Hallo, ini first fic saya di fandom bleach. aku harap semua menyukainya. kalo fanfic aku yang lain, aku lanjutin kapan-kapan *plak*

Bleach © Tite Kubo

Title : The Dark Blood

The Dark Blood © Himetarou Ai

Warning : Typos, gaje, OOC

A/N : chapter pertama semuanya Ichigo's POV.


Sepasang mataku melirik kearah luar jendela restoran ini. Menatap malas orang-orang dengan berbagai macam gaya berlalu lalang dengan cepat. Didepanku sudah tersedia secangkir kopi yang asapnya mengepul –bertanda masih panas. Menunggu itu memang membosankan. Mungkin lebih baik aku kembali ke kantor dan menatap berkas-berkas yang sudah rapi menungguku dengan huruf-huruf yang begitu menggoda. Ah, aku memang workholic, sampai-sampai aku lebih tertarik pada tumpukan kertas ketimbang wanita.

Itu bukan berarti aku tidak normal. Aku adalah pria yang sangat normal, tapi hanya saja tidak ada wanita yang berkesan untukku, termasuk kekasihku sendiri. Aku saja sampai bingung kenapa aku tidak bisa menyukai pacarku sendiri. Aku memang aneh.

"Maaf ya sudah membuatmu menunggu, Ichigo." Suara yang sudah sangat aku hapal menyapaku. Ah, ini dia orang yang sudah membuat aku mati bosan. Kuchiki Senna.

"Tidak apa. Kenapa kau menyuruhku kesini?" ucapku langsung to the point. Senna kelihatan ragu untuk mengucapkan kalimat yang sangat aku nantikan.

"Aku akan ditunangkan dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal." Satu kalimat yang Senna ucapkan sudah bisa aku tebak selanjutnya. "Aku... aku ingin kau... menikahiku sebelum pria itu bertunangan denganku."

Apa-apaan yang diucapkannya tadi? Ia ingin aku menikahinya? Yang benar saja! Aku tidak mau secepat ini melepaskan masa bujangku! Tidak, tidak, tidak!

"A... aku tidak bisa Senna. Pernikahan itu adalah hal yang tidak bisa dimainkan begitu saja. Itu tidak semudah mengajak orang untuk berkencan. Dan kau tahu kan kalau aku tidak ingin menikah cepat-cepat dulu. Setidaknya sampai aku menjadi orang yang benar-benar sukses."

"Apa ini hanya alasanmu, Ichigo? Kau tidak mau menikah denganku kan? Apa salahku?" ia mulai merintikan air dari matanya, ah bukan, itu air matanya! Ia memang tahu kelemahanku. Wajah memelas+air mata memang membuat semua egoku runtuh. Aku memang lemah terhadap itu.

"Kalau begitu, aku lebih baik tunangan dengannya kan? Aku tau kau tidak pernah suka padaku apa lagi cinta. Aku hanya penganggu bagi hidupmu kan? Mungkin aku bukan jodohmu. Hahaha." Entah kenapa aku mendengar Senna seperti ini membuat bulu kudukku meremang. Ia terlihat mengerikan.

"Bukan begitu Senna." Aku berusaha untuk memberi pengertian padanya. Aku berusaha untuk mencari-cari alasan yang lebih masuk akal. Memang sulit menghadapi gadis seperti ini.

Aku mewajari sifat Senna yang seperti ini. Ia sebenarnya baik, sangat baik malah, tapi sayang, sifatnya sedikit kekanak-kanakkan dan posesif. Ia bersifat seperti sejak bertahun-tahun yang lalu, saat kami bertemu disebuah pesta yang diselenggarakan Kuchiki Byakuya, kakak angkat Senna.

Saat itu, ia tampak sangat kesepian. Ia memang tidak punya siapa-siapa selain kakak angkatnya, meskipun Senna punya segalanya. Dan saat Senna menyatakan cintanya, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya, kalau tidak bisa hancur bisnis yang sudah aku buat dengan susah payah.

"Aku ingin putus, Ichigo. Jujur saja, aku jenuh dengan hubungan kita yang tidak ada kemajuan ini, dibilang pacaran tidak, dibilang temanan tidak. Dan juga, ada laki-laki yang lebih menggiurkan daripada kamu." Ucap Senna tanpa ragu sedikitpun. Aku hanya memasang raut wajah bingung, seolah tidak mengerti apa yang ia ucapkan.

Putus?

"Kita putus."

.

.

Tanganku dengan cepat merapikan berkas-berkas yang sudah selesai aku kerjakan. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan semua yang ada dikantorku berhamburan pulang. Waktunya pulang! Yeah! Setelah ini aku ingin tidur, lalu makan malam diluar –pastinya sendiri–, dan menonton pertandingan sepak bola. Hidup yang sempurna!

"Ichigo, kau mau tidak ikut minum dengan kami? Tenang saja, aku yang akan traktir hari ini. Aku tahu kau pasti kecewa diputuskan Senna, makanya ikutlah dengan kami!" ucap seorang laki-laki berambut merah dan tegak seperti nanas. Tawarannya sungguh menggoda imanku.

Tidak. Tidak! Aku tidak boleh tergoda! Tekadku sudah bulat untuk melakukan hidup yang sempurna tadi. Aku tidak boleh goyah! Memang sejak diputuskan Senna aku sedikit kurang semangat untuk bekerja. Mungkin ajakan Renji ada benarnya.

"Lupakan semuanya Ichigo, kita pesta malam ini!" teriak si baboon merah ini diikuti tawa karyawanku yang lain. Kalau seperti ini, aku tidak bisa menolak lagi.

.

.

Segelas vodka sudah aku telan dengan cepat. Aku bisa merasakan minuman itu membakar tenggorokan ku. Hangat. Aku orang yang tidak kuat dan tidak suka minum, tapi bukan berarti aku tidak boleh minumkan? Bartender ini menuangkan lagi vodka kedalam gelasku. Ah, aku tidak kuat lagi!

Satu gelas saja sudah membuatku sedikit limbung begini, apa lagi dua. Tapi kalau aku tidak minum, aku bisa diejek habis-habisan oleh Renji. Argh, sungguh serba salah!

"Tidak kuat lagi, hn?" si baboon ternyata mengejekku. Aku lirik wajahnya dengan tatapan tajam. Aku yakin dia pasti sudah minum lebih banyak dariku, tapi kenapa ia bisa kuat?

Aku kembali mengambil gelas yang sudah berisi vodka itu dan meneguknya dengan cepat. Setelah itu aku berdiri dan melangkahkan kakiku keluar. Dentuman musik yang keras disini juga seolah membisikkanku agar cepat keluar. Oke, aku keluar!

Aku membuka pintu mobil lamborghini-ku dengan cukup keras –kebiasaan yang tidak pernah aku perbuat kecuali aku sedang emosi. Dengan pandangan yang sedikit kabur, aku kendarai mobil ini sampai kerumah. Rumah kecil –menurutku– yang aku tinggali sendiri dan terletak jauh dari kota. Suasana dirumahku juga tenang, home sweet home!

Tinggal 20 meter lagi aku tiba dirumah. Didepan rumahku, aku melihat seorang gadis pendek keluar dari sebuah taksi dengan paksa. Ditarik paksa! Itu namanya kekerasan!

Gadis itu tampak memohon pada sang supir, tapi supir beserta mobilnya malah pergi! Argh, keterlaluan! Gadis itu terduduk dan menyandarkan badannya ditembok pagarku. Kasihan dia.

Aku memarkirkan mobilku dengan cukup kasar dan berlari kearah gadis itu. Gadis itu meringkuk di jalanan yang gelap ini. Seorang gadis tidak boleh sendirian dimalam hari kan, apalagi sudah hampir tengah malam. Efek dari vodka yang aku minum masih terasa yang membuatku sedikit linglung. Efeknya sangat kuat. Mungkin sekarang aku benar-benar terlihat seperti orang mabuk.

Aku berjalan mendekatinya dengan langkah sempoyonganku. Kemudian, aku menyentuh bahu gadis itu. Seketika ia menoleh padaku. Wajahnya penuh air mata dan dipipinya ada darah yang sudah mengering. Tunggu dulu, dia gadis atau bocah ya? Ah sudahlah, yang penting aku menolongnya dulu.

"Siapa kau?" ucapnya ketus. Ia menatapku seolah kalau aku ini adalah om-om yang suka mengganggu wanita saat tengah malam. Om-om? Emangnya aku setua itu! Umurku baru

"Hei jangan menatapku seperti itu!" aku kesal. Wajahnya yang tadi terlihat iba berubah menjadi ketus. Bocah yang aneh!

"Hei om! Jangan ganggu aku, kalau tidak aku lapor kau pada istrimu!"

"Aku bukan om-om!" aku benar benar kesal. "Dan aku belum punya istri! Kau kira umurku sama dengan umur ayahmu ya, pendek?"

"Dengan bau alkohol seperti itu dan cara jalanmu yang ogah-ogahan itu pasti orang menduga kalau kau adalah om-om mata keranjang. Oh ya, jangan bilang aku pendek, jeruk!"

"Siapa yang jeruk, cebol?"

"KAU!" teriakannya kuat sekali. Baru bertemu dengannya saja sudah berdebat seperti ini, sampai-sampai aku lupa apa tujuanku.

"Ah sudahlah! Kenapa bocah sepertimu diluar seperti ini? Berbahaya tahu!" tanyaku. Ia terlihat bingung menjawab pertanyaanku. Wanita memang sulit dimengerti. Aku membalikkan badanku dan melangkah meninggalkannya.

Terus melangkah sampai didepan pintu rumahku. Tapi tiba-tiba saja keseimbanganku hilang. Aku yakin setelah ini badanku akan sakit-sakit dan biru-biru

BUK!

Aku membuka kedua mataku. Ah, sepertinya aku tidak jadi jatuh mencium lantai. Tapi, aku kok merasa ada sebuah tangan yang hangat melingkar di bahuku ya? Aku mencoba untuk berdiri lagi, lagi-lagi aku 'hampir' terjatuh.

"Kau benar-benar payah!" aku mendengar suara bocah itu lagi. Aku melihat kekanan dan kiriku, tidak ada siapa-siapa

"Hei, aku dibawahmu tahu! Kamu berat sekali ya!" ah, ternyata dia dibawahku. Tenaganya kuat juga ya, mengingat Renji membopongku saja sudah susah payah. "Cepat buka pintu rumahmu, baka! Bisa mati lama-lama kalau kau menindihku seperti ini!"

Aku turuti saja apa perkataannya. Kubuka pintu rumahku. Begitu sampai disofa, ia menghempaskanku dengan kasar. Aku harap semoga pantatku tidak lepas setelah ini.

"Apa yang kau lakukan disini?" ucapku. Bocah pendek itu menatapku setelah menghidupkan lampu rumah. Kini, aku bisa dengan jelas melihat seluruh wajah dan tubuhnya, apalagi ia berdiri tepat didepanku. Wajah putihnya terlihat ternoda dengan luka dan darah, matanya juga terlihat bengkak. Baju kaus putih yang dipakainya juga terlihat kotor dan berdarah. Celana jeans selutut yang dipakainya robek-robek dan juga ada noda darah disana. Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis ini?

"Jangan mentapku mesum seperti itu! Dasar jeruk baka mesum!" teriaknya kencang. Apakah aku melihatnya dengan mesum? "Sudah, aku keluar!"

Cepat-cepat aku tarik tangan kecilnya. Ah, tangannya begitu kurus. Langkahnya pun terhenti, aku tarik ia hingga ia terduduk disebelahku. Wajahnya pucat seketika, ekspresi yang benar-benar lucu.

"Ma...mau apa kau jeruk mesum?" bibirnya yang kering itu sedikit bergetar. Tapi tenang saja, aku tidak akan mem'bungkam'nya karna pikiran masih mendominasi daripada nafsuku.

"Siapa namamu?" tanyaku dengan senyum. Wajahnya berangsur-angsur seperti biasa. Mata violetnya lagi-lagi menatapku. Violet yang benar-benar memabukkan.

"Rukia."

-TO BE CONTINUED-


Maaf ya, chapter yang ini pendek, soalnya ini prolog. mungkin chapter selanjutnya bisa lebih panjang, tapi ga janji loh. Makasi yang udah mau baca. semakin banyak review makin semangat aku untuk update.

see ya!