"Mukuro Nii-sama, gawat."

Si empunya nama yang sedari tadi sedang asik membaca majalah dewasa—hasil memungut di jalan pun mengalihkan pandangannya. Seorang gadis dengan pucuk—model rambut 'unik' yang sama persis dengan miliknya menatap ke arahnya dengan wajah gegana—gelisah, galau, merana. Tak lupa gagang sapu yang senantiasa tergenggam menambahkan kesan nelangsa.

"Oya? Ada apa, Chrome?"

Jika kalian mengira ada orang tua yang sangat tega memberikan nama yang begitu aneh—mirip situs internet—untuk ukuran seorang gadis manis seperti Chrome, kalian salah besar. Biang keladinya tentu saja sang kakak. Padahal rencananya Chrome akan dinamai Nagi, tapi sayangnya saat pembuatan akta kelahiran kedua orang tuanya membuat kesalahan besar dengan menyuruh Mukuro yang mengisi datanya. Padahal saat itu Mukuro sedang alay-alaynya kecanduan main internet. Untung saja dia tidak menuliskan Fakku di kolom nama.

"Itu..." Chrome tampak ragu-ragu.

"Hm?"

"Nii-sama, itu..."

Saking lamanya Chrome menggantungkan kalimatnya, entah bagaimana Mukuro jadi doki-doki dan ikut gegana dibuatnya. "Ya, Chrome? Jangan buat orang lain penasaran."

"Itu..." Chrome menggigit bibir bawahnya, wajahnya tertunduk menatap lantai, siapa tau ada uang receh tergeletak di sana. Lumayan, bisa buat beli sebungkus sabun colek ukuran mini. "U—"

"U?" Mukuro menelan ludah. Setes keringat mengalir melewati pipinya.

"UANG UNTUK BAYAR SEWA APARTEMENT BESERTA BUNGA TUNGGAKAN SELAMA TIGA BULANNYA TIDAK SENGAJA AKU HILANGKAN! MAAFKAN AKU NII-SAMA!"

Sepucuk nanas jatuh tergeletak di lantai.

Rukudo Mukuro, lima belas tahun, belum lulus SMP, memiliki masalah setingkat ibu-ibu rumah tangga tanpa suami yang harus menghidupi kelima anaknya di sebuah apartement bobrok dengan penghasilan jauh dari kata pas-pasan.

Salahkan kedua orang tuanya yang tidak bertanggung jawab meninggalkan dua pucuk nanas untuk pergi ke barat. Bukan, mereka bukan pergi untuk mencari kitab suci bersama Biksu Tong, melainkan mewujudkan impian keduanya untuk keliling dunia selagi masih muda. Sewaktu Mukuro masih kecil, ia bahkan sering dititipkan di rumah tetangga. Pernah juga terpaksa tidur bersama anjing peliharaan seorang kenalan karena tidak ada yang mau berbagi kamar dengannya. Untung saja Chrome tidak sampai merasakan hal yang sama.

Kembali ke permasalahan utama, orang tuanya ternyata membawa seluruh harta kekayaan yang dimiliki dan hanya meninggalkan sedikit uang untuk biaya hidup Mukuro dan Chrome. Saat itu Mukuro sangat geram—geram dengan isi memo yang tergeletak di atas meja makan di hari ketika kedua orang tuanya melarikan diri.

Tidak ada nanas untuk pencuci mulut hari ini dan seterusnya. Semoga kalian baik-baik saja. – Mama & Papa

Iya, Mukuro kesal karena ia tidak bisa lagi memakan buah tropis yang menginspirasi model rambutnya. Masalah orang tuanya yang melarikan diri dia tidak begitu peduli. Toh, dengan begitu dia bisa bebas melakukan apa saja. Jika ia kehabisan biaya untuk hidup bersama Chrome, ia tinggal menjual rumahnya yang bagai istana. Sesungguhnya keluarga Mukuro memang kaya raya. Pemilik perkebunan nanas terbesar di dunia.

Jika kalian bertanya mengapa sejak kecil Mukuro memiliki kehidupan yang begitu mengenaskan padahal anak konglomerat, jawabannya cuma satu : Dewi Fortuna tidak pernah sayang pada Mukuro.

Rencana penjualan rumahnya yang besar itu pun tidak bisa diwujudkan. Rumahnya ternyata terkena kasus sengketa mafia tanah dan disita oleh pemerintah. Jadilah ia dan Chrome mencari tempat tinggal baru dan berakhir di sebuah apartement kecil dengan sewa yang paling murah. Meski kalau hujan banyak atap yang bocor.

"—sama, Mukuro Nii-sama!"

Mukuro mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Iris mata dwi warnanya menangkap sosok sang adik tersayang—menandakan bahwa ia belum mati terkena serangan jantung. Ah... padahal Mukuro berharap terbangun di pangkuan seorang bidadari bersayap ( Bukan—bukan Byakuran! ) yang tengah memainkan harpa di surga sana. "Chrome."

"Nii-sama... syukurlah." Chrome mewek, Mukuro bingung.

Insting keibuan Mukuro muncul. Dipeluknya tubuh mungil sang adik, mencoba untuk menenangkannya. "Sstt... Tidak apa, Chrome. Tidak apa-apa." Bisik Mukuro lembut sambil membelai kepala Chrome. Tolong jangan berpikir bahwa Mukuro punya maksud lain ketika melakukannya, dia memang bejat tapi tidak sebejat itu untuk 'memakan' adiknya sendiri. Ia murni sayang pada adik semata wayangnya, semurni bensin yang dijual di pinggir jalan.

"Hiks... kukira Nii-sama akan marah karena aku menghilangkan uang sewanya."

JDER!

Serasa disambar petir milik Gamma, Mukuro pasang tampang horror. "Apa, Chrome?"

Chrome melepaskan diri dari dekapan Mukuro—mengerjapkan mata dengan wajah yang murni polos saat menatap wajah sang kakak. "Jangan bilang Nii-sama lupa? Uang sewa yang harus dibayarkan hari ini aku hilangkan."

"Oh." Hening. "APAAAAAAAAAA?!" Mukuro wafat.

"ONII-SAMA!"

Kalau saja pemilik apartementnya buka Mamon, mungkin Mukuro tidak akan sekalap ini.

.

.

Disclaimer:

Katekyo Hitman Reborn © Amano Akira

Decisions © Convallarie

Alternative Universe

Warning :

OOC, Typo's, bahasa amburadul dan kenistaan lainnya.

.

.

Pagi hari di musim semi yang dipenuhi dengan taburan kelopak bunga sakura yang berjatuhan dari tangkainya mungkin sangatlah indah bagi sebagian banyak orang. Tapi tidak tidak untuk seorang siswa SMP merangkap ketua komite disiplin SMP Namimori bernama lengkap Hibari Kyouya.

Setiap musim semi tiba, mood bocah pecinta burung yang memiliki kebiasaan buruk mengigit orang itu akan memburuk setiap tahunnya. Tidak ada yang tahu pasti apa sebabnya. Dari rumor yang beredar, penyebab kebencian seorang Hibari Kyouya terhadap bunga sakura adalah Rokudo Mukuro. Meski belum ada yang dapat memastikan kebenarannya hingga saat ini.

"Kau terlambat, herbivore."

Sawada Tsunayoshi, lima belas tahun, menggali kuburannya sendiri di awal semester baru di musim semi.

"Hi-hibari-san, maaf!"

Andai saja Hibari Kyouya tidak memiliki iman sekuat baja, riwayat seorang bocah imut bernama Sawada Tsunayoshi mungkin tidak akan berakhir di sini, di depan gerbang sekolah Namimori yang bertebaran kelopak bunga sakura. Bayangkan jika ini ada di komik shoujo, mungkin Hibari sudah jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat bocah berperawakan mungil dengan tampang baby face dan rambut anti gravitasi yang semakin mendukungnya terlihat imut-imut.

"Aku akan menggigitmu sampai mati, Sawada Tsunayoshi."

Tsuna mejerit histeris, untung saja dia imut, Hibari jadi tidak perlu muntah.

"Lari mengelilingi lapangan sebanyak seratu kali. Sekarang!"

.

Lima putaran, Tsuna masih kuat.

Sepuluh putaran, Tsuna masih sanggup.

Dua puluh putaran, Tsuna mulai ngos-ngosan.

Tiga puluh putaran, Tsuna mulai melihat cahaya putih terang di ujung sana.

Empat puluh putaran, Tsuna merasakan dirinya terbang melayang menembus awan. Ia bahkan bisa melihat sekumpulan kuda terbang.

"Oya, oya, betapa kejamnya dirimu menyiksa Tsunayoshi-ku, Hibari-kun."

Di dunia ini yang berani berbicara seperti itu kepada seorang Hibari Kyouya hanya ada satu orang, Rokudo Mukuro orangnya.

Mendengar suaranya saja Hibari ingin menggigit Mukuro—dalam artian sesungguhnya—sampai mati. Apalagi jika ia harus melihat pucuk nanas berwarna indigo itu tengah bertengger di salah satu dahan pohon bunga sakura yang memang sangat dibencinya. Mengingatkan pada masa lalunya yang begitu pahit yang disebabkan oleh seorang Rokudo Mukuro. Ternyata rumor yang beradar selama ini benar adanya. Hanya saja belum diketahui bagaimana detail ceritanya.

"Kamikorosu!"

Suara tonfa dan triden yang saling berbenturan pun menggema di tengah lapangan Namimori. Jika kalian bertanya mengapa siswa SMP diizinkan membawa senjata, jangan salahkan kepala sekolahnya. Beliau juga salah satu korban ancaman bunuh-atau-izin-spesial membawa senjata ke sekolah oleh beberapa murid berinisial, HK dan RM. Kasian.

Ngomong-ngomong, apa kita melupakan sesuatu?


"Juudaime!"

Terbangun dari mimpi indahnya bersama Kyouko-chan di laut selatan, Tsuna mengerjapkan matanya—merasa linglung. Setelah ia pikir lagi, mimpinya tidak seindah itu, ada seekor burung dan sepucuk nanas yang saling bertarung menghancurkan mimpi indahnya hingga ia terjaga.

"Gakudera...kun?"

"Syukurlah anda sudah sadar, Juudaime." raut kecemasan mulai menghilang dari wajah tampan—yang menurut para gadis—manis-manis seksi kalau pakai kacamata—menurut para seme— seorang bocah belasteran Jepang-Italia, Gokudera Hayato.

Gokudera Hayato, bocah chuunibyou yang selalu berusaha menempel pada Sawada Tsunayoshi. Mengapa ia disebut chuunibyou, itu karena ia selalu beranggapan bahwa Tsuna adalah seorang penerus ke-sepuluh keluarga mafia yang ada di Italia tempat kelahirannya. Padahal Tsuna hanya seorang anak dari keluarga sederhana. Punya keluarga di Italia aja nggak. Cuma Kakak dan ayahnya yang entah bagaimana punya rambut pirang macam bule. Tapi itu tidak menjamin bahwa perkataan konyol Gokudera tentang mafia itu nyata. Gokudera hanya seorang bocah laki-laki yang over dosis film mafia.

Meski alay begitu, Gokudera terbilang salah satu Best Seller di kalangan para gadis mau pun laki-laki. Ketampanannya sudah tersebar ke seluruh penjuru Namimori. Ditambah lagi tingkahnya yang sering denial atau bahasa kerennya tsundere, jadi kayak ada manis-manisnya gitu. Terutama kalau dia sudah bertemu dengan seorang anggota klub baseball bernama Yamamoto Takeshi.

Bicara soal Yamamoto Takeshi, ada rumor yang mengatakan bahwa sebenarnya Gokudera suka sama si maniak baseball murah senyum satu ini. Sepengetahuan Gokudera, ia tidak punya riwayat orientasi seksual yang menyimpang. Ditambah, setiap ketemu Yamamoto, Gokudera selalu ingin melempar mercon ke wajah Yamamoto. Jadi, persepsi tentang 'Aku sayang kamu' jaman sekarang itu bisa diungkapkan dengan melempar mercon ke orang yang kita sukai? Hanya Gokudera yang tahu.

"Sebenarnya ada apa?"

"Anda pingsan setelah disuruh berlari mengitari lapangan oleh si Hibari sialan itu!" geram Gokudera.

Benar, sekarang Tsuna ingat. Kejadian itu pula lah yang memicu mimpi anehnya tadi. Merasa sudah keluar dari masalah, Tsuna menghela napas lega. "Maa, maa, sudahlah Gokudera-kun. Lagi pula itu memang salahku karena datang terlambat."

"Tapi, Juudaime—"

"Tsuna!"

Pintu ruang kesehatan terbuka, menampakan seorang anak laki-laki berbadan cukup tinggi, berambut hitam cepak dengan senyuman secerah mentari. Silau men.

"Yamamoto!"

"Cih!" Gokudera memberengut. Yamamoto cuma ketawa.

Tsuna hanya bisa maklum.


Dalam perjalanan pulang, Mukuro melamun. Ia memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa bertahan hidup bersama adik tercintanya saat ini. Uang yang ditinggalkan kedua orang tuanya semakin menipis dan itu tidak akan cukup untuk satu tahun ke depan. Jangankan untuk satu tahun, untuk satu bulan ke depan saja harus dicukup-cukupi.

Indomie satu bungkus dimakan berdua, itu pun setengah buat sarapan, setengah buat makan malam. Tapi Mukuro dan Chrome tetap bersyukur, mereka masih bisa makan dan bayar kontrakan tanpa harus menjual ginjal. Meski saat ini Mukuro tengah mempertimbangkan untuk menjual ginjalnya kalau ia tidak menemukan pekerjaan. Ia tidak ingin Chrome menderita. Cukup ia saja yang merasakan penderitaan.

Pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa di balik makhluk sebejat Mukuro terdapat jiwa yang begitu lembut, selembut Downy.

Setengah perjalanan, Mukuro masih melamun. Sampai tidak sadar seseorang tengah memperhatikannya dengan wajah takjub. Mungkin baru pertama kali melihat makhluk hasil persilangan antara manusia dan nanas.

"Mukuro-kun?"

Lamunan Mukuro buyar. Saat melihat siapa yang telah memanggil namanya, ia tercekat. "...Byakuran?"

Bocah laki-laki berambut silver itu tersenyum—yang menurut Mukuro, senyuman yang ada apa-apanya. Padahal, senyumannya sendiri di mata orang-orang juga berkesan ada apa-apanya. Mukuro kurang berkaca. "Lama tidak berjumpa, Mukuro-kun."

Dari seluruh orang yang pernah ia kenal, Mukuro paling tidak ingin bertemu dengan maniak makanan manis yang satu ini. Betapa takdir begitu kejam padanya. Memang hanya Chrome, satu-satunya yang sayang pada seorang Rokudo Mukuro. Bahkan semut merah yang berbaris di dinding akan tertawa nista melihat betapa kacaunya kehidupan seorang Rokudo Mukuro.

To be continued

.

.

.

Hallo! Perkenalkan, saya author baru di fandom ini. Untuk ukuran pendatang baru, saya malah nampilin fanfic sampah kalau kata Xanxus mah. Ah, mahapkan diri ini. Judul pun gak nyambung. Saya gak pintar ngasih judul. /sujud

Maaf juga kalau ternyata jayus dan OOC banget. Soalnya saya baru nonton KHR. Haha tau, udah ketinggalan jaman banget hari gini baru nonton. Tapi apa mau dikata, saya suka capek kalau liat jumlah episode anime yang beratus-ratus. HDD gak kuat.

Yosh! Terimakasih bagi yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca fanfic nista ini, apalagi kalau meninggalkan sesuatu di kolom ripiu. Hehe

Untuk chapter selanjutnya saya gak bisa janji cepet. Saya itu mager luar biasa loh ya. Buktinya banyak penpik saya di fandom lain yang gantung dan discontinue, loh. Jadi, jangan berharap banyak pada orang satu ini. /disambit

See you next chapter!