Disclaimer: Masashi Kishimoto

Author: zephyrus 123

Warn: AU, dark future, somewhere on what-imagination-calls-it, friendship

.:Empat Penjuru Mata Angin:.

Bab 1: Tentang Mereka

Kepingan partikel debu menari bersama angin yang baru tiba dari sudut kota. Angin pula yang membuat gumpalan asap tebal di atas menyingkir. Matahari memangkas habis spektrum kebiruan dari kemegahan tudung dunia. Yang tersisa hanya pendar pucat kekuningan di ufuk barat. Tinggal menunggu waktu untuk menghilangkan pengaruh sang pembawa kehidupan.

Pemuda berambut keperakan merandek mendapati sebelah matanya terganjal sesuatu. Ia mengusapnya.

"Sial...," rutuknya. "Combo! Ini untuk ketiga kalinya di hari yang sama."

Angin kering dan panas akhir-akhir ini kentara sekali mendominasi kota. Kota yang mencoba bangkit dari keterpurukan, menghilangkan cap nekropolis di belakang namanya.

Kini ia mengambil posisi duduk di salah satu sisi pipa. Mengistirahatkan kakinya yang sedari tadi terus bergerak bolak-balik.

"Berhentilah merutuk dan menghitung sesuatu yang mustahil kau cegah, kecuali kau punya kacamata atau dapat beraktivitas dengan mata tertutup."

Gadis di sebelahnya bersuara setelah ketiga kalinya ia mendengar keluhan yang sama. Jemari lentiknya tidak berhenti bergerak dari ponselnya sedari tadi. Sebuah e-mail tercetak rapi.

"Sasuke, apa kau yakin kita harus menolaknya?" tanyanya kepada pemuda yang sedang duduk di atas pipa.

"Aku yakin," gumamnya menghancurkan keskeptisan gadis bersurai merah itu. "Kirim."

Gadis itu awalnya tampak ragu. Matanya mencoba mencari jawaban lain dari mimik hampa ekspresi lawan bicaranya, namun nihil. Ia mengalah.

E-mail terkirim. Ia mendesah. Itu artinya mereka melewatkan satu kesempatan untuk mendapatkan bayaran.

Bukan tanpa alasan pemuda itu menolak. Tidak pernah terukir jelas di pikiran Karin akan hal yang membuat Sasuke melakukannya, Sasuke juga tidak pernah melantunkan alasan secara implisit. Tapi gadis itu percaya padanya. Mereka percaya pada Sasuke.

"Air." Satu suara mengambil alih. Pria berambut perak kembali berujar, "Karin, mana airku?" Tangannya menjulur pada gadis satu-satunya yang ada di antara mereka.

"Bukan samaku." Karin melirik singkat pada pemuda paling tinggi. "Juugo."

"Ah, airmu ada di tasku." Juugo membuka tasnya lalu mengeluarkan sebotol air yang tersisa seperempat sebelum memberikannya pada pemuda itu. Seulas senyum tidak lepas darinya. Berbeda dari ketiga temannya yang tidak menampilkan ekspresi apapun.

"Hampir jam enam, tapi kita tidak mendapat berita apapun." Karin menguap sambil kedua tangannya merenggang ke atas.

Dua jam terkikis sia-sia. Penantian panjang mereka berbuah pahit. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada tubuh pipa tidak berujung. Hanya dengan menunggu dapat menghapus sebagian staminanya.

Matahari telah sempurna menghapus cahaya keemasannya dari langit. Lembayung redup memayungi. Angin tidak lagi mengantarkan partikel halus itu pada tempat yang sedang mereka kuasai. Suara serangga menghujani pendengaran kemudian.

Tangan kanan Karin menggantung di udara. Ponsel lipat itu tidak henti mengantarkan cahaya pada penglihatannya. Jika cahaya ponsel mulai meredup, ia akan menekan sembarang tombol agar tetap menyala. Ia tidak suka gelap. Karena itu, cahaya terus menyirami dirinya.

"Apa kita masih harus menunggu, Sasuke?" Juugo bertanya dengan intonasi penuh makna setelah memerhatikan Karin dengan ponselnya. "Suigetsu telah menghabiskan airnya untuk hari ini. Juga cukup berbahaya bagi Karin untuk terus menggunakan ponselnya."

Pemuda bernama Suigetsu menangguk setuju. Ia cukup mengerti makna tersirat dari temannya itu. Sedangkan Karin mendengungkan senandungan ringan di udara. Ia tidak terlalu acuh pada kekhawatiran Juugo.

Sasuke menghempaskan kedua hak pantofelnya pada tanah kehitaman di bawah. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana hitam panjang.

Ia mendengus pelan, "Hari ini cukup. Kalian boleh pulang." Dan tidak lama, tubuhnya menghilang ditelan keremangan Sektor Tujuh.

.:123:.

Lampu jalanan mengantarkan cahaya yang sangat minim pada jalan rusak yang mereka jejaki. Beberapa bohlam tidak lagi memamerkan cahayanya, ada pula yang berkelap-kelip tiada henti. Hanya tinggal menunggu waktu hingga lampu itu benar-benar hilang dalam kelamnya malam.

"Dasar, Sasuke. Dia tidak pernah mau pulang bareng." Suara khas Suigetsu melantun keluar dari lidahnya. "Aku curiga dia hanya memanfaatkan kita dengan cara mengikat kita dalam satu kelompok." Kedua tangannya melipat di belakang kepala.

Karin berdecak, ponselnya telah tersemat di dalam tas sekolahnya. "Apa hanya dengan alasan itu kau cukup pantas mencurigainya? Kenapa tidak dari dua tahun lalu kau mengatakannya?"

"Aku tidak sedang berbicara padamu, Perempuan." Suigetsu mengabaikan sungutan Karin. Tentu saja gadis itu semakin tersulut, apalagi mendengar sebutan terakhir itu.

"Aku memang perempuan, apakah itu mengganggumu? Lagi pula, kalimatmu tadi jelas-jelas tersemat kata 'kita'!"

"Sudah-sudah." Juugo mengambil posisi di tengah mereka. Masing-masing tangannya merangkul bahu Karin dan Suigetsu. "Kita teman, bukan? Sasuke, Karin, Suigetsu, dan aku... kita adalah tim Taka, kita adalah teman."

Tidak ada yang menginterupsi. Semua jelas terucap dari lidah Juugo. Mereka adalah teman. Setidaknya itu yang sering diucapkan Juugo jika salah satu dari mereka ada yang berseberangan paham, walaupun ia tahu, hal itu akan terus terulang, terutama di antara Karin dan Suigetsu.

Mereka berempat hanyalah segelintir kecil kehidupan tidak berharga. Konflik bukan hal langka di tanah negara dunia ketiga. Perang membumihanguskan segala yang mereka miliki. Mereka adalah korban perang yang mencari kehidupan berharga lain dengan cara memburu segala berita yang dapat diuangkan. Salah satu pekerjaan yang sangat berisiko namun menggiurkan.

Seharusnya pekerjaan ini sudah umum dilakukan ketika mereka masih dapat merasakan wewangian bunga musim semi di pagi hari. Hingga pada satu musim yang panjang, gejolak tidak terkendali terjadi. Begitu kejam. Begitu cepat. Bahkan mereka sendiri belum sempat menangkap aroma konspirasi ketika ratusan mayat telah terkurung dalam ingatan. Konspirasi itulah yang membuat berita dilarang, dalam bentuk apapun. Hanya pemerintah yang boleh mengeluarkan berita. Rakyat disuapi dengan ketidaktahuan mereka.

Kini bunga telah layu. Nekropolis lahir di tanah yang dulunya tersimpan banyak mimpi yang menggantung di langit. Semua hilang, seperti debu yang dimakan air.

"Aku ingin tahu, kenapa Sasuke menolak pekerjaan itu," gumam Suigetsu. Kerikil di bawahnya berguling mengikuti arah tendangannya. "Dan kenapa kita harus mendengarnya?"

"Aku pikir itu logis. Pekerjaan itu terlalu rumit untuk anak sekolahan yang belum banyak jaringan seperti kita." Juugo menjawab sambil salah satu tangannya menempel di dagu.

"Kalau soal susup-menyusup itu mudah. Bukankah dulu kita cukup sering melakukannya saat perang terjadi?"

"Bodoh. Itu bukan masalah kau dapat menyusup dengan mudah. Tapi risikonya ada setelah kau menyusup. Mereka bukan orang biasa yang sering kita buntuti. Kau kira ini semudah mencari berita tentang perselingkuhan kepala sekolah?" Karin menginterupsi. Tatapan tajam itu menusuk Suigetsu, sayangnya lawan bicaranya sedang menatap lurus pada jalan.

"Tapi bukan sekali atau dua kali kita mendapat pekerjaan 'besar', kau tahu itu."

"Sudahlah... jangan mulai lagi." Juugo mengambil alih. Tangannya kini telah berpindah memijit kening.

Hening.

Bukan karena gumaman singkat Juugo mereka begitu. Karin tidak ingin melanjutkan kegiatan lempar argumennya, begitu juga Suigetsu yang cukup lelah dengan pemikirannya sendiri.

Bukan hal aneh jika suatu saat salah satu di antara mereka akan bertanya. Dulu Karin juga sering bertanya hal yang sama, namun dikubur di hati. Suigetsu hanya membutuhkan sebuah penjelasan. Jikapun jawaban tidak pernah terjawab langsung, ia tahu Suigetsu masih menyisakan kepercayaan pada Sasuke.

Karena itulah pemuda itu masih menaati perjanjian nonverbal yang mereka bangun.

Siluet bangunan lima lantai terlihat dari arah kegamangan cahaya di ujung. Tidak sampai semenit waktu yang dibutuhkan untuk menodai lantai ubin kusam di bawah. Juga dalam durasi yang hampir bersamaan, aroma tengik di dalamnya menari di penciuman. Mereka akan selalu menghidunya, seperti alaminya mereka bernapas.

Berdiri angkuh di antara bangunan lain, tidak membuat ketiga siswa menengah atas itu menganggap flat yang mereka tempati cukup layak. Masih ada sisa peperangan di setiap sudut flat. Bahkan renovasi yang pernah dilakukan tidak dapat menutupi liang pada dinding di salah satu sudut lantai satu.

Bagaimanapun juga, sebuah flat sederhana telah termasuk tempat tinggal mewah di kalangan anak-anak korban perang. Mereka masih dapat bersyukur. Tidak lagi menghabiskan malam dengan berselimut udara dingin.

Flat tidak selalu ramai. Mereka lebih memilih memenjarakan diri di kamar masing-masing. Fragmen kelam peperangan dasawarsa lalu masih jelas tergurat di wajah penghuni flat. Malam adalah awal dari runtuhnya kehidupan mereka.

"Malam," gumam Karin ketika mereka telah menjejaki lantai dua.

"Malam juga." Juugo menjawab singkat lalu melanjutkan menaiki tangga. Suigetsu mengikutinya.

Juugo dan Suigetsu tinggal di lantai tiga. Kamar mereka hanya disekat oleh dinding lembap. Dan di bawah lantai kamar Juugo, terdapat Karin yang sekarang sedang membuka jendela kamarnya.

Tidak peduli apa tanggapan mereka tentang malam, Karin selalu menyukai saat angin malam mengunjungi kamarnya. Aroma asap pembakaran yang terkadang membelai penciuman telah menyatu pada dirinya sejak lama. Bagaimana tidak ia begitu mengenal aroma yang sama ketika di kedua matanya terkurung bayangan rumahnya yang dibakar. Tapi setahap demi setahap, ia mulai terbiasa. Lingkungan berhasil membentuk dirinya menjadi gadis yang lebih tabah.

Di sini lain, Juugo sedang tenggelam dalam jejeran huruf pada buku ensiklopedia usangnya. Hanya dari situlah ia dapat melihat dunia luar. Dunia yang dibingkai dengan berbagai warna cerah dan menarik. Dunia yang berlukis mimpi-mimpi indah. Dunia yang seakan mustahil ada bagi mereka yang telah kehilangan asa.

Juugo selalu membaca. Apapun. Hanya dengan begitu ia masih dapat terjaga dari mimpi buruk yang selalu menderu. Hingga mata itu benar-benar tertutup karena kelelahan, mimpi buruk itu akan berhenti mengejarnya.

Di lantai yang sama, punggung Suigetsu sedang menyandar pada dinding yang menjadi partisi antara kamarnya dan kamar Juugo. Handuk kusam masih menggantung di leher. Bulir-bulir bening mulai tercipta dari tubuh botol minuman yang tersemat di tangan kirinya. Sensasi dingin menjalar di sekitar jemari, terasa kebas sesaat.

Di antara jutaan kata, ketiga temannya akan memilih kata air untuk menggambarkan Suigetsu. Ia dan air merupakan satu komponen yang tidak dapat dipisahkan. Pikirannya akan sulit terpusat jika ia tidak minum air dalam beberapa jam. Cuaca sangat berperan pada intensitas kegiatannya.

Satu demi satu bulir-bulir itu berlarian menuruni lekukan botol. Tetesannya bertempias pada ubin di bawahnya. Terjebak, ubin padat tidak dapat menyerap. Hanya tinggal suhu ruangan yang akan menguapkan mereka.

Pemuda itu menggambar lingkaran nonvisual yang tercipta dari jari telunjuknya yang bebas. Mengelilingi entitas cair di bawah.

Ia dan ketiga temannya adalah bulir-bulir itu. Terjebak di negara yang telah hancur. Menyisakan kenangan redup yang harus mereka ingat selama napas masih terhirup.

Suigetsu menggeleng. Dengan mengumpulkan banyak uang, ia pasti bisa keluar dari negara ini. Entah kapan. Ia harus yakin semesta akan memberinya sebuah kesempatan emas.

Malam semakin menggantung tinggi. Hawa bertemperatur rendah memeluk tubuh mereka. Dalam hening, pikiran mereka mengembara menembus batas kehidupan nyata. Berjalan di antara ribuan warna yang belum pernah mereka lihat. Tidak lama, imajinasi mereka melebur. Kebimbangan menghancurkan segalanya.

Tsuzuku, To be Continued, Bersambung—

A/N: Ingin menggambarkan bagaimana Taka tidak terpisahkan, walaupun Sasuke (telah?) kembali ke Konoha.