Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Oliver Wood.
Rating: T
Warning: Tak ada Lord Voldemort dan tak ada Perang Besar Hogwarts.
Sebagai insan yang mendewakan ilmu pengetahuan, Hermione Jean Granger tentu selalu berpatokan pada logika maupun hasil penelitian ilmiah di setiap aspek kehidupan.
Termasuk dalam memilih belahan jiwa, tentunya...
Sejak memasuki usia puber, atau tepatnya sejak dirinya merindukan keberadaan seorang pria tempat bersandar dan berbagi suka duka, Hermione mulai kasak-kusuk mencari sang kekasih hati.
Namun, tak seperti penduduk Sekolah Sihir Hogwarts yang mengandalkan kartu Tarot cinta ala guru Ramalan, Profesor Sybill Trelawney atau Biro Jodoh Weasley yang digagas si kembar kocak Fred dan George Weasley (biro jodoh yang sudah pasti didirikan untuk menggasak duit pelanggan semata), Hermione memilih berpedoman pada kesimpulan riset ilmuwan Huddinge University Hospital, Swedia.
Menurut hasil eksperimen itu, sama seperti hewan, manusia bisa menemukan jodoh tepat berdasarkan bau badan yang dihasilkan kelenjar endokrin. Feromon atau zat kimia di aroma tubuh itulah yang memiliki andil dalam menghasilkan perasaan suka, naksir, cinta maupun gairah seksual. Tentu saja wangi memikat bagi setiap orang berbeda-beda, disesuaikan dengan genetika maupun ketertarikan kimiawi lainnya.
"Jadi, itulah alasannya mengapa wangi Ramuan Cinta Amortentia tak pernah sama. Tergantung pada orang yang menghirup uapnya," ulas Hermione lugas, kian antusias saat penonton di sekelilingnya memberikan tanggapan bersemangat.
"Oooh, pantas saja saat aku mengendus ketiak Won-Won, ia tercium seperti permen peppermin kesukaanku," Lavender Brown, gadis tengil paling centil se-Hogwarts mendesah kegirangan. Mengerang senang, mata bulat energik Lavender menerawang jauh, membayangkan sensasi aromatik yang dikecup sewaktu hidung mancungnya bertubrukan dengan bagian bawah lengan kiper cadangan tim Quidditch Gryffindor tersebut.
Mendengar lenguhan manja Lavender, Hermione memonyongkan bibir sepanjang mungkin. Yah, meskipun Ronald Bilius Weasley merupakan salah satu sobat terdekat, Hermione menganggap pujian Lavender terlalu hiperbola dan mengada-ada.
Oke, oke, Lavender mungkin benar saat mengatakan ketiak Ron beraroma peppermin.
Peppermin kedaluwarsa tepatnya.
Semerbak menyengat yang tak lebih baik dari kencing Fang, anjing besar berliur milik pawang pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib, Rubeus Hagrid.
"Harry juga beraroma sangat memesona. Apalagi jika ia banjir keringat pasca bermain Quidditch," Ginny Weasley dan Romilda Vane memekik bersamaan, sebelum saling mendelik satu sama lain.
Lomba adu pelototan sengit itu baru terhenti saat Harry, si objek gunjingan melangkah sempoyongan dari balik lubang lukisan Nyonya Gemuk, diikuti kontingen Quidditch Gryffindor lainnya yang berlepotan tanah dan debu.
Satu-satunya orang yang tampak segar bugar di antara gerombolan tampang-tampang letih berlumuran lumpur hanyalah Oliver Wood, sang Kapten merangkap Kiper.
Melempar jubah Quidditch ke kotak raksasa di pojok ruangan (kardus tempat baju kotor yang tengah malam nanti akan diangkut untuk dicuci bersih oleh peri rumah yang bekerja di Hogwarts), Wood meletakkan pantat di hamparan karpet terdekat.
Mengeluarkan maket lapangan dari balik saku celana, pemuda menawan yang duduk di tahun terakhir itu langsung terbenam dalam aktivitas merancang strategi pertandingan pamungkas. Tak menggubris sama sekali keluhan anak buahnya tentang gemblengan garangnya yang menyaingi kesatuan militer paling sadis sedunia, Russian Spetsnaz.
"Betul kan, Hermione. Ruang Rekreasi ini langsung beraroma pejantan-pejantan macho," Ginny berkomat-kamit meyakinkan, memecahkan konsentrasi Hermione yang tengah menatap kepala cokelat Wood lekat-lekat.
"Terutama Harry. Harum tubuhnya sangat jantan, bukan? Benar-benar pemuda maskulin idamanku," engah Ginny malu-malu, mengipasi pipinya yang memerah dengan kedua tangan kecilnya.
Lagi-lagi Hermione hanya bisa mengurut dada ratanya mendengar apresiasi salah satu adik kelas kesayangannya.
Harry berbau pria jantan selepas berlatih Quidditch?
Kambing jantan kali, pikir Hermione getir, mengingat penderitaan hidungnya semalam sewaktu mengecap aroma tubuh Harry. Aroma raga yang kata Ginny dan Romilda super-duper maskulin. Aroma mengerikan yang membuat Hermione mencoret nama Harry James Potter dari daftar pasangan hidup.
Ya, sejak membaca kesimpulan penelitian tentang pengaruh feromon dalam masalah jodoh, Hermione langsung kerasukan hobi baru. Mengendus-endus serta menghirup bau badan staf pengajar dan pelajar laki-laki di sekitarnya.
Di sela-sela pergantian jam pelajaran, Hermione rutin mencuri-curi kesempatan menubrukkan diri ke tubuh teman sekelasnya. Saat berjalan di selasar pun Hermione kerap berlagak limbung hanya untuk menjatuhkan hidung ke kumpulan siswa yang memadati koridor.
Jika pandangan curiga mulai terarah padanya (tak mengherankan mengingat tindak-tanduknya yang mirip pencopet kesiangan), Hermione terpaksa menggunakan alternatif darurat. Diam-diam menciumi jubah, mantel, kemeja sekolah, kaus kaki maupun benda berserat lain yang bisa dicolengnya.
Well, minus celana dalam tentunya.
Selain tak higienis, Hermione juga tak mau diuber-uber warga empat asrama jika ketahuan mengembat cawat pria di tiang jemuran.
Sayangnya, sejauh ini seluruh kerja keras Hermione tak menghasilkan apapun, kecuali deretan kesengsaraan yang menimpa hidung berbintik-bintiknya.
Bayangkan saja, sejak memulai aktivitas eksentriknya, Hermione sudah terserang berbagai macam penyakit mengenaskan seperti bulu hidung rontok tak bersisa, bersin-bersin akut maupun batuk pilek tak berkesudahan.
Oh, jangan lupakan barisan jerawat di sekitar hidung dan dagu gara-gara bersentuhan dengan properti laki-laki yang terkadang belum dicuci seminggu.
Mengumpat gundah, Hermione melirik catatan yang berisi nama-nama pemuda yang sudah dihirup bau badannya. Dari sekian banyak calon potensial, tak ada satu pun yang sesuai dengan indra penciumannya yang tergolong selektif dan pemilih.
Anak-anak cowok klan Weasley contohnya.
Jika Ron mirip peppermin bulukan, kakak-kakak lelakinya tak kalah dramatis. Memiliki wangi miris sesuai dengan karier yang mereka rintis.
Sebut saja si putra pertama, William Arthur Weasley alias Bill Weasley. Kelamaan memarkir diri di Mesir membuat pegawai Bank Sihir Gringotts itu sewangi mumi padang pasir.
Si anak kedua, Charles Weasley bahkan lebih parah. Pria bermata biru bercahaya yang karib dipanggil Charlie itu sama baunya dengan naga asuhannya.
Keturunan ketiga, Percy Ignatius Weasley lain lagi. Selain menguarkan aroma perkamen jamuran, remaja pemuja peraturan itu juga lekat dengan bau pantat kuali. Aroma gosong yang membuat hidung Hermione gatal-gatal semalam suntuk.
Gagal dengan ketiga anak tertua keluarga Weasley, Hermione mengarahkan sasaran tembak ke si kembar, Fred dan George. Tindakan impulsif yang langsung disesali Hermione detik itu juga.
Pasalnya, selain diserbu bau bubuk mesiu, hidung mungil Hermione juga menggelembung seukuran gajah bengkak usai mengendus kaus si kembar yang dipenuhi Bubuk Bulbadox. Bubuk gatal-gatal super-paten yang dijamin ampuh menumbuhkan bisul bernanah dalam hitungan detik. Serbuk berbau busuk yang membuat Hermione harus menghabiskan sisa liburan musim panas di Bangsal Keracunan Ramuan Rumah Sakit Saint Mungo.
Menggoyangkan kepala semak lebat yang terjurai berantakan, Hermione membuang ingatan kelam tentang sesi liburan di The Burrow yang berakhir dengan petaka. Memusatkan perhatian ke lembaran memo keramat, Hermione memberi tanda silang di tiga nama pemuda yang tadi siang dicecap aroma tubuhnya.
"Neville Longbottom, bau pupuk kandang Stinksap. Seamus Finnigan, bau sirih nenek-nenek. Dean Thomas, bau tahi Doxy," tanpa diduga Lavender menyambar buku catatan Hermione dan langsung menjerit-jerit seperti setan betina kesurupan.
Mendesis sinis, Hermione menghunuskan pandangan menindas, mendesak Lavender untuk segera mengembalikan dokumen yang memuat banyak data penting yang terjamin nyata dan akurat.
Celakanya, bahasa isyarat maupun gerak tubuh Hermione tak sampai ke otak Lavender yang tumpul dan aus karena kebanyakan bergosip. Terbukti ketika gadis sintal berambut ikal itu terus berlari mengitari Ruang Rekreasi sambil berkicau tak terkendali, membuat ruangan bundar yang semula segaduh pelabuhan berubah sehening kuburan.
Beberapa kepala yang duduk lesehan di depan perapian pualam menengok ingin tahu. Sisanya menghentikan diskusi dan memasang kuping baik-baik, penasaran ingin mendengar bocoran informasi lain yang diprediksi bakal mengalir sederas pipis Hagrid.
Lavender yang sedari balita senang menjadi pusat perhatian tentu pantang menyia-nyiakan momen emas tersebut. Membolak-balik helaian memo dengan kecepatan membutakan, gadis berkulit seputih melati itu mendendangkan potongan informasi lain terkait aroma si kecil Colin Creevey dan Nigel Wolpert. Dua siswa tahun pertama yang sedari tadi keteteran menjepret dan mengabadikan adegan edan Lavender melalui lensa kamera.
"Colin Creevey dan Nigel Wolpert. Ingusan dan bau kencur!" teriak Lavender tanpa basa-basi, mengikik sedikit saat duo anak bawang yang disebut-sebut keok di tempat karena merasa dipermalukan.
Jika Colin dan Nigel pingsan tak berdaya dan harus disadarkan dengan pernapasan buatan ala Fred dan George, tidak demikian halnya dengan Seamus Finnigan dan kawan-kawan.
Seamus yang semula berselonjor malas-malasan di sofa berlapis busa langsung menjulang mengancam. Di seberang kanan, Dean Thomas berdiri mengintimidasi, menatap dengan sorot berapi-api yang bisa menghanguskan bumi.
Sedangkan Neville?
Yah, layaknya Neville, bocah tanggung linglung itu cuma bisa menutupi wajah bingungnya dengan kodok gendut kesayangannya, Trevor. Hanya roman terpukul dan goresan sakit hati yang membayang di mata Neville-lah yang membuat Hermione urung mentertawakan tingkah pemuda pemalu tersebut.
Geraman keras yang menyalak tiba-tiba memaksa Hermione memalingkan perhatian dari sosok Neville yang sepucat mayat. Menelan ludah dua kali, Hermione meringis saat menyaksikan cuping hidung Seamus dan Dean kembang kempis menahan amarah.
Dari kedutan di otot mulut dan tinju kosong yang mengepal, tampak jelas kalau dua rekan sekamar itu tengah bertarung membendung hasrat mengubah Hermione dan Lavender menjadi semut keriput.
Atau berang-berang korengan?
Yang manapun itu, pelototan dua pasang mata itu hanya memiliki satu makna.
Bahaya luar biasa yang harus dijinakkan secepatnya.
"Merlin, Hermione! Kau bahkan menghirup bau badan si culas genit Zacharias Smith," lengkingan tak percaya Ginny membuat Hermione membatalkan rencana menenangkan emosi Seamus dan Dean.
Saat ini, ketimbang mengurusi tekanan darah tinggi Seamus dan Dean, akan lebih bijak jika ia mendahulukan tugas yang lebih prinsipil. Merebut kembali buku catatan aroma sebelum seluruh rahasia terkuak sepenuhnya.
Atau lebih tepatnya sebelum korban lain bertumbangan karenanya.
"Zacharias Smith bau parfum wanita kualitas A. Waduh, jangan-jangan Chaser Hufflepuff itu mandi berendam di gentong minyak wangi ibunya," tukas Lavender riang, melambai-lambaikan memo Hermione di atas kepala sebelum mengopernya ke kerumunan massa.
"Accio memo!"
Tak mengalihkan wajah dari denah lapangan yang diotak-atiknya, Wood mengacungkan tongkat sihir, merapalkan Mantra Panggil yang membuat memo bermasalah itu melenting ke arahnya sebelum diputar balik ke pangkuan si empunya dengan sekali sabetan.
Hermione yang sama sekali tak menduga ditolong Wood menganga terkesima, mendekap erat-erat bundelan dokumen berharga di dada. Keterkejutan Hermione kian berlipat ganda saat Wood mengangkat muka, melempar tatapan tak terbaca ke arahnya.
"Sempak Monyet! Oliver, di memo itu pasti ada data keringat para guru. Apa kau tak mau tahu aroma hidung bengkok Snape?" George merengek kecewa, mengacak-acak rambut cokelat halus Wood dengan kelima jari yang dipenuhi oli.
Mendecih pelan, Wood menepis tangan George seperti mengusir ngengat tak tahu adat. Mencelupkan pena bulu Knarl ke botol tinta merah menyala, Wood mencorat-coret perkamen sembari menggumamkan kata-kata absurd yang tidak bisa ditangkap esensinya.
"Apa benar di situ ada fakta bau badan para guru?" Ron yang semula terkapar tak bertenaga mendadak terjaga. Menyenggol Harry yang menguap bosan, Ron berderap menghampiri Hermione yang mendelik sangar.
"Hanya beberapa guru lajang dan tak akan kuberi tahu, Ron! Rahasia negara!" semprot Hermione sewot, tak mengindahkan muka sok memelas Ron yang mengiba.
Menyelipkan memo ke kantung mantel, Hermione menyempatkan diri melirik Wood yang masih berkutet dengan maket lapangan. Tadi, sewaktu Wood membantunya dengan Mantra Panggil (mantra yang tak bisa dilafadzkan sebab tongkat sihirnya ketinggalan di tempat tidur), Hermione baru menyadari kalau ia belum memasukkan nama pemuda gagah itu ke dalam daftar calon jodoh.
Yah, kealpaan yang bisa dimengerti mengingat lelaki bermata cokelat madu itu jarang berkeliaran di sekitarnya. Sebagai seorang remaja maniak Quidditch, Wood pantang leyeh-leyeh dan bersantai-santai di Ruang Rekreasi.
Berkilah waktu luang berarti berlatih Quidditch sampai encok, pria muda atletis itu memilih setor muka di lapangan Quidditch. Tempat yang hanya ditengok Hermione jika pertarungan olahraga terbang itu digelar.
Dengan hobi berbeda plus tempat gaul yang tak sama (saat senggang, Hermione lebih suka mendekam di perpustakaan atau meringkuk di Ruang Rekreasi ketimbang memelototi pria terbang bau keringat), tak heran jika interaksi Wood dan Hermione bisa dihitung dengan jari.
Selama tiga tahun mengenal Wood pun Hermione jarang bertemu muka dengan seniornya itu. Jikalau bersirobok di koridor atau bersua di lubang lukisan Nyonya Gemuk, Wood tak pernah bertegur sapa maupun bersitatap mata dengannya.
Tapi, tadi dia memandangmu dalam-dalam. Menatapmu dengan raut tak terbaca...
Hermione mengernyit memikirkan tatapan tajam Wood barusan. Sorot menilai yang menimbulkan denyut ganjil di perut dan debar aneh di hati. Perasaan asing yang seumur-umur baru kali ini dirasakannya.
"Haloo, Hermione..." Ron mengibas-ngibaskan tangan berdebu di depan mata cokelat Hermione yang menatap hampa. Setelah yakin seratus persen kalau sahabat perempuannya tengah dilanda trans (kondisi yang selalu membuat gadis berambut belukar itu bertindak tanpa pikir panjang), Ron buru-buru memanfaatkan peluang langka tersebut untuk membongkar 'rahasia negara' Hermione.
"Snape!"
"Bau minyak nyong-nyong."
"Hagrid!"
"Bau iler Fang."
"Dumbledore!"
"Bau tanah."
"Profesor Trelawney!"
"Bau kemenyan! Dan terakhir kali aku cek dia itu perempuan tulen, Ron!" bentak Hermione, merengutkan mulut saat ledakan tawa mengguncang Ruang Rekreasi.
Dari sekian banyak pundak yang bergetar dan berderak menahan gelak, hanya punggung bidang Wood yang setegang kayu gelondongan. Gelagat kuat yang membuktikan kalau pemuda tujuh belas tahun itu tak memedulikan hal lain di dunia selain orang-orangan berkostum Quidditch yang tengah dimainkannya dengan membabi-buta.
Mungkin saking gilanya pada Quidditch ia lebih suka berkencan dengan Bludger bergincu, batin Hermione usil, mengamati tubuh kaku seniornya. Tubuh bugar yang semakin lama dipandangi semakin membuat denyar janggal di dada bergelora layaknya bara.
Berdeham kikuk untuk meredam gelombang tak dikenal yang merambati sukma, Hermione mengumandangkan ucapan selamat tidur dan semoga mimpi indah kepada siapapun yang mau mendengarnya.
Menahan keinginan mengerling ke belakang, Hermione melesat mendaki tangga spiral menuju kamar anak perempuan di lantai atas. Dari getar samar yang menjalari punggung, Hermione sadar bahwa Wood tengah mengamati setiap pergerakannya dengan saksama.
Kesadaran yang entah kenapa membuat kedua pipinya merona seperti dara dimabuk asmara...
Mengamati bayangan Hermione yang menghilang di atas tangga, Wood mengekang keinginan mengobrak-abrik maket lapangan yang susah payah dibangunnya.
Tadi, sewaktu mendengar nama-nama pemuda yang sudah bersentuhan dengan hidung Hermione, ia berang luar biasa. Hanya pengendalian diri tingkat tinggilah yang membuat dirinya mampu memajang ekspresi datar sekaligus memasung angkara yang membakar jiwa.
Sejujurnya, Wood tak menyukai dilema yang membelit benaknya terkait kebiasaan baru Hermione yang antik itu.
Memangnya apa pedulinya jika gadis bergigi besar-besar itu doyan mengendus-endus bau badan laki-laki lain?
Hermione bukan saudaranya dan bukan pula kekasihnya.
Gadis berhidung penuh bintik itu cuma adik kelasnya.
Cuma remaja biasa bertampang sederhana yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Nah, jika dia bukan siapa-siapamu, lalu kenapa kau kelabakan saban kali memergokinya membaui lelaki lain? Jika dia tak penting bagimu, lalu apa alasan di balik ketakutan akut yang menjangkiti otakmu sewaktu mendengar kabar dia dirawat inap di Rumah Sakit Saint Mungo gara-gara keracunan keringat Fred dan George?
Membersut kecut, Wood memuntir sepasang boneka lilin, acuh tak acuh saat kucing Hermione, si muka penyok Crookshanks melahap kaki kiri si boneka yang terbelah dua.
Mengawasi ekor sikat botol Crookshanks yang berayun-ayun senang, Wood menganalisis kembali emosi baru yang melanda. Perasaan tak nyaman yang seumur-umur baru pertama kali ini dirasakan. Sensasi yang mencuat semenjak dirinya menyadari substansi di balik misi perburuan aroma tersebut.
Misi mencari belahan hati!
Misi yang sudah pasti tak sesuai dengan umur Hermione yang terbilang dini!
Baiklah, baiklah. Ia tahu kalau anak-anak zaman sekarang lebih cepat puber dan matang sebelum waktunya.
Tapi, memikirkan tentang pasangan hidup di usia tiga belas tahun? Di umur yang seharusnya diisi edukasi tentang prestasi masa depan? Masa yang selazimnya tak direpotkan dengan problematika rumah tangga yang segudang banyaknya?
Dirinya saja, yang notabene lebih dewasa pantang bersinggungan dengan masalah berpasangan. Keengganan yang membuatnya menangkis semua tawaran kencan maupun lamaran pernikahan yang diajukan fans fanatiknya. Penolakan pinangan yang membuatnya tetap menyandang gelar perjaka tulen sampai sekarang.
Bagi Wood, menikah dan memperbanyak keturunan ada di urutan terbawah rencana masa depan. Saat ini, fokus utamanya cuma tembus ke Akademi Quidditch Internasional sekaligus mengukuhkan diri sebagai salah satu bintang Quidditch paling bersinar.
Jikalau pada akhirnya ia harus meneruskan kelangsungan pohon keluarga, ia mendambakan berpasangan dengan seorang wanita cantik yang tertarik pada Quidditch.
Yah, minimal seperti Gwenog Jones, Kapten merangkap Beater klub Quidditch wanita, Holyhead Harpies. Atlet berdedikasi yang sukses menggiring skuat asal Wales itu ke jajaran puncak Liga Quidditch Inggris dan Irlandia.
Atau paling tidak seperti legenda Puddlemere United, Chaser Joscelind Wadcock. Satu-satunya olahragawan perempuan yang merengkuh titel Pencetak Gol Terbanyak Liga Inggris Abad Kedua Puluh.
Bukannya dara keras kepala yang tak tahu apa-apa tentang Quidditch.
Bukannya perempuan sok tahu yang keliru menyebut teknik Wronski Feint sebagai Wonky Faint.
Bukannya Nona-Paling-Sok-Tahu-Segala yang bisa-bisanya mengira Viktor Krum, si Seeker timnas Bulgaria sebagai jawara kontes waria.
Bukannya...
Denting jam yang berdetak dua belas kali menghentakkan Wood dari lamunan pro dan kontra. Mengutuk suntuk karena kehilangan konsentrasi, Wood membereskan miniatur lapangan sebelum menyegel lembaran perkamen panjang berharga itu dengan Mantra Pengecil. Menggulung kertas kulit kasar yang memuat siasat perang, kiat jitu yang diperlukan untuk membantai armada Slytherin, Wood membulatkan tekad baru.
Jika ingin menang sekaligus mempecundangi musuh sejak kecilnya, si Kapten Slytherin, Marcus Flint, ia harus menjernihkan pikiran dan menyingkirkan aspek lain di luar Quidditch.
Termasuk perasaan terpendam pada Hermione.
Gadis genius yang pelan tapi pasti menjungkirbalikkan jiwa dan raganya...
Merundukkan gerumbul semak hingga jungkir balik, manik mata Hermione bergulir memonitor situasi. Setelah memastikan kondisi aman terkendali, Hermione berjinjit mengendap-endap menuju kamar ganti legiun Quidditch Slytherin yang terletak di ujung timur laut lapangan.
Selama kaki melangkah, otak cerdas Hermione terus berputar menelaah kiprah teranyar-nya. Gerakan gres yang ditentang habis-habisan oleh sobat-sobat terbaiknya yang mengkhawatirkan keselamatannya.
Yah, tanpa perlu berpikir keras pun Hermione paham gebrakan terakhirnya ini lumayan kebablasan.
Menyelusup diam-diam ke kandang ular Slytherin saja sudah amat sangat membahayakan. Apalagi jika sasaran primernya ketahuan. Bisa-bisa ia dipermak habis-habisan atau yang lebih buruk lagi diarak sampai ke Aula Depan.
Menghela napas berat, Hermione menyumpahi Dobby dan Winky karena membuatnya terkepung dalam polemik pelik seperti ini. Jika saja dua peri rumah yang mengabdi di Dapur Hogwarts itu mau mengulurkan tangan, semua persoalan pasti terpecahkan tanpa menimbulkan keributan.
Membenahi Jubah Gaib yang kedodoran (selimut transparan milik Harry yang dipinjamkan dengan segerobak wanti-wanti), Hermione memikirkan kembali penolakan Dobby dan Winky. Dua peri rumah bermata bulat yang selama ini diamanatkan mengambil seragam bekas pakai murid-murid Hogwarts.
"Tapi Miss, Winky tak mau mencuri dari kaum darah murni," begitulah alasan yang disemburkan Winky saat Hermione menuntut peri rumah perempuan itu untuk mengambil sejumput pakaian penduduk Slytherin.
"Ini bukan mencuri, Winky. Hanya meminjam sementara. Kalau sudah selesai pasti aku kembalikan," dalih Hermione, merengut bersungut-sungut saat Winky menggelengkan kuping kelelawarnya sekencang mungkin.
Memutar bola mata, Hermione melayangkan pandangan memohon ke Dobby, berharap bekas pengurus rumah tangga klan bangsawan Malfoy itu mau membantunya. Celakanya, sama seperti Winky, Dobby dengan terang-terangan memprotes kerjaan barunya tersebut.
"Dobby tak bisa masuk ke asrama mereka, Miss. Wilayah itu bukan area kekuasaan Dobby dan Winky," tandas Dobby tegas, melipat lengan kumal di depan dada.
Pada awalnya Hermione tetap bersikeras membujuk dua kompatriotnya untuk menolongnya. Namun, keteguhan niat Hermione luntur tatkala Dobby memperingatkan ancaman pemecatan yang membayang jika mereka ketahuan menyusup ke ruang bawah tanah Slytherin.
"Kalau kami tertangkap basah, Kepala Asrama Slytherin, Profesor Severus Snape pasti menendang kami dari Hogwarts tanpa pikir panjang. Dan tentu saja tanpa surat referensi untuk mencari pekerjaan baru," cerocos Dobby panjang lebar, melumerkan hati Hermione dengan tikaman rasa bersalah.
"Benar sekali, Miss. Tragedi kami pasti mencoreng nama baik S.P.E.W," Winky mendadak nimbrung, menyindir organisasi pembebasan peri rumah yang dibentuk Hermione. Lembaga nirlaba yang bertujuan mengangkat derajat dan harkat kalangan peri rumah.
Menelan bantahan yang berkelebat di ujung lidah, Hermione akhirnya memilih mengalah. Ketimbang menyusahkan orang lain atau merusak nama baik institusi, Hermione terpaksa bertindak sendirian dalam menuntaskan ambisi.
Sadar dirinya tak bisa menembus Ruang Rekreasi Slytherin dengan leluasa tanpa bantuan peri rumah Hogwarts, Hermione mengincar satu-satunya opsi lain yang tersisa.
Menyelundup ke ruang ganti tim Quidditch Slytherin.
Tak seperti asrama Slytherin yang dijaga lusinan kata kunci, ruang ganti klub Quidditch tidak memiliki pengamanan berlapis. Selain itu, menurut investigasi Dobby, setiap kali selesai berlatih, kru Slytherin yang terkenal pemalas dan jorok selalu menyimpan kostum penuh keringat mereka di loker ruang ganti.
Empat langkah menuju pintu ruang ganti, Hermione menegang saat bunyi ranting patah berdering nyaring. Memegangi jantung yang nyaris copot dari katup, Hermione berpaling ke kiri dan ke kanan, mencari-cari sumber bunyi mengagetkan tersebut.
Setelah bermenit-menit mengedarkan pandangan, cuma keheningan mencekam yang menyambutnya. Satu-satunya yang bergerak di keremangan malam hanyalah rumpun semak beri yang berdesir tertiup angin. Sesekali burung hantu yang bertengger di batang pohon mahoni berdekut lembut, berkukuk seirama dengan desau kepak kelelawar yang berbondong-bondong mencari mangsa.
Hermione mendesah lega dan menurunkan kewaspadaan saat melihat ekor sikat botol teracung tinggi dari balik rerumputan. Ekor tegak yang langsung dikenali Hermione sebagai buntut kucing gemuk kesayangannya, Crookshanks.
Melongok dari balik bonggol alang-alang, mata kuning oranye Crookshanks menyorot kuat ke arah Hermione. Di sekitar kumis dan mulut, seekor bangkai tikus tersangkut tak berkutik.
"Crookshanks pintar, tadi kamu yang menginjak ranting itu ya?" Hermione bertanya pelan, tahu betul kalau hewan peliharaannya itu bisa mendeteksi keberadaan dirinya.
Ya, meskipun Jubah Gaib bisa menutupi tubuh dari penglihatan manusia, selubung transparan itu tetap bisa diidentifikasi oleh hewan dunia sihir. Apalagi oleh binatang separuh kucing dan setengah Kneazle seperti Crookshanks.
Menjatuhkan bangkai tikus ke hamparan rumput tipis, Crookshanks berderap mendekati majikan perempuannya. Mengeong manja, Crookshanks berputar-putar di sekitar kaki Hermione yang terbungkus Jubah Gaib. Kuku tajam runcingnya mencakari ujung Jubah Gaib, membuat Hermione harus memegangi erat-erat cangkang tak kasat mata yang menyelubungi.
"Ssssh, Crookshanks. Jangan nakal," sahut Hermione panik, melangkah mundur saat kucing jantan cerdiknya menerjang maju. Dari gelagatnya, tampak jelas kalau Crookshanks berniat mempreteli Jubah Gaib yang membungkus raga tuannya. Selimut transparan yang sengaja dipakai Hermione untuk menghindari risiko bertemu saksi mata.
"Crookshanks! Hentikan," dengking Hermione kalut, terdiam seketika ketika bunyi derap kaki berbaur gelak tawa terdengar dari samping jalan setapak berpasir.
Menjauh dari Crookshanks yang masih menggapai-gapai udara dengan sepaket taji runcing, Hermione buru-buru menepi ke bawah pohon kenari. Merapatkan tubuh di batang pohon, Hermione menutup mulut saat Prefek Ravenclaw, Penelope Clearwater dan koleganya, Prefek Hufflepuff, Cedric Diggory melintas di depannya.
Memegangi tongkat sihir yang ujungnya dinyalakan dengan Mantra Lumos, dua siswa teladan itu menyapukan pandangan ke sepenjuru lapangan. Berharap bisa menemukan dan menangkap murid bandel yang nekat melanggar jam malam.
"Sayang sekali Flint dan Wood sudah selesai latihan. Padahal aku ingin sekali menawan mereka dengan tuduhan indisipliner," Diggory menggerutu tak terima, jemari kokohnya dengan malas-malasan merapikan ujung rambut yang menggantung lemas.
"Jangan iri begitu, Ced. Mereka sudah dapat dispensasi khusus untuk berlatih sampai tengah malam," Penelope tersenyum sabar, mengingatkan teman sejawatnya tentang perlakuan istimewa yang diberikan kepada dua Kapten Quidditch paling disegani se-Hogwarts.
Omelan Diggory karena dirinya tak kebagian jatah spesial serupa terhenti ketika ekor lebat Crookshanks mengibas tungkai panjangnya. Menunduk, mata abu-abu Diggory menyipit memandangi wajah penyek Crookshanks yang mengeong ribut.
"Berisik sekali kucing ini. Punya siapa sih?" gerutu Diggory sambil lalu, mengarahkan ujung tongkat sihir yang bersinar terang ke ruang ganti Slytherin yang gelap gulita.
"Ini kucing Hermione. Mungkin dia tersesat dan lupa jalan pulang," ucap Penelope girang, membungkuk dan menggendong tubuh gembul Crookshanks dalam pelukan.
Menjawil lengan Diggory yang masih memelototi ruang ganti Slytherin, pacar Prefek Gryffindor, Percy Weasley itu mendesak partner kerjanya untuk segera angkat kaki.
"Sudahlah, Ced. Flint pasti sudah tidur ngorok sampai ileran di kamarnya. Lebih baik selesaikan rute patroli kita secepatnya," tegur Penelope, menggaruk-garuk kuping belakang Crookshanks dengan ujung jempol.
Crookshanks yang pada dasarnya hobi dielus-elus melingkar dan mendengkur gembira. Meski demikian, manik kuning oranye tajam Crookshanks terus terpancang ke batang pohon kenari, tempat di mana Hermione berdiri cemas sambil menahan dengusan napas.
Melempar pandang mengancam ke ruang ganti Slytherin untuk terakhir kali, Diggory terbirit-birit menyusul Penelope yang sudah berjalan lima langkah di depannya. Seiring dengan setiap pergerakan, pelita tongkat sihir kedua Prefek kesayangan para guru itu memudar, membuat lapangan kembali dinaungi bayang-bayang.
Saat lingkungan lapangan pekat sepenuhnya, hanya diterangi seleret sinar rembulan yang mengintip malu-malu, Hermione menghembuskan udara yang sedari tadi ditahan-tahan.
Menata laju napas yang tak beraturan, Hermione memikirkan kembali respon abnormal kucing kesayangannya. Reaksi yang menunjukkan ketidaksenangan Crookshanks terkait ide menyelinap diam-diam ke ruang ganti Slytherin.
Jika dipikir-pikir, bukan Crookshanks saja yang menentang gagasan tersebut. Dua sahabat baiknya, Harry dan Ron jauh-jauh hari sudah menyatakan ketidaksetujuan mereka. Penolakan yang untuk kesekian kalinya ditegaskan kembali di sesi makan malam beberapa jam silam.
"Buat apa kau menyusup ke ruang ganti Slytherin, Hermione? Itu serangan kamikaze namanya," seru Harry galau, mencolek sambal terasi dengan sebonggol udang galah.
Di sebelah Harry, Ron yang mengangguk-angguk kompak menelan bulat-bulat satu periuk nasi kebuli sebelum menyemprotkan pendapat.
"Betul Hermione. Tanpa diendus-endus pun bocah Slytherin sudah ketahuan baunya," ceplos Ron cegukan, menggelontorkan seteko jus lobak untuk membantu dan memperlancar kinerja tenggorokan.
Mengelap ujung mulut dengan lembaran buku Penilaian Pendidikan Sihir di Eropa milik Hermione (aktivitas sinting yang sudah pasti membuat kepala merahnya benjol digeprak), Ron melanjutkan penjelasan yang diharapkan bisa mengubah keputusan degil sobat perempuannya.
"Menurut Fred, semua anak-anak Slytherin itu bau seks, bir dan wanita," ungkap Ron menggebu-gebu, menunjuk kakak kembarnya yang berdiam di ujung bangku dengan pisau daging.
Fred yang tak suka tampang keren dan bekennya dituding-tuding tanpa ampun melempar sekarung Bom Kotoran ke muka adik laki-lakinya. Dinamit bau tengik yang secara otomatis menghancurleburkan kesyahduan jamuan makan malam.
"Tak mungkin seluruh murid Slytherin beraroma nista seperti itu," sangkal Hermione tak mau kalah, mendengus setuju saat Wakil Kepala Sekolah, Profesor Minerva McGonagall menjewer Fred karena berani mengacaukan agenda makan malam.
Fred yang biasa dimarahi dan didetensi hanya cengengesan tak tentu arah. Melambai-lambaikan sebelah tangan ke sekawanan murid-murid yang muntah-muntah dan terbatuk-batuk kebauan, Fred meniupkan ciuman jarak jauh. Kecupan sok mesra yang terus diumbar meskipun Profesor McGonagall mengatup-ngatupkan rahang kisut seangker mungkin.
"Meski begitu, gagasan ini sangat tak masuk akal. Bagaimana kalau kau kepergok?" gugat Harry tak sabar, menarik napas pasrah saat bau menyengat Bom Kotoran meracuni paru-paru.
"Kalau pergi di tengah malam pasti tak akan ketahuan. Untuk itu aku butuh Jubah Gaib milikmu, Harry," desak Hermione ngotot, menyingkirkan tubuh mungil Nigel Wolpert yang terbujur pingsan.
Semula, Harry bergeming dan tak merespon permintaan tersebut. Namun, kebekuan tekad pemuda bermata hijau tajam itu mencair saat Hermione bersumpah bakal menggerebek ruang ganti Slytherin dengan atau tanpa memakai Jubah Gaib.
Harry, yang tak mau sahabat sejatinya tertangkap basah kelayapan di jam malam mau tak mau meminjamkan mahakarya warisan almarhum ayahnya. Jubah langka yang malam ini nyaris rombeng dicabik-cabik cakar Crookshanks.
Mengomeli aksi bengal Crookshanks, Hermione mendekati pintu ruang ganti Slytherin, bersiap-siap menuntaskan misi yang sempat terinterupsi. Tepat di depan pintu, kaki Hermione yang menghentak-hentak terhenti di udara saat matanya menangkap kondisi pintu yang sedikit terbuka.
"Astaga, teledor sekali Troll itu," Hermione mendecakkan lidah, tak habis pikir mengapa Kapten keturunan Troll seperti Marcus Flint bisa-bisanya memimpin armada setangguh Slytherin. Lihat saja kecerobohan yang dicetak Flint malam ini. Meninggalkan ruang ganti tanpa mengunci pintu dengan jampi-jampi.
"Yah, setidaknya kesembronoan ini membuatku bisa menghemat waktu," ujar Hermione sayup-sayup, mengantongi kembali tongkat sihir ke saku jubah. Tongkat sihir kayu anggur yang tadinya dipersiapkan untuk menangkal deretan Mantra Segel.
Memutar tombol pintu pintu sepelan mungkin, Hermione melangkah masuk dan langsung disambut aroma pinus segar yang meruap. Wangi hangat menyenangkan yang bisa jadi merupakan sisa-sisa aktivitas mandi malam Marcus Flint.
Melepaskan dan melipat Jubah Gaib perlahan-lahan, Hermione mengerjapkan mata, mencoba beradaptasi dengan kondisi sekitar yang gelap gulita. Setelah indra penglihatan bisa sedikit menyesuaikan diri, Hermione berindap-indap menuju loker pemain Slytherin yang terletak di sudut tenggara.
Merayap menyusuri tembok, Hermione mengutuk dalam hati saat kakinya tersangkut gundukan benda yang dari bau tengik menyengatnya bisa dipastikan mangkuk plastik bekas wadah camilan. Baru dua langkah berjalan, Hermione menyumpah pelan ketika jempol kakinya membentur sekontainer benda penuh ijuk. Tumpukan sapu balap patah yang seharusnya sudah dibuang ke tong sampah.
Tak mau jadi bulan-bulanan kejorokan awak Slytherin, Hermione dengan berat hati merapalkan Mantra Lumos. Tadinya, dengan alasan keamanan, Hermione berencana beroperasi gelap-gelapan. Tapi, dengan kondisi kapal pecah seperti sekarang ini, Hermione tak sudi mengambil risiko tulang belulangnya patah ketiban benda pecah belah lain yang tak jelas juntrungannya.
"Lumos."
Secercah cahaya lemah muncul dari ujung tongkat, membuat Hermione bisa melihat tungkai kaki yang terperosok di antara ijuk-ijuk sapu bekas. Mendepak ranting-ranting penuh rumput yang melekat di sepatu bot, Hermione mengarahkan tongkat sihir bercahaya ke sepenjuru ruangan.
Tepat seperti yang diprediksi, ruang ganti Slytherin terlihat kotor berantakan seperti habis dilindas satu peleton badak gila. Di dekat tumpukan sapu balap lusuh, remah-remah makanan saling menumpuk, bercampur baur dengan selebaran usang dan kertas-kertas sobek penuh noda.
Suasana amburadul tersebut tentu bertolak belakang dengan kondisi ruang ganti Gryffindor yang apik dan resik. Di teritori milik Wood tersebut, tak ada itu yang namanya limbah berceceran. Apalagi gundukan sapu balap patah yang dari wujudnya bisa dipastikan habis dipakai bermain perang-perangan.
Saking gandrungnya pada keindahan lingkungan, Wood bahkan tak segan-segan menghajar anak buahnya yang tak bisa menjaga kebersihan dengan sanksi menyikat kloset dan toilet ruang ganti sebulan penuh.
Detensi ala Muggle tentunya.
Tanpa bantuan tongkat sihir atau jampi-jampi magis lainnya.
Tapi, sedikit banyak kebiasaan acak-acakan Slytherin itu membawa keuntungan bagi Hermione. Seperti pintu ruangan yang tak terkunci, lemari penyimpanan Slytherin juga tak kalah menganga. Timbunan jubah dan celana bekas pakai bahu-membahu menggenangi isi loker.
Berdendang senang karena tak perlu repot-repot membuka pintu loker dengan Mantra Alohomora, Hermione berancang-ancang meraup benda yang diincarnya. Tepat di saat tangan Hermione menyentuh celana bokser yang kebetulan berada di deretan paling atas, bunyi decakan nakal membuatnya tersentak.
"Well, well, well. Coba lihat ini. Princess Gryffindor alih profesi jadi maling celana dalam."
Memegangi jantung yang mencelat ke leher, Hermione menengok perlahan-lahan. Di sana, di pintu seberang yang temaram, Marcus Flint berdiri menantang dalam kondisi setengah telanjang.
Menggosok-gosok rambut hitam yang basah dengan handuk kecil, tangan kanan Flint merapikan posisi handuk besar yang syukurlah membungkus rapat aurat bawahnya.
Selama melakukan kegiatan mengeringkan mahkota kepala, mata tajam Flint tak berhenti mengamati Hermione yang terpaku membeku. Seringai menggoda terpatri di bibir provokatif Flint saat ketidaknyamanan di wajah Hermione terekspos sempurna.
Celingukan mencari peluang kabur, Hermione mengerang saat otak pintar, kritis dan tajamnya sukses merangkum semua potongan-potongan keganjilan menjadi satu jawaban otentik.
Pantas saja pintu ruang ganti tak terkunci jampi-jampi. Flint yang dikira sudah selesai latihan ternyata belum selesai mandi. Itulah sebabnya mengapa aroma sabun pinus melekat pekat di udara. Dan untuk mengelabui mata jeli para Prefek, Flint pasti sengaja mandi dalam gelap serta menyamarkan bunyi air dengan Mantra Peredam Suara.
Terlepas dari semua trik Flint, Hermione merutuki keputusan mencopot Jubah Gaib sesaat setelah memasuki ruangan. Seandainya tak selengah itu, ia tentu tak akan terperangkap dalam situasi mengerikan seperti ini.
Terjebak bersama pemuda yang terkenal sebagai buaya darat paling buas se-Hogwarts.
Berderap mendekat, memaksa Hermione beringsut-ingsut mundur ke belakang, Flint mengawasi Hermione seperti mamalia pemangsa. Mata gelap Flint bersinar dalam niat penuh dosa saat tubuh kecil Hermione membentur dinding kukuh. Tembok yang secara otomatis membuat mangsanya terperangkap dan tak bisa melarikan diri.
"Buat apa kau mengambil celana bokser bekas itu?" kedua tangan Flint mengepung Hermione, mengunci sisi kiri dan kanan secara efektif. Sudut bibirnya menukik ke atas saat Hermione menggumamkan jawaban serampangan.
"Itu bukan urusanmu," gerutu Hermione pendek, membidikkan ujung tongkat sihir yang bercahaya ke wajah mesum Flint. Niat Hermione untuk menyihir Flint dengan mantra pertama yang diingat berubah jadi bumerang tatkala amunisi andalannya melayang ditepis gerak tangan Flint yang secepat jet darat.
"Tentu saja itu urusanku. Kau berniat mencuri di wilayah kekuasaanku," tantang Flint, mengangkat satu alis saat Hermione mendongak membangkang.
"Aku tidak mencuri!" bantah Hermione, menggerung dari balik gigi yang mengatup. Gonggongan jengkel Hermione kian menyalak saat punggung tangan Flint tanpa permisi membelai lereng pipinya.
"Lalu, benda apa yang kau dekap erat itu?" Flint tersenyum geli, menunduk menatap celana dalam pria yang terhimpit di cengkeraman jemari Hermione.
Merona, Hermione buru-buru mencampakkan barang bukti perbuatannya. Celana bokser keparat yang bisa-bisanya masih digenggam lekat-lekat.
"Buat apa kau mengambil celana dalam bekas? Untuk dijual ke pasar loak?" Flint menyeringai lebar, menjalin rambut gelombang Hermione di antara jari tangan. Di saat korbannya tetap membisu, Flint merundukkan wajah, tersenyum tipis saat Hermione melengos menghindari tatapan sok mesranya.
"Oho! Aku tahu. Pasti untuk pelet cinta! Itu kan yang diinginkan penyihir kecil nakal sepertimu?" Flint tergelak singkat saat Hermione berpaling dan memelototinya dengan sorot berapi-api. Pijar emosi yang membuat Flint tak bisa menahan berahi lebih lama lagi.
Merenggut rambut lebat Hermione, Flint menyapukan bibir ke mulut Hermione yang memekik kaget. Selama bibir berkelana, tangan kekar Flint dengan terampil membuka satu kancing atas kemeja Hermione yang menggelepar tak berdaya.
Tepat di saat Hermione berpikir dirinya tak akan selamat dari terkaman buaya, dobrakan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Detik berikutnya, tubuh tegap Flint yang menekan Hermione terlepas dan jatuh terpelanting ke sudut ruangan.
Hermione yang masih terkaget-kaget kian terperangah saat menyadari sosok penolongnya. Berbalut jubah Quidditch yang berdebu, Wood menjulang tegak seperti dewa pencabut nyawa. Perumpamaan yang tak hiperbola mengingat cara ekstrem Wood menatap Flint yang tersungkur di dekat tong sampah.
Menyambar tubuh Hermione yang membeku, Wood memeluk juniornya erat-erat. Bersyukur tiba tepat pada waktunya, Wood tanpa sadar membelai punggung kaku Hermione. Usapan lembut menghanyutkan yang membuat Hermione menempelkan tubuh serapat mungkin.
Di sela-sela gesekan menenangkan, Hermione memejamkan mata saat aroma menyenangkan merasuki hidung.
Aroma kayu cendana yang memesona...
Aroma menggoda yang membuatnya melayang ke surga. Aroma yang baru disadari merupakan wangi sejati yang dicari-cari selama ini...
Belum sempat Hermione menggosokkan hidung untuk mendulang keharuman menggetarkan itu, cemoohan dingin Flint menghentikan aktivitasnya.
"Wah, wah, wah. Kalau ingin ikut berpesta, kau harus antri dulu, Wood," dengan cekatan Flint bangkit dan membereskan handuk besar yang hampir lepas. Acuh tak acuh menanggapi raungan brutal Wood, Flint menepis bulir-bulir makanan yang mencemari keliman handuk hijau perak.
"Jangan harap kau bisa menodai Hermione, Flint!" Wood menggeram murka, menanggalkan topeng dingin yang selama ini identik dengan dirinya.
Ya, bagaimana bisa ia tetap berperilaku biasa jika adik kelas kesayangannya ada dalam bahaya? Bagaimana bisa ia tetap bertingkah normal saat mengetahui musuh bebuyutannya berupaya merebut hal yang paling diinginkannya? Bagaimana bisa ia tetap bersikap tak acuh saat menyaksikan rival abadinya berniat menghancurkan kehormatan gadis yang paling dicintainya?
Gadis yang paling dicintainya...
Wood tercekat saat pemahaman itu menerobos otak. Akhirnya, setelah berbulan-bulan bergelung dalam kebingungan, ia bisa mendeteksi jenis emosi yang membelenggu hati akhir-akhir ini.
Cinta...
Rupanya, pelan tapi pasti ia sudah jatuh hati pada Hermione. Tanpa bisa dielakkan atau dipungkiri, hatinya sudah tercuri. Sudah menjadi milik gadis yang masih mengendus-endus jubah kusutnya dengan penuh minat.
"Tak bisakah kau hentikan perburuan feromon konyol itu?" desis Wood dongkol, teringat akan rombongan pemuda yang pernah dihirup aromanya. Kegiatan kurang kerjaan yang nyaris menggiring Hermione dalam perangkap nafsu syahwat tak bertanggung jawab.
Memelintir tongkat sihir, Wood teringat kembali momen di mana dirinya memergoki misi bunuh diri Hermione...
Seperti biasa, seusai latihan malam Wood bergegas menuju sekolah untuk mandi dan beristirahat. Biasanya Wood membersihkan diri dan berganti baju di kamar mandi ruang ganti. Tapi, kali ini hal itu tak bisa dilakukannya mengingat waktu mepet serta aturan main tentang jam malam.
Di saat dirinya melaju terburu-buru itulah manik cokelat emasnya menangkap sepenggal kepala Hermione yang melayang di pekarangan seberang.
Pada awalnya, Wood mengira kepala terbang itu cuma fatamorgana atau ilusi optik semata. Maklumlah, selama beberapa hari ini bunga tidurnya selalu diisi dengan kehadiran Hermione. Tak heran jika pemuda darah biru itu menduga bayangan wajah Hermione cuma imajinasi semata.
Berbalik arah, Wood tanpa sengaja menginjak dahan kenari yang berserakan. Umpatan keras yang meluncur dari diafragma Hermione secara otomatis menghentikan pergerakan langkahnya.
Detik itu pula Wood menyadari kalau refleksi wajah tadi bukan fantasi belaka. Hermione memang ada di dekatnya malam ini. Bersembunyi di balik kepompong Jubah Gaib yang efektif menutupi tubuh, tapi tidak bekas jejak kaki yang tercetak jelas di rerumputan.
Didorong rasa penasaran, Wood ikut berjingkat-jingkat di balik alang-alang, memata-matai seluruh gerak-gerik Hermione dengan intens. Termasuk interaksi berisik Hermione dengan si kucing gembrot, Crookshanks.
Di saat dua Prefek yang bertugas melintas, Wood melompat bersembunyi di balik tunggul pohon beringin. Untung saja perhatian duo Prefek itu teralihkan oleh hal lain. Jika Cedric Diggory getol memelototi sarang Slytherin, Penelope Clearwater sibuk menenangkan Crookshanks yang meronta-ronta.
Sepeninggal dua pelajar berprestasi itu, Wood berharap Hermione membatalkan skenario dan balik ke sekolah. Celakanya, meski hampir tertangkap tangan, Hermione tetap melesat menuju ruang ganti Slytherin. Ruangan luas yang malam ini lebih gelap dan senyap ketimbang biasanya.
Di bawah tatapan menyelidik Wood, Hermione membuka pintu dan menghilang dalam keremangan ruangan. Wood yang meyakini tujuan utama Hermione cuma mengambil beberapa jubah bekas pakai bersiap kembali ke sekolah. Yah, jika Hermione terus berhasrat meneruskan khazanah data aroma keparat, ia tentu tak punya hak veto untuk menghentikan agenda sableng tersebut.
Namun, prediksi mengerikan yang tiba-tiba menyembul memaksa Wood menyetop laju. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika Hermione tak berencana mengembat seragam bekas melainkan berkencan diam-diam dengan salah satu kru Slytherin?
Dengan Draco Malfoy mungkin?
Seeker pirang platina yang sering memperhatikan Hermione secara sembunyi-sembunyi.
Atau Marcus Flint?
Kapten merangkap Chaser yang menurut rumor berhasrat menjadikan Hermione sebagai salah satu gadis perawan taklukan.
Bayangan tentang Hermione yang pacaran di kegelapan ruangan bersama pria lain membakar dada Wood. Di saat tungku cemburu hampir menghanguskan kalbu, jeritan tertahan Hermione menyentak kesadaran.
Melaju secepat roket, Wood menggebrak engsel pintu kayu kamper hingga mental lima belas kilometer ke utara. Saat pintu terkuak, apa yang dilihatnya sungguh mencengangkan. Di depan matanya, Flint, seteru utamanya tengah memaksakan kehendak brutal pada Hermione. Pada gadis yang selama beberapa hari ini menghantui mimpi-mimpi malam hari.
Dirongrong kemurkaan tingkat tinggi, Wood mencengkeram leher Flint sebelum membanting Troll sialan itu ke deretan gerobak sampah. Tong bau comberan yang layak sekali menjadi tempat berlabuh bajingan brengsek sebejat Flint.
Sayangnya, lemparan dahsyat Wood kurang paten dan tak berakibat fatal. Hal itu terlihat dari ekspresi berpuas diri dan senyum licik yang menari-nari di sudut mulut Flint. Mulut tak tahu malu yang beberapa menit lalu mendarat tanpa izin di bibir perawan Hermione.
"Kemarahanmu salah alamat, Wood. Dia sendiri kok yang menyodorkan tubuh padaku," tuding Flint seenaknya, mengusap tetesan darah yang mengalir di dekat jidat. Jidat mesum yang ingin sekali dijitak Wood dengan tutup tong sampah.
"Bohong! Aku tak berbuat seperti itu," tangkis Hermione kalap, terdiam sejenak saat tangan kekar Wood meremas lembut bahunya.
Menengadahkan wajah, Hermione bertatapan dengan samudra cokelat Wood yang menyala. Pijar mata yang menyatakan kepemilikan dan kepercayaan yang tak bisa diganggu gugat.
"Kau sendiri yang menyelusup ke tempat ini, Princess. Aku cuma sukarelawan yang kebetulan ada dan bersedia," decak Flint kurang ajar, merapikan surai hitam yang berantakan.
Menjentikkan serpihan taoge basi yang hinggap di rambut, Flint memandang pongah, menantang Hermione untuk membantah pernyataan faktual barusan.
"Baiklah! Baiklah! Aku memang datang ke sini tapi bukan untuk bertemu denganmu!" Hermione menggertak berapi-api, menarik napas dalam-dalam saat jari tangguh Wood menekan halus tulang punggung. Tekanan menenteramkan yang efektif mengurangi semua kekalutan.
"Begitukah? Lalu, kenapa kau membobol pintu di saat aku sedang mandi? Pasti kau ingin memperkosaku di saat aku lengah, kan?" Flint mengedipkan sebelah mata, tertawa pendek saat mulut Hermione mengerucut seperti moncong ikan semaput.
"Jangan mimpi, Flint," semprot Hermione ketus, melaknati tongkat sihir yang terlepas dari jemari tangan. Kalau saja tongkat sihirnya masih ada, bibir atas bawah Flint pasti sudah terjahit rapi dalam hitungan detik.
"Oh, aku selalu memimpikanmu, Princess. Setiap malam. Dalam berbagai gaya dan posisi-"
"STUPEFY!"
Hermione terperanjat ketika kilat merah menghantam dada telanjang Flint, mengakhiri debat kusir mereka yang tak berujung pangkal. Kuatnya terjangan cahaya itu membuat tubuh Flint terjengkang dan menabrak tembok. Meninggalkan dentuman berdebam yang bisa membangunkan penyihir paling tuli sekalipun.
"Apa dia baik-baik saja?" Hermione bertanya takut-takut, mengawasi tongkat sihir Wood yang teracung sempurna. Sejuta dugaan yang ingin dilontarkan Hermione tersangkut di tenggorokan saat Wood menurunkan pandangan dan menatap dengan sorot tak tertebak.
"Dia cuma pingsan sementara. Jika bukan karena tempurung kepala Troll, dia pasti sudah gegar otak permanen," sambar Wood tak sabar, membungkuk untuk memungut tongkat sihir Hermione yang tergolek di dekat kaki.
Mengembalikan tongkat sihir ke tangan Hermione, Wood menggeret adik kelasnya untuk meninggalkan ruang ganti secepat mungkin. Mengencangkan pegangan di pinggang Hermione, Wood melangkah tak kenal lelah. Sama sekali tak memedulikan tuntutan Hermione untuk berlindung di balik Jubah Gaib.
Hermione yang tidak terbiasa gentayangan tengah malam tanpa bantuan Jubah Gaib tak henti-hentinya mengingatkan seniornya tentang sanksi melanggar jam malam. Hanya pelototan menohok Wood-lah yang menghentikan gelombang protes beralasan tersebut.
Untungnya, tak seperti yang dikhawatirkan Hermione, di sepanjang perjalanan menuju asrama, mereka tak berpapasan dengan para Prefek ataupun satpam sekolah, Argus Filch. Penyihir Squib kurang kerjaan yang sejak awal tahun ajaran silam berkoar-koar bakal mencambuki siswa pelanggar jam malam dengan pecut berapi penuh duri.
Setibanya di depan lubang lukisan Nyonya Gemuk yang tengah berlatih tari balet, Wood tanpa basa-basi menyenandungkan kata kunci. Selama menapaki lubang lukisan, Wood tak melepaskan dekapan protektif. Rengkuhan posesif yang menumbuhkan gelenyar menggoda di sanubari Hermione.
Berbeda dengan Hermione yang terbenam dalam kenyamanan, Wood dicekam kegundahan mendalam. Meskipun Hermione sudah lolos dari lubang jarum, Wood tahu problema belum selesai.
Sebagai bekas teman masa kecil yang bertransformasi menjadi seteru abadi, Wood paham betul watak bajingan Slytherin itu. Tabiat pantang menyerah yang kemungkinan besar bisa menenggelamkan Hermione dalam masalah.
Mengenyampingkan persoalan Flint yang akan diurus esok hari, Wood memusatkan perhatian pada perkara utama. Menyadarkan Hermione untuk melupakan jejak rekam penelitian feromon yang membahayakan. Perburuan aroma yang jika diteruskan bisa membuatnya sekarat tersengat cemburu.
Setibanya di Ruang Rekreasi yang lengang, Wood mendudukkan Hermione di sofa bersepuh emas yang disesaki bantal empuk beraneka ukuran. Menembakkan tongkat sihir ke perapian, Wood menyalakan kembali jilatan api yang hampir padam.
Untuk sesaat, kesunyian menggelisahkan terbentang di antara mereka. Hanya retihan api, derak napas dan irama detak jantung saja yang mengisi keheningan. Kebekuan menyiksa itu akhirnya mencair saat Hermione mengangkat mukanya yang tertunduk. Melayangkan seutas senyum kekanak-kanakkan yang mampu menumpulkan kewarasan Wood.
"Terima kasih atas pertolonganmu malam ini. Kalau kau tak ada, aku pasti sudah-" Hermione tak meneruskan dialognya, bergidik ngeri saat teror menyakitkan itu terputar kembali di memorinya.
"Itu semua tak akan terjadi seandainya penelitian tak berguna ini dihentikan," tandas Wood tegas, menonjok bantal empuk berbentuk wajik dengan jotosan kosong. Meremas bantal malang itu hingga bulu-bulu angsa di dalam bantal melesak keluar, Wood mendesak Hermione untuk menyetop aksi perburuan feromon.
"Kau harus menghentikan penelitan bau-bauan tak jelas ini sebelum masalah lain bermunculan. Dulu Finnigan dan teman-temannya, sekarang si bego Flint. Besok-besok entah apa lagi," sungut Wood suntuk, mengacak-acak rambut cokelat dengan kelima jari.
Meringis tipis, Hermione mengenang kembali perselisihan panasnya dengan Seamus Finnigan dan kawan-kawan. Pertikaian sengit yang baru bisa diselesaikan dengan jalur musyawarah setelah Harry dan Ron berbaik hati turun tangan.
Gelegar petuah Wood yang tak kenal titik koma membawa Hermione dari dasar ingatan. Meski kuping berdenging diberondong wejangan tanpa henti, hati Hermione membubung ke angkasa. Melambung dan tersanjung karena pemuda seapatis Wood ternyata menaruh perhatian ekstra padanya.
"Mulai sekarang, apapun yang terjadi, kau tak boleh mengendus anak laki-laki lain! Mengerti?" tekan Wood gahar, tersenyum samar saat Hermione menganggukkan rambut belukarnya.
Kegembiraan yang dinikmati Wood karena gadis yang dikasihi mau mematuhi instruksi memudar saat matanya memantau kondisi kemeja Hermione yang tak terkancing sempurna. Satu kancing atas terbuka lepas, mengindikasikan dahsyatnya ambisi Flint untuk menggagahi Hermione secara paksa.
"Brengsek! Dasar bandot busuk! Apa yang dia lakukan padamu?" gerung Wood bengis, menggemeretakkan gigi seakurat mungkin. Urat dan otot menyembul dari kepalan tinju Wood saat gambaran tangan cabul Flint yang menggerayangi Hermione berkelebat di benak.
"Err, tidak ada apa-apa. Ini cuma satu kancing copot. Dia belum sempat meraba-raba kok," gagap Hermione terbata-bata, terperangah melihat aura kebencian yang meletup-letup dari pori-pori Wood.
Sadar pembantaian massal bakal tercipta jika keberingasan Wood tak diredupkan, Hermione buru-buru memberikan informasi lain yang diperlukan. Cabikan laporan yang sialnya justru menambah daya ledak Wood.
"Dia cuma mencuri ciuman pertamaku. Jadi kau tak usah khawa-" pemaparan Hermione terpangkas saat Wood menghempaskan tubuh mungilnya ke belakang.
Terperangkap dalam gundukan bantal, Hermione tak bisa bergerak saat Wood merunduk dan melumat bibirnya. Menguncinya dalam ciuman lapar yang bergairah dan menuntut.
Hermione mendesah patah-patah saat lidah dan gigi Wood bermain di bibirnya, menghunjamkan bara panas yang menghangatkan indra dan organ-organ tubuh. Tanpa menghentikan tarian bibir, Wood membuka kancing kemeja Hermione.
Membelai torso depan Hermione dengan usapan selembut beludru, Wood memperdalam ciuman panas yang sensual, eksplosif dan membakar. Mengeraskan pelukan, Wood mereguk setiap desah kepuasan yang terlepas dengan pagutan buas yang menjanjikan kenikmatan panas.
Jari kaki Hermione melengkung tak terkendali saat Wood memiringkan wajah, dengan liar melahap dan memagut mulutnya. Setiap cumbuan intim dan kuluman sensual Wood mengirimkan sensasi elektrik yang beresonansi di sekujur tubuh Hermione. Sensasi mendebarkan yang berakhir perlahan-lahan saat Wood melepaskan belitan mulutnya.
Bernapas terengah-engah, Hermione mendesah saat matanya bertatapan dengan manik cokelat Wood. Sorot kepemilikan absolut terpampang nyata di sana, berpadu dengan kelembutan dan panas gairah.
Menyusuri sudut mulut Hermione dengan ciuman-ciuman halus, Wood berbisik pelan. Hembusan napas hangatnya menyapu wajah Hermione, meninggalkan jejak membakar yang menggetarkan.
"Itu tadi ciuman pertamaku, Hermione. Dan kuharap kau mau menganggapnya sebagai ciuman pertamamu."
Menggigit pelan bibir Hermione untuk terakhir kali, Wood mengangkat tubuh dan berbalik pergi. Berjalan lurus meniti tangga spiral, Wood melangkah pasti menuju kamar tidur anak laki-laki di lorong atas.
Meninggalkan Hermione yang terpana sembari memegangi kemeja sekolah yang menganga terbuka...
"Kalau kau tak tutup mulut, kupastikan luka di batok kepalamu menganga terbuka lagi, Flint."
Bibir Wood mencibir jijik saat Flint menyentakkan kepala ke belakang, menguntai derai tawa meremehkan. Memalingkan muka dari raut sombong Flint yang memuakkan, Wood berkonsentrasi menyelesaikan Ramuan Pendiri Bulu Kuduk. Ramuan super-sulit yang harus dimasak dan dituntaskan dalam kurun waktu tiga puluh menit.
"Galak sekali kau, Wood. Memangnya si Granger pacarmu sampai-sampai kau membela kehormatannya seperti itu?" selidik Flint penasaran, mencemplungkan serbuk taring kuntilanak Irlandia, Banshee ke kuali yang berkobar menggelegak.
"Dia milikku! Hanya milikku!" bentak Wood garang, memutilasi tali pocong hingga menjadi serpihan kecil. Melemparkan tali pocong ke kuali, Wood mengultimatum Flint untuk mengaduk-aduk kuali dengan putaran zig zag seratus kali.
Merutuk tertahan, Wood melaknati nasib apes yang mendera karena harus berpasangan dengan bajingan searogan Flint di kelas Ramuan. Jika tak mengingat beban nilai yang harus dicaplok, Wood mungkin sudah mengguyur ubun-ubun Flint dengan Ramuan Pendiri Bulu Kuduk yang baru setengah jadi.
"Hmm, kupikir kau tak berselera pada selangkangan wanita," ucap Flint kurang ajar, menyindir sikap dingin Wood yang tersohor. Sikap cuek dan alergi pada perempuan yang membuat Wood dinobatkan sebagai salah satu perjaka suci se-Hogwarts.
Memang, tak seperti Wood, mayoritas anak tahun terakhir, terutama penghuni rumah asrama Slytherin, sudah kehilangan keperjakaan mereka semenjak masa akil balig.
Flint sendiri misalnya.
Sejak umur tiga belas tahun, kerabat dekat trah ningrat Black itu sudah meniduri gadis-gadis kalangan atas dari berbagai asrama. Rekor statistik yang ironisnya berbanding terbalik dengan catatan prestasi akademik.
Mengerling sekilas, Wood mengamati profil bekas sobat masa kecilnya. Sebagai sesama penyihir darah biru yang berkepala batu dan menggemari sapu, hubungan mereka terbilang akur di awal-awal perkenalan mereka.
Namun, ikatan pertemanan itu hancur gara-gara ulah orangtua mereka yang gemar membanding-bandingkan satu sama lain. Perbandingan yang berujung pada persaingan sengit di antara mereka.
Rivalitas yang semakin meruncing semenjak mereka menetap di asrama yang berbeda. Dua asrama yang sejak zaman dahulu kala terlibat pertikaian dan permusuhan tak berkesudahan.
"Bagaimana kalau kita taruhan untuk menentukan status kepemilikan Granger?" ocehan ngawur Flint membuyarkan lamunan Wood. Mengangkat sebelah alis dengan sok, keturunan Phineas Nigellus Black, Kepala Sekolah Hogwarts yang paling rasis dan tak populer itu melanjutkan provokasi.
"Siapapun yang menang di pertandingan mendatang berhak mendapatkan Granger. Tentu saja pihak yang kalah harus mundur dan tak boleh ikut campur," cerocos Flint lancar, menyeringai lebar saat teman sekelasnya mendesis tak terima.
"Hermione bukan objek taruhan!" semprot Wood serius, nyaris menyenggol kuali berisi ramuan yang diracik dengan susah payah. Menyeimbangkan posisi kuali, Wood menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kembali ceceran logika yang berserakan.
"Ya sudah kalau kau tak bersedia. Itu berarti aku bebas merayu Granger kapanpun aku mau," pancing Flint provokatif, tersenyum miring saat Wood mendelikkan mata lebar-lebar.
Mengakhiri putaran kuali, Flint menikmati ekspresi kemarahan Wood yang terpeta nyata. Jika mau jujur, Flint sebenarnya cemburu pada nasib mujur bekas teman sepermainannya.
Pemuda yang dengan mudahnya mendapatkan semua mimpi dan keinginan.
Termasuk Hermione Jean Granger...
Satu-satunya penyihir non-darah murni yang paling didambakan. Satu-satunya gadis yang menghidupkan rasa kasih sayang sejati di dalam diri.
Oh ya, Flint tahu Wood tak akan percaya jika ia mengungkapkan emosi hakiki yang dirasakannya pada Hermione. Dengan reputasi penuh noda yang disandang, Wood pasti menyangka hasratnya pada Hermione cuma bergulat pada nafsu ranjang semata. Cuma sekadar gairah seksual yang akan memudar seiring berlalunya masa.
Padahal, seperti kata pepatah, dalamnya lautan bisa ditebak, dalamnya hati tak ada yang tahu, keterpikatan Flint pada Hermione melebihi unsur kesenangan duniawi. Tanpa disadari banyak orang, termasuk Wood yang bebal, Flint sungguh-sungguh menyayangi Hermione.
Menyayangi gadis yang tak akan pernah menjadi miliknya seutuhnya.
Ya, meskipun Lord Voldemort sudah musnah berpuluh tahun lampau, perbedaan kasta masih berakar di komunitas penyihir. Sebagai penyihir darah murni Slytherin, Flint diwajibkan bergaul dan menikah dengan sesama darah biru. Pembelotan terhadap dogma tersebut bakal berujung pada sanksi sosial dan penghapusan hak-hak waris. Vonis berat yang membuat Flint tak bisa leluasa menampakkan kasih sayang dengan leluasa.
Ironisnya, stigma kolot itu tak berlaku di keluarga Wood. Meski sama-sama bangsawan berdarah murni, klan Wood tak seortodoks dinasti Flint. Sejak dulu, orangtua Wood tak pernah mempermasalahkan status darah. Bagi mereka, bersatu dengan Muggle atau Darah Lumpur bukanlah aib najis yang harus dibasmi tuntas.
Memindai seisi kelas yang dipadati gelembung asap berjelaga dan gaung ledakan, Flint diam-diam menyesali putaran roda nasib yang tak beruntung.
Seandainya saja ia bukan dedengkot Slytherin, tentu ia tak perlu menyembunyikan bara asmara. Seandainya saja ia bukan putra tunggal konglomerat Flint, tentu ia bisa memilih sendiri pasangan hidupnya. Memilih sendiri wanita yang akan melahirkan anak-anaknya. Wanita yang akan mendampingi sampai akhir hayat.
Seandainya saja ia terlahir di keluarga senetral Wood, tentu ia tak perlu menyia-nyiakan hidup dengan mengencani gadis-gadis ningrat tak berotak. Perempuan-perempuan idiot yang cuma dijadikan pelampiasan nafsu dan depresi semata.
Sayangnya, ia bukan Oliver Wood.
Bukan pemuda menawan yang tak terikat perjodohan paksa.
Bukan pemuda hartawan yang dengan gampangnya memikat hati dan perhatian Hermione.
Mengetuk-ngetukkan tongkat sihir, menimbulkan percikan api terang yang menggosongkan permukaan meja, Flint mengenang kembali insiden yang terjadi di ruang ganti Slytherin. Insiden yang membuatnya menyadari cinta posesif Wood pada Hermione.
Pada gadis yang bertahun-tahun ini menghiasi impian-impian liarnya.
Tadinya, bercermin pada perilaku beku Wood di bidang asmara, Flint yakin kalau Kapten Quidditch Gryffindor itu tak akan pernah menikah atau mencintai seseorang. Nyatanya, praduga itu dipatahkan dengan sikap protektif Wood yang mati-matian melindungi Hermione.
Melindungi seorang gadis yang sialnya menyimpan perasaan serupa padanya.
Memelototi kuah ramuan yang berubah-ubah warna, Flint mendengus masam mengingat kedekatan Hermione dengan seniornya di Gryffindor itu. Meski tak saling berkata-kata, Flint tahu bahwa dua insan itu saling mencintai satu sama lain. Ketertarikan emosi yang ditunjukkan dengan serabut getar kimiawi di antara mereka.
Yah, meski dirinya dipastikan kalah dalam menggondol cinta Hermione, Flint tak sudi menyerah sebelum berperang. Demi nama baik Slytherin, ia tak akan semudah itu membiarkan gadis yang paling didambakan berpaling ke musuh bebuyutannya.
Jika Wood menginginkan Hermione, ia harus mengikuti semua manuvernya.
Jika Wood benar-benar serius dengan Hermione, ia wajib memenangkan duel Quidditch yang digelar pasca liburan Paskah mendatang.
Jika Wood sungguh-sungguh mencintai Hermione, ia harus mengalahkannya di turnamen terakhir mereka di Hogwarts.
Pertempuran pamungkas yang akan menentukan siapa Kapten terhebat seangkatan...
"Bagaimana Wood? Mau ikut taruhan atau tidak? Atau, jangan-jangan kau takut?" Flint menyeringai sinis, mendekap dua lengan berotot di depan dada. Gestur santainya tak urung memantik emosi Wood yang terombang-ambing dalam dilema.
Menarik napas pelan dan dalam, Wood berjuang menekan dorongan menggantikan bahan ramuan terakhir, sebotol darah vampir, dengan segentong darah preman keparat yang nekat menantangnya.
Sesungguhnya, jika berkaca pada nilai etika, sampai mati pun ia tak akan menjadikan Hermione sebagai barang taruhan. Namun, Wood lebih memilih mati ketimbang membiarkan pria seamoral Flint menyentuh tubuh gadis yang paling disayanginya.
Satu-satunya gadis yang bisa membangkitkan elemen cinta dan insting protektif di dirinya.
"Baiklah. Kuterima tantanganmu!" tandas Wood serius, mematikan api kompor dengan sekali ayunan tongkat sihir.
Menuangkan cairan Pendiri Bulu Kuduk ke dua tabung kaca anti pecah yang bertuliskan nama mereka, benak Wood berpusar-pusar memikirkan porsi latihan dan strategi permainan yang akan digarapnya.
Jika ingin keluar sebagai kampiun, tak ada jalan lain selain menggeber latihan semaksimal mungkin. Latihan gila-gilaan yang bakal dipraktikkan mulai malam ini.
Melihat respon antusias Wood, Flint tak menyembunyikan cengiran puas. Merampas tabung kaca miliknya, Flint sengaja menubruk bahu Wood saat meniupkan gertakan.
"Kalau begitu, bersiap-siaplah untuk menangis kalah. Asal kau tahu, aku ini Chaser dan tugasku menjebol gawang," gelak Flint, menekankan nada tak senonoh pada kata 'menjebol'.
"Justru kau yang akan menangis darah. Asal kau tahu saja, aku ini Kiper dan tugasku menjaga kehormatan gawang sekuat mungkin," balas Wood tak mau kalah, menatap lurus tepat ke iris kelabu Flint yang berkilat-kilat.
Menyeringai merendahkan, Flint beranjak menuju guru Ramuan mereka, Profesor Horace Slughorn yang bersemayam mengantuk di meja guru. Tatapan spekulatif Flint tak sedikitpun meninggalkan Wood saat memberikan tanggapan terakhir.
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu yang bisa mendapatkan Granger seutuhnya..."
"Busyet deh. Kalau begini terus bisa-bisa badan kerenku tak utuh lagi."
Menggosok-gosok gagang sapu dengan pelumas pembersih, Ron mengomel tak tentu arah. Selaput pelangi bola mata Ron yang sebiru selimut langit musim panas menyipit mengawasi Wood yang tengah berputar-putar gesit di angkasa.
"Kau kan cuma pemain cadangan, Won-Won. Tak seharusnya Wood menempa sekeras ini," keluh Lavender kesal, memijat-mijat pundak Ron yang dipenuhi bau ramuan penumbuh tulang, Skele-Gro.
"Nah itu dia. Pemain cadangan saja digempur latihan barbar seperti itu. Apalagi aku yang anggota inti," timpal Harry kelam, dengan muram memasukkan lengan ke jubah Quidditch bernomor punggung tujuh. Kostum prestisius yang hanya bisa dipakai oleh para Seeker utama.
"Wajar saja dia ngotot seperti itu. Ini kan kesempatan terakhir bagi Wood untuk meraih Piala Quidditch," bela Hermione, ikut-ikutan mengawasi gerakan lincah Wood di udara.
"Tapi ini terlalu berlebihan, Hermione. Masak kami tak bisa pulang ke The Burrow karena harus berlatih selama liburan Paskah kemarin," Ron memprotes konyol, terus melampiaskan kekesalan dengan mencabuti ranting sapu balap hingga nyaris setengah gundul.
Memusatkan bola mata pada sosok Wood yang berkibar-kibar di dekat tiang gawang, Hermione tak merespon omelan sahabat baiknya itu. Meski tak memahami seluk-beluk olahraga terbang, Hermione tahu seberapa penting makna laga terakhir ini bagi tim Gryffindor. Terutama bagi Kapten sekaliber Wood yang tak pernah menyabet Piala Quidditch di sepanjang karier kepemimpinan.
Jadi, dengan peluang satu-satunya yang tak mungkin terulang, tak heran jika Wood berubah jadi diktator gila. Tanpa iba menggodok anak buahnya untuk bersiap-siap menghadapi akhir kompetisi.
"Aku tak suka dengan cara Marcus Flint menatapmu, Hermione."
Protes sengit Harry membelokkan konsentrasi Hermione yang terfokus pada kiprah Wood di angkasa. Mengikuti arah lirikan Harry, Hermione mengerling ke ujung lapangan. Lokasi di mana skuat Slytherin tengah melakukan pemanasan sebelum memulai kejuaraan.
Di sana, di tengah-tengah anggota inti yang sibuk merenggangkan badan, Marcus Flint bersedekap secongkak burung merak. Sorot intens dan panas mata sewarna halilintar-nya terus tertumbuk pada Hermione. Tak berkedip secuil pun meskipun Harry dan Ron jelas-jelas menikamkan tatapan setajam pisau cukur.
"Akhir-akhir ini Flint memang sering mengamati Hermione dengan pandangan syur seperti itu," renung Lavender, meningkatkan tensi pijatan refleksi. Mengawasi Hermione yang tercenung, Lavender berbaik hati memperingatkan teman sekamarnya untuk meningkatkan kewaspadaan.
"Hati-hati, Hermione. Flint itu predator wanita penganut prinsip habis manis sepah dibuang. Dia gemar meniduri gadis perawan meskipun sudah punya tunangan. Kau tahu, si manusia babon Millicent Bulstrode," beber Lavender, membalurkan minyak tawon ke punggung Ron yang lebam-lebam. Bekas memar keunguan yang diperoleh berkat latihan intensif tanpa henti.
"Awas kalau dia berani macam-macam pada Hermione," ancam Ron dan Harry serempak, memeragakan gerakan menyembelih kepala. Gerakan sadistik yang setidaknya efektif menghapus tatapan Flint yang tak putus-putus.
"Dia tak akan berani macam-macam denganku. Aku sudah punya penjaga rahasia," sahut Hermione, menepuk-nepuk daun kering yang menempel di lipatan rok sekolah.
"Penjaga rahasia? Apa maksudmu?" Ron dan Harry bertanya bersamaan, mendengus tak sabar saat Hermione mengedikkan sebelah bahu.
"Ups, sepertinya aku harus ke tribun penonton. Laga sebentar lagi dimulai," ucap Hermione sok berahasia, menunjuk wasit pertandingan, Madam Rolanda Hooch yang berteriak-teriak meminta kedua tim untuk segera berkumpul di lapangan.
Tak mengindahkan protes tak puas Ron, Hermione melambaikan tangan dan melaju beriringan bersama Lavender menuju kursi penonton. Untungnya, selama perjalanan, mulut comel Lavender tak bawel mempertanyakan siapa penjaga rahasia yang dimaksud Hermione. Jika dengan Harry dan Ron saja Hermione tak mau terbuka, apalagi dengan Lavender? Dengan gadis ceriwis bermulut ember somplak yang gemar melanggar privasi orang lain.
Ya, sampai hubungannya diresmikan atau setidaknya sampai ia yakin tak bertepuk sebelah tangan alias kegeeran sendirian, Hermione tidak akan membocorkan garansi menjanjikan yang ditawarkan Wood padanya.
Jaminan perlindungan yang disodorkan bersamaan dengan jubah sekolah beraroma kayu cendana. Aroma menggoda yang setiap malam membungkus jiwa dan raga dalam kehangatan surgawi.
Mengambil posisi di samping Ginny yang tengah mengudap sebungkus keripik kentang, Hermione tersenyum-senyum sendiri. Mengenang kembali peristiwa menyenangkan yang terjadi sehari sesudah liburan Paskah.
Waktu itu, seperti hari-hari sebelumnya, Hermione duduk sendirian di Ruang Rekreasi, menyelesaikan PR dan belajar mati-matian sampai larut malam. Harry dan Ron sudah dari setengah jam lalu meluncur mundur ke kamar tidur, kelelahan akibat berlatih Quidditch di sela-sela aktivitas sekolah.
Meskipun semua tugas akademik sudah selesai, Hermione tetap berdiam di ruangan yang sunyi senyap. Bersabar menanti kedatangan Oliver Wood. Pemuda yang menjauhinya semenjak memberinya ciuman panas yang menggetarkan jiwa.
Ciuman berani yang menghapus semua jejak kecupan Flint di bibirnya...
"Itu tadi ciuman pertamaku, Hermione. Dan kuharap kau mau menganggapnya sebagai ciuman pertamamu."
Ya, ya, oh ya ya! Sudah pasti Hermione menganggap ciuman Wood sebagai ciuman pertama. Jika dibandingkan dengan sensasi bibir Wood, ciuman Flint tak ada apa-apanya. Pergerakan bibir Flint di mulutnya sehalus kepakan sayap kupu-kupu, tak seperti lumatan bernafsu yang diberikan Wood untuknya.
Memegangi pipi yang tersipu-sipu, Hermione menutup komik Petualangan Martin Miggs si Muggle Gila yang sedari tadi dibolak-balik tanpa tujuan. Memasukkan komik milik Ron ke ransel besar yang bisa memuat tiga anak kecil sekaligus, Hermione melompat ke atas sofa dan bergelung nyaman di antara tumpukan bantal.
Memandangi kandil lilin yang berkerlap-kerlip di kasau, Hermione mengenang aroma tubuh Wood yang menghipnotis. Wangi menenteramkan yang membuktikan kalau risetnya selama ini benar adanya.
"Jodoh bisa ditentukan melalui kecocokan aroma. Yup, itu benar sekali," Hermione bergumam puas, merebahkan raga penatnya di bantalan sofa.
Di saat Hermione bergolek-golek menikmati alam pikiran, bunyi langkah kaki terdengar dari arah lubang lukisan. Terbujur membeku, Hermione berpura-pura tidur saat siluet Wood membayang di dekatnya.
Sejujurnya, saat itu Hermione ingin melompat bangun dan menyatakan argumentasi pada kakak kelasnya itu. Mengungkapkan fakta bahwa Wood tak bisa menghindarinya lebih lama lagi sebab mereka ditakdirkan hidup bersama.
Namun, air muka Wood menciutkan tekad Hermione. Malam ini Wood tampak berbeda. Aura tenang dan datar yang biasa melingkupinya memudar, berganti dengan atmosfer jantan yang berbahaya.
Bulu mata Hermione bergetar saat tatapan panas Wood membelai tubuhnya. Meneguk ludah sepelan mungkin, Hermione berupaya tak terlonjak ke atap saat Wood membungkuk dan mengecup setiap senti kulit wajahnya dengan penuh kasih sayang.
Hembusan napas Wood yang menyapu pori-pori nyaris membuat Hermione mendesah senang. Lenguhan puas hampir terlepas dari tenggorokan ketika Wood menyurukkan wajah ke lehernya. Menggigit lembut dan mempermainkan titik sensitif yang berdenyar-denyar.
Jentikan lidah Wood di daun telinganya membuat Hermione tak bisa berpura-pura tidur lebih lama lagi. Namun, belum sempat Hermione membuka mata, gumaman rendah Wood membuyarkan semua tekad.
"Manis sekali. Harum vanila karamel. Aroma es krim kesukaanku," Wood mendesah halus, bibirnya setia berkelana di ceruk leher Hermione. Mengecup, menjilat dan menyesap pelan.
Puas menjelajahi leher dan telinga Hermione, Wood mengangkat wajah, tampak tak sadar dengan helaan napas Hermione yang memburu. Mengusap-usap kedua pipi Hermione dengan jemari, Wood berbisik mantap. Gumaman posesif yang membuat Hermione terhenyak dalam keheningan.
"Aku tak akan pernah melepaskanmu, Manis. Kau milikku. Milikku untuk selamanya."
Mengintip dari sela-sela bulu mata, Hermione melihat Wood melepas jubah sekolah yang membungkus tubuh. Hermione berusaha tak bergerak saat Wood merunduk dan menyampirkan jubah hitam itu di tubuhnya.
Mengecup pelipis Hermione, Wood kembali mengulangi janji-janji. Komitmen untuk melindungi Hermione dari Marcus Flint dan makhluk idiot lain yang berniat buruk padanya.
Usai mengucapkan tekad, Wood meninggalkan Hermione yang meringkuk berselimutkan jubah. Mantel beraroma kayu cendana yang mulai detik itu menjadi teman tidur Hermione di setiap malam.
Hermione cengengesan memikirkan jubah Wood yang tersimpan rapi di lemari kamar. Jubah yang sampai kapanpun tak akan dikembalikan meskipun sang pemilik beberapa hari belakangan ini menyindir-nyindir tentang barang pentingnya yang dipinjam seseorang.
Gemuruh sorakan dan deru tepuk tangan memecahkan imajinasi Hermione. Geragapan, Hermione memalingkan muka ke segala arah, sedikit kebingungan dengan keriuhan suasana yang melingkupi.
"Makanya jangan bengong saja dari tadi!" omel Lavender saat Hermione menanyakan jalannya pertandingan. Mengibaskan rambut ikal panjang yang dihiasi kertas perada gambar singa, Lavender menceritakan ulang sebagian laga yang terlewatkan Hermione.
Menurut Lavender, perlombaan kali ini sangat spektakuler sebab sedari tadi korps Slytherin selalu gagal membobol gawang Gryffindor yang dijaga Wood. Kemandulan Chaser Slytherin berbanding terbalik dengan kinerja Chaser Gryffindor yang sejak awal pertandingan sukses menyarangkan gol ke gawang lawannya.
Berseri-seri, Hermione mengambil teropong dan mengawasi Wood yang hilir-mudik di tiang gawang. Ekspresi berpuas diri terpahat di paras aristokratnya, berlawanan dengan roman gusar yang membayang di wajah Marcus Flint.
Saat Harry berhasil menangkap Golden Snitch, bola emas kecil bersayap penentu kemenangan, ledakan kegembiraan menggetarkan seantero lapangan. Teriakan selamat dan senandung sanjungan meluber susul-menyusul, bercampur baur dengan pujian berbusa-busa dari komentator pertandingan, Lee Jordan.
Selain mengumumkan skor akhir 300-0 untuk Gryffindor, Lee juga menyebut Wood sebagai pemecah rekor tak kebobolan. Prestasi yang kontan menempatkan Wood sebagai Kiper Tertangguh se-Hogwarts.
"Brilian! Ini clean sheet namanya," Dean Thomas, penyihir kelahiran Muggle yang ngefans setengah mati pada tim sepakbola Liga Inggris, West Ham United melompat-lompat kesetanan, memeluk erat-erat Neville Longbottom yang bercucuran air mata haru.
Merangsek menembus pagar pembatas, Hermione bergegas menuju lokasi penganugerahan Piala Quidditch. Berdesak-desakan dengan murid-murid lain, minus pelajar Slytherin yang menyumpah-nyumpah di pinggir lapangan, Hermione tersenyum berseri-seri saat Wood mengangkat tinggi-tinggi trofi kemenangannya.
Di bawah siraman mentari musim semi, wajah sumringah Wood jauh lebih bercahaya ketimbang kilau Piala Quidditch yang dibopongnya. Di antara tepukan dan pelukan selamat yang menghampiri, mata Wood berputar mencari-cari. Tatapan cemerlangnya melembut saat bersirobok pandang dengan Hermione yang bercokol di tengah-tengah kerumunan.
"Ayo kita ke Ruang Rekreasi, Hermione. Kita pesta gila-gilaan semalam suntuk," pekik Lavender antusias, mengibar-ngibarkan tangan ke arah tim Quidditch Gryffindor yang berpelukan gembira.
Mengangguk pendek, memalingkan tatapan dari Wood yang tengah menyerahkan Piala Quidditch ke Harry, Hermione memutar tumit. Baru enam langkah, Hermione tersentak saat Wood meneriakkan namanya.
Menengok ke belakang, Hermione disambut iris cokelat keemasan Wood yang bersinar memuja. Tak menghiraukan cekikikan Lavender maupun sorakan ribut para penonton, Wood mengalungkan lengan ke pinggang Hermione. Mendesak gadis seharum vanila karamel itu untuk bersandar di dada kokohnya.
"Sudah saatnya kau mengembalikan barang yang kau pinjam, Manis," tutur Wood lembut, merujuk pada jubah sekolah miliknya yang ada di tangan Hermione. Jubah yang seharusnya sudah dikembalikan jauh-jauh hari.
Membenamkan wajah di lekuk bidang dada Wood, Hermione meringis mendengar tuntutan itu. Yah, tadinya Hermione berharap Wood menjemput dan memeluknya karena ingin menyatakan cinta di depan massa.
Bukannya meminta jubah yang menjadi selimut hangat selama ini...
Tapi, apa mau dikata. Jubah itu cuma dipinjamkan sementara. Wood pasti memberikan jubah untuk mencegah serangan masuk angin, bukannya untuk diajak berguling-guling di alam mimpi.
Lagipula, jika si pemilik sudah menagih, tak ada yang bisa dilakoni Hermione selain mengembalikannya.
"Baiklah, aku akan mengembalikan jubahmu," ucap Hermione sedih, tak suka memikirkan bakal tidur tanpa dekapan wewangian Wood. Aroma menggairahkan yang membuatnya bermimpi basah setiap malam.
"Padahal aku sangat menyukai keharuman jubahmu. Aku selalu tidur nyenyak jika berselimutkan jubahmu," tutur Hermione jujur, memutar-mutar ibu jari di dada Wood dalam gerakan melingkar. Sama sekali tak sadar kalau gerakan naturalnya memancing geraman rendah Wood yang terbakar api gairah.
Menahan hasrat melempar Hermione ke rerumputan dan bercinta sampai terengah-engah, Wood membingkai wajah Hermione dengan kedua tangan. Ujung jemarinya menyusuri rona pipi yang merayap naik di pipi Hermione.
"Kau tak butuh mantel untuk tidur nyenyak, Manis," gumam Wood seduktif, menyeringai saat sepasang mata coklat Hermione menyiratkan kebingungan mendalam.
Mencium sudut bibir Hermione, aktivitas yang langsung dihadiahi siulan dan tepuk tangan bersemangat, Wood mengulang pernyataan. Pernyataan terselubung yang mengindikasikan niat untuk menjadikan Hermione miliknya untuk selamanya.
"Mulai sekarang dan selamanya, aku akan menjadi selimut hidupmu," cetus Wood halus, meluapkan semua rasa cinta menggelora melalui satu ciuman mendebarkan.
Ciuman sarat kepemilikan yang menjanjikan kehidupan indah menggetarkan di masa depan...
Bunyi dengkuran halus membangunkan Wood dari belitan mimpi indah menggetarkan. Menguap kecil, Wood menghirup aroma surga yang merasuki hidung. Wangi vanila karamel yang bercampur dengan aroma percintaan mereka.
Mengamati wajah pulas istrinya, Wood membelai ikal megar Hermione yang menyebar di bantal. Gelombang posesif menerjang Wood saat pandangannya terkunci di jari manis Hermione yang berhiaskan cincin pernikahan.
Cincin simbol bersatunya cinta mereka.
Persekutuan yang baru bisa dikukuhkan setelah memakan waktu bertahun-tahun.
Menjalin jari manis Hermione dengan jemarinya, berhati-hati agar tak membangunkan istrinya yang mendengkur nyenyak, Wood merenungkan napak tilas perjalanan cintanya, termasuk kesabaran tingkat tinggi yang harus dihimpunnya.
Tadinya, sewaktu menyatakan cinta di final Piala Quidditch, Wood berharap bisa langsung mengikatkan diri dengan Hermione mengingat penyihir punya aturan pernikahan yang lebih longgar ketimbang kaum Muggle.
Sayangnya, ambisi Wood untuk sesegera mungkin menjadi selimut hidup Hermione harus tertunda sebab orangtua Hermione menuntut putrinya untuk menyelesaikan pendidikan.
Akhirnya, setelah menunggu delapan tahun penuh (empat tahun untuk masa sekolah Hogwarts dan empat tahun berikutnya untuk sesi kuliah), Wood bisa merealisasikan mimpi untuk menikahi Hermione.
Menikahi seorang wanita yang memberikan banyak berkah dan anugerah tak terhingga untuknya...
Remasan lembut di jari mereka yang terjalin menyadarkan Wood dari kenangan masa silam. Tersenyum hangat, Wood menatap mata mengantuk istrinya yang mengerjap-ngerjap.
"Selamat pagi, Mrs Wood," Wood mencium pipi Hermione, terkesiap saat istrinya berguling dan merayap naik ke atas tubuhnya.
"Selamat pagi juga, Mr Wood," balas Hermione, menyenderkan pipi di dada suaminya. Isyarat mesra yang menunjukkan kalau pejabat penting Kementerian Sihir itu enggan bangun dari ranjang besar mereka.
Menyeringai seksi, Wood mengelus pundak istrinya yang bergulung seperti anak kucing. Meski Wood seratus persen bersedia mengulangi adegan percintaan panas semalam, saat ini mereka tak punya banyak waktu.
Sebentar lagi, dua balita kembar mereka pasti menghambur masuk ruangan. Dan Wood tentu tak mau aktivitas suami-istri mereka jadi tontonan gratis anak di bawah umur.
Menepuk dan mencubit bokong Hermione, membuat istrinya mengikik geli, Wood meminta Hermione untuk segera berpakaian dan bersiap-siap. Menyeringai melihat ekspresi ogah-ogahan istrinya, Wood membisikkan janji-janji yang membuat mata Hermione membulat senang.
"Nanti siang saja, Manis. Di ruang kerjaku di markas Puddlemere United."
Mengedipkan sebelah mata, Wood bangkit dari kasur, dengan cekatan mengenakan mantel tidurnya. Memungut jubah tidur Hermione yang tergeletak di lantai, Wood dengan lembut membantu istrinya memakai gaun penuh renda tersebut.
Di saat jemari Wood tengah mengencangkan ikatan mantel Hermione, derap langkah kaki dan derai tawa terdengar di depan pintu kamar. Sejurus kemudian, pintu kamar terpentang lebar, menampakkan dua sosok tawon mungil yang berdengung-dengung kegirangan.
Wood terbahak melihat kostum Wimbourne Wasps yang membungkus dua balita kembarnya. Setiap pagi, dua buah hatinya itu selalu datang menyambangi dengan memakai kostum tim Quidditch yang berbeda-beda, sesuai dengan musim atau suasana hati mereka.
Kali ini, selaras dengan awal musim panas, dua bocah penggila Quidditch itu memakai seragam Wimbourne Wasps. Tim papan tengah Liga Quidditch yang terkenal dengan lambang tawon kuning cerah.
"Daddy! Daddy! Hari ini ajari kami gaya Bergantung Ala Kukang!" si kembar melompat-lompat penuh semangat, menirukan gaya monyet jungkir-balik.
Di sela-sela kesibukan sebagai pemilik saham terbesar klub Puddlemere United, Wood memang rutin melatih buah hatinya teknik-teknik bermain Quidditch di halaman belakang kastil mereka yang luar biasa luas.
Menggendong dua balita kembar yang memekik-mekik gembira, Wood menghampiri istrinya yang tersenyum ceria. Melingkarkan lengan di pundak Hermione yang balas mendekap erat-erat, Wood meresapi aroma surga yang menaungi.
Wangi bedak bayi anaknya dan aroma vanila karamel istrinya.
Oh ya...
Benar-benar terasa seperti di surga...
TAMAT
