DevilShosetsuka is here again! Kali ini masih membawa materi songfic tapi kali ini tidak x reader! :v
Dan project kali ini, author bikin bareng dengan Araiiel!
Sebelum lebih lanjut..
Disclaimer: We didn't get anything from writing this songfic, the song belongs to BIGBANG and the characters belongs to Tadatoshi Fujimaki. ^_^V
Dan perlu diperhatikan untuk selalu waspada akan terjadinya typo yang bertebaran tapi tidak separah mobil yang bertebaran di Ibukota, ancurnya tulisan tapi enggak sehancur hidup author, OOCnya karakter tapi tidak separah 'dia' yang disana, dan berantakannya alur cerita ini tapi tidak terlalu berantakan seperti negara ini ditangan para penguasa pelumat sumber daya alam.. :v
Yaudah, Enjoy the story! :D
Song: Bigbang – Loser (English ver.)
Loser, loner
A coward who pretends to be tough
A mean delinquent
In the mirror, you're
JUST A LOSER
A loner, a jackass covered in scars
Dirty trash
In the mirror, I'm a..
Honestly, I've never fit in with the world
I was always alone
It's been a long time since I've forgotten about love
I can't listen to hopeful love songs anymore
You and me both
We're just sad clowns, tamed and scripted
I've come too far
I'M COMING HOME
I wanna go back
To when I was young
Aomine Daiki
Siang itu, matahari bersinar terik, menyorot sosokku yang sedang menyusuri jalan di pusat keramaian kota Tokyo. Aku bisa melihat segala aktivitas yang terjadi disini− orang-orang berjalan terburu-buru, kendaraan berlalu-lalang, hiruk-pikuk penuh kesibukan khas perkotaan. Hal-hal yang sama seperti biasanya. Tidak menarik, cenderung membosankan, sama seperti hidup ini.
Namun saat aku ingin mampir ke toko untuk sekedar mencari makanan ringan pengganjal perut, aku menangkap pemandangan yang mengejutkan. Pemandangan yang sukses membuatku membatu, menatap tajam dan meyakinkan diri kalau sinar matahari tidak menimbulkan ilusi optik. Pemandangan yang selama ini tidak pernah kuinginkan terjadi; melihat Satsuki pergi dengan laki-laki lain.
Apa dia itu temannya Satsuki? Aku bertanya-tanya sendiri. Rasanya bukan, aku tidak pernah melihatnya di Akademi. Atau mungkin iya, tapi aku tidak tahu? Merutuk sikapku selama di Akademi yang acuh tak acuh dan tidak pernah peduli untuk melihat sekitar, bahkan Ryo yang setiap hari bertemu di kelas dan saat latihan basket, sering tidak ku gubris. Apa memang benar lelaki itu satu sekolah dengan Satsuki dan aku? Sialan, memang menyebalkan sekali rasanya menjadi orang yang tidak tahu.
Aku menarik nafas, mencoba menenangkan diri. Apa yang harus kulakukan? Hmm.. Lebih baik aku telepon saja Satsuki, aku ingin tahu bagaimana reaksinya ketika menerima panggilan dariku. Kuraih telepon genggamku dari saku celana, aku mengetik nama Satsuki pada daftar kontak dan langsung menekan tombol panggilan. Kuharap dia mau mengangkat teleponku. Aku masih terus memantau pergerakan Satsuki dan gandengannya dari kejauhan seraya tetap memasang ponsel ditelinga.
Satsuki membuka tasnya, dan sekilas melirik layar telepon genggam, tanpa perlu merasa harus mengeluarkannya dari dalam tas. Dugaanku benar, dia langsung menutup teleponnya dan tetap melanjutkan kencannya dengan laki-laki itu. Seolah aku tidak ada. Seolah aku tak dianggap. Seolah ia sudah tak lagi mau peduli. Aku hanya bisa menghela nafas yang dalam melihatnya berkencan dengan laki-laki lain, bukan aku. Dengan lelaki sialan itu, Satsuki bisa dengan lepasnya tertawa dan menampilkan ekspresi positif. Ia tidak hentinya tersenyum, dan matanya berbinar. Tapi saat bersamaku? Satsuki tidak pernah sebahagia itu. Karna kebodohanku selalu saja membuatnya lelah. Ia pasti muak dengan sifatku yang pemalas− meski sudah mengingatkanku ribuan kali.
Ah sial! aku tidak peduli dengan semua ini. aku hanya bisa berpaling dari Satsuki dan berjalan menghampiri jalanan yang sepi ini, tapi apa ini, kenapa dadaku terasa sakit, emosiku meluap-luap dan tidak dapat kutahan lagi. Aku tak dapat lagi menahan semua rasa ini, tiba-tiba saja di sela-sela bangunan yang menjulang tinggi, aku menatap tajam mobil yang terparkir rapih tepat disamping tempat pembuangan sampah. Aku menghampiri mobil itu dan kutendang dengan sekuat tenaga kaca spion mobil itu hingga terlepas dari mobilnya, tak henti-hentinya badanku tergerak sendiri untuk memukul dan menendang kaca mobil itu hingga seluruhnya tak bersisa.
Ah sial! Semua ini membuatku emosi. Aku tak dapat lagi menahan rasa sakit yang seketika tiba, dan berjalan cepat meninggalkan tempatku berdiri tadi. Di sela-sela bangunan gedung yang menjulang tinggi, aku menatap tajam sebuah mobil yang terparkir rapi tepat disamping tempat pembuangan sampah. Aku menghampiri mobil itu dan kutendang dengan sekuat tenaga. Kaca spion mobil itu patah, lalu terlepas, kakiku meninggalkan tapak di rangka alumunium mobil. Masih belum puas, aku kembali melampiaskan amarahku ke seluruh kaca mobil. Pecahannya bertebaran di tanah.
Aku berteriak kencang, menyalurkan seluruh kemarahan yang terpendam dalam diri, tapi aku belum puas, bahkan setelah menghancurkan mobil milik orang lain. Ada apa denganku hari ini? Padahal matahari masih berpijar, namun mengapa udara terasa dingin menusuk tubuh sampai ke tulang?
Sekarang aku menggigil kedinginan karena aku hanya menggunakan kaos tipis. Eh? Kenapa sekujur tubuhku terasa lemas? Hanya karena melampiaskannya ke mobil butut-yang-bukan-punyaku itu, aku sudah kelelahan seperti ini?
Aku menghela nafas sedalam mungkin, memasukkan kedua tangan ke saku celana dan memejamkan mata sesaat, mengingat semua kejadian hari ini yang membuat jiwa raga lelah. Satsuki menggandeng laki-laki lain− yang sebenarnya adalah haknya− juga karena salahku. Karena aku terlalu lemah untuk mengakui kalau aku membutuhkannya. Karna aku pengecut. Betapa payahnya aku ini; tidak bisa mengatakan langsung pada Satsuki, bahwa aku ingin berjalan bersamanya lagi seperti dulu sebagai sahabat lama. Atau mungkin lebih dari itu.
Sudah lama sekali semenjak aku menjadi seperti ini. Aku selalu memikirkan keegoisan diri sendiri, sampai aku lupa rasanya mencintai teman yang berharga, terutama dengan Tetsu. Aku meninggalkannya, tidak membalas lagi kepalan tangannya saat terakhir kali kita berjumpa, dan Tetsu tidak akan pernah lagi melakukannya. Kuangkat tangan kananku keatas untuk menggapai langit yang tak akan pernah bisa kugapai, dan aku sendiri tak tahu mengapa aku mengangkat tangan kananku seperti orang bodoh. Tch, lebih baik aku pulang saja.
Sesampainya di apartemen yang kutinggali setelah lulus dari Akademi Tōō, semuanya sangat jelas dimata. Betapa berantakannya hidupku tanpa mereka semua. Aku masih bisa melihat bayangan Satsuki dan Tetsu saling bercengkrama dikasurku, makan malam bersama dengan yang lain, Midorima yang selalu berceramah kepada Murasakibara tentang tata krama, Kise yang selalu berdebat dengan Satsuki tentang tren fashion terkini, hingga senandung suara Satsuki menyanyikan lagu-lagu kesukaannya.
Aku sekarang baru sadar, bahwa aku ini hanya sendiri didunia ini tanpa mereka. Tanpa Satsuki. Aku merasa tidak layak berada di dunia, bahkan untuk sekedar berterimakasih kepada mereka yang selalu hadir dihidupku, aku tidak bisa melakukannya. Aku tak akan pernah bisa membalasnya meskipun hanya sekali. Bodohnya aku ketika baru menyadari bahwa apa yang kurasakan selama ini saat bersama Satsuki− semua tawa kami, senyumnya, perhatiannya, itulah yang disebut cinta!
Kenapa penyesalan selalu datang diakhir?
Aku menyandarkan diri pada dinding kamar, meratapi semua yang telah terjadi. Aku sadar selama ini Satsuki selalu ada untukku, seperti malaikat penjaga untuk seorang pengecut terkutuk. Pasti dia lelah karena aku bersikap tidak peduli dan selalu mementingkan diri sendiri. Dia pasti sudah muak dengan semua yang ia lakukan untukku seorang, dengan keegoisanku.
Aku tersungkur jatuh di lantai kamar, memikirkan segala hal menganggu ini.
Aku dan Satsuki bagaikan dua badut yang terkontrol dalam jeratan rutinitas yang kusukai, basket. Basket menjerat kami, memaksa aku dan Satsuki menempel erat. Berkat aku, Satsuki juga terjerumus didalamnya, tak ada hal lain yang bisa aku dan Satsuki lakukan selain hal yang berhubungan dengan basket. Sudah sampai sejauh ini aku memaksanya untuk terus berada disampingku, ini sudah terlalu jauh dan keterlaluan untuknya.
Ya, mungkin ini adalah hukuman dari Kami-sama untukku. Aku tidak akan menyesalinya karena memang aku pantas mendapatkan ini semua, tapi.. kenapa air mataku mengalir deras begitu saja? Tiba-tiba kurasakan sesak didada, seolah seluruh pasokan udara ditarik dari paru-paruku. Mungkin ini perasaan sesak yang sama, yang dengan biadabnya kutimpakan pada Satsuki.
Aku yang selama ini selalu tangguh dihadapan yang lain, dikalahkan oleh Kami-sama begitu saja. Dia menyadarkanku tentang posisiku didunia ini, siapa hamba dan siapa Tuhan. Motto yang selalu aku percaya bahwa orang yang mampu mengalahkanku hanyalah aku, dipatahkan sekejap mata. Dia menghukumku atas kesombonganku dengan cara mengambil semua milikku yang berharga, Ia mengambil temanku, keluargaku, dan orang yang paling berharga untukku, yaitu Satsuki.
Memang benar kata orang-orang, kau menuai apa yang kau tanam. Aku menyemai bibit angkuh itu, dan sekarang, disinilah aku; sendirian, ditinggalkan dengan segala luka dan kepedihan yang berawal karena diriku sendiri.
Aku ingin kembali lagi ke masa-masa dimana aku menatap dunia dengan lugu, bermain basket dengan sepenuh hati tanpa memikirkan siapa yang menang dan kalah. Bermain basket dengan alasan sederhana; karna aku menyukainya. Aku ingin pulang, kembali ke pelukan Ayah dan Ibu yang selalu membuatku nyaman.
Aku rindu melihat senyum ayah. Aku rindu memandang tatapan penuh cinta ibu. Aku ingin memutar waktu kembali, dimana aku bisa mencium aroma roti madu dan susu hangat saat bangun pagi. Aku ingin berjalan diantara kedua orangtuaku lagi, menggenggam tangan mereka erat dan tertawa riang. Aku ingat, pelukan hangat ibu dan tangan besar ayah yang mengacak rambutku menjanjikan perlindungan dari dunia luar yang kejam dan penuh lika-liku.
Namun itu semua adalah kenangan masa lalu yang tidak akan pernah kembali lagi untuk kedua kalinya. Mungkin saat ini adalah dimana aku menyentuh titik terbawah dalam hidupku yang berantakan ini.
Minna-san, gomennasai! Atas semua perbuatanku kepada kalian selama ini! Rasanya ku ingin berteriak dengan kencang dikamar ini, tak peduli siapa yang dapat mendengar teriakanku. Tapi aku hanya bisa berteriak dalam hati, tak dapat mengungkapkannya secara lisan, dan air mataku jatuh semakin deras membasahi wajah.
Aku memang pengecut.
To Be Continued
Next Up:
Murasakibara Atsushi
Bye Bye!
