Gunkanjima, 12 May 2014.

21:06pm_

.

Lorong-lorong suram nan hening, dengan hanya bermandikan cahaya lampu redup berkedap-kedip tak menentu. Suasana sepi yang menusuk begitu mencekam. Bahkan serangga-serangga kecil pun enggan untuk sekedar bernyanyi.

Tiap-tiap koridor yang terlihat begitu tua, begitu rapuh dan terasingkan. Dengan segala reruntuhan beton, kayu dan depu yang menumpuk menjadi satu. Sebuah pemandangan yang mampu menyiratkan sebuah perasaan ngeri hanya sepintas melihatnya. Sangat hening dan sepi, bahkan suara angin yang bersiul pelan pun terdengar begitu merdu di ujung pecahan jendela yang rusak parah.

Namun tampaknya keheningan tersebut hanya bertahan beberapa saat, ketika pintu kusam nan usang terbuka keras. Menyebabkan gaung singkat di setiap sudut-sudut bangunan terbengkalai ini.

"Lewat sini..."

Suara berbisik namun cukup jelas untuk didengar mengusik keheningan yang tercipta. Seorang pemuda memegang sepucuk senjata berlaras panjang berjalan tergesa sambil menggandeng erat seorang gadis berambut merah muda di belakangnya. Manik sehitam Obsidian itu mencoba menembus redup lorong penuh serpihan kayu dan reruntuhan di hadapannya.

Sedetik sesudahnya, lima orang melewati pintu tua yang telah dilalui sepasang muda-mudi tersebut. Dengan menyisakan seorang pemuda jabrik yang berada di urutan paling belakang di antara mereka. Pemuda jabrik itu berhenti mendadak, lalu berbalik dan menutup rapat pintu yang telah ia lewati dengan nafas tersenggal.

Tangan yang menggenggam erat Sniper AWP Magnum berkaliber 7milimeter kini merenggang lemah. Ujung laras senjatanya menyentuh lantai penuh puing dan pecahan kaca yang berserakkan. Matanya melihat ke arah bawah melalui jendela gedung yang rusak.

"Mereka... Terus mengikuti kita..."

Gumamnya sendiri tidak jelas kepada siapa, sambil terus melihat beberapa orang yang tak dikenal terburu-buru masuk ke gedung di mana saat ini mereka bertujuh menginjakkan kaki. Melalui pintu utama gedung, beberapa orang dengan perilaku aneh masuk ke dalam gedung bekas perkantoran ini melalui pintu utama.

"Seberapa kuat pun kita berusaha.. Hasilnya selalu sama..."

"..."

"...Kita tetap tetap terpojokkan."

Pemuda itu menghela nafas sejenak, sebelum pandangannya teralih ke arah gadis berambut merah jambu di depannya. Mereka melepas genggamam masing-masing, dan mulai memeluk satu sama lain.

"Sasuke-kun..."

Ucap gadis itu dengan nada yang tidak mudah untuk dijelaskan. Sensasi rasa takut yang sempat melanda kini perlahan mulai mencair. Di dalam dekapan kekasihnya, ia mencoba untuk menenangkan diri setelah sekian kejadian penuh ketegangan yang ia alami.

"Syukurlah kau selamat... Sakura."

Ucap pelan Sasuke, pemuda itu, yang kini semakin membawa gadisnya lebih dalam ke pelukannya.

"Suasana di sini tiba-tiba memanas. Sama seperti saat kita di Kota itu.."

Seorang guru muda membuka suaranya, membaca alur cerita yang tengah mereka lewati. Dirinya menatap murid-muridnya yang saat ini mencoba menenangkan senggal nafas yang memburu. Termasuk satu orang lagi yang nampaknya baru berganung di regu mereka.

"Michika-san, jika boleh kutahu, di mana lokasi anggotamu mengungsi ketika sampai di tempat ini?"

Tanya Anko, wanita muda itu kepada seorang gadis berumur 18 Tahun di sampingnya.

"Itu... Kami semua..."

Braakkk!

Suara keras dobrakkan pintu tiba-tiba mengagetkan mereka semua. Seluruh mata serentak teralihkan ke arah sana, termasuk juga Sasuke dan Sakura.

'Dia sudah tidak ada di sisi kami lagi. Kurasa aku harus bisa menggantikan muridku yang bodoh itu...'

Dalam hati Anko berkecipung dengan pikirannya sendiri. Betapa sejatinya sebagai seorang guru mereka, ia harus bisa menarik semangat mereka kembali. Seperti yang selalu dilakukan oleh satu murid bodohnya itu.

"Kiba, Chouji. Tahan pintunya! Sasuke cepat cari jalan lain."

Seorang pemuda jabrik dan seorang pemuda tambun langsung bersama-sama menahan pintu yang sesaat tadi baru mereka lalui. Dobrakkan demi dobrakkan tak terelakkan. Begitu gencar hingga mereka berdua tak sanggup menahannya lebih lama lagi.

Sementara Sasuke kembali mengangkat senjatanya dan mulai menelusuri setiap inci lorong buntu itu dengan panik. Matanya berulang kali berganti haluan, berusaha menemukan jalan untuk ke lantai selanjutnya. Begitu gelap dan berdebu, yang mana sebuah lampu redup yang berkedap-kedip di tengah lorong itu tidak mampu banyak membantu Sasuke menembus kegelapan.

'Siaal.. Di mana.. Di mana?! Aku tak bisa menemukannya...!'

Racau Sasuke dalam hati merasa frustasi saat matanya tidak mampu menembus kegelapan untuk menemukan jalan bagi mereka. Sedangkan Kiba dan Chouji begitu sibuk menahan pintu di sana agar makhlul-makhluk yang mengejar mereka tidak bisa menerobos masuk ke dalam.

"Cepat, Sasuke! Kita tidak punya banyak waktu lagi!"

Kata Anko yang mengingatkan Sasuke jika saat ini mereka benar-benar sedang terpojok. Rahang Sasuke mengeras, semakin ia merasa frustasi tidak menemukan satu pun jalan keluar selain jendela besar kantor yang mengarah langsung menuju ke jalanan yang dipenuhi oleh sekumpulan orang-orang berperilaku sangat tidak wajar dan ganas.

"K-Kami... Ti-Tidak bisa menahannya lebih lama lagi..!"

Kata Chouji bersamaan dengan urat-urat yang keluar di pelipisnya. Yang begitu ngotot mempertahankan pintu itu agar tidak bisa ditembus. Keringat membasahi seluruh pergelangan tangan Kiba yang juga sedang menahan pintu yang sama. Gebrakkan demi gebrakkan dari balik pintu tidak juga surut. Justru kini lebih gencar hingga debu-debu di atas runtuh seperti hujan mengguyur tubuh berkeringat kedua pemuda itu.

'Tidak ada pilihan lain...'

Ucap Anko dalam hati. Tubuhnya membungkuk, mengambil sebatang rotan tebal yang usang di antara puing-puing yang berserakan.

"Tetap mencari, Sasuke... Aku akan mengurus yang di sini."

Kata wanita muda yang dulunya berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah yang terkena dampak dari penyebaran kengerian ini.

"Aku akan membantu Anko-sensei, Sasuke-kun... Teruslah mencari jalan untuk kita semua. Seperti pesan yang dia tinggalkan untukmu waktu itu..."

Ucap Sakura yang berada di belakangnya. Sasuke berhenti seketika, lalu langsung berbalik ke arah Sakura. Dapat ia lihat dengan jelas setitik air mata keluar bebas dari pelupuk mata indahnya. Mengalir melalui pipi lembutnya, lalu menetes jatuh di antara puing-puing yang berserakan melalui dagu manisnya. Manik sehitam obsidian itu sejenak melebar. Menatap Sakura yang lagi-lagi menitikkan lagi air mata seperti ini.

Gadis itu mengangguk sekali kepada Sasuke. Seakan itu adalah sebuah tanda semangat dan kepercayaan yang ia serahkan untuk pemuda itu.

Sakura berlalu dari hadapannya, menuju ke arah Anko-sensei, Hinata, dan seorang survivor lain yang selamat, Michika. Akan tetapi Sasuke tidak bergeming. Pandangannya tertunduk melihat reruntuhan tertumpuk debu. Perkataan Sakura tadi... Seakan membuatnya terlempar kembali ke waktu itu...

.

.

'Kita hanya perlu menatap lurus ke depan bukan, Sasuke."

'Kita hanya perlu menembus rintangan yang ada bukan..? Lagi... Ayo kita berjuang bersama-sama lagi, Sasuke.'

Masih terbesit jelas suara itu di gendang telinganya. Walau waktu telah berlalu sampai di detik ini...

Wajah itu... Begitu menguatkan apa yang di yakininya saat itu...

Bahwa mereka semua akan selamat. Kepalan tangan yang saling menyatu...

Seakan sebuah tanda dari janji yang mereka berdua yakini...

Sampai ketika hari yang menyakitkan itu tiba...

'Selanjutnya... Kuserahkan kepadamu, Sasuke. Maaf aku tak bisa menepati janjiku untuk terus berjuang bersama.'

.

.

Dalam diam tertunduk, Sasuke begitu menyadari arti dari kehilangan semangat juang yang selalu diperlihatkan oleh sahabatnya. Sangat menyesakkan memori itu kembali terputar dalam otaknya. Tangan kiri yang tidak menggenggam senjata itu mengepal kuat. Semua yang ua lalui, semua yang yang telah mereka lalui bersama, tidak boleh terhapus sampai di sini.

Benar...

Semua telah diserahkan kepadanya. Ia harus temukan jalan itu. Ia harus membawa rekan-rekannya selamat, seperti sahabatnya yang selalu bisa melakukan hal itu. Kini adalah gilirannya. Karena pemuda itu telah menyerahkan beban ini padanya.

"Beri aku sedikit waktu lagi!'

Sahutnya tiba-tiba, dan langsung berbalik untuk kembali mencari jalan keluar menuju ke lantai selanjutnya.

Anko yang sedang menguji kekuatan rotan temuannya sejenak menoleh sedikit dengan pandangannya yang menyusur ke bawah. Telinganya mendengar jelas semangat itu. Semangat yang mirip dengan semangat seseorang.

'Bahkan sampai saat ini, kau selalu memberikan semangat juang di setiap hati kami...'

Anko tersenyum redup mengingat begitu banyak kenangan di tengah kengerian yang begitu mencekam di waktu itu. Matanya kembali terarah ke depan menuju pintu yang sebentar lagi akan hancur tersebut. Sendi lutut kaki kiri Anko mulai merendah. Kuda-kuda yang telah lama tidak ia gunakan saat menjadi pengajar kini terlihat jelas.

'...Kami benar-benar kehilangan dirimu. Murid kesayanganku...'

Lanjut dari kata-katanya dalam hati.

"Ckk..!"

Kiba sudah berada pada batasnya menahan pintu yang berlubang di sana-sini. Chouji juga sudah hampir tidak bisa mempertahankan engsel pintu yang telah putus tersebut. Tangan-tangan kusam penuh luka mengais-ngais dari sisi-sisi pintu yang telah terlenas dari engselnya itu.

Sakura menjongkok, mengambil sebuah potongan beton neser, tonggak seperti kawat tebal untuk fondasi membangun beton dengan panjang 57cm. Lengkap dengan sisi tajam di ujung bekas patahannya. Sakura berdiri, lalu melangkah ke depan dan berhenti sejajar bersama Anko di depan Hinat dan Michiko yang terbatuk-batuk entah kenapa. Kini hatinya kembali mantap bertarung melawan mereka lagi.

"Maaf, tapi ini sudah mencapai batas kami! Bersiaplaaahh!"

Sahut Kiba dengan mata terpejam erat sekuat tenaga yang tersisa untuk menahan pintu yang akan ambruk tersebut.

"Haaaaa!"

Chouji berteriak menahan pintu rusak dengan tangan-tangan ganas yang mengais-ngais itu. Di detik berikutnya, mereka berdua terdorong jatuh dan tertimpa pintu tersebut. Mata Hinata melebar mendapati pintu itu telah ambruk, sedangkan mata Anko menajam mereka-mereka yang mendobrak kini berhasil masuk. Genggaman tangan Sakura semakin menguat ke beton neser yang ia genggam. Makhluk-makhluk itu menginjak-injak pintu yang telah berhasil mereka dobrak dan berlari dengan ganas ke arah Anko dan Sakura.

"Grraaahhh...!"

.

.

.

.

.

"Return!"

The Place Of Hope

Chapter 1 : "Mulai Kembali"

Genre : Adventure, Horror & Gore

Caution! Contains violance & profanity (17th +)

.

.

.

.

Sakura's Note

Coast of Gunkanjima, 12 May 2014.

05:53am_

Begitu banyak hal yang terjadi.

Begitu banyak peristiwa yang terlewati.

Namun tak ada satupun yang dapat kumengerti. Tentang betapa memgerikannya Dunia baru ini.

Konoha telah jatuh. Begitu banyak yang menjadi korban. Tidak terhitung jumlahnya.

Menyusuri setiap tapak jalanan rusuh nan rusak. Entah itu mobil pribadi, transportasi umum, atau bahkan mobil polisi pun. Semuanya berserakkan tak tentu arah.

Pemandangan yang cukup mengerikan bagi kami yang masih duduk di bangku SMA Tahun kedua.

Terjebak di antara kejamnya Kota yang telah mati tersebut.

Bertahan dan terus bertahan adalah kunci untuk tetap hidup bagi kami.

Tidak ada satupun yang mengetahui apa penyebabnya.

Yang kuketahui hanyalah... Kota Konoha saat itu, adalah Negeri para orang mati.

Dengan kelompok yang tersisa, kami berjuang menghadapi segala rintangan yang ada di depan mata.

Penuh darah dan jerit kesakitan. Tetes peluh yang terdengar. Sampai dengan mata yang melihat kebangkitan orang mati.

Tidak ada ruang bagi kami untuk bersantai di sana, di Kota itu.

Semua benar-benar terasa memilukan untuk memgingat kembali masa-masa itu.

Batas antara hidup dan mati kini tak bisa lagi dipertanyakan.

Semua terangkum menjadi satu dalam keputusasaan.

Satu hal yang paling membuat kami semakin pilu, bahkan untukku sendiri. Ketika di mana waktu itu terjadi.

Saat kami kehilangan rekan yang sangat berharga bagi kami.

Sosok teman kecil yang kini kusadari, sangatlah berarti untukku.

Perjuangan untuk keluar dari Kota kematian itu seakan sia-sia.

Berjuang dari awal hingga kami semua dapat hidup sampai detik ini.

Tanpanya, semua terasa kosong.

Namun kami menyadari satu hal...

Jangan buat perjuangannya menjadi sia-sia.

Kami semua harus tetap hidup demi dirinya.

Itulah yang baru kami sadari setelah sekian lama pundung dalam emosi.

Ketika berhasil keluar dari sana, kami memutuskan untuk mencari tempat yang aman. Seperti tujuan yang belum sempat kami rencanakan dengan dirinya.

Di sepanjang pesisir Konoha, semua seakan terlihat begitu sama. Tidak ada ruang untuk kami menepi.

Lalu kami memutuskan untuk pergi ke sebuah pulau terpencil di Jepang, 12 kilometer dari lepas pantai Konoha.

Pulau kecil yang terlupakan. Bekas eksplorasi pertambangan batu bara.

Kurasa di sana kami akan jauh dari wabah itu. Dan dapat bertahan hidup di sana...

.

.

Normal POV

Sebuah kapal melaju perlahan di teluk Gunkanjima, pulau kecil di lepas pantai tenggara Kota Konoha. Seorang pemuda mengemudikan kapal tersebut, yang ditumpangi oleh empat remaja dan satu wanita muda.

"Ternyata benar, ada sebuah pulau di sini."

Ungkap Chouji, pemuda yang sedang mengoperasikan kapal tersebut.

"Mattaku... Hanya kau saja yang tidak pernah mengerti tentang sejarah, Chouji."

Sakura, gadis dengan warna merah jambu yang menghias rambutnya menyahuti perkataan dari pemuda tambun yang sibuk mengemudikan kapal mereka. Yang disahuti malah tertawa dengan tampang tak berdosa.

"Kita hampir sampai."

Ucap Sasuke sambil menatap singkat ke arah pulau tanpa hutan dan pepohonan itu. Pemuda tersebut lagi-lagi menyibukkan diri dengan slot magazen Sniper Arctic Warfare Magnum miliknya. Duduk santai bersandar, ia memasukkan satu demi satu selongsong peluru baru berkaliber 7mm tipe Remington Magnum ke dalam slot magazennya.

Kapal terus melaju statis di kecepatan 8Knot, atau sekitar 14Km/jam. Angin datang berhembus dari arah timur laut. Membuat helai demi helai rambut indah seorang gadis tergerai bebas. Kedua mata indah miliknya terus menatap lurus ke pulau penuh dengan gedung-gedung operasional bertingkat tersebut. Pikirannya serasa kosong, tanpa ada sesuatu pun yang terlintas di sana. Hanya mata yang terus memandang ke depan.

"Hinata? Apa kau baik-baik saja?."

Sebuah suara memanggil gadis itu. Seolah telah mengganggu lamunannya di ujung kapal, ia menoleh kebelakang sembari tersenyum lembut.

"Tidak... Aku tidak apa-apa, Kiba."

Jawabnya sebelum kembali menatap deretan gedung-gedung tinggi di sana.

Pemuda yang tadi memanggilnya merasa ada suatu yang ganjil pada gadis itu. Kiba mengernyitkan kedua alisnya heran. Sedari tadi, Hinata hanya diam berdiri di ujung sana. Tanpa ada satu kata pun yang terucap.

'Jadi... Masih terasa berat untukmu yah... Hinata?'

Tanya Kiba dalam hati.

'Mungkin ini salah... Tapi aku pun juga masih merasakannya... Rasa yang tidak bisa kuartikan, saat aku telah kehilangan sahabatku...'

Lanjutnya lagi, masih bergeming dalam hati.

"Eh..? Sasuke-kun, lihat."

Sasuke menghentikan aktifitasnya sejenak untuk menoleh ke arah yang Sakura tunjuk. Anko, Chouji dan Kiba juga mengarahkan arah pandangan mereka ke satu titik yang sama. Sakura melangkah menuju ke ujung kapal, tepat di sebelah Hinata.

"Ada lima kapal yang bersandar di dermaga..."

Ucap Sakura, yang terus memperhatikan objek yang sedang ia amati.

"Benar... Ada beberapa kapal di sana."

Sahut Kiba yang cepat bangkit berdiri ketika kapal yang mereka tumpangi hampir tiba di pulau tersebut. Sasuke pun juga ikut berdiri sambil selalu membawa senapan laras panjang miliknya.

"Sensei, bukankah, pulau ini adalah pulau yang telah ditinggalkan semenjak era minyak bumi telah banyak menggusur penggunaan batu bara oleh kalayak umum?."

Tanya gadis merah jambu itu menoleh ke arah Anko yang bersidekap tegas di belakang mereka.

"Itu memang benar. Pulau kecil ini telah ditinggalkan pada masa itu. Dulunya... Pulau ini adalah pulau bekas hunian para penduduk Jepang. Namun aktifitas penambangan di sana mengalami penurunan yang drastis ketika minyak bumi mampu menggantikan batu bara secara lebih efisien. Sehingga pada tahun 1974, para penduduk dan pekerja meninggalkan pulau ini hingga terbengkalai."

Jelas Anko panjang lebar menjelaskan sejarah singkat mengenai pulau itu.

"Pulau ini pernah menjadi pulau berpenduduk terpadat di Jepang. Bahkan saat Tahun 1959, kepadatan penduduk di Gunkanjima

mencapai 835 orang per hektar. Di pulau dengan lebar 150meter dan panjang yang lebih dari 480meter itu, membuatnya terlihat seperti sebuah kapal karam jika dilihat dari kejauhan. Itulah sebabnya pulau ini dinamakan Gunkanjima... Yang berarti, kapal perang."

Sasuke menyambung penjelasan sejarah singkat Gunkanjima dari Anko-sensei yang juga tak kalah lebar. Dengan santai, Sasuke memaparkan wawasannya kepada mereka, sambil memasukkan tangan kirinya ke saku celana dan menyanggakan Snipernya ke bahu kanan. Untuk sesaat, semua mata sempat tertuju padanya, kecuali untuk Hinata yang tetap menatap lurus ke pulau yang akan mereka tapaki nanti. Salah satu alasan dasarnya adalah, karena ia juga mengetahui jejak sejarah pulau kecil ini.

"Hee... Benar juga..! Pulaunya terlihat seperti sebuah kapal perang dari sini."

Ucap Sakura takjub melontarkan pandangan matanya dari ujung ke ujung pulau itu.

"Tapi tetap saja... Jika pada tahun 1974 pulau ini telah ditinggalkan, lalu kenapa sekarang ada beberapa kapal yang berlabuh di dermaga sana...? Dan sejauh pengelihatanku... Kapal-kapal itu tidak seperti telah berumur puluhan Tahun.."

Kiba bertanya, mencoba memaparkan apa yang sempat mengganggu pikirannya.

"Mereka mengungsi..."

"...?!"

"Eh...?"

Kini semua pasang mata seolah tertarik kuat untuk memandang Hinata. Gadis berambut panjang itu diberi tatapan kebingungan oleh para teman-temannya.

"Sudah jelas... Mereka mengungsi, di pulau ini. Sama seperti yang kita lakukan. Setelah kejadian itu terjadi dan membuat seluruh Kota Konoha berantakkan... Adalah pilihan tepat untuk mengungsi ke tempat ini."

Kata Hinata menjelaskan kata-kata yang sempat menggantung tadi. Saat itu juga Sakura mengerti suatu hal yang tidak sampai terpilirkan olehnya.

"Benar juga... Tapi jika benar seperti itu, berarti saat ini... Pulau ini telah ada yang menghuni lebih dulu dari kita. Berarti ada survivor seperti kita di sini?!"

Ucap Sakura menerawang dan cukup antusias.

Anko melemparkan tali kapal ke atas papan kayu dermaga yang telah usang. Percepatan kapal menurun hingga ke angka Nol. Chouji memutar kunci untuk mematikan mesin kapalnya. Sasuke meloncat turun sambil tetap membawa senjatanya.

"Jangan terlalu antusias seperti itu, Sakura. Kita belum tahu pasti apa yang ada di pulau ini masih menjadi manusia atau tidak. Kita tetap harus berhati-hati dan tetap waspada."

Ucap Sasuke sambil mengikat tali kapal ke palung dermaga, agar kapal mereka tidak terlalu jauh terseret oleh arus laut.

"Segala kemungkinan tetap akan terjadi."

Lanjut Uchiha muda itu lagi dengan mengulurkan tangan kepada gadis merah jambu tersebut. Sakura menyambutnya, lalu meloncati spasi antara kapal, laut dan lantai dermaga. Bunyi kayu yang berdenyit seakan menandakan bahwa dermaga ini benar-benar telah termakan usia.

Anko, Hinata, Kiba dan yang terakhir, Chouji, satu per satu juga turun dari kapal ke atas dermaga yang usang. Mereka ber-enam dengan hati-hati melangkah, menapakkan alas kaki mereka dengan kayu rapuh dermaga itu. Hingga untuk yang pertama kalinya, mereka semua menginjakkan kaki di tanah Gunkanjima.

"Jadi begini... Aku hanya pernah melihatnya dari internet. Tapi tidak kusangka jika berada langsung di sini, tempat ini terasa semakin... Menyeramkan..."

Ucap Anko-sensei yang mendongak, melihat kesana-kemari gedung-gedung tinggi yang tidak bisa dijelaskan lagi kondisinya. Di pagi itu... Warna-warna seakan lenyap di tempat ini. Semua nampak monoton. Sejauh mata memandang, yang mereka temukan hanyalah bekas-bekas bangunan tua. Gedung apartemen tidak bisa lagi disebut apartemen. Gedung sekolah tidak lagi bisa disebut sekolahan. Ibarat seperti sebuah Kota kecil yang telah disusuri badai topan. Semuanya nampak begitu berantakkan.

"Jika kalian ingin mengatakan bahwa tempat ini sangat kacau, mungkin aku akan mencari kata yang lebih sensasional lagi dari pada itu."

Kata Kiba yang mendongak ke arah timur atas di pucuk sebuah bangunan yang tidak jelas lagi fungsionalitasnya sebagai apa. Maniknya melirik sejauh mata memandang ketinggian, di mana mentari dingin yang perlahan mulai merangkak naik.

"Tempat ini benar-benar jauh lebih parah dari Konoha..."

Ucap Sakura yang melangkah ke depan di antara puing-puing, batu dan kerikil. Kedua tangannya merentang ke atas dan ke bawah untuk menjaga keseimbangan.

"Sakura, jangan terlalu jauh."

Kata Sasuke menyusul gadis pink itu dari belakang. Melihat Sakura dan Sasuke yang telah melangkah beberapa meter dari mereka, akhirnya Hinata memutuskan untuk berjalan menyusul pasangan itu.

"Ikou.."

Panggilnya kepada Kiba, Anko dan Chouji yang masih mengedarkan pandangan mereka menyapu seluruh sudut 'Kota kecil' yang mengerikan ini. Kiba sempat sedikit terkejut mendengar ajakan Hinata, karena ia masih tersibukkan oleh setiap lekuk gedung-gedung tua yang ada di tempat ini.

Mereka berenam, menapakkan langkah kakinya secara perlahan. Menyusuri jalan yang tidak terlihat lagi di mana tepi pembatasnya. Kedua belas pasang mata itu masih saja terus memperhatikan lekuk-lekuk bangunan rusak di sekitar mereka. Begitu hening suasana pagi ini. Di antara bekas puluhan gedung tinggi yang mengelilingi, seakan ada sesuatu di balik petak-petak jendela yang terus-menerus mengawasi mereka dari kejauhan.

Sakura tetap berjalan pelan di urutan yang paling depan. Berulang kali terdengar bunyi-bunyian yang membuat hati serasa berada di dunia yang lain ketika sepatu sekolah miliknya menginjak pecahan kaca dan tumpukan daun-daun kering. Begitu hening tempat ini. Suasana yang benar-benar menghanyutkan.

Tiba-tiba Sakura terkejut dan menoleh ke atas, ketika segerombolan burung-burung gagak berterbangan dari pucuk sebuah bangunan. Manik Emerald miliknya memperhatikan satu bulu sayap berwarna hitam pekat yang terhanyut jatuh.

"Tidak ada seorang pun di tempat ini... Benar-benar mengerikan..."

Ucap gadis merah jambu yang telah berhenti melangkah tersebut. Kedua tangannya saling mendekap. Merasakan bulu-bulu kuduknya yang telah berdiri.

"Bukankah... Ini terlihat aneh... Sasuke?."

Anko, Kiba dan Hinata berhenti berjalan tepat di belakang Sakura ketika Chouji bertanya kepada sang Uchiha muda. Yang ditanya pun juga ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepada yang lainya. Maniknya menajam, melirik ke arah kanan, maupun kiri. Mencoba menemukan sebuah gerak-gerik tanda kehidupan. Namun nihil... Hanya secarik kain putih lusuh berkibar di sepotong kayu usang tertiup oleh angin pagi yang dingin.

"Jika yang dibilang Hinata benar bahwa semua kapal-kapal di dermaga itu adalah milik para pengungsi yang selamat seperti kita, atau kita asumsikan saja benar seperti itu. Maka..."

Kata-kata Sasuke menggantung di tengah, ketika telinganya menangkap sebuah suara serpihan kaca yang terinjak di sisi gang sempit 13 meter dari arah kanannya. Kedua genggaman tangannya semakin menguat memegang Sniper Arctic Warfare Magnum miliknya. Anko juga merubah posisi berdirinya ke posisi siaga. Kiba mengendus bau ketidakberesan di sekitar mereka saat ini. Chouji melirik ke belakang supaya tidak kejutan yang akan datang dari sana. Dengan lirikan matanya yang tajam, Sasuke akan melanjutkan kalimatnya yang sempat menggantung panjang tadi.

"...Pertanyaanku saat ini adalah..."

Suara menjejak terdengar lebih jelas. Entah itu suara langkah yang menginjak tumpukan kayu, atau pun menginjak dedaunan kering. Yang jelas, suara-suara yang misterius itu terasa sangatlah dekat mengelilingi mereka berenam.

"...Mereka masih manusia, atau..."

Bayangan seseorang di tanah terlihat, dibarengi dengan munculnya satu sosok yang keluar dari sisi gang kecil berjarak 7 kaki di sebelah kanan Sasuke. Pemuda itu langsung mensejajarkan popor senapan dengan bahunya. Jempol kiri merubah tuas kecil pengunci senjata miliknya ke mode aktif. Mata hitam kelamnya semakin menajam, membidik luruh ke arah sosok itu. Dada sebelah kiri Sakura seakan berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan Kiba perlahan menggenggam jemari-jemari Hinata. Suasana di tempat ini membuatnya semakin merasa was-was. Bayangan hitam yang terlihat di dataran antara puing-puing bangunan semakin mendekat. Disertai dengan satu-dua langkah sebuah sosok yang sudah menjadi bidikan tajam Sasuke. Semakin terlihat sosok itu di kegelapan bayang-bayang gedung, semakin menekan pula jari Sasuke di antara pelatuk senapannya. Nafasnya tertahan, siap untuk menekan penuh pelatuk itu dengan kuat.

'Chh...'

.

.

.

.

"Penyebaran ini semakin lama semakin menggila. Bukan hanya Konoha saja, tapi seluruh kota di Jepang telah jatuh. Di mana-mana semuanya menjadi kacau. Bahkan penyebaran ini telah berada di tingkat Deep Red Light. Korea, Filipina, Singapura, Selandia, Norwegia... Bahkan Amerika. Hampir semua Negara-Negara itu berada di tingkat stadium yang sama seperti Jepang. Tentu aku tidak ingin wabah ini menaklukan Dunia kita."

Di dalam geladak bawah sebuah kapal perang yang begitu ramai di penuhi para nahkoda dan prajurit angkatan laut bekerja di posisinya masing-masing, seorang pria tinggi berambut panjang melebihi bahu memperlihatkan Tablet Smartphone tipis yang menjabarkan tingkat kerusakan Jepang dan Negara di sekitarnya yang juga terkena dampak yang sama. Di layar Tab tipis selebar 7 inchi tersebut, termuat berapa saja persentase tingkat penyebaran wabah ganas yang saat ini tidak hanya menjajahi para Negara tetangga, melainkan juga Negara-Negara besar seperti Inggris Spanyol dan Amerika.

"L.A, Manchester dan Washington DC mengalami kesulitan untuk mengantisipasi pandemik ini. Ankara di Turki, Atena di Yunani, Buenos Aries di Argentina, serta Tokyo, semua hampir tersapu rata. Kita di ambang kehancuran."

Lanjut pria tinggi berseragam kesatuan khusus Anti Bio-Terrorist Unit terdebut sambil menaiki tangga dengan cepat.

"...Separah itu kah.."

Sahut lawan bicaranya kali ini. Seorang pria paruh baya dengan tinggi badan 180cm yang mengikutinya dari belakang. Kedua orang itu melangkah ke atas sebisa mungkin menghindari beberapa staff angkatan laut yang sibuk membawa dokumen-dokumen pentinb menuruni tangga berlawanan arah dengan mereka. Hingga sampai pada satu pintu baja di depan mata. Pria dengan rambut panjang membukanya dan melangkah melaluinya, menuju ke dek atas kapal besar yang luas ini. Begitu padat dengan banyak helikopter yang aktif, para marinir, serta para pengungsi yang berhasil dievakuasi. Pengungsi-pengungsi yang baru tiba segera dinavigasikan untuk masuk ke dek penumpang kapal yang telah di siapkan khusus bagi mereka. Agar dek atas dan anjungan tidak penuh sesak dan para personil dapat menjalankan tugasnya tanpa terhambat.

Melirik sebentar kesibukan di sekitar, pria dari kesatuan elite khusus itu memperlambat langkahnya, lalu berhenti dan berbalik menghadap ke arah lawan bicaranya.

"Karena itulah aku membutuhkanmu. Kami benar-benar membutuhkanmu... Minato."

Ucapnya sambil menatap dalam pria paruh baya berambut kuning di depannya.

"Aku? Tapi... Kenapa? Aku bukan lagi bagian dari anggota divisi keempat. Apa yang bisa kuperbuat? Apa lagi yang bisa kulakukan, Hashirama?."

Jawab pria tinggi berambut kuning tersebut dengan pandangan yang bertanya-tanya.

"Kau selalu seperti ini, Minato..."

"..."

"Cobalah sejenak singkirkan sifat pesimistismu itu. Dengarkan aku..."

Kapten dari kesatuan divisi khusus itu menatap Minato dengan sangat serius sekarang.

"Aku tahu Track Record-mu di divisi itu. Aku sangat tahu!. Apa yang membuatmu memiliki tingkatan yang istimewa di sana. Apa yang membuatmu begitu di hormati seluruh personil di divisi itu. Bahkan divisiku pun mengakui apa yang telah kau capai selama ini. Begitu terlihat raut kekecewaan di mata mereka saat kau berkata telah mengundurkan diri."

"Hashirama, aku~"

"Integritas tinggimu serta inteligensitas yang kau miliki... Kami membutuhkanmu lagi, Minato. Kami butuh dirimu yang dulu kembali ada di ruang itu."

Hashirama menyela Minato yang akan mengatakan sesuatu.

"Seluruh Jepang telah lepas dari kendali kami. Minato, lihatlah sekelilingmu! Lihatlah raut kehilangan mereka! Rasa penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan, semua tergambat jelas di wajah mereka!"

Hashirama meninggikan nada bicaranya. Begitu banyak tekanan di setiap kata yang terkandung dalam kalimatnya. Minato mengedarkan pandangan manik biru miliknya. Melihat lekat raut para pengungsi yang berada di sekitarnya, maupun yang baru saja melangkah turun dari helikopter evakuasi yang baru tiba. Kedua matanya melihat begitu jelas raut-raut yang tergambar di setiap para pengungsi yang selamat. Benar-benae pemandangan yang begitu menyesakkan dadanya. Kekecewaan, penyesalan, ketakutan, kehampaan, serta keputusasaan tercetak jelas di wajah mereka. Seperti apa yang dikatakan Hashirama padanya.

Bahkan ia juga sempat melihat raut-raut seperti itu, di istri yang sangat dicintainya. Sangat sesak... Benar-benar begitu sesak melihat Kushina menangis memeluk sebuah foto kecil di dadanya. Ia bersedia membalikkan gunung Fuji dengan cara apapun demi bisa menghapus air mata itu. Minato diam terpaku. Mendapati dirinya terjebak dalam distorsi dilema. Seluruh syaraf otaknya serasa mati rasa melihat semua ini. Merasakan apa yang telah terjadi, dan apa yang telah ia lalui. Tapi Hashirama menyadarkannya. Kedua tangan Hashirama menepuk dan berpegang pada kedua bahu Minato.

"Minato... Tidak ada seorangpun di Dunia ini yang mampu duduk di kursi ruangan itu, selain dirimu. Kali ini... Aku secara pribadi, sebagai kawan lama... Memintamu untuk sekali lagi kembali ke divisi itu. Bukan hanya nasib Negara ini. Bukan hanya nasib Jepang. Tapi seluruh Dunia! Nasib seluruh nyawa umat manusia dipertaruhkan, Minato."

Ucap panjang Hashirama mencoba meyakinkan Minato, sahabat lamanya. Sang ahli strategi, dan siasat. Penasihat tim dan tangan kanan Menteri pertahanan. Wakil kapten kesatuan elite divisi 4 yang begitu disegani. Pikiran Hashirama telah buntu. Berbagai cara telah dicobanya. Berbagai penelitian telas dilakukannya. Namun seluruh penyempurnaan serum yang berada di genggamannya selalu gagal. Di antara kebuntuan itu semua, ia melihat celah yang ia yakini mampu berikan kontribusi berarti bagi umat manusia. Dan Minato Namikaze lah celah itu.

Pria berambut kuning itu terdiam sebentar dengan wajah tertunduk. Kepalanya begitu pening dipenuhi oleh berbagai macam problema yang ada. Beban apa yang harus ia pikul? Resiko apa yang harus ia genggam?. Jika Dunia berakhir, maka keluarganya pun hanya tinggal menunggu waktu untuk ikut tersapu. Jika ia menggenggamnya, apa yang bisa ia lakukan untuk Dunia, yang bahkan menggenggam utuh keluarganya saja tidak bisa?.

'Apa yang bisa kuperbuat...? Tidak kah aku telah gagal sebagai Ayah yang melindungi keluargaki sendiri...? Bahkan aku tidak mampu menerka apakah anakku mampu bertahan hidup setelah apa yang telah terjadi hingga seperti ini. Aku tidak mampu menggantikan rasa sakit di hati Kushina yang selalu memikirnya setiap saat. Lalu apa yang bisa kulakukan di divisi itu lagi?'

'Aku hanyalah seorang yang penuh dengan kegagalan... Yah... Aku seorang Ayah yang gagal.'

Kepala Minato yang tertunduk, perlahan mendongak ke arah Hashirama yang masih memegang kedua pundaknya. Tatapan Minato kini tak lagi seperti tadi. Seolah kumpulan keyakinan yang memudar kembali menjadi satu melalui mata safir tajamnya.

"Tidak ada yang patut dibanggakan dari diriku. Namun, jika aku mampu membuka celah untuk kalian... Untuk umat manusia... Aku akan melakukannya."

Ucap Minato mantap. Kini berganti Hashirama yang terdiam memandangi wajah kawan lamanya. Suara bising baling-baling helikopter yang terbalap oleh hembusan angin kencang, seakan menghembuskan keraguan yang ada di dalam hati Minato. Jika ia tidak mampu mempertemukan lagi Kushina dengan anaknya untuk mengobati air mata itu, setidaknya biarlah ia kembali untuk memberikan sesuatu yang berguna bagi seluruh Jepang dan umat manusia.

"...Sudah kuduga. Inilah dirimu yang sebenarnya. Selamat bergabung kembali di unit kesatuan divisi elite khusus Konoha, Minato."

Hashirama menyambut Comeback itu dengan antusias.

.

.

- The Place Of Hope -

.

.

"Jika yang dibilang Hinata benar bahwa semua kapal-kapal di dermaga itu adalah milik para pengungsi yang selamat seperti kita, atau kita asumsikan saja benar seperti itu. Maka..."

'Sesuatu mendekat...'

Ucap Sakura dalam hati.

'Kita dikelilingi... Sepertinya.'

Pikir Kiba.

'Perasaan apa ini...? Apakah sesuatu akan terjadi...'

Setetes peluh mengalir di pelipis Chouji.

'Ada yang tidak beres. Apakah mereka...'

Hinata memegang erat kaus renda berwarna violet milik Ibu Sasuke di dadanya.

'Jangan lagi...'

Kata Anko dalam hati dengan sudut matanya yang melirik tajam ke arah kisi-kisi gang sempit 12 langkah dari samping kirinya.

"Pertanyaanku saat ini adalah... Mereka masih manusia, atau..."

Bayangan seseorang di tanah terlihat, dibarengi dengan munculnya satu sosok yang keluar dari sisi gang kecil berjarak 7 kaki di sebelah kanan Sasuke. Pemuda itu langsung mensejajarkan popor senapan dengan bahunya. Jempol kiri merubah tuas kecil pengunci senjata miliknya ke mode aktif. Mata hitam kelamnya semakin menajam, membidik luruh ke arah sosok itu. Dada sebelah kiri Sakura seakan berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan Kiba perlahan menggenggam jemari-jemari Hinata. Suasana di tempat ini membuatnya semakin merasa was-was. Bayangan hitam yang terlihat di dataran antara puing-puing bangunan semakin mendekat. Disertai dengan satu-dua langkah sebuah sosok yang sudah menjadi bidikan tajam Sasuke. Semakin terlihat sosok itu di kegelapan bayang-bayang gedung, semakin menekan pula jari Sasuke di antara pelatuk senapannya. Nafasnya tertahan, siap untuk menekan penuh pelatuk itu dengan kuat.

'Chh...'

Sasuke hampir menekan pelatuk yang akan memantik Rim di selongsong peluru berisi bubuk mesiu itu saat gerik seseorang yang mengawasinya keluar. Siluet bayangan itu kini telah terklarifikasi oleh kedua manik hitam obsidian miliknya. Anko, Sakura, Hinata, Kiba dan Chouji melirik Sasuke yang terdiam

"..."

"...Selamat datang."

Sasuke melepas bidikannya dari Scope yang terbaut kuat di senapannya. Sejenak ia lihat benar-benar sosok itu, sebelum akhirnya Sasuke menurunkan senjatanya.

"Keluarlah. Mereka hanya para orang baru."

Ucap sosok yang juga memegang senapan api berlaras panjang tersebut.

Dari bilik-bilik gedung rusak dan ruas-ruas gang sempit di sekitar Sakura, Hinata, Anko, Chouji dan Kiba, keluar beberapa orang yang sedari tadi bersembunyi mengendap-endap.

"Eh..?"

Sakura berada di posisi antara terkejut dan kebingungan ketika melihat mereka bersikap seperti itu. Bersembunyi seolah ia dan kawan-kawan dalam regunya adalah orang yang berbahaya. Belum lagi mereka mengendap-endap sambil membawa benda-benda seperti palu, tongkat, sapu, atau bahkan kapak.

"Jadi benar... Mereka mengungsi kemari sebelum kita."

Ucap Hinata lega karena perasaan aneh yang sempat melandanya kini terbantahkan.

Bukan hanya Hinata saja, tetapi Anko, Sakura, Chouji dan Kiba yang juga sempat merasakan hal yang sama kini dapat berdiri santai tanpa ketegangan.

"Ano... Maaf jika kami mengagetkan kalian. Kami hanya terlalu waspada, setelah apa yang telah terjadi di Konoha."

Seseorang yang ternyata seorang perempuan melangkah mendekat ke arah Sasuke. Sempat mendapat tatapan penuh telisik juga dari Sasuke yang melihat bahwa gadis tersebut sedang menggenggam sebuah senapan sama seperti dirinya.

"Tidak. Kurasa kami mengerti itu."

Jawab Sasuke dengan singkat sambil mengubah tuas pengunci kecil di Arctic Warfare Magnum-nya kembali ke mode Lock. Tentu sekedar berjaga-jaga agar tidak terjadi sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Gadis di depannya tersenyum entah kenapa, karena padahal Sasuke hanya menatapnya dengan datar.

Orang-orang yang sempat mengelilingi mereka kini bubar. Hinata yang melihat mereka langsung mengetahui bahwa mereka sedang kembali ke Basecamp mereka di pulau ini. Sasuke melirik orang-orang itu. Terlihat jelas rasa ketakutan dan was-was di setiap pandangan mereka.

"Sial... Aku kira akan terjadi hal-hal yang baru-baru ini sangat kubenci!"

Kiba menggerutu sendiri sambil menutupi keningnya. Ia benar-benar tegang tadi. Tidaj mau lagi dirinya terjebak antara hidup dan mati seperti ketika saat ia terjebak di Kota para orang mati di Konoha. Semuanya begitu kelam... Tidak tahu sanak saudara masih hidup ataukah tidak, kehilangan banyak sekali teman saat kejadian mengerikan itu terpampang jelas di hadapannya. Bahkan, ia telah kehilangan seorang sahabatnya saat ketika tim mereka hampir bisa menyelamatkan diri dari Kota Konoha. Sudah cukup ia rasakan sakitnya rasa kehilangan.

"Setidaknya syukurilah saja tidak terjadi hal yang tidak kita inginkan, bukan?"

Sahut Anko-sensei yang tadi mendengar ocehan Kiba.

.

.

.

.

Malam dingin di tengah-tengah pulau Gunkanjima yang tenang, Sakura bersama Sasuke, Hinata dan yang lain menikmati suasana malam bersama dengan mereka, para pengungsi yang telah sampai di sini terlebih dahulu. Dinding-dinding bekas sebuah bangunan yang masih mampu untuk tegak berdiri seakan menjadi pembatas Basecamp mereka. Api unggun dengan nyala sedang jadi titik pusat di mana para pengungsi duduk beristirahat tidak jauh darinya. Termasuk kelompok Anko Mitarashi yang juga ikut bergabung bersama mereka.

"Aku berpikir... Kurasa di sini lebih aman dibanding tetap bersembunyi di Konoha, Sasuke-kun."

Wajah Sakura terbias cahaya dari api unggun yang berjarak 8 kaki dari tempatnya duduk. Wajahnya tenang, melihat ke arah para pengungsi seperti dirinya. Sasuke bersama dengan raut datarnya melihat ke beberapa orang dari para pengungsi yang sedang menyibukan diri dengan bercanda, atau mengobrol satu sama lain untuk membunuh sepi. Sama persis seperti apa yang Sakura lakukan.

"Tetap saja... Tanpa ada persediaan makanan di sini, kita tetap akan mati kelaparan secara mengenaskan."

Jawab Sasuke tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya. Masih melihat ke lima arah yang sama. Sakura tersenyum, lebih tepatnya tertawa kecil setelah mendengar jawaban teoristis dari kekasihnya itu.

"Aku rasa ada yang berubah dari dirimu, Sasuke-kun."

"..."

Tidak ada jawaban. Sasuke diam tanpa kata dan terus memperhatikan kelima orang di antara para pengungsi-pengungsi itu sedari tadi. Hal ini membuat senyum Sakura menghilang. Tergantikan oleh raut wajah yang bingung serta penasaran.

"Sasuke-kun... Aku merasa sejak tadi, kau terus memperhatikan mereka. Terutama..."

"Aah, ternyata kau di sini. Maaf aku belum memberitahu namaku sebelumnya. Aku Michika Noyoru. Salam kenal."

Tiba-tiba seorang gadis datang di samping Sasuke dan memperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah pemuda itu. Sakura sedikit terkejut melihat gadis itu menghampiri Sasuke yang sebelumnya ia berada di sana, dekat tembok bekas bangunan yang runtuh. Membuat Sakura bergumam melanjutkan kata-katanya terputus, di dalam hati.

'Terutama... Pada gadis itu... Kau selalu memperhatikannya, Sasuke-kun.'

"Sudah berapa lama kalian sampai di pulau ini?."

Sasuke malah bertanya pada gadis itu, tanpa menghiraukan juluran tangannya yang ingin berjabat tangan.

"E.. Aku dan beberapa orang baru saja tiba di pulau ini pagi buta tadi. M-Mungkin satu jam sebelum kedatangan kalian."

Jawab gadis itu menarik kembali tangannya dengan canggung, mendapati Sasuke tidak menyambut uluran tangannya dan malah bertanya dengan tampang datar seperti itu.

"...Sou."

Hanya itu jawaban Sasuke. Tidak ada satu katapun yang terucap lagi dari mulutnya. Bahkan ia kembali memperhatikan empat orang yang sama lagi di sekitar api unggun. Seolah pemuda itu tidak lagi peduli dengan kehadiran Michika yang ada di sampingnya.

"S-Sasuke-kun... Itu tidak baik. Setidaknya beri tahu balik namamu kepada orang yang telah memperkenalkan dirinya."

Ucap Sakura mencoba menegur Sasuke yang entah kenapa bersikap aneh seperti ini. Gadis berambut sebahu itu agak tidak enak hati dengan Michika yang diperlakukan seperti itu oleh Sasuke. Walau sebenarnya ada sedikit kecemburuan di hatinya saat Sasuke memperhatikan Michika tadi.

"Jadi, Sasuke...-Kun kah?."

Kata gadis dengan senapan di tangan kanannya itu. Sasuke memejamkan kedua matanya dengan malas sejenak, lalu menoleh ke arah Michika masih sama dengan tampang yang sama.

"Yoroshiku..."

Ucap Sasuke yang duduk sambil memegang Sniper miliknya yang berdiri di bahu kanannya. Michika tersenyum dan mengangguk untuk Sasuke.

"Lalu... Etto..."

"Sakura. Haruno Sakura.."

Sakura seakan mengerti maksud Michika yang terlihat kebingungan ketika melihat ke arahnya.

"Salam kenal, Sakura-chan. Oh... Sepertinya aku akan kembali ke sana. Mereka memanggilku. Jaa ne, Sakura-chan, Sasuke-kun."

Dengan begitu gadis yang tadi pagi sempat mengendap-endap memata-matai Sasuke dan yang lain itu pergi meninggalkan Sakura dan Sasuke.

"Ne... Sasuke-kun... Aku merasa ada yang aneh denganmu hari ini. Apa ada sesuatu yang salah?."

Tanya Sakura pelan kepada kekasihnya itu. Tentang betapa aneh sikap dan sifat Sasuke semenjak kelompok mereka ikut bergabung bersama para pengungsi yang lain siang tadi.

"Kau tak melihatnya?."

Bukannya menjawab Sakura yang sedang khawatir dengan Sasuke, pemuda itu malah melontarkan balik sebuah pertanyaan yang sama sekali Sakura tak mengerti maksudnya.

"Meli...hatnya...? Melihat apa, Sasuke-kun?"

"Bahunya... Sudah kuduga dirimu tidak menyadarinya."

Jawab Sasuke yang lagi-lagi memejamkan kedua manik matanya yang sehitam malam.

"Itu... Sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau maksud. Aku tidak mengerti... Ada apa dengan bahunya...?"

"Sakura..."

"Eh..?"

"Tentang kata-katamu tadi. Bahwa di sini terasa lebih aman... Aku meragukannya saat ini."

Sakura cukup terkejut dengan kata-kata Sasuke barusan. Pemuda itu membuka kembali matanya dengan lagi-lagi melihat ke arah seorang yang sedang mengobrol dengan yang lainnya. Sakura yang penasaran dengan tingkah Sasuke yang selalu memperhatikan mereka, kini mencoba memalingkan wajahnya, menghapap ke arah yang Sasuke lihat. Seorang pengungsi dengan baju putih yang ia kenakan, namun ada sobekan di punggunya bersama bekas warna merah yang seperti disebabkan oleh darah di sekitar sobekan itu. Pemuda pucat dengan baju putih tersebut mengobrol santai dengan pria yang sepertinya adalah Ayahnya.

Sakura melirik Sasuke lagi melalui sudut matanya tanpa menoleh. Akan tetapi wajH serius Sasuke tetap sama seperti tadi tanpa mengalihkan arah pandangannya ke pemuda itu. Sakura sungguh tidak mengerti apa yang terjadi dengan Sasuke. Tetapi Sakura memilih untuk mengikuti Sasuke, dan memperhatikan apa yang sedang dia perhatikan. Anak yang memang tidak jauh dari tempat dirinya duduk bersama Sasuke tidaklah jauh. Jadi, Sakura dengan leluasa bisa memperhatikan seorang anak laki-laki berumur 15 Tahun itu. Anak yang pucat tersebut kini terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Tepat di detik berikutnya, anak itu terbatuk. Tangan kirinya mencoba menutup mulutnya saat terbatuk. Ketika ia melepas tangan kirinya, sesuatu yang membuat Sakura lebih menyipitkan lagi matanya, adalah warna merah yang melekat di tangan anak itu. Yang tidak salah lagi itu adalah darah yang keluar saat anak itu terbatuk.

Untuk yang kesekian kalinya, Sasuke kembali memejamkan mata.

'Jika kau ada di sini... Apa kau akan menyadarinya...? Apa kau juga akan punya pemikiran yang sama denganku tentang orang-orang ini... Sona?.'

.

.

Sakura tetap memperhatikan anak yang wajahnya semakin terlihat pucat itu. Namun Hinata dan Anko datang dari belakang Sakura dan Sasuke.

"A-Ano... Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka..."

Ucap Hinata kepada kedua pasangan yang sedang memperhatikan seseorang tersebut. Membuat Sakura menoleh kebelakang melihat Hinata dan juga Anko.

"Aku rasa kau sudah tahu tentang ini kan, Sasuke?"

Lanjut Anko yang kini bertanya sambil menepuk bahu Sasuke.

"...Ya."

Hanya itu yang keluar dari mulut Sasuke sebagai sebuah jawaban. Pemuda itu menoleh ke arah timur. Matanya menajam memperhatikan sela-sela jalanan kecil yang ada di sana. Sasuke berulang kali merasakannya. Bahwa ia yakin ada suatu pergerakan di sana. Tidak... bukan hanya di sana saja. Malam dingin yang tenang dengan suasana yang hangat. Ia rasa sebentar lagi suasana itu akan berubah sepenuhnya. Cepat atau lambat.

"Mungkin bukan hanya anak itu saja. Tapi beberapa dari mereka juga."

Ucap Kiba yang baru tiba bersama Chouji di belakangnya.

"Jadi... Maksud kalian, adalah..."

Sakura sepertinya mulai mengerti. Apa yang dimaksud Sasuke, juga apa maksud kalimat Hinata, Anko dan Kiba. Namun kata-kata yang ingin ia katakan terputus ketika anak yang tidak jauh dari mereka saat ini tiba-tiba kejang tanpa sebab.

"Sagara? Sagara, apa yang terjadi padamu?! Sagara?!"

Seluruh orang yang ada di sana langsung berdiri melihat Ayah dari anak itu berteriak memanggil nama anaknya. Berulang kali Ayahnya menggoyang-goyangkan anaknya yang kejang tidak sadarkan diri tersebut.

"Ada apa?"

"Apa yang terjadi di sana?"

"Lihat, ada apa dengan anak itu.."

Suara bisik-bisik seluruh pengungsi di sana membuat malam yang sunyi kali ini terdengar begitu bising. Terlebih lagi suara pria yang sedang memcoba menyadarkan anaknya.

"Sagara kau dengar aku?! Sadarlah, Sagara! Apa yang terjadi denganmu?!"

Sasuke lagi-lagi menoleh ke arah perempatan jalanan yang gelap dan kotor penuh puing-puing di sana. Sasuke yakin, sangat yakin jika baru saja ada sesuatu yang menyebrang di sana.

"Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi Ayah?!"

Michika datang bertanya dengan menerobos gerombolan orang-orang yang melihat. Lalu matanya melebar melihat adiknya mengeluarkan suara serak melengking dengan tubuh yang mengejang kuat. Berulang kali adiknya menggelepak di tanah tanpa ada alasan yang jelas.

"Sagara? Apa yang terjadi pada Sagara?! Ada apa dengan Sagara Ayah?!'

"Karena itu Ayah tidak tahu Michika!"

Mereka benar-benar terlihat khawatir melihat adiknya kesakitan seperti itu. Di punggungnya, bekas luka itu seperti melepuh dan kulitnya terlihat seperti mengelupas. Kiba melihatnya dengan ngeri. Ia langsung menggenggam tangan Hinata yang juga tidak bisa berkata apa-apa.

"...Maksud kami adalah... Sebagian dari mereka telah terkena wabah itu, Sakura."

Ucap Sasuke pelan di antara kebisingan yang tengah melanda. Sakura melebarkan matanya mendengar kalimat Sasuke yang seolah melanjutkan kata-kata Sakura yang sempat terpotong tadi. Sasuke lalu berdiri, melangkah ke arah adik Michika. Tangan kanannya langsung menodongkan ujung laras Sniper yang dibawanya tepat ke arah anak yang sebentar lagi akan berubah tersebut.

"Dia telah terinfeksi. Jauhi dia sebelum terlambat."

Kata Sasuke kepada Michika dan Ayahnya.

"Apa katamu? Apa maksudmu?!"

Ayah Michika bertanya dengan nada membentak.

"Luka di punggungnya. Kau pasti tahu luka itu bukan? Ia mendapat luka itu saat berada Kota di mana kalian tinggal."

Lanjut Sasuke lagi dengan wajah Stoic miliknya.

"Sasuke-san..."

Michika terjebak dalam situasi yang amat teramat ruyam bagi kepalanya. Adiknya yang tiba-tiba seperti ini, lalu Sasuke yang juga tiba-tiba menodongkan senjatanya ke arah adiknya. Ia tidak bisa lagi berpikir jernih, sebenarnya apa yang terjadi di sini.

"Adikmu telah terinfeksi. Sejak tadi aku telah memperhatikannya. Jauhi adikmu sekarang juga."

Ucap Sasuke lagi.

"A-Apa...?"

Michika tidak mengerti apa yang Sasuke katakan. Bahkan Ayah Michika benar-benar marah dengan Sasuke yang saat ini menodongkan senjatanya tepat ke arah anaknya yang telah terlihat pingsan. Sama sekali tidak terlihat gejala kejang itu lagi. Anak itu hanya tergeletak di tanah.

"Jangan berkata hal yang bodoh, bocah!"

"Dengar, Anak itu akan berubah. Semua yang telah terinfeksi selalu berubah seperti mereka yang telah menyebarkan pandemik ini. Tidak terkecuali... seperti apa yang terjadi di Konoha saat itu. Jalan satu-satunya agar pandemik itu tidak menyebar, kita harus membunuh orang yang telah terinfeksi sebelum terlambat."

Jelas panjang lebar Sasuke sambil mengubah tuas pengunci senjatanya ke mode aktif sekarang. Dan ia siap untuk menembak anak itu kapan pun saat ini. Mendengar hal itu, Ayah Michika merebut senapan yang di bawa oleh Michika. Dan langsung berdiri menodongkan senapan itu ke arah Sasuke dengan amarah tinggi.

"Jahui anakku, bocah sialan! Apa yang kau tahu hah?! Jangan coba kau sentuh dia... jangan coba kau sentuh anakku!"

Kata pria itu dengan sangat kasar dan mata yang berapi-api termakan ego dan amarah.

"Dia akan membahayakan nyawa kita semua!"

Jawab Sasuke dengan nada yang sedikit meninggi. Ayah Michika menarik tuas senjata menggunakan jempolnya. Dengan begitu sebuah peluru bisa melesat kapan saja menembus tubuh pemuda itu.

"Bicara apa kai bocah tengik?! Dia adalah anakku dan aku tidak peduli! Letakkan senjatamu sekarang juga keparaatt...!"

Teriakan demi teriakan Ayah Michika terdengar begitu memekakkan gendang telinga. Orang itu benar-benar tidak ingin kehilangan keluarganya akibat insiden mengerikan itu.

"Sasuke... "

Ucap Anko mencoba menghalangi Sasuke menggunakan tangannya. Mendengar dan melihat gurunya seperti itu, Sasuke sejenak memejamkan matany, lalu menurunkan senjatanya itu.

"Dengar... Jauhi adikmu sekarang juga, Michika... Sesuatu yang buruk akan terjadi. Percayalah padaku. Dia bukan adikmu lagi..."

Kata Anko kepada Michika sambil merentangkan tangan kirinya di depan Sasuke. Tapi gadis itu hanya melihat Anko dengan pandangan yang sangat membingungkan. Ia tidak tahu lagi harus mendengarkan siapa. Ia tidak tahu lagi harus berpihak kepada siapa. Dan ia tidak tahu lagi harus percaya kepada siapa.

"Hentikan lelucon kalian! Lawakan kalian sama sekali tidak lucu dasar sampah!"

Teriak Ayah Michika dengan lebih mengacungkan senapannya ke arah mereka. Membuat Anko, Sasuke, Sakura dan yang lain terpaksa mundur selangkah ke belakang.

"Orang ini..."

Kepalan-kepalan tangan Kiba menguat menahan gejolak emosi yang tertahan. Ia benar-benar sangat kesal dengan orang itu.

"Cukup. Tempat ini tak lagi aman. Kita pergi..."

Sasuke menurunkan senapan miliknya, lalu berbalik sambil menarik lengan Sakura. Hinata, Kiba, Chouji dan Anko mengikuti Sasuke setelahnya. Tujuan mereka kini sudahlah sangat jelas. Yakni kembali ke dermaga.

Michika terus melihat kepergian mereka dengan tanpa menyadari bahwa mata adiknya telah terbuka. Gadis yang sedang kebingungan tersebut terkejut saat adiknya terbangun dari tanah.

"Sagara...?"

Ucapnya lirih melihat adik laki-lakinya itu berdiri. Namun ada yang aneh dengan adiknya. Kulitnya seperti menipis hingga terlihat urat-urat yang menyembul. Juga matanya yang sekarang tidak memiliki pupil. Mata adik Michika putih seutuhnya.

"Hei lihat, dia telah sadar!"

"Dia bangun. Dia telah bangun!"

Ayah Michika lalu berbalik. Melihat anaknya yang kini berjalan tertatih kepadanya.

"Sagara...? Sagara, kau sudah sad-"

Kalimat Ayah Michika berhenti di tengah jalan ketika anaknya itu secara tiba-tiba menuju ke arahnya dengan cepat.

Sasuke, Sakura, Hinata, Kiba, Anko dan Chouji. Mereka berenam semakin berjalan menjauh dari lokasi para pengungsi itu. Raut kesal begitu terlihat di wajah Sasuke dan Kiba. Namun Langkah demi langkah mereka terhenti ketika mereka mendengar beberapa jeritan dari arah belakang. Sakura yang terkejut langsung berbalik ke sumber asal suara jeritan-jeritan itu, termasuk Sasuke dan yang lainnya juga.

Mereka berenam melihat peristiwa yang sebelumnya telah mereka sadari. Dengan ganas adik Michika menggigit bahu Ayahnya sendiri. Dengan waktu singkat tubuh adik Michika berubah. Seluruh kulitnya tersobek-sobek dengan sendirinya. Kedua lengannya membesar, dengan cakar-cakar tebal yang tumbuh mencengkram tubuh pria yang sedang dimakannya. Mata Michika bergetar lebar. Otaknya benar-benar seperti terperas. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, Sagara, adiknya berubah dan lalu menggerogoti leher Ayahnya sendiri di tanah hingga menggelepak-gelepak kejang. Tampangnya bukan lagi wajah Sagara yang ia kenal. Melainkan sosok dengan tubuh besar tanpa kulit yang tidak mempunyai mata. Hanya rahang kuat serta gigi-gigi tajam yang terus mencabik daging Ayahnya yang telah mati itu.

Michika tetap terduduk lemas, tanpa mengetahui apa yang harus ia lakukan. Para pengungsi yang lain berteriak histeris melihat dengan gamblang kejadian tersebut. Mereka semua berbalik dan kabur menyebar ke berbagai arah tanpa pasti dengan ketakutan. Tapi monster dengan tubuh besar penuh serat-serat otot itu langsung meloncat cepat dan mencakar punggung seorang pengungsi yang mencoba melarikan diri. Lagi-lagi monster itu menindih di atas. Orang yang telah tercakar itu menjerit kesakitan beserta ketakutan melihat seekor makhluk yang sangat mengerikan sedang mencengkram tubuhnya tanpa memperbolehkannya kabur. Rahang makhluk itu terbuka, dengan lidah panjang yang menjulur bagai ular. Tangan yang memiliki cakar-cakar besar nan tajam makhluk itu terangkat ke atas. Bunyi desis geraman keluar dari mulutnya yang di penuhi gigi-gigi tajam.

"T-Tidakk... Ja-Jangann... Tidaaakkk-"

Zraaasshh...

Suara orang itu berhenti seketika saat kepala terpeluntir sobek tak karuan. Lehernya nyaris terputus dengan sobekan besar menganga di sana. Darah keluar sangat banyak melalui bekas cakaran yang menganga itu. Orang tersebut mati seketika dengan sisi kepala yang pecah hingga sebagian otaknya tercecer, dan kedua mata yang melotot lebar dengan mulut menganga. Sungguh... Cara mati yang begitu mengenaskan. Beberapa orang di dekat Michika terbatuk hingga memuntahkan darah. Mereka, orang-orang yang sejak tadi diperhatikan oleh Sasuke, sampai terbungkuk-bungkuk memegangi dada mereka. Belum sempat reda keterkejutan Michika melihat Sagara yang tiba-tiba barubah menjadi monster itu dan telah membunuh 2 orang dengan brutal dan ganas, gadis itu lagi-lagi melihat para pengungsi saling memakan satu sama lain saat bangkit setelah tersungkur ke tanah seperti telah terkena serangan jantung. Michika yang masih terduduk kaku, menoleh ke arah orang-orang di dekatnya yang telah tak sadarkan setelah terbatuk-batuk tadi, kini bangkit dengan terpatah-patah.

"Tidak... Tidak mungkin... Tidak mungkin ini terjadi lagi..."

Racau Michika pelan melihat kekacauan yang benar-benar hampir sama seperti di Nagasaki, Konoha, dan Kota-Kota yang lain.

.

.

"Apa-apaan semua ini..."

Ucap Kiba melihat acara api unggun malam ini berakhir dengan mengerikan.

"Michika-san masih berada di sana!"

Kata Hinata menunjuk ke arah seorang gadis yang masih hidup di amtara para pengungsi yang gelabakan berlari kesana-kemari di kejar para mayat hidup.

"Jadi apa yang harus kita lakukan Sensei?!"

Tanya Chouji kepada Anko. Menunggu keputusan apa yang akan diambil guru mereka sebelum hal yang tidak diinginkan menjalar kepada mereka. Akan tetapi Michika yang masih hidup di antara pengungsi yang lain kini dalam bahaya.

Sasuke POV

Sial...!

Apa yang harus kulakukan?! Pilihan apa yang harus kupilih saat ini?!

Aku harus mengambil satu keputusan tepat sebelum sesuatu yang dapat membahayakan kami datang mendekat!

Tenanglah... Sasuke...

Berpikirlah...

Keputusan apa yang harus kau ambil...

Berpikir...! Cepat temukan jawabannya!

Ayo Sasuke! Apa keputusanmu?!

Waktu kami tidaklah banyak, dan sekaranglah saat yang tepat untuk kembali ke dermaga. Tapi gadis bodoh itu masih di sana. Dan para mayat-mayat di dekatnya mulai bangkit berdiri.

Cepat berpikir, Sasuke!

Berpikirlah...!

Kenapa ini begitu sulit...? Kenapa otakku tidak bisa meresponnya?

Jika kau berada di sini, pilihan apa yang akan kau pilih... Naruto?!

Kusoo...!

.

.

.

.

To Be Continue's...