Ahaha, halo minna-san. Kali ini, saya mencoba untuk membuat fic multichap yang rada-rada adventure-ish (?). Jadi romance-nya ga terlalu di'wah'kan kayak di drama-drama. Waktu saya main suatu game RPG, entah kenapa tiba-tiba muncul ide ini.

Untuk update, saya nggak tahu bakal cepet atau nggak. Tapi akan saya usahakan cepet, deh, walaupun sekolah saya semakin hari semakin sadis…

Dan nggak menutup kemungkinan kalau saya akan mem-publish oneshot lain waktu nggak ngelanjutin fic ini. #dor

Mumpung ini masih agak senggang, jadi saya sempat-sempatkan ngetik. Sebelum tugas kembali membanjiri saya. Oh tidaaaak…#diinjek

Saa, happy reading, minna!


Storybook Journey

Pair: 1827, and others (any suggestions?)

Genre: Adventure, Romance

Warning: Absurdness, possible OOC, typos (sudah berusaha saya hilangkan), romance yang agak lelet, dll.

Disclaimer: Yang punya KHR itu Amano Akira-sensei. Kalau yang punya saya, pasti jadi gaje sangat dan penuh fanservice.

.

.

Chapter 1: The King and His Son

.

.


"Dame-Tsuna."

"Mn…"

"Dame-Tsuna."

"…Lima menit lagi…"

Seekor chameleon di topinya berubah menjadi palu besar.

"Bangun, Dame-Tsuna."

Dan palu itu—tolong jangan bayangkan berapa ton beratnya—dengan sukses mendarat di kepala cokelat seseorang.

Kemudian, terdengar jeritan keras ber-high pitch menggema di seluruh penjuru rumah.

.

.

.

"Reborn…Tidak perlu sampai segitunya, kan?"

Sawada Tsunayoshi, Boss ke sepuluh Vongola Famiglia, menuruni tangga dengan gontai, tangan kanannya mengusap-usap benjolan besar di kepalanya. Meski ia sering kali mengeluh tentang betapa kejamnya Reborn, Tsuna pada akhirnya hanya akan menggerutu pelan atau mengaduh kesakitan, sebelum membiarkannya seperti angin lalu. Tsuna tak terlalu protes kepada Reborn, melihat dengan cara Sparta-nya ini, dirinya bisa berkembang dan bertambah kuat. Tapi jangan lupakan dampak latihan kerasnya dengan Reborn. Ia akan selalu memicingkan matanya ketika mengingat rasa sakit itu.

Tsuna menguap pelan, matanya masih menuntut untuk ditutup kembali.

Hari ini, ia harus bangun lebih awal untuk bersiap-siap menjalani pertemuan bulanan dengan Guardian dan rekan-rekannya yang selalu berlangsung di rumahnya. Kalau Tsuna tidak salah mengingat, mereka memulai pertemuan rutin ini sekitar dua bulan yang lalu. Seperti biasa, semua ide-ide yang cukup aneh baginya itu diusulkan oleh Reborn. Dan ia tentu saja tidak bisa menolak.

"Ara, ohayou, Tsu-kun!"

Tsuna langsung menaikkan kepalanya ketika mendengar sapaan ceria ibunya. Ia tersenyum kecil dan menundukkan kepalanya, menggumamkan kalimat 'ohayou, kaa-san' kepadanya. Tangannya terjulur untuk menarik kursi meja makan ke belakang, sehingga ia dapat mendudukinya.

Tidak melihat tanda-tanda keberadaan Reborn, Tsuna merasa lega—karena tidak akan ada yang menyiksanya, dan juga merasa bingung di saat yang sama. Ia putuskan untuk menyuarakan pikirannya kepada sosok okaa-san yang masih sibuk dengan dapur kecilnya.

"Kaa-san, kau melihat Reborn?"

Terhenti sejenak dari aktifitasnya, Nana mengerjapkan matanya sebentar sebelum menjawab, "Reborn-kun tadi pagi bilang kalau ia mau menghampiri teman-temanmu, Tsu-kun, supaya mereka tidak kabur."

Tsuna hanya bisa tertawa canggung. Reborn, gitu lho.

"Ah," Nana meletakkan jari telunjuk pada mulutnya. "Benar juga, Tsu-kun, nanti siang teman-temanmu datang ke sini, ya? Kalau begitu, aku harus memasak lebih banyak!" ujarnya semangat, sebelum kembali pada kesibukan memasaknya.

Sementara itu, putranya hanya tersenyum kecil akan hal ini.

Kebiasaan kaa-san, kalau ada sesuatu yang penting pasti ia memasak lebih dari yang semestinya, pikir Tsuna.

Setelah itu, Tsuna menopang dagu sambil menunggu sarapannya siap. Pandangannya tak pernah ia lepaskan dari sosok ibunya yang kini sedang memotong sayuran dengan lihai seraya menggumamkan sebuah lagu. Melihat gerak-gerik ibunya, Tsuna melebarkan senyumnya, kedua matanya memancarkan kehangatan. Ia ingin mengamati ibunya lebih lama lagi. Ia mengerti bahwa gelar yang disandangnya sebagai Vongola Decimo ini tanpa diragukan akan lebih banyak menyibukkan dirinya. Setelah ia lulus dari SMP, rencananya, ia akan dibawa ke Italia untuk bersekolah di sana. Timoteo telah memberikan kesempatan bagi Guardian dan teman-temannya untuk ikut bersama Tsuna, tentu saja, tanpa ada paksaan sama sekali.

Karenanya, Tsuna ingin mengingat perasaan hangat ini. Perasaan ketika ia berada di rumah bersama keluarganya.

Tsuna menutup matanya perlahan dengan tenang.

"Yo, Dame-Tsuna!"

BUAKH

"Itte!"

Tsuna mengusap-usap pipinya yang menjadi sasaran empuk tendangan Reborn. Dengan kesal, ia menatap Reborn yang tengah berada di atas meja makan dengan seringainya. "Reborn! Apa-apaan tadi itu!"

Sosok yang berhasil menghancurkan momen hangatnya itu hanya melebarkan seringainya, terlihat senang karena berhasil mengerjai muridnya.

"Setelah sarapan, pergilah ke ruang tamu. Jangan terlambat," ujarnya sebelum mendudukkan dirinya di atas meja, mengenyahkan protes dari Tsuna sebelumnya.

"Eh?" Tsuna mengerjapkan matanya. "Tumben pagi-pagi sekali?"

"Ya, begitulah. Banyak yang sibuk."

Tsuna mengangguk mengerti sebelum kembali menopang dagu. Sesudahnya, ia terus menerus terdiam, tak mengatakan apapun bahkan pada Reborn. Matanya memicing menahan sesuatu.

Ia merasakan perasaan itu lagi. Perasaan ketika Hyper Intuition-nya sedang 'menggila'.

Kepalanya tiba-tiba akan terasa pusing sekali, serasa berdenyut keras. Keringat dingin juga menetes dari dahinya. Tsuna harus sekuat tenaga menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perut—yang belum benar-benar terisi pagi itu. Ia hanya dapat mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja makan sederhana itu, seraya menutup mulutnya rapat-rapat.

Ia tahu, kalau sudah seperti ini, pasti akan terjadi sesuatu setelahnya.

"Tsuna."

"…"

Melihat murid berambut coklatnya itu tidak menjawab, Reborn menatapnya lekat-lekat, sebelum akhirnya menunduk dan memainkan fedora-nya.

Ya. Bahkan Reborn pun tahu.

Ketika memasuki ruang tamu—yang sedang dijadikan ruang pertemuan oleh Reborn, Tsuna langsung disambut dengan kerusuhan di sana sini. Hal yang sudah biasa dan patut ia maklumi, namun tetap saja melihat tingkah mereka yang tidak bisa diam itu sering kali membuat Sang Decimo pening.

Semua orang dalam ruangan itu nampak sibuk sendiri.

Gokudera terlihat sedang menjewer dan memarahi Lambo, entah karena si aho-ushi tersebut melakukan apa. Lambo sendiri hanya bisa menangis oleh semprotan Gokudera. Dirinya meronta hebat ketika jeweran Gokudera semakin keras.

"Lepaskan, Baka-dera!" teriak Lambo, kakinya yang mengayun ke sana sini dengan tidak sengaja mengenai wajah Gokudera.

"Teme! Kono Aho-ushi!"

Merasa harga dirinya runtuh oleh seorang anak kecil, Gokudera menggeram jengkel. Tangannya berpindah dari telinga menuju kepala afro Lambo, meremasnya kuat, seolah ia ingin kepala tersebut meledak. Alhasil, tangisan Lambo menjadi semakin keras.

Di sebelah mereka, terdapat Yamamoto dan Ryohei yang sedang membicarakan sesuatu. Yamamoto terlihat santai, sesekali tertawa lepas ketika Ryohei membalas perkataannya dengan lucu dan antusias. Senpai yang menjadi kapten klub boxer tersebut terkadang mengangguk, kadang mengerutkan keningnya bingung, kemudian sesaat lagi meninjukan lengannya ke udara sembari meneriakkan 'kyokugen', kata favoritnya.

"YOSHA! SIAPA YANG INGIN PANCO DENGANKU, TO THE EXTREME!?"

"Ahaha. Maaf, tanganku habis terkilir. Mungkin orang lain saja, senpai."

Di sudut ruangan, terlihat Bianchi, Fuuta, dan Chrome yang sedang memangku I-pin. Dari semuanya di dalam ruangan itu, mereka lah yang terlihat paling normal. Hawa di sekitar mereka tentram, dan tidak berisik. Kalau pun berbicara, mereka bicara layaknya orang biasa pada umumnya.

Tunggu, apa itu berarti, Guardian Vongola Decimo tidaklah normal?

Entahlah.

Begitu Tsuna memasuki ruang tamu, ia tak bisa menahan teriakan 'hiie' yang keluar dari mulutnya ketika sebuah tonfa menancap pada tembok di sampingnya. Belum tersadar dari rasa horror-nya, seorang pemuda berambut nanas berdiri tak jauh dari Tsuna dengan sebuah trident di tangannya, bibirnya membentuk senyuman mengerikan.

"Kufufu. Seranganmu meleset," ucapnya memprovokasi.

Mulut Tsuna hampir terbuka ketika matanya menangkap sosok berambut hitam di seberang sana. Jaket hitamnya berkibar diterpa angin, mata kelabunya terlihat tajam dan penuh ancaman. Tsuna hampir jatuh terduduk ketika merasa luar biasa lega.

"Hi-Hibari-san! "

Mendengar teriakan Tsuna, Mukuro langsung membalikkan badannya. "Aku berada tepat di depanmu, tapi kau tak memanggil namaku. Aku tidak terima, Tsunayoshi."

"A-Ah…Eto," Tsuna mengangkat kedua tangannya di depan dada secara protektif. "aku hanya merasa lega karena Hibari-san mau menghadiri pertemuan kali ini."

Benar perkataan Tsuna, melihat Hibari berada di ruangan ini sudah sangat melegakannya. Ia sudah berkali-kali menyaksikan ketidakhadiran sang prefek di pertemuan-pertemuannya. Kalau ia tidak dibujuk dengan alasan bertarung, Hibari sudah dipastikan tidak akan datang.

"Hn," dengus Hibari. "Setelah ini, seranganku akan mengenaimu."

Dengan itu, Hibari berjalan menuju tembok di samping Tsuna, di mana salah satu tonfa-nya berada. Ia mencabut tonfa itu dari tembok dengan kasar, menyebabkan beberapa serpihan tembok yang telah ia hancurkan terjatuh.

Tsuna hendak menghentikan pertarungan mereka berdua, namun tak tahu harus berkata dan melakukan apa. Kalau pertarungan mereka terus berlanjut, ia tak menjamin ruang tamunya akan tetap utuh seperti sedia kala. Sang Decimo hanya membuka dan menutup mulutnya, mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Ia menatap Mukuro dan Hibari secara bergantian, kemudian menunduk seraya memejamkan kedua matanya.

"A-Ano…Mukuro, Hibari-san…"

Mukuro ber-kufufu.

Hibari menatap Tsuna tajam.

Tsuna ber'hiie' pelan, semakin gugup dan tidak tahu harus berbuat apa.

Ia berjalan mundur, dan hanya dalam beberapa detik ia tersandung—tentu saja, berkat ke-dame-annya.

Dengan sukses, ia terjatuh ke belakang. Suara benturan kepala Tsuna dengan lantai kayu menggema di seluruh penjuru ruangan.

Semuanya menghentikan aktifitas mereka.

"…"

Suasana mendadak hening.

"Oi, Tsuna. Apa yang kau lakukan di situ?" Reborn tiba-tiba datang dari arah dapur, berjalan mendekati Tsuna dengan santai sembari memainkan fedora-nya.

Semua orang mendadak terhenyak dari keterkejutan mereka.

"Juu…Juudaime!" Gokudera segera melepaskan Lambo dan berlari ke arah Tsuna yang masih belum bergerak. Ia berjongkok di samping Tsuna sembari berkata sesuatu tentang seorang tangan kanan harusnya begini dan begitu.

Yamamoto ikut menghampiri Tsuna, kemudian mengusap kepala Tsuna pelan—yang langsung diprotes oleh Gokudera. "Ahaha. Maaf, Tsuna. Kami tidak menyadarimu."

Ryohei mengikuti mereka, dengan cepat berjongkok, lalu dengan antusias meneriakkan, "Sawada, mau panco denganku, TO THE EXTREME!?"

"Boss, daijoubu?" Chrome hanya mengamati Boss-nya dari sudut ruangan dengan khawatir. Dari semua orang pada ruangan itu, ialah yang paling normal, jadi ia tak ingin mengikuti tingkah mereka dan memilih untuk melihat dari tempatnya duduk.

Bianchi, dengan Reborn yang berada di pangkuannya entah sejak kapan, tengah memamerkan salah satu poison cooking-nya. "Cobalah masakan penuh cintaku, Tsuna, dan rasa sakitmu akan hilang."

Gokudera lagi-lagi memprotes. Pemuda berambut silver itu segera berdiri di depan Tsuna, kedua tangannya terlentang untuk melindungi Sang Decimo dari hal-hal—err, masakan-masakan yang tidak diinginkan. Yamamoto kembali tertawa, masih memainkan rambut Tsuna dengan khusyuk (?). Ryohei malah menyemangati duel yang akan datang antara kakak dan adik di hadapannya.

Tunggu dulu, apa yang terjadi dengan Tsuna? Sedari tadi ia hanya terbujur kaku.

Jangan bilang kalau akibat benturan kepalanya, ia jadi seperti ini?

Hanya Tuhan yang tahu.

"Oi. Bangun, Tsuna," panggil Reborn. Wajahnya menampakkan seringai andalannya. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, yang pasti itu bukan hal yang baik—setidaknya bagi Tsuna. Arcobaleno itu menunduk dengan misterius, menyembunyikan ekspresinya, sebelum melanjutkan, "Jangan bilang kau terpesona oleh tatapan Hibari tadi?"

Gokudera melotot.

Yamamoto tertawa.

Ryohei menganga.

Chrome—entah mengapa, tersenyum kecil.

Mukuro ber-oya-oya.

Hibari menaikkan sebelah alisnya—antara rasa geli dan rasa tertarik.

Tsuna langsung terbangun dengan wajah memerah, menyebabkan Yamamoto harus menghindar supaya kepalanya tidak beradu dengan kepala Tsuna. "REBORN! Apa maksudmu tiba-tiba berkata seperti itu!"

"Entahlah, cuma ingin ngomong begitu saja," balas sosok serba hitam itu santai, hanya membuat Tsuna semakin kesal.

Belum sempat membalas perkataan Reborn, Tsuna dikagetkan oleh sosok anak berkostum sapi yang tiba-tiba mendarat di pangkuannya. Di tangannya, Tsuna lihat, terdapat sebuah buku.

"Gyahahaha! Tsuna, lihat apa yang ada di tangan Lambo-san!"

"…Buku?"

Tumben, batin semua orang serempak, melihat bukannya mainan di tangannya, tapi sebuah buku. Lambo jarang sekali terlihat membaca. Paling tidak, mereka pernah melihat Lambo menggambar sesuatu yang terbilang abstrak, saking abstraknya, mereka tak tahu apa yang ia gambar. Jika membaca, paling-paling bacaannya hanyalah komik atau majalah—segala sesuatu yang bergambar. Meski begitu, jarang sekali mereka melihatnya membaca.

"Lambo-san pinjam buku ini pas Lambo-san pergi ke perpustakaan sama Mama!" Seakan meyakinkan mereka, Lambo melambai-lambaikan buku itu. "Lambo-san hebat kan! Semuanya, menunduklah pada Lambo-san!"

Tsuna membiarkan dirinya tertawa canggung ketika mendengar kecaman Gokudera setelahnya.

"Tsuna, Lambo-san hebat, kan?" tanyanya sekali lagi, matanya memicing licik ke arah Gokudera yang kini mengepalkan tangannya geram.

"Iya, iya," balas Tsuna akhirnya, tangannya menepuk rambut afro Lambo. Berkat pengalamannya tinggal bersama Lambo dalam waktu lama, ia tahu, memprotes hanya akan menambah rengekannya. Toh, kali ini ia benar-benar hebat, karena lebih memilih buku daripada mainan. Tsuna membiarkan dirinya bertanya-tanya, apakah Lambo sedang kesambet?

"Tsuna mau membacakan ceritanya untuk Lambo-san, kan?"

"Eh? Kau sudah bisa membaca sendiri kan, Lambo?"

"Kenapa tidak, Tsuna." Reborn menimpali. "Masih ada 25 menit sebelum kita memulai pertemuannya."

Lambo langsung mendorong buku itu ke depan wajah Tsuna, tak membiarkannya memprotes. Tsuna menghela nafas pasrah dan mengambil buku itu dari tangan Lambo. Ia berdiri dan berjalan menuju meja di tengah ruangan itu, kemudian duduk di samping Fuuta. Mendudukkan Lambo yang sedari tadi bergelantungan (?) pada kaosnya, Tsuna meletakkan buku yang cukup tebal itu di atas meja. Sejenak, ia mengamati sampul buku itu.

Pada sampulnya, terdapat gambar enam karakter—yang ia duga merupakan tokoh penting di buku itu, dengan gambar langit sebagai background-nya. Di bagian atas, terdapat tulisan cukup besar yang terbaca: The Final Sword. Tsuna tanpa berlama-lama segera membuka halaman berikutnya.

Ia mengangguk kecil ketika mengetahui bahwa buku tersebut adalah buku bergambar.

Tentu saja. Mana mungkin Lambo memilih novel yang penuh tulisan?

"Ayo Tsuna, bacakan untuk Lambo-san!" rengek si aho-ushi, sedetik kemudian membalas protes dari Gokudera yang menyatakan, 'Jangan menyuruh Juudaime!' dengan juluran lidahnya.

Tersentak kecil, Tsuna berdehem untuk menghilangkan serak pada tenggorokannya. Matanya melirik Lambo dari sudut matanya yang sedang menunggunya berbicara, dengan sedikit ingus yang mengalir dari hidungnya. Di belakang Lambo, Gokudera mengangguk pelan, mendukung apa yang akan dilakukan Juudaime-nya.

Sekali lagi berdehem, Tsuna memfokuskan perhatiannya pada buku di hadapannya. Ia membuka mulutnya untuk mulai membaca.

"Pada suatu hari, sebuah kerajaan yang tentram dan damai diserang oleh pasukan misterius. Pasukan itu disebut-sebut dengan Gwendylon. Mereka menjajah dan menduduki kerajaan yang mereka runtuhkan. Pada saat itu, mereka adalah monster yang mengerikan.

"Rakyat dari kerajaan tersebut ingin merebut kembali kebebasan mereka. Akhirnya, mereka semua berperang dengan Gwendylon. Namun, Raja mereka yang cinta damai tak menyukai ini. Ia mengajukan surat berisi permintaan untuk berdamai kepada pasukan Gwendylon. Mereka secara tak terduga menerima pengajuan perdamaian tersebut."

Tsuna melihat perhatian rekan-rekannya tertuju padanya. Sempat heran juga, karena orang-orang seperti mereka berhasil tertarik oleh hal seperti ini. Ia buru-buru membaca kalimat selanjutnya.

"Keadaan kembali normal selama beberapa saat. Namun pada suatu hari, rakyat mendengar bahwa kastil di mana Raja berada diserang oleh Gwendylon. Putra dari Sang Raja yang baru saja pulang dari mengembara, mendengar cerita salah satu rakyat dan bergegas menuju kastilnya.

"Di sana, ia melihat banyak sekali prajurit kastilnya tergeletak tak berdaya. Ia dapat menyimpulkan kalau pasukan mereka kalah telak. Dengan amarah yang meledak-ledak, ia mencabut pedang di pinggangnya, dan masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Ia hendak menjatuhkan dirinya sendiri ketika melihat sosok ayahnya yang tak bernyawa di atas singgasananya."

"Tiba-tiba, ia melihat darah mengucur dari perutnya. Sang pangeran menoleh ke belakang dan melihat salah satu prajurit Gwendylon menusuknya. Ia pun terjatuh, dan mereka membiarkannya sekarat begitu saja. Pandangan Sang Pangeran semakin tak jelas. Di saat terakhirnya, ia sempat berpikir. Sungguh menyakitkan jika tidak bisa melindungi orang yang berharga bagimu."

Tsuna berjengit ketika melihat gambar Sang Pangeran yang sedang menjulurkan tangannya menuju singgasana tempat tubuh kaku Raja berada.

"Ia teringat adiknya yang kini berada di sebuah kota. Sang Pangeran hanya bisa berharap adiknya selalu selamat. Sang Pangeran kemudian bertanya kepada dirinya sendiri."

Tsuna menelan ludah. Semua orang masih terdiam, ingin mendengarkan apa yang tertulis selanjutnya.

"Siapa saja orang yang ingin kulindungi? Kenapa aku ingin melindungi mereka? Apakah aku sudah cukup kuat untuk melindungi mereka?"

Tsuna terdiam. Otaknya mencoba meresapi setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Pangeran pada dirinya sendiri.

Orang yang ingin Tsuna lindungi tentu saja teman-teman dan keluarganya yang sangat berharga. Kenapa ia ingin melindungi mereka? Alasannya cukup banyak. Salah satunya adalah karena ia ingin mereka tetap berada di sisinya. Pada pertanyaan terakhir, Tsuna menggigit bibir bawahnya.

Ia tak tahu.

Tapi ia tahu, ia akan berusaha sekuatnya jika itu menyangkut keselamatan teman dan keluarganya.

"Juudaime?" tanya Gokudera, bingung karena tiba-tiba Tsuna berhenti membaca.

Tsuna terhenyak dan segera beralih menuju halaman selanjutnya. Gambar pada halaman itu menampakkan gambar seorang anak muda yang sedang bermain di sebuah ruangan penuh air. Ia tak terlalu ingat namanya. Underground? Ataukah Waterway?

Ia baru akan membuka mulutnya ketika sebuah cahaya yang sangat terang bersinar dari buku itu. Tsuna harus melindungi matanya dengan tangan, saking terangnya cahaya tersebut. Di sisi lain, ia dapat merasakan kehangatan cahaya tersebut. Cahaya tersebut menurutnya tak berbahaya. Namun ia bisa merasakan kalau cahaya tersebut akan menyebabkan sesuatu baginya nanti.

Cahaya aneh tersebut terus bertambah terang. Seluruh ruangan penuh dengan cahaya tersebut, namun semua orang di dalamnya sama sekali tak mengerti apa yang terjadi.

Yang terakhir kali Tsuna lihat adalah wajah Raja dan Pangeran yang tersenyum pada cahaya tersebut, sebelum pandangannya menggelap.


Bisakah kalian menciptakan akhir yang indah?

Semua tergantung pada diri kalian sendiri.


Tsuna perlahan membuka kedua matanya. Mengerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan keadaan. Ia lekas mendudukkan dirinya, tak bisa menahan rintihan dari mulutnya ketika merasakan rasa pening yang amat sangat.

Setelah peningnya mereda, Tsuna memaksakan kedua matanya yang masih sedikit buram untuk melihat sekeliling.

Saat ini, ia berada di sebuah tempat yang penuh dengan air. Baik di kanan maupun kiri, pasti terdapat air. Terdapat sebuah jalan jauh di atas tempatnya berada. Di sela-sela jalan itu, terdapat air yang mengalir seperti air terjun. Tempat ini benar-benar penuh dengan air.

Tsuna teringat sesuatu. Sesuatu yang cukup penting baginya untuk diketahui.

Ia baru saja teringat kalau tempat ini adalah tempat yang sama persis dengan gambar terakhir yang ia lihat dari buku Lambo. Meski Tsuna masih belum tahu persis nama tempat ini. Antara Underground atau Waterway, pokoknya. Kalau Reborn tahu hal ini, ia pasti akan menyiksanya dengan alasan 'Kau masih butuh banyak latihan'.

Tsuna memaksakan dirinya untuk berdiri, sedikit terhuyung setelahnya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Kalau dugaan otak dame-nya ini benar, saat ini ia sedang ada di…

Tunggu.

Coret kata 'ia' ketika Tsuna melihat sosok lain di depannya.

"Hi-Hibari-san!" panggilnya. Entah ia harus merasa senang karena ada yang menemaninya, atau merasa sial karena yang akan menemaninya adalah seorang prefek sekolahnya.

Pemuda yang bersangkutan membalikkan tubuhnya yang sedari tadi membelakangi Tsuna.

"Herbivore," Hibari melihat Tsuna sekilas sebelum kembali mengobservasi tempat asing di sekitar mereka. Pemuda itu sebenarnya merasa harga dirinya terlalu tinggi untuk menanyakan sesuatu pada herbivora berambut coklat itu. Lagipula, ia juga meragukan si herbivora akan bisa menjawab jika ia bertanya padanya.

"Ano…" Tsuna langsung berlari tanpa rasa takut menuju Hibari. Hal ini cukup membuat Hibari bingung, namun di saat yang sama merasa respect karena herbivora yang selalu gemetar ketika melihatnya, kini mendekati karnivora yang bisa saja memangsanya tiap saat tanpa rasa takut.

"Hi..Hibari-san…" Mata Tsuna memperlihatkan kepanikan. Sekilas, kedua mata coklatnya terlihat berkaca-kaca, seperti ingin menangis.

What a vulnerable herbivore.

"Hn?"

Kali ini Tsuna menundukkan kepalanya. Ia masih berusaha mengatur nafasnya yang berat—entah karena ia habis berlari, atau karena kepanikannya. "A-Ano…"

"Katakan dengan jelas, Herbivore."

Bahu Tsuna berkedik. Perlahan, ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Hibari dalam-dalam. Kini ia benar-benar terlihat seperti ingin menangis—bagi Hibari.

"Kita…Aku benar-benar tidak tahu, tapi kita…"

Keringat dingin menetes dari dahi Tsuna. Kedua manik cokelatnya kini bergetar takut. Pandangannya masih belum terlepas dari Hibari, dan satu helaan nafas kemudian, ia melanjutkan perkataannya.

"Kita masuk ke dunia buku."

TBC


Well, itu dia chapter pertama. Maaf kalau absurd, haha. Imajinasi saya kadang emang aneh-aneh.

Nggak tahu kenapa saya nambahin aksi brotherly 8027 di sini. Nggak nge-ship mereka sih, cuma kepingin nambahin aja. Mereka rada cocok jadi kakak adik. XD

Oh iya, untuk tempat berair yang dibingungin sama Tsuna, anggep aja tempat itu kayak Garamschyte Waterway di Final Fantasy XII. Bisa search di google. #ketahuan malesnya

Ada usul pairing? Tapi mungkin romance-nya ga berat-berat amat. Cuma aksi yang unyuk-unyuk aja mungkin. :D

Let me know what you think. Review? But no flame, please? c: