Pernahkah kau merasa keluargamu adalah keluarga yang sangat istimewa, dengan ayah idola yang mewarisimu kemampuan-kemampuan sempurnanya secara genetis, ibu penuh kasih sayang yang mewarisimu keelokan rupa yang membuatmu kelak tak perlu susah mencari jodoh, dan seorang adik laki-laki yang cukup untuk membuatmu tidak memerlukan apapun lagi di dunia ini?
Uchiha Itachi, bocah lelaki istimewa berusia tujuh tahun, merasa hidupnya sempurna.
Setidaknya sampai hari itu tiba. Dimana fakta mengejutkan tentang keluarganya begitu saja menjeblak terbuka seperti pintu terkunci yang ditendang sekuat tenaga.
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
kennko-hime
present
~ooOoo~
...
THE ONLY GIFT
Chapter 1: A Bitter Disclosure
...
~ooOoo~
Malam itu sebenarnya sama seperti malam-malam lain di musim panas bulan Juli, dengan udara lembab yang hangat di malam hari dan bintang-bintang gemerlap tumpah di langit pekat. Yang membedakan baru terlihat ketika kita menyadari malam ini lebih sedikit meriah. Malam di musim panas ini tidak hanya diisi suara kerikan jangkrik yang berkembang biak dengan pesat di musim ini, kemerincing lonceng angin yang digelitik angin lembut, atau gelegar ledakan kembang api berwarna-warni di udara.
Ya. Selalu ada kemeriahan ekstra saat dimana seluruh klan Uchiha berkumpul untuk merayakan sesuatu. Itachi mengingat ketika cawan-cawan sake yang diangkat ke udara dalam sebuah toast di pesta barbecue malam itu mengimbangi gelak tawa pria-pria Uchiha dewasa di sekitarnya. Aroma lezat asap daging yang sedang dipanggang oleh wanita-wanita Uchiha, termasuk Uchiha Mikoto ibunya, dengan mudah menguar masuk dari kebun sisi ruangan luas yang padat itu melalui pintu geser yang terbuka lebar. Aromanya mudah berbaur dengan harum sake yang memadati ruangan lebar yang sudah tersesaki banyak anggota klan Uchiha.
"Untuk Itachi!" seru Uchiha Teyaki sambil mengangkat cawannya tinggi-tinggi. Wajahnya memerah, bukti bahwa alkohol sedang berkuasa dalam darah pria pemilik postur tinggi besar itu. Sedetik kemudian, pamannya yang setengah mabuk itu meringis pada Itachi dalam senyum penuh kebanggaan ketika ia melanjutkan, "Uchiha terhebat, dimana masa depan klan kita kelak bertumpu!"
Semua orang di ruangan lalu mengalihkan pandangan mereka menuju pada putra sulung Uchiha Fugaku, bersorak ramai seakan mengamini kata-kata sang paman yang sudah setengah mabuk itu. Sekilas Itachi juga menangkap sosok ayahnya, salah satu anggota terpandang di klan yang biasanya dikenal sebagai pribadi yang dingin itu, juga ikut mengangkat cawannya. Mengerling putranya dengan ekspresi amat bangga.
Diliputi rasa senang yang meluapi hatinya, Itachi ikut mengangkat cawannya demi kesopanan –tenang saja, hanya berisi ocha— sambil tersenyum mendengar harapan yang ditangkapnya sebagai pujian itu. Saudara sepupunya, Uchiha Shisui, yang duduk di sampingnya juga ikut mengangkat cawan ocha yang dipegangnya.
"Kau dengar itu, Itachi-kun? Klan Uchiha suatu hari akan bertumpu padamu," kata Shisui sembari menunjuk hitai ate yang terikat di dahi Itachi, yang baru saja resmi ia dapatkan setelah upacara kelulusan akademi siang tadi.
"Terimakasih, Shisui," Itachi tersenyum. Entah untuk keberapa kalinya hari ini, yang jelas sudah melebihi berkali lipat jumlah ia biasa melakukannya di hari biasa. Karena hari ini spesial, dimana ia tak perlu memikirkan jutsu, strategi, ujian, atau apapun dengan keseriusan sebagai unsur utama seperti hari biasa. Hari ini juga tak melibatkan nyawa, maka ia bisa tersenyum sekehendak hatinya.
Ini pestanya.
Pesta yang digagas pria-pria Uchiha didepannya, yang kini tengah asyik menyantap yakitori panas yang dibawakan wanita-wanita Uchiha, untuk merayakan kelulusan secara gemilangnya dari Akademi Ninja Konoha di usianya yang baru menginjak angka ketujuh. Usia dimana kebanyakan anak-anak Konoha pada umumnya masih baru akan menjejakkan kaki mereka untuk masuk akademi yang sama, dan baru belajar hal-hal yang sangat dasar.
Semua orang setuju dan bilang bahwa itu merupakan prestasi. Beberapa orang menambahkan untuk menyebutnya sebagai rekor. Beberapa orang hanya tercengang, berdecak kagum, lalu menepuk kepalanya sambil mengatakan "Tentu saja! Tidak mengherankan, kau memang anak Uchiha Fugaku,"
Oke, mungkin bohong kalau menyebut malam ini sama seperti malam-malam lain di musim panas bulan Juli biasa. Karena pada kenyataannya Itachi merasa bahwa hari ini sangat berbeda. Hari ini adalah hari dimana ia merasa bahwa dirinya adalah pribadi yang spesial, membuatnya merasa sangat bangga menjadi seorang Uchiha.
Pernahkah kau tahu seberapa besar rasa bangga ketika kau menyadari bahwa di usiamu yang belia kau sudah diunggulkan dari suatu klan yang dikenal hebat? Perasaan bahwa hidupmu sempurna?
Malam ini, jika kita menyodorkan pertanyaan terbuka itu pada Uchiha Itachi yang berusia tujuh tahun, dia akan yakin menjawab "Aku merasakannya sekarang!"
.
.
'Seperti segalanya di dunia ini, kebahagiaan itu semu.'
Itachi pernah membaca kalimat penuh aura pesimistis itu di suatu buku saat Asuma-sensei di akademi memberikannya tugas baca. Dan Itachi kecil, sang pemilik hidup sempurna, sempat mencibir dalam hati bahwa penulis buku hanya mampu menularkan keputus-asaannya kepada pembacanya lewat rangkaian kata-katanya. Mungkin karena Itachi kecil belum mengerti, bahwa hidup tak hanya bersisi putih. Itachi belum tahu bahwa hidup juga memiliki sisi hitam. Apalagi untuk mengetahui bahwa hidup sebenarnya bukan keduanya. Hidup tak punya urusan sama sekali dengan sisi hitam atau putih, hidup adalah abu-abu.
Tapi mungkin bila ia ingat cibirannya pada kalimat itu, ia akan menariknya kali ini. Karena sekarang ia merasakan sendiri, bahwa kebahagiaan itu juga hal yang semu. Tak abadi.
Hidupnya berjungkir balik kurang dari tiga kali dua puluh empat jam sejak gegap gempita pesta keluarga Uchiha selesai malam itu. Alih-alih sisa sukacita yang masih melekat setelah pesta itu, kini yang menyesaki hati Itachi adalah kedukaan yang amat sangat. Hatinya hancur lebur. Fakta mengejutkan tentang keluarganya begitu saja menjeblak terbuka seperti pintu terkunci yang ditendang sekuat tenaga.
Ya, siapa yang menyangka bahwa hanya berjarak 3 hari saja kebahagiaan bisa lenyap. Menyublim tanpa sisa seperti bola-bola kamper aneka warna yang sering kali diletakkan Mikoto di lemari pakaian atau di sudut-sudut lantai kamar mandi. Hilang begitu saja, seperti tak pernah ada sebelumnya.
Hari itu adalah hari yang mengacaukan keluarganya, membuat pandangan Itachi terhadap keluarganya tak akan pernah sama lagi.
"Saya harus bertemu dengan Uchiha Fugaku-san…"
Hari itu adalah ketika dimana ibunya menerima tamu yang datang ke rumah mereka. Mempersilakan seorang wanita asing, kunoichi pemilik rambut hitam panjang dari Iwagakure jika menilik simbol dari hitai-ate yang terpasang di lehernya, untuk masuk dan duduk di ruang tamu mereka yang nyaman. Sang kunoichi berwajah muram yang sekilas serupa ibunya itu membawa seorang balita lelaki yang sedang terlelap dengan sangat damai dalam pelukannya. Bocah itu berkulit pucat dengan rambut hitam berusia dua tahun, seusia Sasuke.
Tentu saja dari siang itulah kekacauan dalam hidupnya dimulai.
Siang itu ia disuruh ibunya untuk menggantikan menjaga Sasuke —dua tahun— yang sedang tidur siang di kamarnya, ketika Itachi tak sengaja mendengar percakapan antara ibunya dan sang tamu di ruang sebelah.
"Uchiha-san… Saya harus mengatakan hal yang paling penting," tutur sang kunoichi dengan suara bergetar pada akhirnya setelah makan beberapa waktu untuk basa-basi. Wanita itu lalu mengusap airmata yang tiba-tiba saja berluncuran di pipinya. "Ini tentang maksud kedatangan saya kemari."
Mikoto menghentikan gerakan tangannya yang sedang luwes menuang ocha hangat ke cawan tamunya. Kedua matanya langsung merubah fokus, berganti menghujam curiga ke arah iris gelap sang kunoichi secara intens. Segaris rasa waswas tak luput mengikuti. Ia memiliki firasat bahwa ini akan jadi sesuatu yang serius.
"Saya hanya ingin memohon agar anak ini diakui, oleh ayah biologisnya,"
Uchiha Mikoto membeku mendadak. "Maaf?"
"Oleh suami anda, Uchiha Fugaku,"
Sang nyonya rumah membekap mulutnya dalam keterkejutan. "J-jadi maksud anda… Anak itu…" Uchiha Mikoto ganti memandang bocah lelaki seusia Sasuke dengan airmata yang sudah merembang di pelupuknya. Kemana poin pembicaraan ini akan mengarah, ia sudah bisa menebaknya. Tapi ia berusaha menolak kemungkinan itu.
"Tentu saja," Sang kunoichi mengiyakan. Terdengar seperti vonis mati saat ditangkap telinga Mikoto. "Tolonglah, saya sudah merelakan karier dan nama saya hancur di dunia shinobi dengan mengandung, melahirkan, dan merawat anak ini walau tanpa suami yang sah. Saya tidak sedang menuntut mengganti biaya perawatan anak ini, menuntut dinikahi, atau menuntut hak warisan apapun,"
Air mata bergulir di sisi wajah Uchiha Mikoto tanpa dapat dikendalikan lagi. Jiwanya tergoncang ketika kenyataan pahit yang dahsyat tiba-tiba disodorkan ke hadapannya.
"Saya hanya butuh pengakuan demi anak ini, anak yang berhak menyandang nama Uchiha,"
"TIDAK MUNGKIIIN…! Tidaaak! Tidak—" Bagaikan tersambar petir di siang hari musim semi yang cerah, Uchiha Mikoto langsung histeris ketika sang kunoichi dengan berderaian airmata selesai mengutarakan dengan bahasa yang sopan dan halus bahwa maksud kedatangannya ke rumah mereka sebenarnya adalah untuk menuntut pertanggungjawaban dari ayah biologis anak yang dibawanya. Yang sedang tertidur lelap dalam buaian ibunya itu.
Siapa yang dimaksud wanita itu dengan ayah biologis si bocah lelaki?
Itachi, yang tak sengaja menguping, tak perlu waktu lama untuk mengartikannya. Tentu saja yang dimaksud adalah ayahnya. Ayah kebanggaannya yang sedang pergi dalam misi ke Sunagakure yang berjarak dua hari perjalanan darinya sekarang. Itachi juga tak perlu waktu lama untuk memutuskan memilih ikut campur dan berlari mencapai ruang dimana ibunya mendadak ditemukannya merosot pingsan.
"Okaa-san! Okaa-san, bangunlah!" Itachi dengan gemetar menggoncang bahu ibunya yang tak sadarkan diri. Terguncang karena fakta yang juga baru diketahuinya secara tak sengaja, ditambah menemukan ibu yang disayanginya tak sadarkan diri, Itachi benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuatnya sekarang. Masih terlalu shock untuk memutuskan apa yang harus dia lakukan sekarang, dalam keadaan seperti ini.
"Ah maafkan aku," Wanita yang tetap menolak menyebutkan namanya itu lalu menyeka air matanya dari wajah ayunya yang basah. Menundukkan kepalanya ringan pada Itachi. "Tapi aku mohon padamu.. Jaga dia, ya…" kata sang kunoichi dengan suara penuh nada kesedihan. Ia meletakkan dengan hati-hati balita dalam buaiannya diatas bantal duduk di sisinya. Setelah mengecup ringan dahi sang balita, ia melesat pergi begitu saja.
"Hei! Tunggu!" Itachi berteriak pada udara kosong. Sang kunoichi keburu meninggalkan Itachi yang lalu terdiam dengan hati hancur berkeping-keping, masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan ibunya yang pingsan di sisinya, balita di hadapannya yang mulai bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya, dan Sasuke kecil yang mulai menangis di kamar sebelah.
Yang Itachi tahu, keluarganya akan hancur sebentar lagi.
"Otou-san.." Itachi berbisik, memejamkan matanya erat. Itachi menolak kenyataan. Ia mencoba mempertahankan imaji akan ayah ideal milik Fugaku di istana hatinya yang perlahan runtuh. "Tidak! Tidak! Tidak!!!" Satu tangannya lalu mencengkram erat bagian depan bajunya, seakan dengan begitu rasa sesaknya akan hilang. Sementara satu tangannya lagi memukul meja dengan kuat. Dalam hitungan milidetik bulir-buliran air bening dari sepasang mata onyx itu kemudian keluar dengan deras, berderaian bebas bersama isakan pedihnya. "OTOU-SAAAAN!!!" Putra sulung Uchiha Fugaku berteriak marah.
Itachi terisak, menunduk menyadari rasa sakit yang begitu saja menghantam tepat di rusuknya. Beginikah rasanya dikhianati? Mengapa harus ayahnya, orang yang dikaguminya? Kenapa tidak ada yang memberitahunya bahwa rasanya akan sakit sekali? Napasnya menderu berkejaran. Ia meletakkan satu telapak tangan di dadanya yang kini sesak bagai dicekik rasa sakit tak terdefinisi.
Dan perasaan sesak itu masih berlanjut hingga malam harinya.
.
.
Sudah hampir tengah malam ketika Uchiha berusia tujuh tahun mencari ketenangan dengan berdiri diam di halaman kompleks keluarganya. Kepalanya tertengadah ke hamparan langit luas di atas sana. Sepasang mata sendu yang menyimpan bakat sharingan didalamnya memandang kosong bulan purnama dengan kilau keperakan yang mengambang anggun diatas kepalanya. Sementara bintang-bintang mungil berpendar gemerlapan. Menjadi partner rembulan di keteduhan langit malam, mirip glitter yang tumpah diatas kain satin. Langit musim panas malam ini cerah. Dan itu bukanlah pemandangan jamak yang bisa ditemui tiap hari. Terlalu sayang untuk hanya ditatap kosong di satu titik tanpa dijelajahi seluruh keindahannya, persis seperti apa yang dilakukan Itachi sekarang.
Namun Itachi sedang tidak memiliki waktu untuk sekedar menikmati langit diatasnya. Pikirannya sedang penuh.
Sore setelah skandal menggemparkan itu, wanita-wanita Uchiha segera datang setelah Itachi meminta tolong dan menceritakan semuanya. Para kerabat itu mencoba turun tangan menenangkan Mikoto yang nampak sangat terpukul, hingga kelihatannya sudah kehilangan gairah hidup. Beberapa diantaranya juga merawat anak lelaki sang kunoichi Iwagakure yang sejak bangun terus menerus menangis itu. Mereka seakan lupa kepada Itachi yang juga terpukul atas kejadian ini.
Pria-pria Uchiha juga segera tanggap dan turut ambil bagian. Beberapa diantaranya membentuk tim untuk melacak keberadaan kunoichi misterius yang pergi begitu saja itu. Sedang beberapa yang lain memilih untuk segera memikirkan solusi untuk aib yang mencoreng nama besar klan Uchiha ini. Sisanya sepakat untuk menjaga agar aib besar ini jangan sampai tersebar dan terdengar masyarakat diluar klan Uchiha dulu.
Dan tampaknya juga tak ada yang menyadari saat Itachi menyelinap keluar dengan Sasuke di gendongannya. Menghindar dari suara isakan ibunya, tangisan si anak lelaki, dan hiruk pikuk kerabatnya yang membuat dadanya makin menyesak hanya dengan mendengarnya saja.
Akhirnya disanalah kakak-beradik Uchiha itu berada sekarang. Sasuke kecil yang sudah sejak berjam-jam lalu tertidur di gendongan Itachi itu mengeratkan pelukannya ke leher kakaknya, yang masih menengadah ke langit dan membiarkan pikirannya melayang tak tentu arah. Sesekali bibir mungil si bungsu melontarkan igauan-igauan lirih tanpa makna dalam tidurnya tepat di sisi telinga Itachi. Itachi lalu meresponnya dengan menggosok lembut punggung adiknya, agar tak kedinginan terkena angin malam.
"Itachi!" suara yang merobek keheningan malam itu membuat sang pemilik nama yang disebut menoleh. Menemukan bibinya, Uchiha Uruchi, dengan ekspresi prihatin tergopoh menghampirinya. "Astaga, kau disini ternyata… Demi seluruh bijuu! Ayo pulang Itachi… Ini sudah hampir tengah malam,"
Itachi kembali terdiam memandang langit. Sementara Sasuke mengigau dengan gelisah lagi di dekapan Itachi, membentuk kerut di alis yang membingkai matanya yang terpejam. Nampaknya tidur Sasuke terganggu dengan suara yang tiba-tiba muncul.
"Ayo, pulanglah Itachi. Kasihan adikmu. Dia bisa masuk angin," bisik wanita berbadan subur itu, mencoba membujuk Itachi lagi.
"Bagaimana… Keadaan di rumah?" Itachi bertanya pelan. Uruchi mendesah mendengar pertanyaan Itachi.
"Ibumu baru saja tertidur… Ia sejak tadi menangis terus di kamarnya. Menolak untuk makan. Juga masih menolak saat kami ajak bicara. Ia hanya menangis. Aku rasa ia shock sekali karena kejadian ini," jelas wanita itu. "Sedangkan anak itu… Ah, aku kasihan kepadanya, Itachi. Ia juga menangis terus sejak ia terbangun. Memilukan. Ia terus saja menyebut 'kaa-chan, kaa-chan', terus menerus memanggil ibunya sampai suaranya serak. Ia tetap menangis sampai ketiduran, kasihan sekali." Uruchi mengelus dada.
Itachi terdiam. Baru menyadari sesuatu. Bahwa yang terluka karena hal ini bukan hanya ia, ibunya, dan klan Uchiha. Namun juga anak lelaki tak berdosa itu…
"Oh ya. Juga tentang ayahmu, Itachi." sang bibi memperhatikan ketika raut Itachi makin muram. "Tekka ji-san dan Inabi ji-san sudah menyusulnya ke Suna. Empat hari lagi seharusnya mereka akan datang. Yah, kuharap sidang disiplin Badan Kehormatan Klan yang digelar setiba ayahmu kembali bisa menentukan penyelesaian terbaik untuk mengatasi masalah ini." Uruchi mengusap rambut Itachi perlahan. "Tegarlah, Itachi!"
"Terimakasih, Uruchi ba-san…" Itachi memilih menundukkan kepalanya untuk membalasnya.
"Mari kita pulang…" Uruchi lalu mengambil alih Sasuke dari buaian Itachi, membuat Sasuke kecil merengek pelan. Namun dengan segera terlelap kembali setelah Uruchi mengusap punggungnya pelan. Uruchi juga menggandeng tangan keponakannya, putra sulung Uchiha Fugaku, yang berwajah murung. Ia meremas lembut telapak tangan mungil itu dan memaksakan tersenyum, mencoba mendukung keponakannya secara mental sepanjang perjalanan kembali ke kediaman mereka. "Masalah ini pasti selesai."
:::: To Be Continued ::::
:Author's Corner:
Huihihi. Halooo.. Ketemu lagi sama saya! *wink* :D
Pertama-tama saya mo makasih dulu deh sama senpai saya yang superduperhyper baik hati, Lady Arlene, alias kak Iputz, yang udah menyemangati –dan juga nagih-nagih :p— saya untuk mengaplod fict ini. (Awas aja yah si kakak kalo ga review XD –gampared-)
Fict ini rencana aslinya mau saya bikin oneshot, tapi karena kepanjangan akhirnya saya bagi jadi dua, atau mungkin nantinya tiga chapter.. :)
Di chapter ini, yang OC bikinan saya cuma si kunoichi Iwagakure itu. Lainnya ada beneran kok di versi canonnya.
Nyiahahaaa.. Dan apakah para readers yang terhormat sudah bisa menebak, siapa yaaa kira-kira si balita lelaki berkulit pucat seusia Sasuke itu? ;) Jawaban, con-crit, saran, opini, flame, dsb dst etc diterima dengan senang hati, dengan mengklik tombol ijo dibawah ini.. Terimakasih! *bungkuk-bungkuk*
