Perhatian: Seluruh cerita Hetalia yang ada di dalam fanfiction ini adalah murni fiksi dengan setting Alternate Universe di mana mereka tidak dianggap sebagai sebuah entitas Negara, melainkan sebagai individu yang memiliki kehidupan pribadi dan emosi layaknya manusia. Cerita ini tidak ada hubungannya dengan kisah Hetalia pada serial aslinya. Di dalamnya juga terdapat crack pairing Ger/Ukr atau Ludwig x Katyusha. Bila ada kesamaan nama atau tempat di dunia nyata, itu hanya kebetulan. Terima kasih atas perhatiannya. Selamat membaca.
Disclaimer: Hetalia – Hidekazu Himaruya
Pairing: Ger/Ukr
Genre: Drama/Family/Romance
Rating: T
604.800 detik
Chapter 0: Angin Malam
Katyusha's POV
Jam 19. 40 malam. Rasanya sudah 10 menit aku menunggu kehadiran tuan Kirkland di sini, namun sepertinya tanda tanda kemunculannya belum juga ada. Dalam penantianku yang cukup meresahkan ini, aku harus memikirkan strategi yang tepat mengenai keinginan para penduduk desa yang menentang pembelian atas tanah pertanian kami yang dilakukannya secara sepihak. Pembelian itu menurutku sangat tak adil mengingat aku sendiri tidak diikutsertakan dalam perjanjian pembeliannya. Lagipula mayoritas masyarakat desa sangat bergantung pada tanah pertanian yang 2 minggu yang lalu masih menjadi milikku. Apa jadinya bila tanah itu dibeli oleh orang lain? Aku tak bisa membayangkan betapa nestapanya hidup penduduk desa kami. Aku terlalu terlarut dalam pemikiranku sampai sampai aku melupakan kehadiran pelayan yang tiba tiba membangunkanku dari lamunanku yang membuatku stress ini.
"Maaf Mademoiselle, kurang lebih 5 menit lagi tamu anda akan tiba di sini. Apakah Mademoiselle berkeinginan untuk memesan sesuatu?" ujar pria paruh baya berkulit cokelat itu dengan sangat sopan.
"Oh…err…ya…eh…maksud saya terima kasih atas informasinya tuan" jawabku yang sangat terkejut atas kehadiran pelayan berambut kriwil itu. Sejenak aku mulai melupakan isi lamunanku dan berkonsentrasi pada ucapan si pelayan. "Sa..saya…tidak ingin memesan sesuatu. Terima kasih" tolakku sopan.
"Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu, saya akan menghidangkan minuman pembuka yaitu anggur merah terbaik dari chateu kami" tuturnya sambil mengerlingkan mata kirinya dengan genit padaku.
"Ta…ta…tapi…saya tidak menginginkannya untuk saat ini" tolakku ketakutan. Aku tidak ingin membayar tagihan wine yang harganya super mahal itu sementara uang yang kubawa sangatlah pas pasan. Memang aku yang menginginkan pertemuan bisnis ini dengan tuan Kirkland dan pengacaranya tuan Jan van Basten…tapi beliaulah yang memilihkan tempat pertemuan untuk kami berdua. Tak kusangka tempat yang beliau pilih adalah sebuah restoran perancis yang sangat mahal dan berkelas di kota ini. Aku tak kuasa menolaknya mengingat dia tidak mau menemuiku di tempat tempat 'rakyat biasa' yang sangat biasa di kota Hetalienenberg ini.
"Tenang saja, Mademoiselle. Wine ini adalah pesanan khusus dari tamu anda. Anda tak perlu khawatir tentang semuanya. Permisi, saya akan mempersiapkan semuanya dulu" tutur pelayan yang sangat flamboyan itu dan dia pun berlalu pergi meninggalkanku.
'Oh Tuhan! Bahkan seorang pelayan seperti itu bisa membaca kegalauan dan ketakutanku akan tagihan wine! Bagaimana caraku bersikap tenang dan tidak emosional ketika bernegosiasi dengan pebisnis ulung yang sangat kaya di kota ini?' pikirku galau. Bicara tentang kekayaan, para pengunjung yang ada di sekitarku juga bukanlah rakyat biasa. Para pengunjung wanita restoran ini tampak begitu kaya dengan mengenakan gaun malam atau gaun cocktail cantik bertaburkan berlian di leher dan tangan mereka. Sementara para prianya tampak begitu tampan dan gagah dengan mengenakan tuxedo atau jas mahal mereka. Keanggunan mereka juga tampak dari cara mereka mereka makan dan cara mereka bersikap.
Aku, yang hanya seorang gadis petani dari desa antah berantah, duduk di bagian pojok di dalam restoran itu dan tampak risau sendirian. Sebagian dari para pengunjung itu tampak melihatku dengan tatapan yang sinis dan mengejek seolah olah mereka melihatku seperti monster alien di dalam komunitas mereka yang sangat jetset.
Sementara aku hanya mengenakan kemeja berwarna biru muda yang dipadu dengan long coat berwarna kuning kecoklatan milik ibuku yang sudah tiada. Karena usia long coat ini sudah tua, warnanyapun memudar dan tampak tidak cantik lagi seperti dulu ketika ibuku memakainya tapi aku masih merasa nyaman ketika memakainya. Rok lipit panjang berwarna biru tua yang kupakai pun sudah tampak lusuh. Sebagian dari ujung rokku bahkan sudah lepas dari jahitan pinggirnya. Sepatu boot cokelat yang kupakai juga hanya sepatu boot murah yang baru kubeli di pasar loak sebulan yang lalu. Menurutku, hanya bandana kuning yang saat ini kupakai yang masih tampak cantik sebab hanya inilah satu satunya benda mahal pemberian dari adikku tepat pada hari ulang tahunku dua tahun yang lalu.
Aku hanya bisa menundukkan pandanganku karena begitu malu dengan penampilan rakyat jelataku di tempat berkelas semacam ini. nyaliku ciut, tubuhku gemetar dan kedua tanganku meremas tas tangan yang kubawa sambil terus berdoa di dalam hati.' Ya Tuhan, aku tidak ingin di sini sendirian, tolong berikan aku seseorang untuk menemaniku di tempat yang mengerikan ini. Aku malu' ratap hatiku yang juga semakin resah karena menunggu seseorang yang tak kunjung tiba.
"Maaf, nona Katyusha. Apakah aku sudah membuatmu menunggu terlalu lama sore ini?" ujar suara seorang pria yang duduk tepat di seberangku. Nampaknya suara ini bukan suara milik tuan Kirkland. Suara ini begitu rendah seperti bass dan lebih maskulin bila dibandingkan dengan suara milik tuan Kirkland yang cenderung baritone. 'Apakah ini suara milik tuan van Basten? Tidak! Sepertinya aku pernah mendengar suara semacam ini sebelumnya…tapi milik siapa?' Pikirku penasaran. Demi ingin mengetahui identitas lawan bicaraku, akupun memberanikan diri untuk menengadahkan kepalaku.
Ketika kulihat dengan jelas siapa lawan bicaraku, aku sangat terkejut sekali. GLEK aku hanya bisa menelan ludahku dan terdiam tak percaya ketika dihadapkan pada sesosok pria yang tidak asing lagi bagiku…sang presiden direktur tempatku bekerja dulu…tuan Ludwig Beilschmidt yang kukenal sangat dingin dan tampak serius.
Pupil mataku menjadi mengecil dan tubuhku terasa bergetar menggigil ketika secara tiba tiba memori buruk tentang dirinya muncul di dalam pikiranku! Yang ada di memoriku hanyalah sosoknya yang telanjang bulat dan memelukku erat dengan girangnya di rumahku. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan manja seolah aku ini miliknya…dia tampak seperti orang mabuk dalam kepingan memori yang ada di kepalaku…bahkan aku bisa merasakan ujung dari 'alat' miliknya yang…ugghhh…yuck…sungguh memori yang menjijikkan. Aku bahkan tak mengerti mengapa dia melakukan hal rendah semacam itu padaku! Di dalam benakku dia tampak seperti pelaku sexual harassment atau pemerkosaan yang harus dienyahkan dari muka bumi ini.
"Nona..ka…katyusha…a..aku…aku se..sebenarnya i…ingin…me…" ucapnya terbata bata dengan wajah yang bersemu merah. Tak kupedulikan perkataannya. Demi melindungi harga diriku dari ancaman pria rendah semacam ini, segera kupotong kalimatnya dengan melakukan tindakan preventif sebisaku. Secara refleks tanganku menggenggam segelas air putih yang ada di hadapanku dan kuguyurkan pada wajahnya BYUR
Bibirku yang tadinya tidak sanggup berkata tiba tiba hanya bisa mengeluarkan satu bunyi saja "KYAAAAAAAAAAA!" Teriakku histeris hingga memekakkan telinga para pengunjung yang terkejut dan merekapun melihat ke arah kami dengan tatapan kesal. Tanpa pikir panjang, segera kuambil langkah seribu untuk melarikan diri dari tempat itu. Aku mulai berlari sekencang kencangnya tanpa melihat ke belakang lagi.
"Tunggu nona Katyusha, ada hal yang harus kusampaikan padamu!" Teriak pria berambut pirang klimis itu dari kejauhan di belakangku. Tak kupedulikan perkataannya dan tetap berlari menjauh darinya. "Tunggu nona! Aku tidak bermaskud buruk padamu!" teriaknya lagi dengan keras. Kurasakan dia juga mengejarku dan berusaha meraih tanganku tapi tetap kuhindari kejarannya dengan berlari sekencang mungkin untuk keluar dari restoran itu. Sekilas kulihat reaksi para pengunjung restoran yang melihat aksi kejar kejaran kami yang mirip dengan adegan polisi menangkap pecuri dengan tatapan shock. Namun tak kugubris tatapan mereka dengan tetap berlari sekencang mungkin sampai tiba tiba aku terjatuh karena ketidakmampuanku menjaga keseimbangan tubuh di atas heel boots ku yang cukup tinggi.
BRUAK aku tersungkur di sebuah gang kecil di antara meja meja para pengunjung lainnya. Dengan memanfaatkan keadaanku ini, dengan cepat dia memegang kedua bahuku dari belakang dan membantuku untuk berdiri.
"Maafkan tindakan tidak senonohku dulu padamu yang sudah membuatmu takut! Aku salah! Kurasa…aku mabuk saat itu" dia mengatakannya dengan suara cukup keras. Aku tak bisa membayangkan reaksi orang orang di sekitar kami yang mendengarnya secara tak sengaja.
"Ugh…lepaskan! Lepaskan tanganmu,Tuan! Saya tidak ingin menemui Tuan!" rontaku yang ingin melepaskan diri dari genggaman tangannya yang kuat.
"Aku tahu kau…kau ingin menemui Kirkland kan?" tanyanya dengan tidak sabar.
"Ya! Jadi tolong…tolong LEPASKAN tangan Tuan! Saya hanya ingin berbisnis dengan Tuan Kirkland!" teriakku histeris dengan tetap berusaha melepaskan diri darinya secara paksa.
"Kirkland adalah rekan bisnis ku di perusahaan. Jadi aku juga berhak untuk mengurus keperluan bisnisnya tentang tanah pertanianmu itu" ujarnya dengan tetap erat memegangi kedua bahuku dari belakang.
"Saya tidak peduli…lepaskan saya!" teriakku lebih keras lagi.
"Cukup, jangan berontak! Kumohon dengarkan penjelasanku dulu!" dia memohon padaku dengan tetap memegangi kedua bahuku dengan lebih erat. Kurasakan tubuhnya mendekati dan menyentuh punggungku.
Aku tak kuasa ku membayangkan tindakan mesum macam apa yang akan dia lakukan padaku dari arah belakang. Air mataku mulai menetes mengalir di pipiku namun semangatku untuk kabur darinya tak pernah padam. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diriku darinya dengan menginjak salah satu kakinya menggunakan ujung heel bootsku.
"AWWWWWWW!" Teriaknya kesakitan. Namun kedua tangannya masih tetap menggenggam kedua bahuku dengan erat.
Tiba tiba pelayan flamboyan yang tadi melayaniku mendatangi kami dengan membawa nampan berisi botol wine yang sudah dibuka beserta 2 gelas tinggi kosong. Dengan sopan pelayan itu memerintahkan pada kami untuk kembali ke meja kami "Maaf, Monseiur, Mademoiselle…silakan kembali ke meja anda. Kami sudah menyiapkan…"
BYUR belum sempat pelayan itu menyelesaikan kalimatnya, aku sudah menyiramkan isi botol wine yang dibawa oleh sang pelayan ke arah belakangku tepat ke wajah Ludwig. Belum cukup dengan itu, kulemparkan botol wine ke arah yang sama.
"ARRRGGHH!" Teriak Ludwig mengerang kesakitan. Genggaman tangannya pun mulai terlepas dari bahuku. Mungkin lemparan botol wine itu sudah melukai wajahnya, pikirku. Dengan memanfaatkan momen itu, aku segera mulai berlari dan tidak mempedulikan sekitarku termasuk pelayan flamboyan yang tampak terkejut dengan apa yang kulakukan tadi dan lawanku yang mungkin saat ini terkapar di lantai.
Aku sudah tak peduli lagi dengan salah satu bootsku yang heel nya tercopot karena menginjak kaki pria itu. Kulepaskan kedua bootsku dengan tergesa gesa. Kuberlari tanpa alas kaki keluar secepat kilat menuju ke arah pintu keluar restoran mahal itu.
Setelah melewati pintu keluar dan valet parking di gerbang restoran, aku sangat terkejut dengan hujan yang mengguyur seisi kota dengan tiba tiba. Hujan yang sedari tadi hanya rintik rintik berangsur angsur menjadi deras. Sekujur tubuhku ku pun menjadi basah dan kedinginan. Aku segera menghentikan pelarianku dan mulai mengamati sekitarku dengan seksama untuk menemukan sesuatu yang bisa kujadikan pelindung kepalaku.
Dalam keadaan berkonsentrasi untuk mencari pelindung kepala dan tubuhku, diriku menjadi lengah. Tiba tiba dari arah belakangku, tubuhku dikagetkan oleh sesosok tangan yang berusaha menarik lengan dan tubuhku.
"Nona Katyusha! Tolong dengarkan aku sekali lagi!" teriaknya dengan keras di bawah guyuran hujan yang semakin lebat. Ditariknya lenganku ke arahnya hingga dia bisa menatap wajahku dengan jelas. Kulihat dari dahinya mengucur darah segar yang bahkan sampai menodai kemeja dan jas mahalnya itu. Sehingga kulihat penampilannya tampak seperti zombie yang ingin memangsaku.
"KYAAAA!" Teriakku. "Lepaskan saya! Kau zombie mesum!" aku terus berteriak dan meronta ronta dalam dekapan tangannya yang kekar dan kuat.
"Nona! Jangan salah paham! Aku di sini untuk menyelesaikan masalah kontrakmu dengan Kirkland. Dia membuat perjanjian itu dengan atas nama perusahaan, maka ini tanggung jawabku dan perusahaanku juga!" ujarnya meyakinkanku sambil terus memegangi kedua lenganku dengan erat tak ingin melepaskanku untuk kesekian kalinya. "Tolong katakanlah padaku tentang apa yang ingin kausampaikan pada Kirkland! Dia tidak akan datang kemari, akulah yang menggantikan kehadirannya! Kumohon!" ucapnya sambil memohon padaku.
Setelah mendengar kata katanya, seketika aku mulai teringat dengan tujuan utamaku. Aku yang sudah muak dengan masalah ini mulai menurunkan egoku dan mengesampingkan ketakutanku pada Ludwig Beilscmidt demi urusan yang lebih penting. Kemudian akupun mulai berhenti meronta. Tak kusangka dia pun juga mulai mengendurkan genggaman tangannya yang erat dari lenganku yang saat ini terasa sangat sakit. Sedikit demi sedikit kukumpulkan keberanianku untuk mengutarakan kekesalanku dan ketidaksudian masyarakat desa kami untuk mengikuti isi perjanjian jual beli tanah pertanian yang dibuat Kirkland secara sepihak itu.
"Dasar Kirkland pengecut!" ucapku geram. "Saya tak peduli apapun tentang hubunganmu dengan Tuan Kirkland…"ujarku dengan tegas padanya. Meski kepalaku menunduk demi menghindari tatapan matanya, kupastikan dia akan mendengarkan perkataanku dan mematrinya baik baik dalam ingatannya. "Tapi dengarkan kata kata saya baik baik! SAYA, KATYUSHA BRAGINSKI...ATAS NAMA MASYARAKAT DESA RUSLAVILLE PETANI BUNGA MATAHARI, KAMI MENOLAK UNTUK MELAKSANAKAN ISI DARI PERJANJIAN JUAL BELI TANAH ITU SAMPAI MATI!" ujarku suara penuh ketegasan dan keseriusan.
Kuberanikan diriku untuk mengangkat wajahku dan menatap matanya, meski air mataku masih belum bisa berhenti menetes. Dengan penuh harga diri, keberanian dan determinasi yang kuat yang telah diberikan oleh seluruh masyarakat desaku yang terancam kehilangan pekerjaan dan hidup melarat, aku menatap pria itu dan mengutarakan seluruh isi hati penuh kekesalan yang mereka pendam selama ini. "BERHENTILAH BERHARAP UNTUK MEMILIKI TANAH ITU! SAYA DAN PENDUDUK DESA AKAN SELALU BERADA DI SANA DAN TIDAK AKAN PINDAH DARI SANA MESKI KALIAN MEMBANTAI KAMI SEMUA!"
Mendengar hal itu, Ludwig Beilschmidt tak bisa berkata apapun selama beberapa menit. Kulihat matanya begitu terkejut melihat perubahan sikapku yang begitu drastis…dari seorang wanita penakut yang cengeng menjadi sosok wanita pemberani yang siap berhadapan dengan risiko apapun selama beberapa saat.
"A…aku…aku mengerti…aku ingin minta maaf…a….atas segala kesalahan yang dibuat oleh Kirkland. Ini kesalahanku juga sebagai presiden direktur perusahaan ini" ujarnya menyesal sambil menundukkan wajahnya yang merasa bersalah. "Ta…tapi bukankah kita masih bisa merubah isi kontrak dan menegosiasikan seluruh isinya dengan menggunakan win win solution untuk menghindari potensi kerugian dari kedua belah pihak" lanjutnya dengan penuh harap.
PLAK kutampar pipi kanannya menggunakan tangan kananku dengan keras. "Apa maksudmu dengan 'KERUGIAN KEDUA BELAH PIHAK?'" Sesungguhnya hanya kerugian dari perusahaanmu saja yang kau pikirkan kan?" ujarku sinis. "Kau sudah melecehkan kami dengan cara menghilangkan hak hak kami melalui isi perjanjian itu!" tuturku kesal. Air mataku semakin deras mengalir membasahi pipiku dalam derasnya hujan dan dinginnya malam itu seketika aku membayangkan keadaan para penduduk di desaku yang terancam menjadi gelandangan.
"A…a…aku…ma…ma…" ujarnya terbata bata seolah tak sanggup membalas kata kata yang tadi kuucapkan.
"Jangan hanya minta maaf saja! Cepat segera angkat kaki dari desa kami dan berhenti menginjak injak hak hak warga desa kami!" hardikku dengan penuh kekesalan. "Dan satu lagi…berhentilah melecehkan harga diri wanita, pria rendah!" lanjutku yang masih kesal dengan tindakannya yang mesum itu. "PERMISI!" segera kulepaskan diriku dari genggaman kedua tangannya yang sejak tadi sudah kehilangan daya cengkramannya. Akupun segera berlari kencang meninggalkannya jauh di belakangku. Kukeluarkan seluruh emosi dan kepedihanku yang selama ini kupendam dalam hatiku melalui air mataku.
"Katyusha! Sestra Katyusha" kudengar suara pria itu lagi memanggilku lagi dengan panggilan yang hanya dipakai oleh adikku Ivan, Natalya dan…Lutz ku tersayang. Aku pun menoleh ke arah belakang, kudapati dia sedang berlari mengejarku dan berusaha meraih tubuhku.
Tak ingin tertangkap olehnya untuk yang kesekian kalinya, akupun berlari menuju ke arah jalan yang lain. Aku bertindak nekat dengan berusaha menyebrangi jalan yang ramai yang ada di depanku tepat di tengah hujan lebat malam itu. Kusebrangi jalan ramai itu tanpa melihat ke kanan dan kekiri dengan berlari sekencang kencangnya.
Tiba tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kiriku. Aku takut dan tak mampu bergerak karena ketakutan. Tak kusangka sesosok tubuh berusaha melindungiku dari mobil itu dengan tubuhnya. Dia menyergapku dari arah belakang dan kamipun jatuh tersungkur di seberang jalanan ramai itu.
Tubuh kami berdua jatuh menggelinding sampai ke arah semak semak dekat trotoar jalanan. Sosok tubuh itu masih melindungiku dalam pelukannya. Ketika kulihat wajah sang penolong, tak kusangka dia adalah Ludwig yang sudah setengah tak sadarkan diri karena benturan keras yang ia alami setelah kejadian naas tadi.
Kuperhatikan seluruh tubuh dan badannya penuh luka. Kaki kirinya pun tak luput dari luka yang cukup berat karena terserempet oleh mobil itu. Aku menjadi panik bukan kepalang karena aku hampir saja membunuh pria yang sudah berusaha menyelamatkanku. Kuraba wajahnya dan kupegang tangan kirinya yang masih bergerak.
"Tuan…Tuan…apa kau baik baik saja?" tangisku yang panik ketakutan. Aku berharap dia masih bisa merespon pertanyaannku tadi. "Kumohon…jawablah aku Tuan…." Rengekku sambil berusaha memegang erat tangan kanannya.
"A…ah…no…nona…Katyusha…ses…sestra….ka..kat..yusha…"ujar Ludwig dengan setengah tersadar.
"Iya…Tuan …apa Tuan baik baik saja?" ujarku yang sedih bercampur rasa lega karena melihatnya masih sadar.
"I…ini…Lu…Lutz…bi…bilang….teri…terima…ka…kasih padamu…" ujarnya lirih dan terbata bata. Aku bisa meilhat ekspresi wajahnya yang tampak menahan rasa sakit yang teramat pedih. Dia menyerahkan padaku sebuah hiasan kerajinan tangan yang terbuat dari cangkang telur bergambar. Di atasnya terukir nama 'Lutz'. Aku sangat terperanjat melihatnya.
"Di…di…dia…ingin…ka…kau…men…menyimpan…nya…u…untuk…menge…nang...nya" lanjutnya lagi. Aku yang tak tahan melihat keadaannya, hanya bisa menangis dan menggenggam erat tangannya.
"Kumohon jangan bicara lagi Tuan…aku akan mencari per.." belum sempat aku meneruskan kalimatku, dia segera membalas genggaman tanganku dengan erat.
"Lu…Lutz…bi…bilang….Ich….liebe….dich.." ujarnya yang berjuang keras untuk mengatakan kalimat itu. Kemudain diapun menutup matanya. Aku sangat panik! Aku tak ingin kehilangannya! Entah kenapa tiba tiba aku merasa sangat iba padanya dan ingin menangis karena kehilangan! Kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagiku! Dia mengingatkanku pada seseorang…seseorang yang pernah dan ingin terus kumiliki. Bukan…bukan Ludwig…tapi…
Aku menangis keras. Aku berteriak meminta pertolongan pada sekitarku. Kupeluk tubuhnya yang penuh darah erat erat. Tuhan, tolong biarkan dia hidup, teriakku dalam hati. Aku tak ingin kehilangan orang ini. Aku akan terus menangis di bawah guyuran hujan ini sampai air mataku mengering bila itu bisa menyembuhkannya kembali. Dalam ketakutan, kegalauan dan kesedihan itu, aku tak mampu untuk melakukan apapun. Di tengah guyuran hujan malam itu, semuanya pun gelap.
Bersambung(?)
Maaf kalau penokohan character yang ada di dalam cerita ini sifatnya OOC.
