Junmyeon sibuk merapikan diri, dan berulang kali memantulkan bayangan dirinya pada cermin besar yang ada di kamar mandi bersama asramanya. Untung saja hari itu sudah memasuki libur musim dingin, dimana mahasiswa yang berasal dari Jepang, telah kembali ke kampung halaman masing-masing. Menyisakan segelintir mahasiswwa asing—dua mahasiswa yang berasal dari Indonesia dan Vietnam membawa kerabat mereka untuk berlibur dan menempati kamar-kamar kosong di lantai tiga.

"Pagi." sapa mahasiswa dari Indonesia—usianya jauh di atas Junmyeon anyway, mengagetkan Junmyeon. Dan yah, tentu saja Junmyeon membalasnya dengan badan membungkuk.

"Pagi."

"Sudah rapi hari ini? Bukannya Universitasmu juga libur hari ini?"

Junmyeon tersenyum. "Uhng. Hanya saja aku akan keluar makan dengan temanku. Aku merindukan masakan Korea."

"Ohhhhh… Shin Okubo?"

Junmyeon mengangguk.

Jujur saja, Junmyeon bukan orang yang hobi travelling. Begitu sampai di Tokyo pun, ia tak memiliki hasrat untuk berkeliling untuk sekedar melepas waktu luang. Dan bila bukan berkat Yifan, ia tak akan tahu Tokyo memiliki Korean Townnya sendiri. Shin Okubo, begitu nama distriknya. Sebenarnya Shin Okubo terbagi menjadi dua, bagian kiri adalah distrik Islam—terdapat masjid yang lumayan besar di sana, dan di sekelilingnya, terdapat penjaja makanan halal, dan bagian kanannya adalah Korean Town itu sendiri.

Ngomong-ngomong soal Yifan, Junmyeon baru tahu kalau ia juga seorang mahasiswa tingkat akhir di Tokyo International University. Pantas saja bahasa Inggrisnya bagus, karena Yifan sendiri besar di Kanada—iapun lulus A Level dari Secondary School di Kanada. Ayahnya seorang Tionghoa, yang membuat Yifan lahir di Guangzhou. Namun, sejak perpisahan kedua orang tuanya itu, Yifan terpaksa ikut ibunya untuk hijrah ke Kanada. Dan pada akhirnya, Yifan memilih untuk mengambil beasiswa di Tokyo—membuatnya hidup seorang diri.

Semenjak malam berhujan itu, Yifan rajin mengirim pesan singkat pada messager Junmyeon. Mereka memang bertukar akun pada malam itu.

"Ugh, wajahku panas sekali rasanya." Junmyeon menepuk-nepuk pipi gembulnya yang sudah dilapisi dengan bbcream tipis. Tak lupa juga ia mengoleskan lipbalm—udara musim dingin membuat bibirnya kering, pecah-pecah, dan terkadang mengeluarkan darah.

Tak butuh waktu lama untuk Junmyeon bercermin lagi, karena ponselnya bordering, memperlihatkan nama Wu Yifan dalam aksara Tiongkok. Junmyeon cepat-cepat berjalan keluar, mengambil sepatunya di rak sepatu yang tersedia pada genkan asrama, dan memakainya di deretan bangku kayu yang ada di halaman asramanya. Ternyata, Yifan juga duduk di deretan bangku itu!

"Pagi, Myeon." Yifan menyapanya dengan senyuman.

"Pagi." Junmyeon sama sekali tak melihat senyuman itu karena sibuk memasang sepatu bootsnya yang dikelilingi bulu tipis di ujung atasnya.

"Maaf aku menjemputmu terlalu pagi."

Junmyeon sudah selesai memakai sepatu bootsnya, dan segera menatap wajah tampan Yifan.

"Tidak tidak, kau sama sekali tidak kepagian. Aku sudah siap sedari tadi di dalam kok."

"Syukurlah kalau begitu. Hmm, berangkat sekarang?" Yifan mengulurkan tangannya.

Junmyeon seperti tuli, ia justru memandang uluran tangan Yifan dengan heran. Errr, kalau ini adalah mimpi, Junmyeon tak mau terbangun. Decakan Yifan-lah yang menyadarkannya, dan membuatnya segera membalas uluran tangan pria pirang itu. Hangat! Tangan Yifan mungkin adalah satu-satunya tangan yang dipuja oleh Junmyeon karena kehangatannya.

Setapak demi setapak mereka melangkah. Dengan kedua tangan yang berpadu satu, dinginnya udara di bulan Desember seakan tak terasa lagi.

.

.

.

Mulut Junmyeon menganga, ia begitu takjub dengan pemandangan yang ia lihat di Shin Okubo! Benar-benar mirip Korea! Di sepanjang jalan, alunan lagu-lagu Korea—yang kebanyakan adalah milik Tohoshinki, bertebaran. Begitu pula dengan puluhan toko CD, kosmetik, dan bahkan restoran, hampir semuanya memajang pernak-pernik milik grup beranggotakan dua orang lelaki tampan itu.

"Kau mau hotteok?" Yifan menunjuk pedagang kaki lima yang ramai kala itu.

Junmyeon membalasnya dengan anggukan tersipu.

Segera saja, Yifan menarik tangan Junmyeon untuk ikut berbaris dengan orang-orang di depan pedagang kaki lima itu. Wow! Bahkan di sini ada pedagang hotteok yang mirip dengan negara asalnya. Tahu gitu, Junmyeon sudah kemari sejak dulu-dulu.

"Ehm, bagaimana kau bisa tahu tempat ini?" tanya Junmyeon.

"Salah seorang teman baikku berkebangsaan Korea, dan dia seringkali membawaku kemari. Oh, aku dapat memperkenalkanmu padanya hari ini. Seingatku, ia mengambil shift siang saat weekend."

"Ehh?"

Yifan melirik Junmyeon sebentar. "Kita akan makan kimchi jjigae hari ini, kau mau kan?"

Tentu saja Junmyeon meresponnya dengan anggukan semangat.

.

.

.

Junmyeon berusaha menyamai langkah kaki Yifan yang akan membawa menuju salah satu restoran Korea yang menyajikan berbagai macam jjigae. Tangannya sibuk memegang hotteok, dan mulutnya tak henti-hentinya mengunyah jajanan manis tersebut. Yifan sendiri, ternyata tidak memesan hotteok, beralasan bahwa ia tidak begitu menyukai kudapan manis—Junmyeon langsung menyatatnya dalam hati.

"Selamat datang." seorang pegawai lelaki menyapa mereka sesaat setelah pintu restoran itu terbuka. Lelaki itu langsung mengarahkan Junmyeon dan Yifan untuk menaiki lift untuk menuju lantai tiga—tempat ruangan-ruangan private di sana ada.

Seorang pegawai wanita bersuara nyaring kembali menyapa mereka di lantai tiga.

"Oh, Yifan!" pegawai wanita tersebut faktanya adalah teman Yifan sendiri. Ia yang mengarahkan Yifan dan Junmyeon menuju ruang makan, sembari berceloteh dengan si pirang tinggi itu. Sedang Junmyeon, hanya bisa memandang cemburu pada wanita itu. "Tunggu sebentar, aku akan mengambil banchan untuk kalian." Wanita itu akhirnya keluar setelah membagi dua buku menu pada Junmyeon dan Yifan.

"Jadi itu temanmu?" tanya Junmyeon yang belum membuka buku menunya sama sekali. "Ia tidak terlihat seperti orang Korea."

"Dia lahir dan besar di New York, sebelum akhirnya kembali ke Korea pada umur tujuh belas tahun. Ibunya blasteran Korea dan Amerika, maka dari itu, wajahnya agak sedikit berbeda." jawab Yifan yang sibuk memilih menu. "Junmyeon, mana yang lebih enak menurutmu, tiram atau udang?"

Alih-alih menjawab, Junmyeon malah mengerucutkan bibirnya dan menggigit hotteoknya lamat-lamat. Ia merasa kalah telak dengan wanita bersuara nyaring itu. Ugh, siapa yang tahu pasti hubungan Yifan dan wanita itu?! Memikirkannya saja membuat hati Junmyeon terbakar.

Yifan sedikit terheran, dan memutuskan untuk mendongakkan lehernya, dan mendapati Junmyeon yang bermuka masam—hingga Junmyeon tak sadar, bahwa ia makan dengan berantakan. Madu yang menjadi isian dari hotteok tersebut, dengan tak elitnya mengalir keluar di sela-sela bibir Junmyeon, membentuk noda cokelat di ujung bibirnya.

Menelan ludah, Yifan tanpa sadar memajukan tubuhnya, kemudian menjulurkan lidahnya, menyapu noda cokelat manis di ujung bibir lawan bicaranya yang masam itu. Demi Tuhan, Junmyeon langsung tersentak! Matanya membulat sempurna. Namun, ia seakaan mati rasa saat bibir itu terus saja menjilati bibirnya.

"Manis, seperti perkiraanku."

Ugh, Junmyeon seperti ingin menenggelamkan tubuhnya ke laut Balkan saja rasanya!

.

.

.

END! xD

Aku memutuskan memakai setting tempat Shin Okubo untuk lanjutannya!

xDDDD

Gimana gimana?

Maaf untuk yg memilih Harajuku yah ~ Soalnya aku sudah memikirkan pairing lain yg akan menjadi pemeran utama dalam seri Harajuku *halah*

Reviews, Follows, and Favorites are LOVESSSSSSS!