A/N: Hi, Minna-san! Rai kembali lagi dengan sebuah fict TwoShot. XD
Beribu-ribu terima kasih untuk Chiaki Megumi yang telah bersedia mem-beta fict ini. Arigatou senpai! Ternyata di-beta itu enak banget. XDD
Happy reading Minna-san! ^^
Warnings: AU. Shounen ai a.k.a Boys love. Bit OOC maybe.
Do not like, do not read.
Disclaimer: I do not own Naruto.
Soulmate Therapy
by
Raika Carnelian
Special Thanks
to
Chiaki Megumi
-
-
-
7.13 p.m.
Kegelapan yang nyaris sempurna mulai menyelimuti kota Tokyo yang padat. Lampu berwarna-warni yang berasal dari gedung-gedung pencakar langit pun telah terlihat sejak kurang lebih satu setengah jam yang lalu. Membuat kota ini terlihat indah. Ya, tentu saja begitu.
Aku menatap pemandangan yang terlihat dari jendela besar ruangan ini dalam diam. Kota Tokyo yang ramai. Bahkan dari dalam sini aku bisa membayangkan betapa bisingnya di luar sana. Suara kendaraan berlalu-lalang, alunan musik yang sengaja diputar dengan volume keras, gumaman para manusia yang tercampur jadi satu sehingga tak bisa ditangkap maknanya, dan lain-lain lagi.
Memikirkan hal itu saja, rasanya sudah membuatku semakin malas untuk keluar dari ruangan ini. Apalagi melangkahkan kaki menuju lift terdekat, turun dengan lift sampai ke lantai dasar, menghubungi supir agar dijemput di depan gedung, dan memulai perjalanan untuk pulang ke rumah.
Aku—rasanya—menggelengkan kepala pelan.
Pulang. Ke. Rumah.
Tiga kata pendek itu sudah cukup untuk meyakinkan diriku agar membatalkan niat yang tadi sempat terbersit. Aku tidak akan pulang sesore ini hanya karena rapat yang diadakan tadi sore sudah selesai. Selepas makan malam nanti, aku akan kembali ke ruanganku saja. Ya. Kembali ke ruangan kantor. Hal itu mengingatkanku pada setumpuk laporan yang belum kubaca dan kutandatangani.
Aku membetulkan posisi dudukku agar lebih nyaman dan memejamkan mata. Merasakan hembusan udara sejuk dari Air Conditioner yang menyentuh kulitku lembut. Sejenak, aku merasa tengah dimanjakan hingga rasa kantuk menyerangku.
Mungkin, aku sudah hampir tertidur—atau bahkan memang sudah tidur—ketika suara decitan pintu terbuka membangunkanku. Aku menegakkan tubuh dan menatap ke arah pintu yang kini dalam keadaan setengah terbuka.
"Boleh aku masuk?"
Hyuuga Neji, salah satu peserta rapat tadi sore, menjulurkan kepalanya sambil menatapku. Ia termasuk salah satu rekan bisnis perusahaanku, sekaligus teman sekelas saat aku masih di bangku SMA dulu. Kami berpisah saat lulus, karena ia akan melanjutkan kuliahnya di London. Pada saat acara kelulusan itu, siapa yang akan menyangka kalau aku akan bertemu lagi dengannya sebagai rekan bisnis? Permainan takdir memang tak bisa ditebak. Terkadang.
Aku mengangguk singkat pada pria berambut panjang itu. Kini ia menutup pintu dan berjalan pelan ke arahku. Baru kusadari bahwa ia membawa sebuah minuman kaleng yang belum terbuka di tangan kirinya. Bukan apa-apa, itu hanya mengingatkanku pada kopi yang tadi diantarkan oleh seorang office boy dan belum aku minum. Sial. Pasti sekarang kopi itu sudah dingin.
"Tadi kau tertidur?" tanya Neji berbasa-basi. Dapat kulihat ia mengambil tempat untuk duduk di kursi sofa sebelahku dan mulai membuka minuman kalengnya. Beberapa tetes air yang berasal dari kaleng itu jatuh dan membasahi celana abu-abunya.
"Hn." Aku merubah posisiku sehingga kini tubuhku menghadap ke arahnya. Mata hitamku menatap lurus ke mata putihnya yang tidak sedang melihatku. Ia terlalu sibuk dengan minuman kalengnya, aku rasa. "Kenapa kau ada di sini?"
Kepalanya terangkat, memperlihatkan wajahnya secara menyeluruh padaku. Sebelah alisnya terangkat, dan bibirnya membentuk seringai yang semakin lama semakin lebar. Gatal rasanya tanganku ingin meninju wajah itu.
"Kenapa katamu?" Ia menenggak minuman sodanya beberapa teguk sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, "Salahkah jika aku menyempatkan diri untuk mengunjungi sahabat lama?"
Aku mendengus. Mengunjungi sahabat lama? Yang benar saja.
"Hn. Terserahlah."
Aku meraih cangkir kopi dari atas meja dan meneguk isinya. Baru setengah teguk, aku sudah menjauhkan gelas itu dari mulutku dengan dahi menyernyit tak suka. Aku memang benci kopi yang sudah dingin.
Dari ekor mataku, kulihat pemuda berambut coklat itu meletakkan minuman kalengnya ke atas meja. Terasa bahwa sepasang mata putih itu tengah menatapku, aku pun mengangkat kepalaku untuk balas menatapnya.
"Kalau kopinya sudah dingin, kenapa tetap kau minum?" ujarnya tepat setelah aku menatap matanya lurus-lurus.
Aku mendengus lagi, sejak kapan Neji peduli pada keadaan orang-orang di sekelilingnya? Aku pun mengukir seringai di wajah, "Kau tidak seperti Hyuuga saja." Dan dapat kudengar ia terbahak mendengar komentar singkatku tadi.
"Mungkin," ujar pria itu di tengah-tengah tawanya. "Orang bisa berubah, kau tahu?" Ia berhenti sebentar sambil membetulkan posisi duduknya, sebelum kembali melanjutkan, "Tapi menurutku kau tidak berubah, Sas. Kau tetap Uchiha Sasuke yang kukenal dulu."
"Hn." Dan aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Langit sudah benar-benar gelap sekarang, walau keramaian kota di bawah sana tetap tidak berubah. Aku menghela nafas pelan, pembicaraanku dengan Neji sekarang ini… Huh! Tidak nyaman sekali. Walau mungkin aku terlihat tidak peduli, tapi sebenarnya aku merasa sangat tidak enak.
Hei! Seperti yang dikatakan Hyuuga tadi, setiap orang itu bisa berubah. Dan aku yakin, Uchiha Sasuke yang sekarang sudah tidak sedingin Uchiha Sasuke yang dulu. Walau begitu, jangan pernah berharap aku bisa mencairkan suasana. Aku tidak pernah ahli dalam bidang itu.
Aku tidak pernah ahli dalam bidang itu.
Hatiku selalu terasa sedikit sakit saat memikirkan hal ini. Rasa sakit yang sudah sangat familiar, rasa sakit yang aku ketahui penyebabnya dengan teramat sangat jelas. Mencairkan suasana. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk sedikit saja mau belajar bagaimana caranya seseorang itu mencairkan suasana. Yeah… Untuk apa aku harus menguasai hal itu, jika aku tahu akan ada seseorang yang selalu siap sedia melakukan hal itu untukku?
Seseorang yang aku tahu akan setia terus bersama menemaniku dalam saat-saat senang dan susah, sehat maupun sakit, hidup dan mati. Orang itu, dia, sangat ahli dalam urusan mencairkan suasana bukan?
Dan mau tak mau, entah aku merasa rela atau terpaksa, bayangan itu akan memenuhi benakku lagi. Membuat hatiku semakin tertusuk, perih. Sosok itu… dengan sepasang mata biru yang hampir selalu menatapku dengan tatapan hidup. Rambut pirangnya yang kuingat—meski sudah lama aku tidak menyentuhnya lagi—sangat halus. Pipinya yang terkadang merona merah jika aku menggodanya. Kulit kecoklatan lembut yang selalu terasa lembab. Suara serak-serak basahnya bahkan masih terngiang di telingaku.
Ya! Ia tersenyum padaku… Ia tertawa untukku…
…dulu.
Astaga! Tuhan…
"Sudah makan malam?" Suara Neji menyadarkanku. Membangunkanku dari alam khayal yang tidak kuinginkan. Yeah… Beribu terima kasih untukmu, Neji!
Aku menegakkan tubuhku. Dapat kurasakan setetes keringat mengalir di kening. Dapat kurasakan nafasku yang tidak teratur. Dapat kurasakan dadaku naik dan turun dengan irama yang tidak stabil. Membayangkan sosok orang itu memang selalu membuatku seperti ini. Aku menghirup dan menghembuskan nafas keras-keras. Berusaha menenangkan tubuhku.
"Sas, kau baik-baik saja?" Neji bangkit dari duduknya. Dengan kedua mata putihnya itu, ia menatapku khawatir.
"Hn." Aku menyenderkan tubuhku ke kursi lagi. Dapat kulihat pria itu juga kembali duduk ke kursinya. "Aku belum makan malam. Nanti saja, kurasa." Aku mengalihkan pembicaraan ke topik yang seharusnya. "Bagaimana denganmu?"
Pemuda berkemeja putih itu mengangguk, "Sudah. Tadi diajak Aburame untuk makan di sebuah restoran Yakiniku." Kemudian ia menyunggingkan senyum, "Bagaimana mungkin kau belum makan malam. Sekarang kan—" ia berhenti dan menatap jam besar berwarna hitam yang di gantung di atas dinding, sebelum melanjutkan ucapannya lagi, "—sekarang sudah hampir pukul delapan." Senyum di bibirnya berganti menjadi seringai, "Kalau kau sakit, bagaimana?" Ia mengejekku, seperti saat dulu kita masih di bangku SMA.
Aku mendengus geli, "Jangan konyol, Hyuuga. Kalau kita masih SMA, pasti tinjuku sudah mendarat di wajahmu sejak tadi." Aku membalas seringainya.
Dan ia tertawa.
-
-
-
Malam ini rupanya bukan kuhabiskan untuk menyelesaikan pekerjaan di ruangan kantor. Karena kenyataannya, Neji mengajakku mengobrol di ruang istirahat itu sampai malam. Kami membicarakan banyak hal. Kehidupannya, kehidupanku, kabar keluarganya, tentang keluargaku, olahraga, masalah bisnis, dan banyak lagi. Suasana tengang yang tadi terbentuk saat ia pertama kali mendatangiku, hilang. Aku dan Neji kembali akrab, seperti sepuluh tahun yang lalu.
"Kau masih ingat dengan Haruno Sakura?" Neji bertanya padaku.
Haruno Sakura. Teman sekelas kami saat di kelas dua belas dulu. Primadona sekolah. Cantik dan berasal dari keluarga terpandang. Meski begitu, aku tak pernah bisa menyukainya. Ia gadis yang luar biasa menyebalkan, setidaknya saat kami masih sekolah. Mungkin sekarang dia sudah berubah. Entahlah…
"Dia baru saja bertunangan dengan seseorang, kau tahu?" Neji menatapku serius. "Pesta akan diadakan di rumahnya lusa malam."
Oh… Pesta itu. Aku mengangguk pelan, "Ya. Aku sudah membaca undangannya tadi pagi. Dia akan bertunangan dengan seorang pemain sebak bola, setahuku." Aku memutar bola mataku. "Kenapa tiba-tiba membicarakan tentang hal itu?"
Neji menjilat kedua bibirnya sebelum menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, "Kau datang ke acara itu nanti?"
Aku meluruskan kedua kakiku sembari bersidekap di depan dada, "Nyonya Haruno itu sahabat ibuku. Dan ibuku pasti takkan suka melihatku tak datang ke acara pertunangan anak sahabatnya." Aku mengangkat kedua bahuku, "Kurasa mau tak mau, aku harus datang."
"Kukira ibumu sudah meninggal sembilan tahun yang lalu."
Aku menatapnya dengan tatapan membunuh. Hyuuga sialan!
Pria berambut coklat itu tertawa pelan sambil mengangkat telapak tangannya ke arahku, "Maaf… maaf…" Ia berdehem pelan, "Jadi kau akan datang ke sana dengan siapa? Datang ke pesta Haruno itu, maksudku."
Aku mengangkat sebelah alis, "Dengan siapa, katamu? Supir mungkin…"
"Jangan pura-pura bodoh," Neji mendengus, "Pasangan maksudku. Siapa yang akan kau bawa sebagai pasanganmu nanti?"
Aku terdiam. Perlahan, kualihkan pandanganku dari pemuda di hadapanku itu, "Memangnya itu harus?" Aku menghela nafas, "Kau sendiri datang dengan siapa?"
Neji bangkit dari duduknya. Seringai kembali bermain di wajah putihnya, "Dengan kekasihku, tentu." Oh ya, benar. Dia sudah bercerita padaku tadi tentang pemuda yang menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir ini. "Kalau kau?"
"Sendirian."
Neji mengangkat alis dan berseru dengan nada horor, "Jangan bilang padaku kalau kau belum pernah memiliki kekasih!"
Aku mendengus pelan, "Memangnya aku berkata seperti itu?"
Ia menghela nafas pelan. "Dan jangan bilang kalau sekarang seorang Uchiha Sasuke sedang tidak memiliki pacar," ujarnya pelan.
Kali ini, aku tidak menjawab. Tapi mata hitamku tetap memandang sepasang mata putih itu lekat-lekat.
Neji bersiul keras, "Jadi sekarang kau sedang single, hmm?" Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. "Hei, aku punya beberapa orang kenalan. Mereka masih single juga tentu, sepertimu. Mungkin kau mau—"
"Aku tidak tertarik, Neji."
"Geez… aku bahkan belum menyelesaikan ucapanku," pemuda itu menggerutu pelan. Kini ia tengah berdiri di depanku, di sebelah meja. Sementara aku tetap tidak merubah posisi dudukku. "Dengar, Sasuke. Mereka bukan orang sembarangan kau tahu. Seorang aktor dan aktris, lalu seorang lagi sutradara film-film terkenal, yang—"
"Maaf, Neji—"
"—lainnya, model, pengusaha sukses, pemilik saham di beberapa perusahaan besar—"
Aku membiarkannya berceloteh sendirian sambil menatapnya jengah. Apa yang dia pikirkan tentang diriku? Pria tidak laku yang minta dicarikan jodoh? Sepintas aku mendengar lagi celotehannya. Oh yeah, pria tidak laku yang minta dicarikan jodoh dari kalangan orang-orang kaya. Cih!
"Oh ya, Sasuke," Aku melihat seringainya yang menyebalkan itu kian melebar. "Jangan khawatir, kalau ternyata kau adalah seseorang yang sama sepertiku. Beberapa orang yang tadi aku ceritakan padamu itu, ada yang bergender pria kok."
Astaga! Aku melotot menatapnya, "Maaf, tapi aku tidak tertarik."
"Tapi—"
Aku bangkit dari dudukku, sehingga kami berdua berdiri berhadapan. Kutatap sepasang mata putih itu tajam dengan tatapan yang mengisyaratkan keinginan untuk membunuh, "Hyuuga…kau mau menyuruhku untuk selingkuh? Aku sudah menikah."
Mata—hampir—tanpa pupil itu membalas tatapanku kaget. Membelalak. Kedua alisnya terangkat dan mulutnya terbuka sedikit. Aku kembali duduk di kursiku, tanpa mempedulikan pemuda Hyuuga yang tengah syok itu. "K-kau! Kau sudah menikah?!"
"Hn? Kau belum tahu?" Aku bertanya sambil menatapnya santai. Bukan sengaja aku tidak memberitahunya tentang pernikahanku. Dia sedang kuliah di London sana, aku sibuk dengan segunung urusan-urusanku. Bahkan seorang Sasuke pun bisa terlupa jika sedang dalam keadaan seperti itu.
"Dengan siapa? Sejak kapan? Kenapa kau tidak memberitahuku?" Neji bertanya padaku dengan bertubi-tubi. Ia mengambil tempat duduk di sebelahku kini.
Aku memutar bola mata sambil melipat kedua tanganku di depan dada, "Kau tidak kenal. Sudah lima tahun, atau mungkin lima tahun setengah. Kau jauh dan aku sibuk."
Neji mengangguk, lagi-lagi seringai itu bermain di wajahnya. "Baiklah. Siapa nama istrimu? Seperti apa dia?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
Ia tertawa geli, "Semua orang juga akan penasaran dengan orang yang berhasil membuat Uchiha Sasuke jatuh cinta." Aku mendengus. "Jadi siapa dia?"
Sosok itu kembali terbayang, dan lagi-lagi rasa sakit itu datang menyerang ke ulu hati. Perih. "Aku bertemu dengannya saat kuliah." Aku berusaha tidak menghiraukan rasa sakit itu. Dan—hei! Sejak kapan topik pembicaraan di antara kami berubah menjadi hal ini? Geez…
"Kau sudah punya anak?"
"Orang yang kunikahi itu seorang pria."
Neji bersiul lagi, keras. "Sudah kuduga kau seorang gay."
"Hn." Aku menatapnya jengah. Apa-apaan teriakannya yang tadi itu?!
Neji bergeser mendekatiku, dan kemudian merangkul bahuku. Aku memutar bola mata. "Aku ingin melihat istrimu. Besok aku akan mengunjungi rumahmu, okay?"
"Aku tidak menerima tamu di hari Jum'at."
"Kalau begitu besoknya…"
"Tidak juga. Lagi pula ada pesta di kediaman Haruno."
"Minggu?"
"Tidak."
"Senin?"
"Tidak."
"Selasa?"
"Tidak."
"Rabu?"
"Tidak."
"Kamis?"
"Sama saja, tidak."
"Kau sama sekali tidak menerima tamu di rumahmu?"
"Hn."
Aku melihatnya mengerutkan dahi, kesal. "Sialan sekali kau! Teman lama mau datang, sama sekali tidak disambut."
Aku mengangkat bahu, "Aku menerima tamu-tamuku di sini."
"Yeah… memang sangat Uchiha Sasuke. Seharusnya aku tidak perlu kaget," ujarnya sarkastis.
Aku hanya diam, tidak menanggapi.
Setelah beberapa saat terdiam, Neji mulai angkat suara lagi, "Ya sudahlah. Kau bawa saja kekasihmu ke acara Haruno lusa malam. Dan aku akan balik mengenalkan Gaara padamu. Bertahun-tahun tidak saling bertemu, sudah seharusnya kita menjalin hubungan persahabatan kembali."
Aku menatapnya tak percaya. Sejak kapan dia… "Aku kan sudah bilang, aku akan datang sendirian ke acara itu."
Neji memandangku dengan tatapan mencemooh. "Dan aku bilang, Sakura meminta para tamunya membawa pasangan masing-masing," ujar Neji dingin.
Aku melengos.
"Dan kau pikir, sejak kapan aku peduli dengan hal-hal semacam itu?"
"Ayolah… Masa' kau tidak mau memperkenalkan istrimu padaku?"
"Memang begitu mauku."
"Kenapa?"
"Sejak kapan ini menjadi urusanmu?
"Sasuke!"
"Apa?"
Kulihat, pria itu menghela nafas masygul. "Aku tahu, kau pasti akan sangat posesif pada kekasihmu atau apa. Aku juga pernah merasakan hal semacam itu, asal kau tahu. Tapi itu bukan berarti kau jadi bisa melarangnya keluar rumah, membatasi pergaulannya, melarang ia bertemu dengan orang lain. Toh, tidak ada orang yang berani merebutnya darimu." Neji menggelengkan kepalanya pelan, "Kau tidak boleh seperti itu, kau tahu. Ia kan tetap seorang manusia, walaupun kau yang memilikinya. Ia tetap punya perasaan, Sasuke."
Aku terkesiap mendengar apa yang diucapkan pria itu. Tak percaya.
Neji terdiam beberapa saat sebelum berseru, "Wow! Ucapanku barusan tadi itu keren juga kan? Tidak pernah aku tahu, bahwa aku bisa mengucapkan kata-kata penuh nasihat seperti itu. Seharusnya kau merekamku tadi."
Aku masih bungkam, terdiam seribu bahasa. Mengacuhkan Neji yang kini tengah sedikit ber-narsis-ria sendirian. Ucapannya tadi… Aku menggelengkan kepala, sementara sosok berambut pirang yang sudah lama tidak kutemui itu kembali terbayang di benakku.
Perih… perih… perih…
Memangnya siapa yang menginginkan semua ini terjadi? Bahkan aku pun marah pada Tuhan, yang telah membuat garis takdir begitu kejam. Apa aku salah berbuat seperti ini, jika mengingat apa yang telah terjadi padaku? Salahkah? Salahkah? Salahkah aku?! Menggeram frustasi, aku melempar tubuhku ke belakang. Kenapa pula pemikiran seperti ini bisa datang sekarang? Oh ya, karena ucapan tolol Neji tadi. Dasar Hyuuga sialan!
Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. Sebenarnya ucapan Neji tadi, hampir tak ada hubungannya dengan masalahku kan? Aku bukan seperti yang Neji ucapkan. Posesif? Terlalu menjaga? Egois? Tidak. Aku tidak.
Aku hanya… hanya… Aku tidak… Bukannya aku… Aargh!
"Sas?" Dan orang sialan itu kini memanggilku. "Kau baik-baik saja?"
"Hn." Aku menatap matanya tajam. Dadaku terasa bergemuruh panas, "Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu tentangku?"
Neji terdiam sejenak sebelum akhirnya mengukir seringai pada wajahnya, "Tentang nasihat kerenku tadi? Aku hanya menebak dari ucapanmu yang terdengar begitu… begitu… begitu posesif. Apa aku salah?"
Apa dia salah? Dia sama sekali salah!
Aku menatapnya dengan tatapan mencela, "Tentu saja! Kau berfikir aku mengurung kekasihku di dalam rumah, begitu? Sinting!" Entah mengapa, perutku terasa sedikit mual saat berkata seperti itu.
Pria berkuncir satu itu tertawa, lalu ia merangkul pundakku. "Maaf… maaf… Jangan diambil hati, okay? Bahkan aku pun tak percaya aku mengatakan hal seperti itu." Ia tertawa lagi, aku mendengus keras. "Baiklah, kalau begitu bawa saja kekasihmu lusa malam. Dan perkenalkan ia padaku."
Aku mengangkat alis, "Hei, aku tidak—"
"Tak ada alasan untuk mengelak, Sas,"—ia bangkit dari berdiri sambil merapikan kemejanya—"Atau kalau tidak, hari Minggu besok aku akan menerobos pintu rumahmu secara paksa…"
Aku memutar bola mataku. "Hn. Terserah…"
"Terima kasih atas waktu anda malam ini, Tuan Uchiha. Sekarang saya mau pamit dulu." Pria itu kembali tergelak.
"Bodoh." Aku mendengus.
"Dasar manusia berhati es!" Neji meninju pundakku pelan, ia tersenyum, "Aku pamit dulu… Sampai jumpa di kediaman Haruno." Dan pemuda itu melangkah menuju pintu keluar. Pergi.
Aku menyenderkan tubuhku, tersenyum pahit sambil melemparkan pandanganku keluar jendela. Aku akan mengajaknya ke pesta Haruno lusa malam? Membawanya sebagai pasanganku, mengenalkannya pada orang-orang? Makan malam bersamanya dan bahkan mengajaknya berdansa? Yang benar saja! Aku mendengus. Jika hal-hal seperti itu bisa terjadi lusa, aku akan kembali menganggap Tuhan itu maha pengasih. Seperti saat aku masih di sekolah dasar dulu.
Yeah, dulu aku sering berdoa pada-Nya, kan? Bangun tidur, mau makan, saat keluar rumah, sebelum tidur. Aku mendengus pelan. Bagaimana kalau kucoba lagi? Kurasa, tidak ada salahnya. Paling tidak aku sudah mencoba untuk bicara pada-Nya…
Tuhan…
Aku sedikit berjengit aneh saat mulai mengucapkan nama-Nya dalam hati.
Ya. Aku tahu Kau suka membuat garis takdir yang akan membuat manusia terkejut, syok, heran, tak percaya. Setidaknya, hampir selalu begitu. Aku menghela nafas panjang. Sekarang aku bertanya-tanya, apakah Kau akan membuat takdir seperti itu juga untuk permasalahanku kali ini? Aku ingin tahu.
Mata hitamku menatap bangunan tinggi yang menjadi gadung kembaran dari gedung ini di luar jendela. Sebuah layar LCD raksasa terpasang di bagian timur gedung itu. Mengiklankan semua produk yang perusahaan ini hasilkan secara otomatis, selama dua puluh empat jam penuh. Aku menghela nafas lagi.
Terserah pada-Mu lah… Aku pasrah kali ini.
-
-
-
12.13 a.m.
Aku berjalan pelan di sepanjang lorong menuju ruang utama kediamanku. Dengan tangan kanan berusaha membuka ikatan dasi dari kerah baju yang tengah kukenakan, dan tangan kiri menenteng tas laptop, aku melangkahkan kakiku santai. Beberapa maid yang sedang bertugas, menghentikan pekerjaan mereka sementara dan tanpa diminta sudah berbaris di kanan-kiriku untuk mengucapkan salam. Aku hanya membalas ucapan 'selamat malam' mereka dengan anggukan kepala ringan, dalam diam.
Di benakku masih terbayang pembicaraanku dengan Neji sore tadi. Mengganggu sekali topik terakhir yang kami bicarakan itu, bahkan semuanya masih bisa kuingat dengan jelas. Entah apa tindakanku untuk permintaan Neji yang menyuruhku membawa pasangan ke rumah Haruno. Aku masih tak ada bayangan untuk itu.
Oh! Dan bahkan aku sudah berusaha sedikit bernegoisasi dengan Tuhan. Jadi, jika sampai detik terakhir, Tuhan masih tidak menurunkan keajaiban-Nya padaku (aku mencibir saat mengatakan ini dalam hati). OK, aku akan tetap datang sendirian ke pesta terkutuk itu.
Gah! Apa peduliku pada ancaman Neji. Memangnya ia pikir, semudah itu menerobos paksa pintu rumahku?
Aku sudah membuka pintu penghubung antara lorong berkarpet hitam ini dengan ruang utama kediamanku. Hanya tinggal selangkah lagi aku sudah berada di ruangan tersebut, ketika telingaku menangkap suara seseorang memanggil namaku. Langkahku terhenti.
"Tuan…"
Aku menoleh dan menatap sosok wanita berambut coklat yang tadi memanggilku. Matanya menatap segan ke arahku, dan aku membalas tatapannya itu dengan dingin.
"Hn?"
"Itu, Tuan…" Wanita itu menunudukkan kepalanya. Mungkin karena takut pada tatapan dinginku. Aku mendengus pelan. "Dokter Yamanaka meminta saya untuk menyampaikan pada Tuan, bahwa—" ia memberi jeda sebentar, "—bahwa dia ingin bertemu dengan Tuan." Maid itu menghembuskan nafas lega.
Aku mematung.
Dokter? Dokter Yamanaka Ino? Astaga! Ada masalah apa lagi sekarang? Geez, rasanya migrain-ku akan kambuh mendadak malam ini. Aku menggerutu kesal dalam hati.
Dokter spesialis kejiwaan itu...
"Baiklah. Di mana?"
Gadis itu menatapku ragu-ragu sebelum membuka mulutnya lagi, "Di ruangan ini, Tuan…" Tangan kanannya menunjuk ke arah ruangan yang akan kumasuki.
Aku menghela nafas pelan.
-
-
-
"Selamat malam, Tuan Uchiha…"
"Hn." Aku menatap sosok wanita langsing yang tengah berdiri di hadapanku. Rambut pirang panjangnya diurai begitu saja, dan dengan mata biru keabu-abuan itu, ia membalas tatapanku ramah. "Jadi, dokter Yamanaka…apa yang anda inginkan?" Aku merasa ucapanku ini sedikit kurang sopan. Tapi, Astaga! For The God's Sake, aku sedang teramat sangat lelah saat ini.
Wanita muda itu tersenyum, raut wajahnya benar-benar tidak bisa kutebak. Apa sih yang dia inginkan?
"Saya minta maaf karena telah mengganggu Tuan malam ini. Apalagi sekarang, anda baru pulang dari kantor. Tapi—" Ia menghembuskan nafas pelan, "—saya merasa, hal ini memang perlu dilakukan." Tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi sedikit tegas, "Anda… anda benar-benar tidak ingin bertanya pada saya tentang keadaan Naruto, Tuan?"
Aku merasa mulutku membuka sedikit, kaget. Apa dokter ini sudah gila? Pertanyaan macam apa itu? Aku memandangnya dengan tatapan mencela. "Dokter ingin menemui saya hanya untuk menanyakan itu?"
"Iya," jawabnya tegas.
Aku menghela nafas panjang. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Kalau saya benar-benar ingin tahu bagaimana keadaan Naruto, saya yang akan menemui dokter." Aku benar-benar tak habis pikir. Kenapa tiba-tiba dokter ini bertanya begitu? Bukankah setiap pagi, ia sudah mengantarkan berkas-berkas berisi laporan mengenai perkembangan kesehatan mental Naruto?
"Jadi anda benar-benar tidak ingin tahu keadaannya? Padahal sudah lebih dari setahun anda tidak mendatangi saya dengan tujuan untuk menanyakan kabar Naruto. Saya selalu berada di rumah ini, anda tahu."
Alisku berkedut kesal. Kenapa pula sekarang ia bertanya begitu? Aku tahu, nona Yamanaka ini seorang dokter. Aku juga tahu, bahwa orang yang menjadi pasiennya saat ini adalah seseorang yang sudah kunikahi. Tapi, sejak kapan seorang dokter mempunyai hak untuk memaksa, menanyakan hal seperti itu pada suami dari pasiennya. "Baiklah." Aku mendesis, "Apa kabarnya?"
Sepasang mata biru itu memandangku… sendu. Tangan kanannya meremas siku lengan kirinya. "Ia sehat." Dokter yang tengah mengenakan gaun tidur berwarna lembayung itu menghela nafas panjang, "Sehat sekali… Bahkan setiap pagi ia akan mengajakku lari pagi di halaman depan, sebelum sarapan. Terkadang Naruto juga mengajakku untuk naik ke lantai dua, dan memperhatikan mobil yang Tuan gunakan untuk pergi setiap hari itu menjauh." Wanita itu diam sejenak, seolah menunggu reaksiku setelah mendengar pernyataannya. Tapi aku tetap diam, sementara dadaku terasa semakin sesak. Sakit. "Saya rasa dia—sedikit banyak—mulai mengingat hal-hal yang dilupakannya. Tingkat kesadarannya juga semakin tinggi, walau ia masih sering melakukan sesuatu yang agresif. Tapi—"
"Dokter!" Aku memotong. "Kalau hal-hal semacam itu yang hendak anda beritahukan, saya sudah tahu. Semua itu sudah saya baca di laporan yang diantarkan suster anda, setiap hari," lanjutku dengan dingin. Tidak. Aku hanya tidak ingin mendengar kelanjutan ucapannya. Semuanya terlalu menyakitkan, aku tidak sanggup. Terlalu sakit berbicara kenyataan mengenai Naruto dengan orang lain. Perih.
Sepasang mata biru di hadapanku membelalak lebar. Kedua tangannya terkepal kuat, sementara ia memandang berang ke arahku. Dokter pirang ini… marah?
"Saya mau menunggu sampai selarut ini, untuk membicarakan keadaan Naruto dengan anda! Saya pikir anda terlampau sibuk untuk mendatangi saya dan menanyakan Naruto, karena itulah saya akan menemui Tuan. Tidak saya sangka anda benar-benar sudah tidak peduli padanya!"
Aku menganga. Tidak peduli? Aku tidak peduli pada Naruto, dia bilang? Tanpa sadar aku turut mengepalkan tangan. "Saya peduli padanya, dokter. Karena itulah, saya membayar anda untuk merawatnya di sini…" aku membalas dengan nada marah yang kentara sekali.
Dokter Yamanaka mendengus kesal, "Kalau begitu namanya, saya yang peduli pada istri anda." Ia menggelengkan kepalanya pelan, "Yang ia butuhkan itu perhatian anda, Tuan. Maksud saya, perhatian yang benar-benar sebuah perhatian."
Aku memandangnya tajam, tapi hatiku terasa seperti di iris-iris. "Jadi, maksud anda saya harus menungguinya bangun pagi, begitu? Menemaninya sarapan? Mendengarkan saat ia tengah meracau tak jelas? Me—"
"Tuan! Bahkan sekarang ia sudah tidak lagi meracau!" wanita itu membentakku keras. "Anda yakin, sudah membaca laporan-laporan yang saya kirimkan pada anda?" lanjutnya dengan nada mencemooh.
Aku menggertakkan gigi kesal. Wanita ini—Geez, baiklah… aku memang tidak membaca laporannya langsung ketika berkas-berkas itu datang. Biasanya kusimpan dulu, dan baru aku baca saat akhir minggu. Walaupun harus kuakui, itu juga sudah tidak berlaku lagi selama kurang-lebih tiga minggu terakhir ini. Aku menjawab pertanyaan sarkastisnya singkat, "Mau apalagi? Saya sibuk."
"Sesibuk itukah anda? Sampai tidak bisa menyisihkan sedikit waktu untuk Naruto?" dokter itu bertanya lagi dengan tatapan mencela. Tapi sebelum aku sempat menjawabnya, ia sudah melanjutkan lagi, "Setidaknya anda kan bisa menemuinya, saat pagi hari sebelum anda berangkat pergi. Mengajaknya mengobrol sebentar walau—"
"Anda menyuruh saya mengobrol dengan orang gila?" aku memotong ucapannya kasar. "Terakhir kali saya melakukan hal itu, Naruto menyiram saya dengan teh panas yang sedang diminumnya."
"Astaga!" Wanita pirang itu melotot memandangku, "Naruto tidak pernah gila, Tuan mengerti? Ia hanya… hanya…" Ia memejamkan mata sambil menghela nafas berat, "…sakit."
"Ya! Anda benar, ia hanya sakit," aku menyambut ucapannya dingin. Migrainku benar-benar kambuh. Hal yang paling kuinginkan sekarang hanya segera menyelesaikan pembicaraan terkutuk ini, dan mandi. Oh… dan jangan lupa untuk meminum sebutir aspirin sebelum tidur nanti. "…sakit jiwa." aku melanjutkan ucapanku dengan—kuakui—kejam.
Dokter pirang itu menatapku terkejut, kedua belah bibirnya terbuka. Mungkin tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Ia mengangkat telapak tangannya, bersiap mengayunkannya untuk menamparku. Tapi ternyata tidak. Tangannya hanya menggantung di udara. "Saya pikir,"—di dalam suaranya tertangkap sedikit getaran—"saya pikir anda berbeda dari orang lain. Saya pikir anda masih mencintai istri anda, meskipun ia mengalami gangguan jiwa."
Aku terkesiap mendengarnya. Kedua bibirku terbuka, bersiap untuk mengatakan sesuatu. Tapi nyatanya, tak ada sedikit pun suara keluar dari mulutku.
"Saya hanya ingin Naruto sembuh," dokter itu melanjutkan ucapannya pelan. "Saya sudah bilang pada anda, kalau kesadaran mentalnya sudah hampir sempurna. Ia hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk mencapai kesembuhan total. Dorongan dari orang yang mencintai dan dicintainya." Ia menggelengkan kepalanya pelan, "Saya kira, Naruto bisa mendapatkan itu dari anda, karena Tuan adalah orang yang dicintai oleh Naruto." Ucapannya terhenti sejenak.
"Saya pikir anda mau—dengan senang hati—membantu saya untuk memberi terapi terakhir padanya." Lanjut wanita itu sambil mengalihkan pandangannya dariku, menatap sebuah titik di atas karpet. "Saya sudah mengatakan hal ini pada anda, Naruto itu sudah hampir sembuh total. Ia sudah bisa menerima orang lain yang datang kepadanya dengan baik, contoh; para maid, tukang kebun, juru masak, dan yang lainnya. Dia juga sudah bisa merespon panggilan orang padanya, sedikit-banyak paham dengan apa yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya, sudah mampu memusatkan perhatian pada satu hal atau sebuah keadaan."
Ia kembali menatapku serius, "Buah pemikirannya mulai merujuk ke hal-hal yang realistis; maksud saya, ia tidak lagi berhalusinasi, membayangkan alam fantasi yang tak akan pernah terjadi. Dan seperti yang saya bilang anda anda tadi, ia sudah tidak lagi meracau. Saya sering bercerita banyak hal padanya, dan ia menangkap hampir semua maksud cerita saya, asal anda tahu saja; itu sudah lebih dari cukup," ujar dokter itu tegas. "Saya juga sering memaksanya mengobrol dengan saya; saya bertanya sesuatu padanya, dan memaksanya untuk menjawab pertanyaan saya. Pertamanya dulu ia marah dan mengamuk, tapi setelah saya coba berkali-kali," Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lembut.
Aku, jujur saja, sedikit kaget melihat hal itu. Dokter itu kembali melanjutkan, "Saya sudah seperti sedang berbicara dengan orang normal. Naruto juga sering menonton televisi akhir-akhir ini. Ia tertawa ketika melihat acara humor, tegang ketika melihat film aksi, bahkan mengangis ketika melihat drama romantis yang mengharukan atau tragis." Dokter Yamanaka menatapku berbinar-binar, "Itu artinya ia sudah benar-benar bisa menangkap suasana yang tengah terjadi bukan? Ia sehat. Sudah normal seperti orang kebanyakan. Ia—" tiba-tiba wanita itu menghentikan ucapan penuh semangatnya. Terlihat seperti… baru menyadari sesuatu.
Aku pun diam. Aku hanya diam saat ia menjelaskan keadaan Naruto sekarang dengan panjang lebar. Aku diam sedari tadi. Tercenung.
Entahlah… Tapi tiba-tiba, aku merasa seolah baru ditarik kembali ke dunia nyata. Seolah selama ini aku hidup tanpa mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingku… dan itu memang benar. Dan baru tadi, dokter spesialis kejiwaan yang kusewa sekitar empat tahun yang lalu itu, menyadarkanku kembali dengan ucapannya. Ia memaksaku menghadapi kenyataan. Menghentikan pelarianku dari kenyataan hidup yang menurutku terlalu kejam.
Eh? Itu benar, bukan? Selama ini aku…
…melarikan diri?
"Maafkan saya, Tuan…" ujar dokter Yamanaka itu pelan, mengembalikanku ke alam nyata, setelah tadi sempat melalang-buana di benakku sendiri. "Maafkan saya. Saya rasa, lagi-lagi saya terlalu banyak berbicara, eh?" Ia menatapku sambil tersenyum miris. "Saya sudah terlalu banyak mengganggu waktu anda malam ini, Tuan. Saya akan segera pergi dari hadapan anda," Wanita pirang itu tertawa hambar, "Yeah… saya tahu anda butuh istirahat untuk bekerja lagi esok hari…"
Tidak… tidak. Jangan hentikan ucapan anda dulu, dokter. Saya masih membutuhkan lebih banyak lagi penjelasan. Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu.
"Tidak masalah. Sungguh, saya…" ingin tahu lebih banyak lagi tentang Naruto. Sudah tiga minggu saya tidak membaca laporan dari anda lagi, saya terlalu takut. Kini saya mau mengetahuinya dari mulut anda sendiri, dok. Apa yang bisa membuat Naruto benar-benar sembuh total? Anda bilang tadi ia sudah hampir sehat, bukan? Apa yang bisa membuatnya kembali mengingat saya, kenangan-kenangan bersama saya dulu. Ingatan yang ia lupakan karena sakit? Bagaimana, dokter?
Kata-kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku. Jangan pikirkan, bagaimana seorang Uchiha Sasuke mau mengucapkan kalimat-kalimat sepanjang itu tanpa jeda. Aku sedang kalut sekarang. Tapi nyatanya, hal itu tidak terjadi. Aku tidak jadi mengolah kalimat-kalimat yang muncul di otakku menjadi suara.
Dokter pirang itu tersenyum menatapku, bukan dengan senyum yang menyenangkan tentu saja. Setelah sikapku padanya malam ini, rasanya mustahil ia mau beramah-tamah lagi padaku. "Ssshh… Tuan. Saya tahu saya sangat mengganggu malam ini…"
Tidak… tidak… itu tidak benar.
"Karena itu, biarkan saya menyelesaikan semuanya secara cepat," ia berdehem pelan sambil tetap tersenyum, "Saya hanya ingin memberikan sebuah saran untuk anda…"
Aku menaikkan sebelah alisku, heran.
"Hn?"
"Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya hanya ingin Naruto sembuh total dan…"—wanita itu menghela nafas panjang—"…dan bahagia."
Aku menyernyitkan dahi, tidak suka dengan perkiraanku tentang kelanjutan percakapan ini. "Saya juga begitu, dok."
Ia menatapku dengan tatapan sedikit mencela, "Ya… ya… ya. Memang seharusnya begitu, bukan?" Tubuhnya menegak, sepasang mata birunya menatapku lekat-lekat, "Saran saya adalah… ceraikan dia, Tuan."
Aku terhenyak ngeri. Dia bilang apa tadi? Dokter ini serius, berani menyarankan hal itu kepadaku? Gila!
"A-apa?!"
"Ceraikan dia. Anda tidak mencintainya lagi, bukan?" Wanita pirang itu sedikit tersengal. "Nah, saya menyayanginya. Sangat, Tuan. Dia pria yang sangat baik, menyenangkan sekali."
Aku terdiam seribu bahasa. Bukan keinginanku untuk mematung seperti ini. Hanya saja, apa yang dikatakannya terlalu mengejutkan. Aku terlalu kaget.
"Jika dia bukan lagi menjadi istri anda, saya bisa membawanya keluar dari istana ini. Mengajaknya tinggal di kediaman saya, merawatnya, memusatkan seluruh perhatian saya padanya." Ia terdiam sejenak, menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Membuatnya bahagia. Ya, dia sama sekali tidak bahagia terkurung di sini. Ia tertekan. Karena itulah saya akan membawanya keluar, sesekali mengajaknya jalan-jalan, makan es krim di luar. Intinya, membuat ia bahagia."
Aku tertohok. Astaga! Apa yang dia katakan tadi? Aku merasa perutku mual. Ceraikan Naruto? Berpisah dengan orang yang paling kucintai? Oh ya! Wanita ini bilang, aku tidak lagi mencintai Naruto lagi, tadi?
Demi Tuhan! Uchiha Naruto itu hidupku! Bagaimana bisa aku—
"Jadi itu dia saran saya, Tuan," ujar Yamanaka, memecahkan keheningan yang tadi sempat terbentuk. "Saya meminta anda untuk mempertimbangkan saran saya tadi baik-baik. Ini demi kebaikan Naruto dan anda sendiri, menurut saya."
Wanita itu terdiam, sebelum menggumam pelan, "Dan tentu kebaikan untuk saya sendiri."
Aku mengatupkan gigiku keras-keras.
"Dokter! Bagaimana bisa anda menyarankan saya untuk melakukan hal itu? Bahkan saya—"
Perempuan pirang itu mengibaskan tangannya, membuatku terdiam. Astaga! Sejak kapan aku bisa tunduk pada perintah seseorang?
"Sudahlah, Tuan… Ini sudah larut malam,"—ia tersenyum sambil membalikkan tubuhnya, bersiap untuk pergi—"Selamat malam, Tuan…"
Tiba-tiba rasa panik menyerangku.
"Tapi, dokter! Saya belum—"
Wanita itu membuka pintu keluar sambil menoleh ke arahku. Tersenyum.
"Sudahlah, Tuan… Saya kira, jika anda memaksakan diri untuk terus mempertahankan rumah tangga dengan istri anda, itu hanya akan menyiksa kalian berdua." Ia berdiri menatapku sementara tangan kanannya mencengkram gagang daun pintu yang terbuka, "Seperti yang saya bilang tadi, lebih baik anda dan Naruto berpisah.
"Anda bisa segera mendapatkan pengganti, orang yang mungkin saat ini tengah menarik perhatian anda. Dan saya berjanji akan merawat Naruto dengan baik sampai ia sembuh. Dan setelah itu, mungkin," ia berdehem sebentar. "Mungkin saya akan menikahinya."
Wanita itu membuka pintu lebar-lebar.
"Malam, Tuan Uchiha…" Dan dengan itu, ia melangkah pergi. Pintu berwarna hitam itu pun menutup dengan suara yang tidak pelan.
Aku merasa dadaku terasa sangat panas.
Semuanya terjadi begitu cepat. Undangan pesta keluarga Haruno yang datang tadi pagi (entahlah, tapi menurutku hal itu juga termasuk sebagai sebuah kesialan). Percakapan terkutuk dengan Hyuuga Neji sore tadi. Dan terakhir… pertemuan dengan Dokter Yamanaka Ino yang sangat… mengejutkan.
Lengkap dengan semua pernyataan-pernyataannya.
Aku menghela nafas panjang sambil melangkahkan kakiku ke arah sofa. Membanting tubuhku di sana, lalu diam. Termenung.
Semua yang diucapkan wanita itu kembali berputar di kepalaku.
Pernyataannya tentang keadaan Naruto saat ini. Jujur, aku sedikit tidak percaya tentang keadaan Naruto yang baru ia ceritakan tadi. Apa yang dikatakannya membuatku berpikir bahwa, Naruto sudah sehat. Ia hampir sembuh total. Itu membuatku sangat bahagia tentu saja. Tapi juga membuatku kaget setengah mati.
Laporan-laporan itu datang kepadaku setiap hari, di mana otakku berada saat sedang membacanya? Tidak, tentu saja otakku tidak pergi ke mana-mana. Masalahnya, aku selalu terlalu takut. Aku selalu takut untuk mengetahui keadaan terbaru pria yang aku cintai itu.
Tentu saja aku membaca laporannya setiap hari (atau paling tidak, setiap minggu), tapi karena aku sama sekali tidak menaruh harapan untuk kemajuan kesehatan Naruto. Aku selalu merasa bahwa tak pernah ada perubahan pada isi kertas-kertas itu.
Maksudku, tentu saja isi laporan itu berbeda-beda, tapi bagiku, dengan judul besar di setiap lembar kertas, 'Perkembangan Kesehatan Mental Uchiha Naruto'. Aku jadi merasa, selama berkas-berkas itu masih datang padaku, maka selama itu juga Naruto-ku tetap sakit jiwa.
Aku salah, tentu saja. Tapi pria mana yang tahan, melihat kekasih yang sangat dicintainya itu mengalami gangguan mental?
Aku masih sangat mencintai Naruto, dan tak akan pernah berhenti mencintainya. Apa yang dikatakan oleh dokter Yamanaka tadi itu membuatku sedikit tersinggung. Malah menyuruhku untuk menceraikannya pula. Aku menghela nafas panjang.
Lima tahun yang lalu, kuucapkan janji itu di depan para saksi. Bahwa seorang Uzumaki Naruto akan selalu menjadi cintaku yang pertama dan terakhir. Kupakaikan cincin itu di jari manisnya, ia memakaikan cincin lainnya ke jari tengahku. Dan sebelum aku mengecup bibirnya, aku membisikkan kalimat sumpah.
Seorang pria sejati takkan pernah melanggar sumpah yang pernah ia buat. Dan begitu juga denganku. Cerai. Tak pernah sekali pun terlintas di benakku untuk menceraikan Naruto. Tak pernah sekali pun aku berpikir untuk berpisah dengannya dan mencari pengganti orang lain. Aku mencintainya dan akan terus mencintainya. Apa pun yang akan terjadi, aku takkan pernah meninggalkan dia. Sumpahku…
-
-
Kejiwaan Naruto terganggu saat ia bangun dari komanya selama empat bulan. Koma karena sakit Demam Berdarah dan Thypus parah yang dideritanya, empat tahun yang lalu. Saat itu ia terlihat begitu… menyedihkan bagiku.
Bisakah kau bayangkan? Aku baru menikah dengannya selama kurang dari setengah tahun. Dan tiba-tiba ia… mengalami gangguan mental. Saat itu, rasanya sakit sekali melihat orang yang sudah empat tahun mengenalmu dengan baik, melakukan hal-hal gila. Rasanya sangat perih, melihat orang yang begitu kau cintai dan mencintaimu, tiba-tiba melupakanmu begitu saja. Aku tidak sanggup. Semuanya terasa begitu tidak adil. Aku mengamuk pada Tuhan.
Tak ada yang bisa kulakukan. Dokter menyarankan untuk memasukkan kekasihku ke dalam rumah sakit jiwa karena perilaku Naruto sudah sangat di luar kendali. Tapi aku menolak. Sudah cukup melihatnya sakit jiwa, tak perlu lagilah ditambah dengan kenyataan 'Istriku tinggal di rumah sakit jiwa karena gila'.
Akhirnya aku mendatangi orang yang menjadi spesialis kejiwaan terkenal, meminta padanya agar diizinkan merawat Naruto di rumahku sendiri. Ia setuju, dan akhirnya didatangkanlah seorang dokter ahli penyakit jiwa ke kediamanku, Yamanaka Ino. Ia bersedia dibayar untuk merawat istriku sampai jangka waktu yang tidak ditentukan.
Empat tahun berlalu dengan begitu saja. Aku tetap tinggal di sini, Uchiha Mansion, dan begitu juga dengan Naruto. Aku tidak lagi tidur di kamar kita berdua. Ya! Kami tinggal satu atap, tapi hampir tak pernah berjumpa
Pagi-pagi aku sudah berangkat kerja, sementara—mungkin—Naruto masih tidur. Seharian aku menolak untuk pulang ke rumah. Tak ada gunanya. Dan saat larut malam, aku baru pulang dari kantorku. Itu pun tidak pernah kugunakan untuk menengoknya tertidur di kamar. Memeluk dan menciumnya diam-diam. Tidak pernah.
Aku memang sengaja menghindari kekasihku.
-
-
Aku menyenderkan kepalaku di sandaran sofa biru ini. Menatap langit-langit rumah selama kurang-lebih lima detik, sebelum menutup mataku.
Aku tak akan pernah selingkuh dari Naruto. Aku tak akan pernah mencari pengganti dirinya. Aku tak akan pernah menceraikannya, berpisah dengannya. Aku selalu menyayanginya. Aku akan selalu mencintainya, sampai kapan pun.
Kalau aku bersikap tidak peduli seperti saat ini, itu berarti aku sedang lari. Terlalu menyakitkan melihat Naruto tidak lagi mengingatku, terlalu menyakitkan melihatnya melupakanku. Karena itu aku lari. Berusaha melupakan rasa sakit ini, agar aku bisa terus setia padanya.
Saat ini aku hanya lari, dan bukannya berhenti mencintai Naruto.
Aku hanya berlari dan terus berlari. Menghindari kenyataan hidup yang terlalu kejam.
Aku tidak bersalah, kan?
Dan itulah hal terakhir yang kupikirkan. Sebelum kantuk benar-benar sukses membawaku ke alam mimpi.
To be continued…
-
-
-
A/N: Err- jadi gimana pendapat para pembaca semua? Tentang fict multi-chap pertama Rai. Diputusnya nggak enak banget ya? DX
Oiya, mau promosi sedikit…
Bagi para author yang ingin meningkatkan mutu fic-nya dan menjauhkannya dari kesan alay… bisa minta tolong sama personil FBSN (Federal Bureau of Sasuke and Naruto) untuk membeta fic buatannya. Kami para anggota FBSN akan bersedia membantu memperbaiki fic Anda dengan senang hati…x) dengan catatan, hanya fic yang memiliki pairing SasuNaru/NaruSasu yang dibeta…
Jika ingin bantuan kami, bisa kirim PM lewat akun FBSN (cari aja di search engine ffn dengan keywords FBSN) atau kirim email ke kami di rasenchidori2310 (dot) yahoo (dot) com
Kami akan membantu sebisa kami….XDD
(copas dari Asuka Chiba) *dibantai Asuka XD*
Nah, bersedia untuk mereview…? ^^
