aku tidak yakin kalau dunia shinobi menggunakan kalender Masehi dengan sistem penanggalan dan per-bulanan (?) yang sama dengan kita, tapi aku buat saja begitu biar gampang. (Sebenarnya malas mencari tahu, hahahaha). Intinya, Dei sedang asyik bergalau-galau dan berflashback ria tentang Sasori no Danna, memperingati 3 bulan wafatnya Danna*nangis bareng Dei*. Membuat ff genre ini merupakan pengalaman baru bagiku, dan hatiku yang lemah teriris-iris karenanya.T_T. Jadi,aku sangat mengharapkan kritik dan saran xD. Aku tahu Dei tidak menggunakan kunai, jadi anggap saja kunai yang dia pakai untuk memahat-mahat(?) ini dia dapatkan dari Naruto waktu dia dikejar-kejar Naruto dan Kakashi yang ingin menyelamatkan Gaara.*ingat kan,waktu itu Dei menggigit2 kunai karena kedua tangannya telah putus*. Jadi, ceritanya, si kunai terbawa pulang ke markas setelah dia pura-pura meledakkan diri sendiri..(kemudian mendapati di markas kalau...*lupakan*). Okee, ditunggu review-nya ya xD
