Hihi, NaruHina~ XD

Lama tak bermain (?) dengan pairing ini, hihi :3

Ah, sebelumnya kuperingatkan, fic ini nggak romantis (oke, ini jujur :3) dan cenderung ngarah ke err-lucu-lucuan aja hehe. Jadi jangan tersinggung atau kesel gara-gara fic iniya hihi XD

NO BASHING CHARA XD

Enjoy~

DON'T LIKE, DON'T READ

Title : Lethologica

Disclamer : Masashi Kishimoto

Warnings : OOC (Mungkin), AU, Typo (s) dll

Maaf kalau jelek :)

Story by: Bii Akari

.

.

.


Lethologica—kata yang menggambarkan saat dimana kita tidak bisa mengingat apa yang kita inginkan.

.

.

.


NORMAL POV

GRESSS

Hujan meluncur turun, membasahi berbagai macam objek yang berlindung di bawah naungannya. Awan kelabu tampak bergerumul ramai, menggantikan posisi awan-awan putih bersih yang biasanya bertugas hari ini.

Kerumunan penumpang yang baru saja turun dari kereta bawah tanah itu langsung berhamburan menuju pintu keluar. Beberapa di antara mereka bergegas mengeluarkan payung yang mereka bawa, sementara yang lain hanya bisa menepi di tempat-tempat sekitar—mencari perlindungan sementara.

Seorang pria pirang bersetelan jas hitam kembali merapatkan tubuhnya pada tembok lembab di belakangnya. Sebelah tangannya menenteng tas kerja yang selalu dibawa-bawanya setiap hari. Pandangannya terlihat gusar, lelah sekaligus bosan menanti hujan reda. Ah, melihat dari tebalnya awan hitam yang menggantung di langit, tampaknya hujan akan mengguyur kota kecil itu dalam waktu yang cukup lama—bahkan mungkin seharian penuh.

Mendesah sesaat, pria tampan itupun melonggarkan dasi yang dikenakannya, dua kancing kemejanya sengaja ia buka, sementara kancing-kancing jasnya memang telah ia bebaskan sejak pulang kerja tadi.

Suara gemericik hujan mengalun, bagai musik penghilang jenuh yang terus berputar ulang. Beberapa orang tampak berseliweran di depannya, tentu saja dengan mengandalkan sebuah payung yang melindungi diri mereka. Sepintas, pria pirang itu mendesah kesal. Ya, sepertinya ia teledor lagi hari ini. Padahal sang isteri sudah mengingatkannya untuk membawa payung tadi pagi. Namun bodohnya, ia malah terburu-buru pergi dengan tingkat kepercayaan diri seratus persen—yakin betul bahwa hari ini hujan tidak akan turun.

Tapi lihat sekarang, hujan turun. Pria itu merasa sangat bersalah pada isteri tercintanya. Setelah ini ia berjanji akan mendengarkan kata-kata isterinya—apapun itu.

Detik terus berlalu. Kerumunan orang yang tadinya ikut berlindung dari rinai hujan bersama pria pirang itu mulai berkurang. Beberapa yang beruntung tampak dijemput oleh rekan mereka—entah itu pacar ataupun teman. Pria tampan itu merasa sedikit iri, ingin rasanya ia dijemput seperti itu pula oleh isteri cantiknya.

Bergeleng cepat, pria itu pun kembali menyadarkan diri dari lamunan ngawurnya tadi. Ya, isterinya sekarang pasti tengah sibuk mengurus anak sematawayang mereka—pikirnya yakin. Dan pria itu tidak ingin jika isterinya sampai sakit karena harus menjemputnya di tengah guyuran hujan lebat seperti ini. Tidak, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sampai hal itu benar-benar terjadi.

Sepasang muda-mudi tampak tertawa renyah beberapa meter dari tempat pria pirang tadi. Wajah muda-mudi itu terlihat sangat bahagia, padahal hujan tengah menangis dengan kencang-kencangnya saat ini.

Rasa hangat memenuhi rongga pria tampan itu, begitu melihat sepasang kekasih tadi saling menggenggam tangan—membagi kehangatan. Ah, ingin rasanya ia bernostalgia ke masa-masa mudanya dulu dengan sang isteri. Ya, sebelum dirinya disibukkan dengan pekerjaan yang memburu, dan bos yang gila kerja seperti sekarang.

Pria tampan itu tersadar dari lamunanya kembali, segera saja ia alihkan tatapan manik shappire-nya pada handphone mungil yang kini tengah ia genggam erat.

Isterinya menelepon.

"Moshi moshi, Naruto-kun~"

Sapaan hangat dari wanita di seberang sana membuat cengiran lebar tercetak di wajah pria tampan itu.

"Hm, kenapa, Hinata?"

"Naruto-kun ada di mana? Ini sudah hampir malam loh, Naruto-kun."

Naruto terkekeh geli, sikap manis inilah yang membuatnya semakin tergila-gila pada cinta pertamanya itu.

"Hujan, Hinata. Aku akan menunggu hujan reda sebentar lagi. Tak perlu mengkhawatirkanku."

Wanita di seberang terdiam sesaat. Lalu hembusan napas pendek pun terdengar. "K-kau bisa sakit jika nekat menerobos hujan, Naruto-kun. Tunggulah sebentar, aku akan menjemputmu."

"Tak us—"

"Jangan ke mana-mana, Naruto-kun~"

TUUT

Pria pirang itu terkejut sesaat. Sejak kapan wanita manisnya itu bisa setegas ini padanya, eh? Padahal seingat Naruto, dulu Hinata adalah perempuan yang sangat pemalu. Dan sekarang?

Ah, pria itu mengangguk-angguk mengerti. Ya, Hinata memang selalu menjadi pemalu—selalu. Meski wanita itu akan berubah berani dan percaya diri jika sudah menyangkut masalah keselamatan diri sang suami. Dan dalam hal ini, Hinata pasti tidak ingin Naruto terjangkit demam atau flu. Karena itulah wanita itu bersikeras ingin menjemputnya.

Seraya tersenyum-senyum absur, pria itu pun menengadahkan kepalanya—menatap awan mendung yang masih setia memayunginya. Dan tentu saja, menunggu isteri tercintanya datang menjemput. Tubuhnya perlahan terasa hangat, seiring dengan batinnya yang terus melafalkan nama sang isteri.

'Hinata...'

.

.

.

Wanita beriris lavender itu bergegas menyambar mantel tebal yang tergantung di dalam lemarinya. Sebelah tangannya memasukkan handphone miliknya ke dalam saku roknya, dan sebelah tangannya lagi menenteng sebuah payung dan mantel coklat yang bersiap ia kenakan.

"Hinata, ke sini sebentar. Bantu Kaa-san sedikit, sayang~"

Teriakan kencang dari arah dapur itu membuat pergerakan sang menantu terhenti. Wanita itu pun menggantung mantelnya di tembok dekat pintu keluar, lalu memasukkan kembali payung di genggamannya pada tempatnya semula—sebuah kotak payung setinggi lutut di sudut ruangan.

Hinata lalu berjalan tergesa-gesa ke arah dapur. Iris uniknya menyelidik sekitar, mencari keberadaan mertua cantiknya itu.

"Ada apa, Kaa-san?" tanya Hinata lembut.

Kushina tersenyum kikuk begitu melihat kehadiran menantu sematawayangnya. Nenek berusia 46 tahun itu menarik lengan menantunya dengan lembut—agar lebih mendekat lagi. "Coba cicipi ini, apa yang kurang?"

Hinata menatap adonan kue di atas loyang itu dengan sedikit heran—dari warnanya terlihat normal-normal saja. Bermaksud mengindahkan permintaan Kushina, Hinata pun mencicipi adonan itu dengan ujung jarinya.

Mengerjap-mengerjap sejenak, ibu satu anak itupun mengangguk-angguk kecil. "Hanya kurang gula kok, Kaa-san. Coba tambahkan seperempat liter lagi," saran Hinata. Kushina pun menuruti intruksinya, inilah enaknya punya menantu yang jago masak.

Usai mengaduk-aduk kembali adonan itu dengan mixer, Kushina pun kembali menatap sang menantu—meminta Hinata untuk mencicipinya lagi.

Tanpa menunggu aba-aba, Hinata segera mencicipi sedikit—lebih tepatnya mengecap—adonan kental itu. "Tambahkan susu sedikit lagi."

Tampaknya, ini akan memakan waktu yang cukup lama.

.

.

.

Tepat ketika Kushina menutup pintu oven miliknya, Hinata teringat akan suaminya kembali. Ya, memasak memang ampuh untuk mencuri perhatian Hinata. Wanita itu pun bergegas pamit dan berlalu kembali ke ruang tengah.

Naasnya lagi, tepat sebelum menyentuh gagang pintu rumahnya, Hinata mendengar teriakan lagi dari arah dalam. Kali ini suara anak laki-laki sematawayangnyalah yang ia dengar.

"Kaa-san~ Kau di mana? Aku mengalami kesulitan di sini."

Tanpa pikir panjang lagi, Hinata segera melepas kembali mantel coklatnya dan berlalu menuju kamar putranya itu.

Di dalam sana, seorang anak laki-laki berusia 6 tahun tengah menekuk wajahnya dengan kesal. Bocah laki-laki tampan itu mengacak helaian pirangnya dengan gusar, membuat sang Ibu menatapnya penuh tanya.

"Ada apa, sayang?" tanya Hinata lembut, seraya mengusap pelan helaian pirang buah hatinya.

"Aku kesulitan dengan yang ini," ujar anak laki-laki bernama Yoru itu, sembari menunjuk buku catatan miliknya—tepatnya pada soal nomor 10.

Ha, meski tampang Yoru lebih cenderung mirip ke Ayahnya, namun sikap pemalu dan ketertarikannya terhadap pelajaran sekolah benar-benar mirip seperti Ibunya. Hinata pun tersenyum lembut, seraya memulai les dadakannya tersebut.

.

.

.

Detik terus berlalu, Ibu-Anak itu tampak keasyikan berdua-duaan di dalam kamar sang anak yang hangat—lupa pada sosok kepala keluarga yang tengah meringkuk kedinginan di luar sana. Hinata menatap Yoru dengan penuh kasih sayang, dan dibalas dengan senyuman manis anak lelakinya itu.

"Kau mengerti sekarang?" tanya Hinata lembut. Yoru bergegas mengangguk dengan antusias.

Usai mengecup singkat kening Yoru, Hinata menyusup keluar dari kamar anaknya itu. Dan akhirnya tersenyum samar di balik pintu. Kini ia merasa bagaikan Ibu yang cukup baik—Ha kau memang Ibu yang baik, Hinata.

Wanita cantik itu pun kembali melangkah menuju ruang tengah. Saat hampir menggapai gagang pintu, aksi Hinata kembali terhenti lagi—kali ini sang Ayah mertualah pelakunya.

Laki-laki—yang masih terlihat tampan meski usianya sudah kepala 4—itu menatap Hinata dengan ramah. Bibirnya menggores seulas senyum tipis. "Mau ke mana, Hinata?"

Wanita itu—Hinata—membalas senyum Minato dengan sopan, seraya menunduk malu. Bibir merah mudanya terbuka, hendak menjawab pertanyaan sang mertua.

KRIK KRIK

Mimik wajah Hinata berubah drastis, tatapannya yang semula lembut berubah panik. Kerutan di dahinya mulai bertambah, berpikir keras akan jawaban dari pertanyaan sederhana tadi.

"Nnngg..." Hinata menggaruk pipinya yang tak gatal, gerakannya mulai terlihat kikuk dan aneh. Pandangannya pun terlihat gusar tak menentu.

"Aku," jeda sesaat, wanita itu menatap heran Minato yang tengah duduk santai sembari membaca koran di atas sofa. "Aku tidak ingat ingin ke mana."

.

.

.

.

Di tengah guyuran hujan lebat. Sepasang suami-isteri tengah menatap heran sesosok pria di emperan toko tersebut. Wanita berambut merah muda itu menatap bingung suaminya yang kini tengah memandang lurus-lurus figur pria pirang di seberang itu.

"Apa yang dilakukan Naruto di sana? Ini 'kan sudah malam."

"Entahlah," jawab pria berambut raven itu acuh. Sedetik kemudian, ia kembali merangkul pundak isterinya agar meneruskan langkah mereka menuju rumah—dengan berangkulan mesra di bawah naungan payung mereka.

Sementara pria pirang di sana tampak sibuk menghangatkan diri—dengan mendekap lengannya semakin erat lagi. Hidungnya telah merona merah, bukti bahwa ia telah menunggu dalam waktu yang relatif lama. Rasa hangat yang semula menjalar di dalam tubuhnya—akibat diiming-imingi jemputan oleh sang Isteri—perlahan terkikis, seiring dengan berjalannya waktu.

"Hinata, kau di mana..."

.

.

.

FIN?


GAJEEEE~ *kabur* gomenne, hehe XD *balik lagi*

Habisnya, ide ini tiba-tiba muncul begitu aja pas lagi bengong (?) #nahloh

Daripada bergentayangan mulu di kepalaku, mending kuketik aja kan? #dibuang

Nggak tega jugasih bayangin Naruto nunggu Hinata sampai malam gitu hahaha, tapi kok lucuya rasanya? Habisnya, Hinata manis bangeet, pake lupa lagi mau ke mana *nyubit-nyubit pipi Hinata* #plak

Saya sering gitu kok *eh* kadang suka tiba-tiba lupa mau ke mana #jleb

Yosh, gomen kalau fic ini tidak berkenan, aneh atau gimana (?) jangan sungkan untuk memberikan komentar kalian di kotak review di bawah ini XD

REVIEW yaaa ^^

Arigatou :)